Tapi kadang, justru strategi yang dulu terasa solid mulai terasa kaku. Pelanggan berubah, pasar bergerak cepat, sementara model bisnis kita masih sama seperti dulu.
Masalahnya, kita seringkali hanya mengisi Business Model Canvas (BMC) sekali, lalu disimpan seperti pajangan. Padahal BMC itu bukan arsip, tapi kompas yang harus terus disesuaikan.
Lewat eBook RE-INVENTING BMC, @dwiindrapurnomo mengajak kita meninjau ulang model bisnis dari tiga sisi penting:
🎯 Frontstage bagaimana pelanggan merasakan bisnis kita
🔧 Backstage bagaimana tim kita bekerja dan menciptakan Value
📈 Profit Formula bagaimana kita bisa tetap untung tanpa membebani operasional
Bukan berarti harus mulai dari nol, tapi kita perlu tahu bagian mana yang harus diubah, disesuaikan, atau ditinggalkan. Kalau kita merasa bisnis mulai melambat, mungkin ini waktunya reinvent.
“Produk ini sangat membantu kami, tapi terlalu mahal untuk dipakai terus-menerus.” Kalimat ini sering terdengar, terutama dari mereka yang paling membutuhkan solusi namun justru tak mampu menjangkaunya. Masalahnya bukan pada kualitas produk, tapi pada logika bisnis yang menjadikan kebermanfaatan sebagai alasan untuk menaikkan harga. Di balik jargon inovasi, tersembunyi praktik monetisasi yang tak selalu berpihak.
Padahal, Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010) dirancang untuk menyeimbangkan tiga dimensi utama: desirability (apakah pengguna menginginkan), feasibility (apakah organisasi mampu menciptakan), dan viability (apakah bisa berkelanjutan). Namun dalam praktiknya, keberhasilan menciptakan value proposition sering disalahartikan sebagai izin moral untuk mematok harga setinggi mungkin.
Liedtka et al. (2017) mengingatkan bahwa inovasi harus berangkat dari empati. User-centricity berarti menyelami kenyataan hidup pengguna—bukan hanya apa yang mereka inginkan, tapi juga apa yang mampu mereka jangkau. Solusi yang benar-benar berpihak tidak hanya hadir dalam bentuk produk yang baik, tapi juga dalam akses yang adil. Di sinilah kreativitas model bisnis diuji. Bukan dengan menaikkan harga, tapi dengan merancang ulang blok kiri BMC; Key Activities, Key Resources, dan Key Partners, untuk menciptakan efisiensi, menjalin kolaborasi, dan mendistribusikan biaya tanpa membebani pengguna. Banyak organisasi gagal di titik ini: mereka punya misi mulia, tapi model bisnisnya justru menciptakan ketimpangan akses.
Seperti dijelaskan oleh Hurst (2014) dalam The Purpose Economy, organisasi masa depan adalah mereka yang menjaga nyala misi tanpa membakar daya jangkau penggunanya. Menjadi purpose-led berarti menempatkan pengguna sebagai mitra perubahan, bukan target profit. Dan menjadi user-centric berarti berani mengatur ulang logika bisnis agar nilai yang diciptakan bisa dinikmati oleh yang membutuhkan, bukan hanya yang mampu membayar✨
Kebahagiaan itu muncul tat kala melihat jelas bagaimana peserta bertransformasi secara mendalam, bukan hanya dalam cara membuat presentasi, tapi juga dalam memahami esensi inovasi itu sendiri. Di awal, sebagian besar masih berpikir bahwa membuat aplikasi atau alat berarti sudah berinovasi. Namun, seiring berjalan, mereka mulai menyadari bahwa inovasi yang bermakna justru lahir dari pemahaman akan kesulitan pengguna di lapangan, dari proses yang berbelit, dari titik-titik friksi yang nyata. Di sinilah pendekatan user-centric mulai mengambil alih, menggantikan logika lama yang hanya berpusat pada produk.
Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam isi, tapi juga dalam cara mereka menyampaikan. Jika sebelumnya mereka bergantung pada slide dan penjelasan teknis yang kaku, kini mereka mampu membawakan kisah inovasi dengan alur yang runtut, humanis, dan menyentuh. Mereka mulai bercerita, bukan hanya memaparkan. Visual-visual proses bisnis, simulasi kerugian waktu dan biaya, hingga potensi dampak nasional mulai tampil dengan jelas. Bahkan, dalam waktu hanya lima menit, mereka bisa membuat pendengar memahami urgensi, solusi, dan manfaat dari inovasi yang dibawanya.
Satu hal penting lainnya adalah munculnya kesadaran akan perbedaan antara invensi dan inovasi. Mereka mulai paham bahwa membuat hal baru saja tidak cukup. Inovasi adalah ketika hal itu dipakai, menyelesaikan masalah nyata, dan berdampak pada efisiensi, keselamatan, atau pelayanan pelanggan. Beberapa tim bahkan mulai menghitung: berapa menit waktu yang bisa dihemat, berapa rupiah potensi kerugian yang bisa ditekan, dan apa implikasinya jika solusi ini direplikasi secara nasional. Ini adalah lompatan berpikir yang sangat berarti.
Namun agar transformasi ini tidak berhenti di ruang lomba, perlu langkah yang sistemik. Rekomendasinya adalah membangun ekosistem inovasi internal yang memungkinkan gagasan terus tumbuh, diuji, dibagikan, dan disempurnakan. Sebuah platform yang bukan hanya mendokumentasikan solusi, tapi juga memfasilitasi kolaborasi, pendampingan, dan replikasi lintas unit. Dengan itu, inovasi bukan lagi acara musiman, tapi budaya kerja yang hidup & berkembang di setiap lini, terimakasih @pln_jabar🎉
Di balik logika sederhana “lebih murah beli alat cuci mobil daripada bolak-balik ke carwash,” tersimpan ironi yang menggambarkan kegagalan memahami alasan sebenarnya mengapa orang memilih jasa cuci mobil. Pada permukaan, argumen ini masuk akal: sekali cuci di carwash seharga 50 ribu, maka tiga kali saja sudah menyamai harga satu set alat cuci mobil komplit seharga 150 ribu. Maka, beli alat cuci sendiri terlihat seperti keputusan finansial yang lebih bijak.
Namun, di sinilah kesalahan berpikirnya—dan sekaligus pelajaran penting dari Jobs to Be Done. Sebab, ketika seseorang pergi ke carwash, mereka sebenarnya tidak sedang “membeli kebersihan mobil” semata. Mereka sedang “menyelesaikan pekerjaan” yang lebih kompleks: menghemat waktu, menghindari kerepotan, menghindari basah dan kotor, bahkan kadang sambil menikmati waktu santai atau interaksi sosial saat menunggu. Itulah “job” yang sesungguhnya mereka sewa dari layanan carwash.
Alat cuci mobil mungkin bisa menggantikan fungsi teknis—yakni membuat mobil bersih. Tapi alat itu tidak menyelesaikan seluruh “pekerjaan” yang diharapkan oleh penggunanya. Karena itulah, meskipun sudah dibeli, alat itu hanya digunakan sekali. Hari berikutnya, si bapak kembali ke carwash, karena sebenarnya bukan alatnya yang mereka butuhkan, tapi penyelesaian menyeluruh dari “pekerjaan” yang tidak ingin mereka lakukan sendiri.
Contoh ini dengan sangat sederhana tetapi tajam menunjukkan bahwa inovasi atau solusi yang hanya fokus pada fitur dan harga bisa gagal digunakan bila tidak memahami konteks utuh kebutuhan manusia. Di situlah Jobs to Be Done dalam Value Proposition dengan pendekatan Design Thiniking memberi pelajaran penting: bukan produknya yang salah, tapi pekerjaannya yang tidak terselesaikan.
Setiap tahun, organisasi mahasiswa sibuk menyusun program. Proposal dirancang, kalender dipenuhi, kegiatan dilaksanakan. Tapi satu pertanyaan jarang diajukan: siapa yang benar-benar terbantu? Jika semua hanya berputar di antara mahasiswa sendiri, menghibur yang sudah nyaman, meriah di dalam tapi kosong ke luar, organisasi hanya jadi ruang aman, bukan ruang tumbuh. Kampus bukan tempat istirahat, melainkan titik awal untuk memberi dampak.
Hari ini di Sekolah Vokasi Unpad, saya sampaikan ke BEM dan HIMA: hentikan menjadikan mahasiswa sebagai objek program. Lihat keluar. Banyak masyarakat yang butuh disentuh, didengar, dan dibantu. Rancang program yang user-centric—berangkat dari kebutuhan mereka, bukan asumsi kita. Mahasiswa bukan sekadar pelaksana acara, tapi calon pemimpin yang harus belajar dari realitas, bukan dari kenyamanan.
Pendekatan ini selaras dengan experiential learning (Kolb, 1984); belajar lewat pengalaman langsung. Dan design thinking (Brown, 2009), mulai dari empati, bukan asumsi. Ketika mahasiswa memetakan masalah nyata, merancang solusi berbasis konteks, dan mengeksekusi dengan hormat dan relevan, saat itulah mereka bertumbuh—sebagai pembelajar, pemimpin, dan manusia.
Sebuah tim mahasiswa akuntansi misalnya, membantu UMKM membuat pencatatan keuangan sederhana. Bagi mereka, itu tugas kecil. Tapi bagi si pemilik warung, itu pertama kalinya bisnisnya terasa nyata. Dari situ mahasiswa belajar tentang kesederhanaan, komunikasi, dan makna kontribusi. Kegiatan seperti ini membentuk kapasitas jauh lebih komprehensif dan kontekstual .
Maka sebelum menyusun program, ajukan satu pertanyaan jujur: siapa yang akan benar-benar terbantu? Jika jawabannya hanya “kita sendiri”, mungkin kita sedang bermain aman di kolam kecil. Padahal dunia menanti kita menyelam ke samudra. Di sanalah dampak sesungguhnya dilahirkan, bukan dari sibuknya kegiatan, tapi dari beraninya memberi makna.
Proses kreatif sering dimulai dengan semangat tinggi. Kita punya ide segar, membayangkan hasil yang luar biasa, dan merasa sangat optimis. “This is going to be awesome!” Pada tahap ini, semuanya terasa mungkin. Ini sejalan dengan fase Preparation dalam model Wallas, di mana kita terbuka terhadap berbagai kemungkinan dan ide berkembang liar. Tapi semangat awal ini tak bertahan lama ketika kita mulai masuk ke realita eksekusi.
Saat mulai bekerja, kita segera dihadapkan pada tantangan. Ide yang sebelumnya terasa sederhana, kini tampak rumit. Hambatan muncul, arah mulai kabur, dan kita mulai berpikir, “This is hard.” Inilah fase eksplorasi dan penyempitan dalam Double Diamond Framework, yang menuntut kita untuk tahan dalam ketidakpastian. Banyak dari kita mulai goyah, karena ternyata mewujudkan ide jauh lebih berat daripada membayangkannya.
Ketika kesulitan terus bertambah, kita masuk ke fase emosional yang lebih dalam. “This is terrible,” lalu berubah menjadi, “I am terrible.” Kita bukan cuma meragukan karya, tapi juga diri sendiri. Ini adalah bagian dari the messy middle yang digambarkan Scott Belsky; fase krusial yang sering membuat orang menyerah. Namun, justru di titik terendah ini, pembelajaran terbesar terjadi. Kita mulai belajar menerima ketidaksempurnaan dan memperkuat daya tahan mental.
Jika kita memilih bertahan, pelan-pelan mulai ada perubahan. Kita mulai melihat celah harapan, dan berkata, “Hey, that was not bad.” Ide yang sempat kacau kini mulai menemukan bentuk. Inilah fase Verification, ketika kita mulai menguji ulang dan menyempurnakan dengan lebih jernih. Kita belajar bahwa kreativitas bukan tentang hasil yang langsung jadi, tapi tentang bagaimana kita menyusun ulang, belajar ulang, dan terus memperbaiki.
Hingga akhirnya, kita sampai di titik refleksi dan kepuasan. “Hey, that was awesome!” bukan karena semuanya berjalan mulus, tapi karena kita berhasil melewati prosesnya. Csikszentmihalyi menyebut ini sebagai momen flow, ketika kita tenggelam penuh dalam proses yang bermakna. Di titik ini, kita bukan hanya menghasilkan karya, tapi juga keluar sebagai pribadi yang lebih matang dan tangguh. Dan mungkin, itulah makna sejati dari proses kreatif🎉
Ketertarikan awal terhadap Design Thinking muncul karena suasananya yang seru, penuh ide, kolaboratif & bebas. Tapi seiring waktu, metode ini ga hanya menyenangkan, tetapi membentuk ulang cara berpikir dan merasakan. Seperti dikemukakan Brown (2009) dalam Change by Design, Design Thinking bukan hanya tentang kreativitas, tetapi tentang pendekatan sistemik terhadap pemecahan masalah kompleks.
Ia mengubah makna kreativitas dari sekadar orisinalitas menjadi keterhubungan. Kreativitas yang efektif bukan muncul dari ruang kosong, tapi dari pemahaman mendalam terhadap konteks & manusia (Cross, 2011). Design Thinking melatih kemampuan untuk bisa hadir penuh saat mendengarkan, & mengambil keputusan dengan empati, seperti yang ditulis dalam The Design of Everyday Things oleh Norman (2013), bahwa keputusan terbaik lahir dari empati terhadap pengguna.
Hal yang paling dalem adalah orientasinya pada kebermanfaatan. Dalam kerangka Human-Centered Design, solusi yang baik bukan yang paling canggih, tapi yang paling relevan dan berguna (IDEO). Inilah esensi etika dalam inovasi, mencipta bukan untuk mengesankan, tapi untuk menjawab kebutuhan nyata. Produk yang bermanfaat secara sosial cenderung berkelanjutan (Mulgan, 2014), baik di pasar maupun di ruang publik.
Seiring waktu, pandangan terhadap sumber daya pun bergeser. Dari uang sebagai pusat, menuju pada resourcefulness, kemampuan mengakses potensi yang ada melalui kemitraan, kepercayaan, dan kolaborasi (Liedtka & Ogilvie, 2011).
Design Thinking bikin makin yakin pentingnya berproses punya key partnerships yang memperluas akses & memperkuat daya. Hal ini selaras dengan pendekatan ekosistem dalam inovasi sosial yang menekankan pentingnya jaringan & interdependensi (Westley, Zimmerman & Patton, 2006).
Pada akhirnya, Design Thinking mengajarkan makna eksplorasi sebagai perjalanan memahami orang lain. Dalam prosesnya, bukan cuma solusi yang terbentuk, tetapi manusia yang lebih utuh, lebih sadar, lebih peduli & punya orientasi pada kebermanfaatan. Seperti yang ditekankan Buchanan (1992), Design Thinking adalah a new liberal art, sarana untuk memahami kompleksitas manusia demi menciptakan masa depan yang lebih baik✨
Udah yakin bisa bikin kalimat kebijakan dan program? Karena dampaknya akan sangat besar!
Di balik setiap kebijakan publik yang berhasil, selalu ada perumusan strategi yang jernih, tepat sasaran, dan menyentuh akar persoalan. Bukan cuma soal seberapa besar anggaran yang dikelola, tapi bagaimana kebijakan itu ditulis dan dimaknai. 🔆
Sebagai pemangku kebijakan, kemampuan menuliskan arah kebijakan dan program pembangunan adalah keterampilan esensial—karena dari sanalah visi perubahan diterjemahkan ke dalam aksi nyata yang bisa dipahami, diukur, dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Bukan cuma perlu terampil mengelola anggaran, tapi justru sebelumnya dimulai dari hal yang paling mendasar: cara menyusun kalimat kebijakan dan program yang benar. ✨
Kesalahan menulis arah kebijakan bisa berdampak fatal—baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembangunan.
Kalimat yang kabur, tidak fokus, atau sekadar menyebutkan rutinitas tanpa orientasi hasil, membuat program kehilangan arah dan hanya menjadi formalitas. Padahal, arah kebijakan harus mampu menjawab “apa yang berubah” dan “siapa yang terdampak,” bukan hanya “apa yang dilakukan.”✨
Menulis kebijakan dan program bukan sekadar mengisi dokumen perencanaan. Itu adalah proses artikulasi visi pembangunan ke dalam bentuk yang strategis, operasional, dan kolaboratif. ✨
Kalimat kebijakan harus bisa mengintegrasikan tujuan pembangunan jangka panjang, merespons isu-isu strategis, dan menyinergikan berbagai pemangku kepentingan. ✨
Di sinilah pentingnya pendekatan teknokratik yang disandingkan dengan sensitivitas sosial—agar arah kebijakan tidak hanya kuat secara logika, tetapi juga menyentuh kebutuhan warga.✨
Sudah saatnya kita naik kelas dalam perencanaan: dari sekadar menyusun program ke arah membangun ekosistem perubahan. Perlu ada kesadaran bahwa setiap kata yang tertulis dalam arah kebijakan adalah kompas perubahan. Maka, mari kita perkuat kapasitas ini—agar kita tidak hanya menjadi pengelola anggaran yang andal, tapi juga pemimpin perubahan yang mampu merumuskan masa depan kota dan warganya secara tajam, inklusif, dan berdaya.🎉
“Apa yang salah ya? Kenapa perubahan yang diharapkan tidak terlihat?” 😓
Jika Anda sering mengalami hal ini, saatnya UBAH STRATEGI dengan Theory of Change!
📘 E-Book Theory of Change ini akan membantu Anda: ✅ Memetakan perubahan yang ingin dicapai dengan lebih jelas ✅ Menyusun program yang fokus, relevan, dan berdampak jangka panjang ✅ Menghindari aktivitas yang sekadar ramai tapi tak berujung hasil ✅ Mengelola risiko & hambatan dengan lebih sistematis
🔥 Jangan biarkan program Anda hanya menjadi angka di laporan. Bangun perubahan yang benar-benar NYATA dan TERUKUR.
📌 Download eBook-nya sekarang di: ebook.designthinkingacademy.id atau cek tautannya di bio kami
7 Topik Kunci | 4 Kota | Kelas Eksklusif | Kuota Terbatas
Siap membangun bisnis yang lebih kuat, tim yang lebih agile, dan strategi pendidikan yang lebih inovatif? Intimate Class with DIP menghadirkan Transformative Insights, kelas intensif yang memberikan wawasan strategis, pendekatan praktis, dan solusi langsung yang bisa diterapkan di dunia bisnis dan pendidikan.
📅 Jadwal & Topik Kelas: 📍 Bandung | 12 April 2025 – Business Ecosystem 📍 Jakarta | 26 April 2025 – Change Management 📍 Surabaya | 10 Mei 2025 – Outcome Based Education 📍 Jakarta | 24 Mei 2025 – Agile Teams 📍 Yogyakarta | 21 Juni 2025 – Transformative Education 📍 Jakarta | 5 Juli 2025 – Sustainability Management 📍 Jakarta | 19 Juli 2025 – Innovation & Agility in Education
Kenapa Harus Ikut? ✅ Kelas terbatas untuk pengalaman belajar yang lebih eksklusif dan intensif ✅ Topik yang dirancang khusus untuk menghadapi tantangan bisnis dan pendidikan saat ini ✅ Belajar langsung dengan DIP melalui diskusi interaktif dan studi kasus nyata ✅ Metode inovatif berbasis Design Thinking & Agile Strategy untuk hasil yang lebih efektif
Hanya tersedia untuk peserta terbatas. Daftar sekarang sebelum kuota habis.