Radical Collaboration

Perkembangan teknologi tak dipungkiri sangat cepat membuat beragam perubahan terwujud. Baru saja kita digiring ke Blue Ocean Strategy, kita sudah disuguhi Black Ocean! Apa lagi ini?

Inovasi model bisnis kali ini tak lagi mempan dilakukan sendiri, meski kata-kata kolaborasi sudah lama didengungkan untuk senantiasa dilakukan. Bedanya saat ini adalah bentuk-bentuk Radical Collaboration. Menghubung-hubungkan aktor yang tak selalu harus berhubungan dalam proses bisnis kita saat ini, melompatkan kemajuan eksponensial.

Merancang sesuatu tak melulu terkait produk, level berikutnya adalah merancang model bisnis & level tertingginya adalah kemampuan merancang ekosistem bisnisnya. Merealisasikan Unique Value Proposition yang baru hasil kolaborasi beragam aktor dalam sistem, berinteraksi satu sama lainnya.

Bagaimana kita mampu merancang interaksi antara kekuatan ekosistem inovasi, ekosistem pengetahuan & ekosistem data hingga membawa beragam kemajuan di masa depan?

Untuk mendapatkan lompatan Radical Collaboration melalui eksosistem bisnis, memang setidaknya perlu menguatkan 5 pilar sbb (Lerwick,2022);

1. State of mind; Bagaimana mengasah kemampuan elaborasi Design Thinking Mindset & System Thinking Mindset. Mampu berempati sekaligus paham dari perspektif yang lebih tinggi, paham keterkaitan antar aktor & outcomes dari keterkaitannya.

2. Design Mindset; Bagaimana meyakini bahwa fungsi iterasi & eksperimen adalah bagian dari proses penting melahirkan solusi, memahami pengalaman langsung dari hati konsumennya.

3. Address Unknown Market Opportunity; Bagaimana kita berani melihat peluang pasar yang bahkan belum diketahui sekalipun. Eksplorasi berdasarkan perilaku dan kebutuhan konsumen, dikembangkan bersama aktor lain berhubungan & berkolaborasi.

4. Realization of Black Ocen Strategy; Aktor-aktor dalam sistem memiliki kerangka kerja terbaik untuk merealisasikan value proposition barunya.

Jangan tergopoh-gopoh berubah yaa,Ingat yaa, kita ini bertransformasi.

Ada sumbu waktu yang perlu diperhatikan, ada manusia yang perlu didampingi. Lakukan dengan strategi terkukur, bukakan pintu-pintu kolaborasi, tumbuhkan semangat belajar & pastikan konsistensi. Tetap semangat!

Sudah Dekatkah dengan Tujuan?

Saat ini perkembangannya sangat luar biasa, mengarah bukan sekedar pada pengembangan produk dan jasa. Tahun 2000-2020an berkembang pesat ke arah IT, Digital Platforms, Social Engineering, kebijakan, model bisnis dan ke depan semakin diperlukan bagi pengembangan ekosistem bisnis, immersive experience AI dan automation.

Pengukurannya pun menjadi lebih menarik, karena tidak semata-mata pada keberhasilan sebuah produk diterima, tapi bagaimana DT melandasi culture sebuah organisasi dan ekosistem yang menggerakkannya pada inovasi. Ada sebuah Model yang dituliskan Lewrick tahun 2022, yang menyatakan bahwa ada empat tingkatan kematangan bahwa sebuah organisasi dalam penguasaan Design Thinking-nya yang melingkupi

1. Talenta baru / keterampilan masa depan
2. Pola pikir dan perangkat inovasi
3. Organisasi / kepemimpinan dan budaya.

Ke-tiga aspek diatas ternyata dapat dipetakan kapabilitasnya.

1. Untuk pilar talenta misalnya, Ia dipetakan kematangannya bedasarkan seberapa matang Ia memiliki penguasaan yang baik, punya team T-Shaped yang lengkap, sudahkan menjadi Team of Teams hingga sudahkan ia memiliki mindfulness dalam setiap prosesnya.
2. Untuk pilar mindset dan tools, seberapa paham Ia memahami dasar pemahaman cara kerja baru yang agile, seberapa transparan, melakukan proses DT secara konsisten, rasa kepemilikan yang tinggi, dipicu oleh hasil berupa outcomes dan diaplikasikan dalam beragam projectnya.
3. Untuk pilar organisasinya, sebera matang Ia sebagai organisasi pembelajar, strukturnya jejaring, apakah Ia sudah puya tim yang Self-organized yang berkontribusi kuat? inovatif, eksploratif dan membangkitkan rasa keingintahuan yang tinggi?

Mengukur seberapa jauh kita melangkah dan seberapa dekat lagi dengan tujuan menjadi penting. Apakah proses ini dibangun dengan sungguh-sungguh berorientasi keberlanjutan atau sesaat memastikan proses inovasinya melahirkan kemampuan adaptif, melompatkan pada kemajuan yang hakiki berkontribusi bagi peradaban.

Memahami Proses Bisnis Baru di Era Digital

Era digital membuat perubahan konsumen menjadi-jadi. Tiap ruang jadi punya proses bisnis yang berbeda, cara berjualan juga jadi berubah. Konsep marketing 4P Product, Price, Place, Promotion yang klasik tampak tak lagi bekerja baik di era ini.

Produk jadi Purpose
Bukan sekedar produk yang punya fungsi. Tapi bagaimana produk bisa ā€œBeyond Functionā€. Karena perilaku konsumen bukan cuma tentang solusi, tapi juga terkait konteks & outcomes yang Ia perlukanšŸ¤ 

Price jadi Process
Harga murah tak bisa lagi jadi Value Proposition andalan, fokus pada pelayanan konsumen melahirkan proses bisnis yang berbeda. Mendefinisikan kebutuhan konsumen yang tepat jadi hal paling menantang, karena berakibat pada proses pelayanan dengan indikatornya berupa kepuasan, net promoter score (NPS), retensi & umpan balik positif. Memastikan prosesnya memberikan value bagi konsumennya, bukan produsennyašŸ„ø

Place jadi Platform
Jika dulu semua perlu strategis, perlu dekat dan infrastruktur bagus berupa bangunan dsb. Saat ini yang paling penting adalah bagaimana bisa konsumen bisa terinfromasikan dan terhubung dengan baik. Ngga apa-apa jauh tapi ā€œConnectedā€ juga ā€œAccessibleā€ maka menjadi penting untuk memainkan channel-channel yang tepat bagi konsumennya bersamaan dengan meramu customer relationnya yang personalšŸ˜

Promotion jadi People
Promosi dulu jadi mesinnya marketing, makin banyak iklan makin banyak jualan. Namun saat ini konsumen lebih senang diperlakukan benar-benar personal. Era digital dengan algoritmannya sangat membantu memahami perilaku konsumen dan meramu cara bagaimana ā€œPut People Firstā€ menawarkan solusi yang ā€œRelateā€ dengan kondisinya dan akhirnya menggunakan produk untuk upgrade dirinya lebih baikšŸ˜Ž

Memahami proses bisnis baru, jadi fundamental utama dalam mengembangakan kemampuan Digital Mindset agar sukses diera ini. Bagaimana memulainya?
1. Berlatih empati, bukan hanya pada konsumen, tapi pada setiap pelaku ekosistemnya.
2. Definisikan masalah user & value produk, kemudian validasi.
3. Solusi digagas bersama. Uji hipotesanya, jadilah divergen dan buka potensi seluas-luasnya
4. Buat purwarupanya,cari kesalahan lebih cepat & iterasi.
5. Uji sebelum pengembanganya
6. Rayakan!šŸ„³

Tiga Pilar Membawa Kemajuan

Wakanda, sebuah negeri yang sering jadi bahan guyonan di dunia nyata jika ada kondisi-kondisi yang tak lazim atau layak jadi objek pengalihan isu-isu yang tak relevan atau sindirian terhadap sesuatu yang tak lagi relevan.

Negeri Wakanda yang kaya Sumberdaya, terutama karena negerinya jutaan tahun lalu, dikisahkan memiliki bahan penting terbuat dari Meteorit bernama Vibranium. Bahan terkuat dialam yang memperngaruhi negerinya menjadi makmur.

Hal yang menarik sesungguhnya bukan tentang Vibraniumnya, dan betapa kayanya, tapi tentang bagaimana Ia menyeimbangkan antara kearifan lokal, kekayaan sumberdaya dan ilmu pengetahuannya. Tiga pilar yang membawanya pada kemajuan.

Berkaca pada Wakanda, tiga pilar ini sesungguhya menjadi penting sebagai pengingat bagi negeri besar ini. Negeri dengan sumber daya yang amat kaya, manusia yang sangat masif dengan kondisi terbaiknya dimasa-masa muda adalah kombinasi yang sempurna.

Ratu Shuri anak muda dengan kekuatan ilmu pengetahuannya adalah salah satu gambaran mengapa anak muda berpengetahuan menjadi mesin terkuat dalam perubahan. Para senior, sang ayah Tā€™Chaka dan ibu Ramonda memberikan ruang bagi penerusnya melakukan eksperiman dengan basis pengetahuannya, Kakaknya Tā€™Challa memberikan ruang bagi adiknya dengan memberi contoh-contoh baik kepemimpinan sekaligus kearifan lokalnya.

Negeri penuh sumbedaya dikelola dengan kearifan & ilmu pengetahuan menghasilkan kemajuan-kemajuan dalam bentuk kesejahteraan. Disaat yang sama juga memberikan tantangan ancaman dari dalam dan luar karena jadi banyak yang merasa terancam dengan kemajuannya.

“We have watched and listened from the mountains. We have watched with disgust as your technological advancements have been overseen by a child who scoffs at tradition.”
ā€•M’Baku

Menyeimbangan kaum muda, pengetauan dan kearifan memang sering kali jadi tantangan berat. Sudut pandang yang sering terlupakan adalah bagaimana garis waktu dibawa jauh ke masa depan, apakah setiap kebijakan yang diambil dinegeri kaya sumberdaya ini akan berdampak jauh dimasa depan, atau jangan-jangan kekayaannya dikeruk masa kini namun masa depan jatuh pada jerat kemiskinan yang akan jauh lebih berat memulihkannya.

Membangun Kultur Profesional menjadi Hal Penting

Mendirikan bisnis bagi sebagian besar orang adalah impian yang diidam-idamkan. Bisnis tak lepas juga dari Badan Hukumnya. Badan hukum ini adalah legalitas dari entitas organisasi yang Ia dirikan. Entitas berupa wadah Ia mengarungi lautan mimpinya, menuju tujuan yang Ia idamkan. Walau saat ini, entitas ini dapat dengan mudah didirikan walau seroang diri, namun dalam perjalanannya biasanya akan banyak menemukan banyak anggota tim yang terlibat kemudian bersama-sama mendayung kapan secara konsisten menuju titik cita-citanya.

Banyak bentuk badan usaha yang bisa dipilih, bisa PT, CV, Koperasi, Bumdes dan banyak lagi. Memilih bentuk ini layaknya seperti memilih kendaraan yang tepat. Strateginya disesuaikan dengan apa yang akan dituju, jangan sampai salah memilih bentuknya. Memilih bentuknya akan membantu mengakselerasi pencapaian visinya dikemudian waktu.

P.T. salah satu yang jadi favorit buat yang sedang mendirikan bisnis. Walau semaakin mudah mengurusnya ada ada hal yang sering kita lupakan adalah kulturnya yang perlu dibangun secara baik. Banyak juga kejadian kesepakatan para Founders buat usaha profesional tapi kandas karena kulturnya tak dibangun dan masih terjebak dengan kultur individualis. Apalagi usaha dengan tim, ā€œ”No one can whistle a symphony. It takes a whole orchestra to play it.” ā€“ H.E. Luccockā€

Membangun kultur profesional menjadi hal penting, beberapa contoh sederhananya dilakukan dengan cara.

1) Memastikan pengelolaan keuangannya terpisah dengan individunya,
2) Dalam mengambil keputusan memastikan sadar penuh bahwa kita ini tim! ada organisasi yang mekanismenya jalan bersama.
3) Karena ini entitas legal, maka ada konsekwensi hukum & administrasi yang perlu ditaati.
4) Ada kultur usaha yang perlu dibangun seiring sejalan dengan sehat, coba bayangkan mendayung perahu tapi tiap orang berbeda arah dan tak konsisten, bagaimana lajunya perahu tsb?

Wadah dibentuk jadi entitas baru yang perlu dihidupkan, didalamnya dipastikan setiap orang untuk saling konsisten mendayungnya secara sinergis, saling kuatan dan mengatur energinya agar kita bisa sampai tujuan.

Gimana perahu kamu, aman?

Slow, but Sure!

Jika saja kita merasakan beberapa gejala seperti 1) Kulit gatal, 2) Mata merah 3) Kepala sakit sekiranya bolehkah kita memberikan obatnya satu-satu seperti salep kulit untuk gatal, salep mata untuk mata & obat pereda nyeri sakit kepala?

Inilah gambaran sederhana mengapa kita perlu mensintesa gejala-gejala tersebut hingga mendapatkan masalahnya. Kemudian kitapun tak bisa mendiagnosa sendiri karena memang bukan ahlinya, sang dokterlah kemudian yang akan mengolah gejala ini untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya kamu sakit apa?

Inilah yang kerap terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada entrepreneur dalam menghasilkan solusi bagi pelanggannya.

Dalam pendekatan Design Thinking, proses discovery di tahapan awal dilakukan untuk medapatkan gambaran gejala-gejala apa yang tampak dipermukaan dari para calon pelanggan. Gejala-gejala itu tampak secara visual, yang kemudian tugas kitalah sebagai problem solver menganalisa sejatinya apa masalah mendasar yang terjadi pada konsumen kita.

Kesalahan utama dalam proses menggagas solusi, biasanya terjadi karena;

1)Tak paham & tak berupaya memvalidasi persona konsumennya, masalah apa sesungguhnya?
2)Bedakan gejala dengan akar masalah
3)Masalah yang diidentifikasi biasanya adalah yang terjadi saat ini, sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menarik garis waktu ke depan & menggambarkan kondisi masa depan yang diinginkan sang konsumen.
4)Apakah solusi yang ditawarkan merupakan peluang dimasa datang yang menjadikannya seseorang menjadi lebih baik atau bukan?
5)Awas! kerap terjadi Creative Paradox dalam bersolusi. Andai-andai jadi kreatif justru malah kebalikannya.

Mengambil simpulan dari gejala-gejala tak bisa satu-satu solusinya secara parsial, perlu slow thinking, mengundang juga beberapa orang dengan latar belakang berbeda untuk melihat perspektifnya. Jangan lupa menarik garis imajinernya antar gejala & lingkungannya, apa yang terjadi dengan relasionalnya & berakibat apa. Hingga kemudian bisa mengambil simpulan sebenarnya apa masalahnya?

Kenali dulu masalahnya, baru bergagasan cari solusinya. Agak lama sih, namanya juga slow thinking, tapi cara ini sangat efektif menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Cara Berpikir Sistem

Salah satu mata kuliah yang dulu paling mengesalkan adalah System Thinking yang kemudian berangsur menjadi paling menyenangkan. Cara berpikir ini membuat banyak hal tak terlihat menjadi variable penting dalam menentukan apakah pengambilan keputusan ini menjadi baik atau tidak.

Dalam berpikir sistem kita diperkenalkan pada garis-garis imaginer keterhubungan antar pihak, dimana dikehidupan nyata sering kali terjebak pada hal-hal visual dipermukaan.

Dalam pertemuan dengan Bappenas kemarin, saya menggambarkannya secara sederhana ketika sebuah event keseharian terjadi yakni kejadian bertemunya Ibu Ketua RT, Ibu Rumah Tangga, Mang Acep sang Tukang Sayur & Asisten Rumah Tangga bahkan Motor sang Tukang Sayur serta seekor kucing. Yang dilihat secara visual adalah terdapat 4 orang berkumpul mengelilingi muatan sayur milik Mang Acep.

Dalam sistem thinking, kita tak saja melihat adanya 4 orang tersebut saja, namun kita menarik garis imajiner diantara keterhubungannya. Bagaimana hubungan antarpersonalnya? negatif atau positif? memberikan hubungan timbal balik atau tidak dalam keterhubungannya? mana simpul yang paling kuat dalam kelompok tersebut? bagaimana mengintervensinya?

Jay Forrester dari MIT, bapaknya System Thinking mengemukakan bahwa ā€œSecara intuitif, orang-orang mengetahui letak leverage point (simpul perubahan) & namun ternyata banyak organisasi bergerak pada arah yang salah karena tak melihat dari perspektif sistem, maka beragam kebijakannya mengakibatkan sistemnya bergerak pada arah yang salah!ā€

Dengan cara berpikir sistem, dari visual kejadian yang terlihat kita dibawa melihat tren & pola yang lebih dalam dari kejadian tersebut. Kemudian melihat sistem yang terbentuk, struktur & mental modelnya. Sehingga dari garis imaginer yang menggambarkan keterhubungan tsb, kita mensintesa sifat sistemnya, kualitas keterhubungan & arah tujuan sistem tersebut akan berakhir dikemudian hari.

Berpikir sistem mengacu pada perspektif atau cara berpikir yang berbeda, berfokus pada interaksi sistem daripada penjelasan linier, hingga melahirkan pemikiran yang non linier yang pada akhirnya mendapatkan beragam opsi pilihan yang objektif. Kapan kita belajar lagi System Thinking?

Innovation by Design

Ketika kreatifitas sulit bergeser jadi sebuah inovasi bisa jadi terdapat banyak aspek yang luput dari perhatian bahwa setelah kreatititas ada langkah lanjutan untuk memastikannya menjadi inovasi.

Sebuah inovasi memang perlu ditumbuhkan, kami menyebutnya sebagai Innovation by Design. Hal ini juga terkait kultur yang perlu dibangun, menghantarkan kreatifitas sampai hingga terwujdnya inovasi. Ada tiga tahap penting menggeser kreativitas menjadi inovasi, coba analisis ada gap dimanakah pergerakan kita hingga sulit menjadikan inovasi berkelanjutan?

Zana 1. Tempat Kerja
Mengapa perlu by design & apa kaitannya dengan kultur? Banyak Inovasi tidak dimulai karena justru wokspacenya tidak kreatif. Inovasi biasanya dimulai dari ruang tempat kita berkarya, apakah ruang-ruangnya berisi ambience krerativitas? Diamana inisiatif bisa tumbuh subur. Maka diruang-ruang itulah keterampilan kreatif, motivasi, mood, mindfulness, lingkungan & kompetensi bisa membuncah bebas. Apakah zona 1 ini sudah ada ditempat kamu bekerja?

Zona 2. Merawat.
Kreativitas perlu dirawat dalam perjalanannya agar kemudian menjadi kenyataan, terbangun monetisasinya.& terserap pasar. Nah pada zona ini kita perlu terampil menguatkan Why-nya, ritual & toolsnya. Memastikan proses validasinya dengan kerangka Design Thinkng, menguji pasarnya dengan Lean Startup, membumikannya dengan Design Sprint & memastikan gagasan tervalidasi dengan beragam iterasinya.

Zona 3. Mengembangkan
Gagasan yang berhasil divalidasi baik masalah & pasarnya tak berhenti disitu, karena dalam pengembangannya ada fase lain seperti founders-fit, market-fit & business model fit. Ini jadi tantangan selanjutnya bagaiman membuat gagasana berwujud, menjadi solusi, terserap pasar & memastikan kemandirian dan keberlanjutannya. Memonetisasinya & menjadikannya inovasi berkelanjutan.

Organisasi kita bisa saja organisasi yang kreatif tetapi tak sanggup memonetize di ujung karena Ia tak mampu merawatnya, tak adaptif & mengawalnya jadi inovasi. Begitu pula kebalikannya, bisa jadi kita menghasilkan inovasi, tapi bukan berasal dari kultur & skills yang dibangun, hingga inovasinya berasal dari satu pihak saja kemudian terancam keberlanjutannya.

Ekosistem Perubahan

Ada pergeseran yang signifikan peranan pemimpin masa kini dan masa lalu. Pemimpin punya urgensi penting untuk berperan sebagai sponsor bagi perubahan itu sendiri, perubahan yang didorong oleh peluang.

Ada kalanya pemimpin & ekosistem yang dipimpinnya terjebak paradigma masa lalu dimana Ia adalah si paling inovatif, si paling bisa dengan segala kehandalannya. Bahkan, jika bisa Ia menjadi sumber inovasi dari segala pergerakan barunya. Hal ini yang kemudian membawa angin ketergantungan anggota tim pada pemimpinnya.

Paradigma saat ini tentu beda, karena inovasi diberikan keleluasaan untuk tumbuh dari bawah. Setiap individu yang terlibat diberikan ruang untuk inovasi. Pemimpin hanya perlu memastikan bahwa Ia benar-benar punya imajinasi yang kuat akan masa depan yang dituangkannya dalam narasi & arah yang jelas, melakukannya dengan compasiion & caring serta jadi role model atas agilitasnya. Walk the Talk.

Pemimpin saat ini adalah pemimpin yang terbuka atas gagasan-gagasan yang tumbuh dari bawah, sehingga setiap anggotanya bisa menjadi penggerak perubahan. Pemimpin dan ekosistem membantu menemukan simpul perubahannya hingga dapat terinternalisasi dalam setiap anggota sebagai pelaku perubahannya.

Organisasi menjadi motor penggerakannya, pemimpin berperan mengorkestrasi arah, kecepatan dan memastikan kondisi kendaraannya tetap sehat. Menjaga agar inovasi yang terwujud tidak terluka, memfasilitasi penyelarasan dan akselerasinya agar tetap fokus pada tujuan, setiap prosesnya dipastikan setia pada cita-cita. Memastikan organisasinya tidak melenceng atau bahkan menjadi ā€œFollow The Money Organizationā€, pastikan organisasi kita masih jadi organisasi yang ā€œFollow The Dreamsā€

Hindari juga munculnya beragam inovator yang terluka, yakni individu-individu yang sempat berkarya baik, semangatnya tinggi namun tempatnya berkarya jadi tempat yang tak lagi ideal dalam bereksplorasi & atau tak bisa mewadahi mimpinya hingga meski rindu terpaksa Ia memilih berpetualang diluar.

Menjadi pemimpin yang terbuka, menjalankan manajemennya dengan penuh kesadaran situasional, berkelanjutan membuka peluang inisiatif, menghadirkan otonomi & fleksibilitas, bertanggung jawab dan percaya.

Culture Shifting

Perubahan adalah hal yang paling penting dilakukan organisasi-organisasi yang ingin tetap adaptif, tak bisa dipungkiri perubahan adalah keniscayaan.

Di perubahan era ini tak lagi kita bisa melakukannya secara serial, tapi secara paralel bagaimana organisasi bisa menjadi tangkas? Cultural Shift selalu menjadi isu penting dalam mengubah budaya jadi lebih baik. Kerap organisasi melakukan proses perubahannya dengan memperbanyak pelatihan, sosialisasi atau dengan beragam media yang Ia gunakan untuk melakukan propaganda perubahan budayanya.

Tak bisa tiba-tiba sebuah organisasi yang mengidamkan Cultural Shift dalam waktu singkat. Apa media terbaik untuk mengakselerasi perubahan? Tidak lain adalah dengan menjadikan organisasinya sebagai organisasi pembelajar. Cara-cara baru dilakukan melalui kegiatan-kegiatan nyata, proyek-proyek nyata yang semakin baik & semakin baik lagi.

Setiap kegiatan menjadi media belajar untuk menjadi makin baik dari segi produk dan manajemennya, begitu juga dengan organisasinya.

Jika pada setiap kegiatan kita merasakan selalu bermula dari nol, maka aktivitas & kegiatan yang telah terjadi bukan hanya tidak jadi bahan belajar serta produk yang tak sukses. Sesungguhnya yang menderita adalah organisasinya, menjadi lelah karena setiap pembelajaran tak terinstitusionalkan, pun jadi melelahkan tak berprogres.

Pastikan tiap project jadi wadah belajar, tersedia artefak, dibagi pengalamannya hingga dihindari kesalahan lalunya. Hingga membuahkan organisasi yang berhasil melalui Culture Shiftnya.

Tak ada yang instan, yang ada adalah proses yang terakselerasi dengan baik &bertahap. Komitmen kuat jadi fundamental tiap anggota untuk melakukan proses perbaikan terus menerus serta proses eksperimental terukur & dilakukan terus menerus.

Salah satu yang direkomendasikan untuk melakukan Culture Shifting dengan pendekatan proyek adalah dengan kerangka kerja Scrum.

Scrum sangat menekankan lingkungan kerja yang safe-to-fail karena inovasi berawal dari orang-orang yang tak takut untuk terus menerus belajar & mencoba hal yang baru. Sangat cocok untuk organisasi yang rendah-hati untuk terus belajar & menekankan budaya continuous learning mengedepankan inovasi.