Buku Manusia Kreatif

Edisi Terbaru Seri Buku Manusia Kreatif telah hadir!

📚 4 Buku | 2 Versi | Banyak Inspirasi 🔥

Kini, seri buku Manusia Kreatif hadir dalam 2 versi:
📘 Versi Berwarna – dengan ilustrasi dan elemen visual penuh warna yang memperkaya pengalaman membaca.
⚫ Versi Hitam Putih – lebih ekonomis, tetap dengan konten dan kualitas cetak yang sama, hanya berbeda di pewarnaan isi halaman

✨ 4 Judul Buku Seri MANUSIA KREATIF:
1. Activation! – Strategi Mengenal Tujuan
2. Let’s Agile! – Kiat Mempertajam Mindset
3. Re-Design Your Thinking! – Cara Mendesain Sistem Berpikir Kita
4. Transformative Education – Mempersiapkan Pemimpin Masa Depan

🎁 HARGA SPESIAL PRE-ORDER (24 Juni – 31 Juli 2025)
🔸 Warna: Rp125.000/buku
🔸 Hitam Putih: Rp90.000/buku
💥 Beli 2 buku → Diskon 10%
💥 Beli 4 buku → HANYA Rp400.000 (warna) / Rp300.000 (hitam putih)

* BONUS:
Kelas GRATIS di Lokapasar Festival! (Untuk pemesanan 24 Juni – 2 Juli 2025).

Buku dapat langsung diambil di Lokapasar Festival yang akan diselenggarakan pada 7 Juli 2025, di Pasar Kreatif Jawa Barat

Gratis book signing dan konsultasi dengan mentor ahli

Info lebih lanjut mengenai Lokapasar Festival dapat diakses melalui instragram @lokapasar.festival

📲 Order sekarang via:
🔗 https://bit.ly/POManusiaKreatif
📞 WA: Putri 0816-777-379

📍 Follow: @thelocalenablers
📌 Jangan lewatkan juga keseruan kelas & aktivitas di Lokapasar Festival!

User-Centric, Bukan Monetisasi Terselubung!

User-Centric, Bukan Monetisasi Terselubung!

“Produk ini sangat membantu kami, tapi terlalu mahal untuk dipakai terus-menerus.”

Kalimat ini sering terdengar, terutama dari mereka yang paling membutuhkan solusi namun justru tak mampu menjangkaunya. Masalahnya bukan pada kualitas produk, tapi pada logika bisnis yang menjadikan kebermanfaatan sebagai alasan untuk menaikkan harga. Di balik jargon inovasi, tersembunyi praktik monetisasi yang tak selalu berpihak.

Padahal, Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010) dirancang untuk menyeimbangkan tiga dimensi utama: desirability (apakah pengguna menginginkan), feasibility (apakah organisasi mampu menciptakan), dan viability (apakah bisa berkelanjutan). Namun dalam praktiknya, keberhasilan menciptakan value proposition sering disalahartikan sebagai izin moral untuk mematok harga setinggi mungkin.

Liedtka et al. (2017) mengingatkan bahwa inovasi harus berangkat dari empati. User-centricity berarti menyelami kenyataan hidup pengguna—bukan hanya apa yang mereka inginkan, tapi juga apa yang mampu mereka jangkau. Solusi yang benar-benar berpihak tidak hanya hadir dalam bentuk produk yang baik, tapi juga dalam akses yang adil.
Di sinilah kreativitas model bisnis diuji. Bukan dengan menaikkan harga, tapi dengan merancang ulang blok kiri BMC; Key Activities, Key Resources, dan Key Partners, untuk menciptakan efisiensi, menjalin kolaborasi, dan mendistribusikan biaya tanpa membebani pengguna. Banyak organisasi gagal di titik ini: mereka punya misi mulia, tapi model bisnisnya justru menciptakan ketimpangan akses.

Seperti dijelaskan oleh Hurst (2014) dalam The Purpose Economy, organisasi masa depan adalah mereka yang menjaga nyala misi tanpa membakar daya jangkau penggunanya. Menjadi purpose-led berarti menempatkan pengguna sebagai mitra perubahan, bukan target profit. Dan menjadi user-centric berarti berani mengatur ulang logika bisnis agar nilai yang diciptakan bisa dinikmati oleh yang membutuhkan, bukan hanya yang mampu membayar✨

Jangan bilang lagi kami punya“produk, tapi kami punya “solusi”

Jangan bilang lagi kami punya“produk,
tapi kami punya “solusi”

Jangan buru-buru bilang punya produk, kalau yang ditawarkan belum menjawab kebutuhan nyata. Dalam proses inovasi, terlalu banyak yang merasa selesai hanya karena telah menciptakan sesuatu. Padahal, dalam kacamata Design Thinking (DT) menciptakan produk hanyalah output. Ia belum tentu menjawab masalah, belum tentu digunakan, apalagi berdampak.

Seperti dijelaskan oleh Brown (2009) dalam Change by Design, DT menekankan pentingnya memulai inovasi dari empati pada pengguna, bukan dari teknologi / ide semata.

DT mengajarkan bahwa titik tolak inovasi bukan pada “apa yang bisa kita buat”, melainkan “masalah siapa yang kita pecahkan.” Mindset ini menuntut kita untuk turun ke lapangan, mendengar keluhan & harapan pengguna, serta menyelami konteks mereka secara utuh.

Produk yang berhasil bukan hanya yang selesai dibuat (done), tetapi yang terbukti digunakan & berdampak. Liedtka (2015), mengungkapkan bahwa pendekatan ini berorientasi pada penciptaan outcomes, perubahan perilaku, pengalaman yang lebih baik & penyelesaian masalah yang relevan, bukan hanya produk yang rapi secara teknis.

Dengan kata lain, produk yang tidak relevan sama saja dengan menjual payung di tengah kemarau. Tampak fungsional, tapi tak dibutuhkan. Inilah mengapa Tim Brown (2009) menyebut inovator sebagai “integrator of desirability, feasibility, and viability”, mereka bukan cuma pembuat barang, tapi penyelesai masalah. Inovasi tidak dilihat dari keunikan produknya, tapi dari kedalaman pemahamannya terhadap manusia. Human-centered innovation menempatkan pengguna sebagai titik pusat dari setiap keputusan desain, bukan sekadar sasaran akhir dari produk jadi.

Berhentilah sekadar memamerkan produk. Mulailah bicara tentang solusi. Bukan “kami sudah punya aplikasi”, tapi “kami bantu petani menjual hasil panen tanpa tengkulak.” Bukan “kami bikin platform digital”, tapi “kami bantu UMKM mengelola keuangan tanpa pusing.” Kita tak kekurangan teknologi, tapi kekurangan empati yang diwujudkan jadi solusi bermakna. Kelley & Kelley (2013) bilang, inovasi sejati lahir dari keberanian untuk bertanya: apa dampak yang benar-benar ingin kita ciptakan?

The Pitch Canvas

Kebahagiaan itu muncul tat kala melihat jelas bagaimana peserta bertransformasi secara mendalam, bukan hanya dalam cara membuat presentasi, tapi juga dalam memahami esensi inovasi itu sendiri. Di awal, sebagian besar masih berpikir bahwa membuat aplikasi atau alat berarti sudah berinovasi. Namun, seiring berjalan, mereka mulai menyadari bahwa inovasi yang bermakna justru lahir dari pemahaman akan kesulitan pengguna di lapangan, dari proses yang berbelit, dari titik-titik friksi yang nyata. Di sinilah pendekatan user-centric mulai mengambil alih, menggantikan logika lama yang hanya berpusat pada produk.

Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam isi, tapi juga dalam cara mereka menyampaikan. Jika sebelumnya mereka bergantung pada slide dan penjelasan teknis yang kaku, kini mereka mampu membawakan kisah inovasi dengan alur yang runtut, humanis, dan menyentuh. Mereka mulai bercerita, bukan hanya memaparkan. Visual-visual proses bisnis, simulasi kerugian waktu dan biaya, hingga potensi dampak nasional mulai tampil dengan jelas. Bahkan, dalam waktu hanya lima menit, mereka bisa membuat pendengar memahami urgensi, solusi, dan manfaat dari inovasi yang dibawanya.

Satu hal penting lainnya adalah munculnya kesadaran akan perbedaan antara invensi dan inovasi. Mereka mulai paham bahwa membuat hal baru saja tidak cukup. Inovasi adalah ketika hal itu dipakai, menyelesaikan masalah nyata, dan berdampak pada efisiensi, keselamatan, atau pelayanan pelanggan. Beberapa tim bahkan mulai menghitung: berapa menit waktu yang bisa dihemat, berapa rupiah potensi kerugian yang bisa ditekan, dan apa implikasinya jika solusi ini direplikasi secara nasional. Ini adalah lompatan berpikir yang sangat berarti.

Namun agar transformasi ini tidak berhenti di ruang lomba, perlu langkah yang sistemik. Rekomendasinya adalah membangun ekosistem inovasi internal yang memungkinkan gagasan terus tumbuh, diuji, dibagikan, dan disempurnakan. Sebuah platform yang bukan hanya mendokumentasikan solusi, tapi juga memfasilitasi kolaborasi, pendampingan, dan replikasi lintas unit. Dengan itu, inovasi bukan lagi acara musiman, tapi budaya kerja yang hidup & berkembang di setiap lini, terimakasih @pln_jabar🎉

Berhenti Ngomong “Ga Ada Anggaran”

“Saya cuma staf biasa, Pak. Yang penting ikut aturan.”

Kalimat ini mungkin terdengar biasa, tapi bagi fasilitator Design Thinking, ini sinyal darurat. Karena ketika seseorang berhenti merasa punya suara, maka ide-ide berhenti tumbuh. Karakter divergen, yang jadi nyawa dari tahap awal Design Thinking seperti empati dan define, hanya akan muncul jika kita merasa aman untuk berbeda, mengganggu, dan bertanya “kenapa tidak?”, dan ini sangat ditentukan oleh bahasa yang digunakan sehari-hari di organisasi.

Bahasa adalah pembuka atau penutup ruang divergensi. Kata “salah”, “nggak sesuai SOP”, “tunggu atasan dulu”, adalah tembok kecil yang menghancurkan imajinasi besar. Sebaliknya, kalimat seperti “apa yang bisa kita eksplorasi?”, “menurut kita bagaimana?”, atau “nggak apa-apa, ini belum tepat” adalah pintu masuk menuju diskusi yang lebih terbuka. Amy Edmondson (2019) menyebut ini sebagai psychological safety,x rasa aman untuk bicara, mencoba, bahkan salah, dan itu dimulai dari bahasa. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang-ulang solusi yang nyaman, bukan menjelajah kemungkinan yang dibutuhkan.

Karakter divergen butuh lingkungan yang bahasanya lentur dan menghargai eksplorasi. Maka dalam praktik Design Thinking, kita tidak hanya butuh metode, tapi juga atmosfer. Dan atmosfer dibangun dari kata-kata. “Tugas” bisa diganti jadi “proyek eksplorasi”, “deadline” bisa jadi “kesepakatan waktu”, “memilih” bisa menjadi “meramu”. Ini bukan manipulasi bahasa, tapi desain ulang mindset. Carol Dweck (2006) menyebutnya sebagai growth mindset, yang mendorong kita melihat kemampuan bukan sebagai sesuatu yang tetap, tapi bisa dikembangkan, selama ada ruangnya.

Maka jika tim kita buntu, jangan buru-buru ganti framework. Coba dulu dengarkan bahasanya. Apakah sudah memberi ruang untuk berpikir divergen, atau justru memperkuat pola pikir konvergen yang serba takut salah? Di era ketidakpastian, kita butuh lebih dari sekadar metode. Kita butuh cara bicara yang menumbuhkan keberanian berpikir beda. Karena dari sana, inovasi lahir🚀

Constructivist Learning

Ilmu itu seperti air bagi sawah. Ia menyuburkan, menghidupkan, dan menjadikan tanah lebih mudah dibentuk. Tanah yang rutin dialiri air akan siap menumbuhkan benih, sementara tanah yang kering mengeras dan sulit diolah. Begitu pula akal manusia, ketika tak disiram ilmu, ia menjadi kaku dan tertutup pada perubahan. Dalam khazanah Islam, Imam Syafi’i pernah berpesan, “Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai engkau menyerahkan seluruh dirimu padanya.” Artinya, ilmu tak cukup dikejar sesekali; ia harus dialiri terus-menerus agar membentuk diri seutuhnya.

Yang menarik, walaupun airnya sama, sawah tetap perlu disiram berulang. Demikian pula ilmu: meskipun topiknya terasa akrab, pengulangan justru memperdalam pemahaman. Dalam pandangan constructivist learning (Piaget, Vygotsky), belajar bukan proses menyerap, melainkan membangun makna secara bertahap. Anders Ericsson menyebut bahwa pengulangan yang sadar dan reflektif, deliberate practice, adalah satu-satunya jalan menuju keahlian. Maka, mengulang bukan pertanda ketidaktahuan, melainkan proses menuju ketajaman berpikir dan keluasan makna.

Tantangan masa kini adalah ilusi “sudah tahu” di tengah banjir informasi. Nicholas Carr dalam The Shallows mengingatkan bahwa internet mendorong kita membaca cepat namun dangkal, menjauh dari kedalaman berpikir. Mengulang belajar, dalam konteks ini, justru menjadi bentuk ketahanan intelektual. Peter Senge (1990) bahkan menegaskan bahwa manusia dan organisasi yang terus belajar dengan kesadaran akan lebih adaptif terhadap perubahan yang kompleks. Maka, pengulangan bukan kemunduran, ia adalah disiplin untuk tumbuh lebih dalam.

Berhenti belajar hanya karena topiknya terasa familiar adalah jebakan. Justru dalam pengulangan, kita diperdalam dan dipertajam. Belajar bukan hanya tentang mengejar yang baru, tapi juga tentang menjaga agar yang lama tetap hidup dan bermakna. Seperti sawah yang tetap dialiri meski belum panen, pikiran pun harus terus dialiri ilmu agar tak mengeras. Karena keberkahan ilmu bukan hanya pada apa yang dipahami hari ini, tapi pada kerendahan hati untuk terus dibentuk oleh prosesnya 🌾🌾🌾🌾🌾

Manajemen Inovasi atau Manajemen Perubahan

Kita sering diajak berinovasi,
tapi jarang diajak bersiap berubah.

Inilah ironi yang membekap banyak organisasi besar. Ide-ide segar terus digaungkan, jargon inovasi terpampang dalam roadmap dan strategi. Namun saat masuk ke eksekusi, semuanya mentok di dinding tak kasatmata: resistensi manusia, prosedur yang kaku, dan budaya yang diam-diam menolak gangguan. Sebagus apa pun inovasinya, jika sistem tidak memberi ruang, ia akan layu sebelum sempat tumbuh.

Secara esensial, manajemen inovasi adalah tentang menciptakan hal-hal baru yang relevan, seperti produk, proses, layanan, atau model bisnis. Namun mencipta saja tidak cukup. Manajemen perubahan-lah yang memastikan organisasi siap menerima, mampu menjalankan, dan mau mempertahankan hal baru itu. Keduanya bukan dua tahap berurutan, melainkan dua napas yang harus beriringan. Seperti dijelaskan oleh Teece et al. (1997) dalam konsep dynamic capabilities, organisasi hanya akan bertahan jika mampu berinovasi dan bertransformasi secara simultan, seiring perubahan lingkungan dan kekuatannya sendiri.

Tantangannya bukan sekadar melahirkan ide baru, tapi mengguncang kenyamanan cara lama. Budaya kerja yang menstabilkan, insentif yang mengutamakan kepatuhan, serta SOP yang melanggengkan status quo adalah jebakan sistemik yang meredam nyali inovasi. Christensen (1997) menyebutnya the innovator’s dilemma, organisasi paling sukses seringkali justru yang paling sulit bergerak karena terlalu nyaman dengan kemenangan masa lalu.

Maka, pertanyaan strategis kita bukan lagi, “mana duluan, perubahan atau inovasi?” Melainkan, “apakah organisasi kita cukup luwes untuk menjalankan keduanya secara berkelindan?” Sebab inovasi tanpa perubahan hanya jadi wacana, dan perubahan tanpa inovasi hanya jadi kosmetik organisasi. Dalam dunia yang terus bergerak, hanya organisasi yang mampu mencipta sambil berubah yang akan bertahan dan tetap relevan.

Karir Konvensional Vs Karir Konstributif

Di tengah derasnya transformasi digital & tekanan ekonomi yang kompleks, mulai dari tingginya ketimpangan sektor informal, stagnasi produktivitas, hingga ketidakselarasan antara pendidikan & lapangan kerja, cara lama dalam memaknai karir makin terasa usang.

Banyak orang masih terjebak dalam jalur karir konvensional yang vertikal: naik jabatan, mengumpulkan gelar, dan mengejar keamanan posisi. Namun, data menunjukkan bahwa 57% pekerja Indonesia berada di sektor informal & lebih dari 40% lulusan perguruan tinggi tak bekerja sesuai keahliannya (BPS, 2023). Di balik angka-angka itu tersembunyi satu krisis besar: krisis makna & relevansi karir.

Sebagai respons terhadap situasi tersebut, pendekatan karir kontributif mulai mencuat. Karir tak lagi hanya soal naik ke atas, tapi tentang melebar ke sekitar, dari posisi ke partisipasi, dari promosi ke kontribusi. Inilah pergeseran yang diusung oleh berbagai teori kontemporer seperti Protean Career (Hall), Boundaryless Career (Arthur & Rousseau) & Career Construction (Savickas), yang menekankan pentingnya refleksi, fleksibilitas & nilai personal dalam merancang arah hidup. Namun, pendekatan ini bukan menafikan pentingnya struktur vertikal, justru mengarahkan agar setiap jenjang dan posisi memiliki makna sosial, bukan hanya administratif.

Dalam konteks ini, Design Thinking tidak hadir sebagai alat semata, tetapi sebagai pola pikir yang memungkinkan individu membaca ulang realitas, merumuskan ulang peran, dan mencoba ulang arah. Dengan berlandaskan empati, eksplorasi ide & keberanian untuk memulai prototipe kecil, Design Thinking menawarkan kerangka bertindak di tengah ketidakpastian. Ia memfasilitasi kita untuk tidak sekadar bertahan, tetapi mendesain ulang kehidupan profesional yang adaptif, kontekstual & bermakna, baik dalam sistem kerja formal maupun dalam lintas proyek sosial.

Kini, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah karir masih tentang ‘menjadi lebih tinggi’? Atau sudah saatnya bertanya: “Siapa yang terbantu karena aku bekerja?” Karir kontributif bukan hanya masa depan individu, tetapi juga masa depan masyarakat. Di tengah dunia yang tak menentu, kontribusi adalah satu-satunya kepastian yang bisa kita bangun.

Servant Leadership

Banyak organisasi kecewa ketika orang-orang terbaik yang sudah dilatih justru pergi. “Buat apa capek-capek memberdayakan tim kalau hasilnya tak pasti?” Ini pertanyaan yang terdengar rasional, tapi justru menyingkap krisis kepemimpinan: apakah kita benar-benar ingin menumbuhkan manusia, atau sekadar mengoptimalkan mesin kerja? Sejumlah studi seperti Thomas & Velthouse (1990) & Spreitzer (1995) menunjukkan bahwa pemberdayaan tim meningkatkan rasa makna, kendali, & kontribusi. Dan manusia yang merasa pekerjaannya bermakna, cenderung bertahan & berkembang melampaui ekspektasi teknis.

Namun, investasi pada manusia memang tak selalu menghasilkan jalan mulus. Ada yang tidak berubah meski sudah diberi kepercayaan. Ada yang pergi setelah dilatih. Tapi seperti yang ditekankan oleh Greenleaf (1977) dalam konsep servant leadership, tugas pemimpin bukan menuai hasil secepat mungkin, melainkan menanam kebaikan yang berdampak panjang. Budaya kerja yang sehat dibentuk bukan oleh kontrol, tapi oleh kepercayaan & kesediaan untuk terus menumbuhkan meski hasilnya belum pasti. Dan dalam dunia yang makin kompleks, organisasi yang bisa bertahan adalah yang mampu membangun orang, bukan sekadar struktur.

Lalu mengapa tetap dilakukan, jika berisiko? Karena keberkahan tidak lahir dari kalkulasi semata. Dalam kerangka spiritual leadership (Fry, 2003), keberkahan hadir saat ada niat tulus, harapan kolektif, & cinta altruistik dalam kerja. Konsep barakah dalam Islam pun mengajarkan bahwa nilai suatu tindakan tidak ditentukan dari besarnya hasil, tapi dari manfaat yang terus mengalir dan niat yang lurus. *Memberdayakan tim, meski berat, meski tidak semua membalas dengan loyalitas*, adalah bentuk ikhtiar yang bernilai ibadah ketika dilakukan dengan ikhlas dan konsisten.

Jika keberkahan adalah tujuan, maka memberdayakan tim bukan sekadar strategi, ia adalah napas organisasi yang hidup. Kita bisa memilih menjadi organisasi yang cepat sukses tapi rapuh, atau organisasi yang tumbuh lambat tapi berakar kuat. Sebab dalam dunia yang penuh disrupsi, hanya mereka yang menumbuhkan manusia dengan niat baik yang akan benar-benar membangun masa depan, jadi amal jariah.

Selamat berproses membangun tim!