Lokapasar Festival

✨ Dikenal Sebagai Pendorong Inovasi Sosial di Indonesia✨️

Beliau akan berbagi wawasan transformatif dan siap menginspirasi Anda dengan ide-ide brilian.

Kenalin, beliau adalah Dr. Ir. Dwi Purnomo seorang Dosen, Founder The Local Enablers, Mentor Design Thinking, dan Penulis buku inspiratif 💡

Dalam Lokapasar Festival kali ini, siap-siap kamu akan diajak melihat tantangan dan peluang dari sudut pandang berbeda, dengan pendekatan kreatif dan berdampak.

Kalau kamu ingin jadi bagian dari perubahan positif lewat inovasi sosial, this session is totally for you!

📍Stay tuned, catat tanggalnya, dan jangan sampai kelewatan!

Buku Manusia Kreatif

Edisi Terbaru Seri Buku Manusia Kreatif telah hadir!

📚 4 Buku | 2 Versi | Banyak Inspirasi 🔥

Kini, seri buku Manusia Kreatif hadir dalam 2 versi:
📘 Versi Berwarna – dengan ilustrasi dan elemen visual penuh warna yang memperkaya pengalaman membaca.
⚫ Versi Hitam Putih – lebih ekonomis, tetap dengan konten dan kualitas cetak yang sama, hanya berbeda di pewarnaan isi halaman

✨ 4 Judul Buku Seri MANUSIA KREATIF:
1. Activation! – Strategi Mengenal Tujuan
2. Let’s Agile! – Kiat Mempertajam Mindset
3. Re-Design Your Thinking! – Cara Mendesain Sistem Berpikir Kita
4. Transformative Education – Mempersiapkan Pemimpin Masa Depan

🎁 HARGA SPESIAL PRE-ORDER (24 Juni – 31 Juli 2025)
🔸 Warna: Rp125.000/buku
🔸 Hitam Putih: Rp90.000/buku
💥 Beli 2 buku → Diskon 10%
💥 Beli 4 buku → HANYA Rp400.000 (warna) / Rp300.000 (hitam putih)

* BONUS:
Kelas GRATIS di Lokapasar Festival! (Untuk pemesanan 24 Juni – 2 Juli 2025).

Buku dapat langsung diambil di Lokapasar Festival yang akan diselenggarakan pada 7 Juli 2025, di Pasar Kreatif Jawa Barat

Gratis book signing dan konsultasi dengan mentor ahli

Info lebih lanjut mengenai Lokapasar Festival dapat diakses melalui instragram @lokapasar.festival

📲 Order sekarang via:
🔗 https://bit.ly/POManusiaKreatif
📞 WA: Putri 0816-777-379

📍 Follow: @thelocalenablers
📌 Jangan lewatkan juga keseruan kelas & aktivitas di Lokapasar Festival!

Shift!

Shift!

Banyak gerakan tumbuh dari keresahan, idealisme, & energi kolaboratif. Berkembang organik, cepat, & penuh semangat, mengandalkan nilai-nilai sebagai kompas tanpa bergantung pada struktur & prosedur. Banyak yang bergabung bukan karena posisi / sistem, tapi karena merasa terhubung dengan semangat perubahan. Namun seiring waktu, kami sadar bahwa keberlanjutan tak cukup hanya dengan semangat. Gerakan perlu fondasi kokoh, & di titik itulah profesionalisme hadir bukan untuk menggantikan nilai, tapi memperkuatnya.

Transisi dari gerakan ke entitas yang profesional bukan sekadar soal legalitas atau menarik investasi. Ini perubahan mendasar: dari pola pikir “saya bantu karena peduli” menjadi “saya hadir karena bertanggung jawab.” Ini pergeseran budaya, dari spontanitas ke konsistensi, dari relasi personal ke sistem, dari semangat ke indikator. Tantangannya nyata. Perlu belajar ulang cara mengelola & menumbuhkan organisasi, bukan sebagai komunitas sementara, tapi sebagai ekosistem berkelanjutan yang akuntabel.

Dalam teori Organizational Life Cycle (Adizes, 1979), transisi ini digambarkan sebagai pergeseran dari fase Go-Go yang penuh energi tapi ngga stabil menuju fase Adolescence penuh drama mempertentangkan antara idealisme awal & kebutuhan akan sistem. Masa ini penuh gesekan: sebagian merasa kehilangan semangat awal, sementara yang lain kewalahan menghadapi tuntutan administratif. Di sinilah pentingnya cultural transformation roadmap, bukan cuma menyusun SOP, tapi menanamkan kebiasaan baru sebagai identitas kolektif.

Studi institutionalization of innovation (Scott, 2001) menyebutkan pentingnya keseimbangan 3 pilar kelembagaan: struktur regulatif, norma budaya, & mindset kognitif. Profesionalisme sejati tak lahir dari kontrol, tapi dari kesadaran bahwa keberlanjutan butuh akuntabilitas. Kami belajar, sering kali dengan rasa berat bahwa tak semua yang memulai akan terus bertumbuh bersama. Itu wajar.

Perubahan organisasi adalah bagian dari seleksi sosial yang alamiah. Untuk melangkah dengan pemahaman baru: sadar bahwa profesionalisme bukan lawan dari semangat gerakan. Ia adalah kelanjutan yang perlu dibangun dengan kesadaran penuh✨

Mendengar itu mudah!

“Mendengar itu mudah!”
Ah, yang bener!

Semakin sering hadir di ruang rapat, kelas, atau diskusi, makin jelas bahwa mendengar bukan soal telinga—tapi soal kehadiran. Carl Rogers menyebut active listening sebagai hadir sepenuhnya, tanpa menghakimi, tanpa buru-buru membalas. Mendengar sejati bukan tentang diam saat orang bicara, tapi memberi ruang bagi mereka merasa benar-benar dilihat dan dihargai.

Martin Buber menyebut relasi semacam ini sebagai “Aku–Engkau”—relasi yang melihat orang lain sebagai subjek, bukan objek. Di tengah dunia yang penuh opini dan interupsi, mendengar dengan tulus jadi kemampuan langka! Kita lebih sibuk merespons daripada memahami. Padahal sering kali, yang dibutuhkan bukan solusi atau saran, melainkan seseorang yang benar-benar mau mendengarkan tanpa syarat.

Tapi jujur deh: mendengar seperti ini tak datang begitu saja. Ada levelnya. Otto Scharmer dalam Theory U menyebutkan bahwa mendengar bisa dangkal, bisa juga transformatif. Di tingkat paling rendah—downloading—kita hanya menangkap apa yang ingin kita dengar. Tapi di tingkat tertinggi, generative listening, kita hadir dengan keterbukaan penuh, bahkan terhadap hal yang belum pernah terbayangkan. Di titik ini, mendengar bukan lagi soal memahami masa lalu, tapi merasakan potensi masa depan. Namun… mendengar di level ini butuh sesuatu yang sering luput kita bangun: rasa aman.

Di sinilah peran psychological safety, seperti dijelaskan Amy Edmondson. Mendengar mendalam hanya mungkin jika ada ruang yang membuat orang merasa diterima, tidak dihakimi & bebas mengungkapkan diri. Ini bukan soal keras atau lembut, tapi kepercayaan. Dalam ruang yang aman secara psikologis, orang berani bicara, bereksperimen, dan berbagi ide tanpa takut salah. Dan itulah titik di mana mendengar bukan cuma aktivitas personal—tapi fondasi dari budaya kolaboratif.

Itulah kenapa Design Thinking selalu dimulai dari empati. Tanpa mendengar, tak ada empati, tanpa empati, inovasi kehilangan arah. Mendengar membantu kita menangkap kebutuhan tersembunyi, melampaui asumsi & mencipta solusi yang bermakna. Di sini, mendengar bukan keterampilan tambahan—yapi kunci utama dalam menciptakan perubahan yang relevan & memanusiakan✨

Memilah Teman, Menyaring Arah

Memilah Teman, Menyaring Arah

Di era yang penuh koneksi, kita sering salah kaprah membangun relasi. Kita kira sering berinteraksi berarti dekat, padahal tidak semua orang yang sering berbincang layak disebut teman—apalagi teman kolaborasi. Baik dalam konteks pribadi maupun profesional, pertemanan yang sehat butuh satu hal mendasar: tujuan bersama. Tanpa arah yang jelas, obrolan yang terasa hangat bisa jadi jebakan emosional, membelokkan perhatian dari hal-hal substansial ke ranah personal.

Dalam relasi kolaboratif, kedekatan emosional saja tidak cukup. Radical Collaboration – Tamm & Luyet—menekankan pentingnya visi bersama, saling menghargai, dan komunikasi yang jujur. Tanpa fondasi ini, relasi mudah terjebak dalam percakapan yang dangkal & rentan konflik, karena tidak ada kesepakatan arah. Kita bisa terlalu cepat terbuka, tanpa menyadari bahwa lawan bicara belum siap menjadi bagian dari ruang yang sama.

Konsep ini sejalan dengan Circle of Trust – Parker J. Palmer, yang menyarankan agar kita hanya berbagi hal mendalam kepada mereka yang benar-benar bisa menjaga arah dan kepercayaan. Prinsip ini bukan soal menutup diri, tapi menjaga agar relasi tetap sehat. Dalam kolaborasi, ini berarti menjaga diskusi tetap fokus, jujur & aman. Tidak semua orang yang terlihat dekat, benar-benar memahami kemana kita sedang melangkah.

Jika arah sudah tak lagi sama, tidak apa-apa menurunkan status relasi: dari teman jadi kenalan, dari kolaborator jadi rekan biasa. Ini bukan sikap eksklusif, tapi cara mengelola energi dan arah. Kita tak bisa melangkah jauh dengan orang yang bergerak ke arah berlawanan. Karena itu, perlu keberanian untuk mengevaluasi ulang: siapa yang menumbuhkan, siapa yang sekadar mengisi ruang.

Akhirnya, memilih teman kolaboratif bukan soal membatasi, tapi soal mengarahkan. Di dunia kerja, komunitas, bahkan kehidupan spiritual, relasi terbaik adalah yang menjaga kita tetap pada tujuan—bukan yang menguras perhatian pada hal personal yang tak perlu. Semakin jelas arah kita, semakin mudah membangun kolaborasi yang jujur, bermakna & berdampak. Karena di dunia yang bising ini, kita tak butuh banyak suara—kita butuh gema dari arah yang sejalan✨

Digaji untuk Mimpi, Dihabiskan untuk Deadline?

Digaji untuk Mimpi, Dihabiskan untuk Deadline?

Dalam diskusi santai bersama tim, muncul satu hal yang mengusik: sebagian besar tenaga dan waktu kita terserap untuk pekerjaan teknis yang hasilnya langsung terlihat. Proyek mendesak terasa lebih penting karena tekanan waktunya nyata dan imbalannya cepat dirasakan. Padahal, mereka juga digaji untuk mengerjakan hal-hal strategis—yang justru menentukan arah jangka panjang. Tapi karena hasilnya tidak instan, kerja strategis sering terlupakan begitu saja.

Masalahnya bukan soal kurang niat, tapi soal bagaimana manusia cenderung memilih yang terasa dekat. Dalam psikologi perilaku, ini dikenal sebagai Time Horizon Bias—kecenderungan fokus pada hasil jangka pendek, meskipun nilainya tak sebesar dampak jangka panjang. Akibatnya, kita terus sibuk mengejar yang cepat terlihat, tapi perlahan kehilangan arah. Tanpa sadar, tim bisa aktif bergerak, tapi tidak benar-benar maju.

Dari sisi motivasi, Expectancy Theory – Victor Vroom menjelaskan bahwa orang akan terdorong jika yakin usahanya menghasilkan sesuatu yang dihargai. Jika kerja strategis tidak dibicarakan, tidak diakui, atau tidak dihargai, wajar jika energi beralih ke pekerjaan yang lebih cepat terasa hasilnya. Apalagi bila sistem reward lebih menekankan proyek jangka pendek. Lama-kelamaan, cara kerja yang instan jadi kebiasaan: cepat selesai, cepat dibayar—tapi miskin arah.

Karena itu, visi tak cukup jadi pajangan di dinding atau slide pembuka di awal tahun. Visi perlu hadir dalam percakapan, proses, dan cara tim menilai kemajuan. Ia harus dihidupkan setiap hari—bukan sebagai jargon, tapi sebagai pengarah langkah. Ketika visi bisa dirasakan dan dihubungkan dengan pekerjaan harian, kerja strategis tidak lagi terasa jauh. Ia jadi sesuatu yang nyata, dikejar bersama, dan dirayakan bersama.

Tulisan ini bukan sekadar refleksi, tapi pengingat: membangun sesuatu yang bertahan lama butuh keberanian memberi ruang bagi hal-hal yang belum terlihat hasilnya. Di situlah esensi strategi—tak selalu mendesak, tapi sangat menentukan. Dan mungkin, di situlah pula kedewasaan organisasi diuji: apakah kita sekadar sibuk, atau benar-benar sedang menuju sesuatu yang bermakna✨

Pemimpin Tanpa Praktik = Retorika Kosong

Pemimpin Tanpa Praktik = Retorika Kosong

Di ruang kelas dan ruang rapat, kita kerap menjumpai mereka yang fasih berbicara soal nilai—tentang integritas, kejujuran, atau kepemimpinan berbasis nilai. Namun sering kali, kata-kata itu tidak sejalan dengan tindakan. Dalam teori Cognitive Dissonance (Festinger), ini menciptakan ketegangan batin: ketika apa yang diajarkan tidak dijalani, hati dan pikiran tidak lagi selaras. Dan dalam organisasi, disonansi ini bukan hanya melukai individu, tapi menular sebagai budaya yang kehilangan arah. Seperti kata Carl Jung -You are what you do, not what you say you’ll do-

Jürgen Habermas menyebut ini sebagai performative contradiction: berbicara soal kebenaran, tapi hidup dalam kebohongan kecil yang berulang. Dalam kepemimpinan, ini adalah ironi paling mematikan—sebab kepercayaan tim tidak tumbuh dari narasi, tapi dari keutuhan antara nilai dan aksi. Pemimpin yang kehilangan integritas bukan hanya kehilangan wibawa, tapi juga menciptakan ruang kosong di mana kejujuran hanya jadi jargon. “The true test of leadership is how well you function in a crisis—especially when no one is watching.” -Brian Tracy-

Dalam pendidikan, Paulo Freire menegaskan bahwa pembelajaran sejati terjadi bukan hanya lewat ucapan, tapi melalui praxis: integrasi refleksi dan aksi. Di sinilah letak hidden curriculum—murid lebih cepat meniru apa yang guru lakukan daripada apa yang ia ucapkan. Lawrence Kohlberg pun mengingatkan, “Moral reasoning is not moral behavior.” Memahami nilai tak cukup; tanpanya, guru atau pemimpin hanya mengulang doktrin yang kehilangan ruh.

Tradisi Islam memperkuat pesan ini dengan tajam: ilmu tanpa amal adalah bentuk kemunafikan. “Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan namun melupakannya untuk dirinya sendiri adalah seperti pelita yang menerangi orang lain, namun membakar dirinya sendiri.”

Dalam pendidikan dan kepemimpinan, keteladanan bukan tambahan—ia inti dari transformasi. Sebab sejatinya, nilai tak perlu diteriakkan jika ia telah diwujudkan dalam laku.✨

Sertifikasi Design Thinking

🚀 Ciptakan Kebijakan Publik yang Lebih Inovatif, Kolaboratif, dan Berpusat pada Masyarakat! 🌍✨”

Apakah kebijakan publik saat ini sudah benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat? 🤔 Dengan Design Thinking, kita bisa merancang kebijakan yang lebih human-centered, berbasis data, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk solusi yang lebih inovatif dan berkelanjutan!

📍 Makassar | 19-20 Maret 2025
🎯 Untuk akademisi, pembuat kebijakan, birokrat, serta aktivis & LSM yang ingin menghadirkan perubahan nyata!

🔥 Daftar sekarang dan jadi bagian dari transformasi kebijakan publik! 🚀

Result Criteria

Kriteria RESULT yang Efektif untuk Meningkatkan Performa Tim Agile & OKRs 🚀

Optimalkan hasil kerja tim Anda dengan memastikan setiap RESULT yang ditetapkan memenuhi 6 kriteria penting ini:

🎯 Spesifik: Definisikan tujuan dengan jelas dan terukur.
⏳ Ada Batas Waktu: Tetapkan tenggat waktu yang realistis untuk menjaga momentum.
💪 Agresif: Tantang tim untuk mencapai hasil yang melebihi ekspektasi.
✅ Dapat Diverifikasi: Pastikan tujuan dapat diukur dan diverifikasi secara objektif.
📢 Transparan: Komunikasikan tujuan dan kemajuan secara terbuka untuk meningkatkan akuntabilitas.
⚖️ Realistis: Pastikan tujuan dapat dicapai dengan sumber daya yang tersedia.

Dengan menerapkan kriteria RESULT ini, Anda dapat mengoptimalkan metode Agile dan OKRs untuk mencapai hasil yang lebih baik dan berkelanjutan. 📈