Inovasi Nggak Cuma Soal Hal Baru

Kita pikir inovasi itu soal fitur baru, ide disruptif, atau teknologi tercanggih. Tapi ternyata, banyak perubahan besar justru berakar dari hal kecil, cara kita bersikap, merespons rekan kerja, atau mengambil keputusan. Bukan soal seberapa canggih idenya, tapi apakah perilakunya berubah? Di sinilah kita keliru: kita ingin transformasi, tapi perilakunya masih stagnan.

BJ Fogg mengajarkan bahwa perubahan bisa dimulai dari lima hal: memulai hal baru (green behavior), menghidupkan ulang yang dulu sempat baik (blue), meningkatkan frekuensi aksi positif (purple), mengurangi hal yang tidak sehat (gray), atau bahkan menghentikan total kebiasaan merusak (black). Ini bukan teori abstrak, ini bisa berarti sesederhana: “Berhenti menyalahkan user kalau fitur gagal dipakai.”

Tapi mengapa sulit dilakukan? Karena kita terlalu sering mengandalkan sistem dan SOP, tapi lupa membiasakan percakapan sehari-hari yang membangun. Kita ingin tim kreatif, tapi tak berani membuka ruang untuk gagal. Kita ingin budaya kolaboratif, tapi meeting masih jadi ajang kompetisi ego. Perubahan budaya bukan proyek HR, tapi urusan setiap individu di dalamnya.

Cobalah satu perubahan saja minggu ini. Minta feedback secara terbuka. Ucapkan terima kasih sebelum mengkritik. Matikan notifikasi 30 menit sebelum brainstorming. Jangan tunggu manajemen. Karena seperti kata Peter Senge: “People don’t resist change. They resist being changed.” Tapi mereka akan berubah… kalau diajak memulai dari sesuatu yang bisa mereka rasakan dan percayai.

Mencetak Enablers Butuh Proses, Bukan Hanya Pelatihan

Perubahan jarang datang dari atas. Ia lahir dari orang-orang yang memilih bergerak di level paling dekat dengan realita, anak-anak muda yang sadar bahwa kontribusi tidak harus menunggu jabatan. Mereka belajar memahami konteks, membangun kepercayaan, dan menjadi jembatan antara harapan dan aksi nyata. Di The Local Enablers, mereka disebut enablers: bukan tokoh utama, tapi kunci yang menyambungkan sistem dengan masyarakat (Leadbeater, 2008; Westley et al., 2013).

Mencetak enablers butuh proses, bukan hanya pelatihan. Dibutuhkan ruang aman untuk salah, komunitas yang saling dorong, dan sistem pendampingan yang membumi. Wenger (1998) menyebutnya sebagai communities of practice—tempat di mana orang belajar bukan hanya dari materi, tapi dari perjumpaan dan kolaborasi. Ini sejalan dengan prinsip experiential learning (Kolb, 1984), di mana kapasitas dibentuk lewat siklus mencoba, merefleksi, dan memperbaiki secara terus-menerus.

Tantangannya bukan sekadar membuat mereka aktif, tapi memastikan mereka punya kapasitas untuk berdampak. Enablers masa kini harus bisa memetakan masalah, merancang solusi yang relevan, dan mengelola perubahan dengan cara yang inklusif. Heifetz dan Linsky (2002) menyebut ini sebagai bentuk adaptive leadership; memimpin tanpa otoritas formal, tapi punya pengaruh karena kredibilitas, empati, dan konsistensi.

Proses ini tidak sedang membentuk bintang, tapi ekosistem. Karena perubahan besar sering kali dimulai dari sekelompok kecil yang bekerja dengan hati, bukan sorotan. Dan kalau hari ini kita terus mencetak enablers, maka esok kita tak hanya punya program yang berjalan, kita punya generasi yang terus menyalakan dampak.

Jangan Lelah Berproses @thelocalenablers

Apreciate to the all co-supervisors

@nizzahnaf co supervised by @gitanoor
@alyahst co supervised by @mangroisz
@anggitameliaaa co supervised by @yulistyne

Jangan bilang lagi kami punya“produk, tapi kami punya “solusi”

Jangan bilang lagi kami punya“produk,
tapi kami punya “solusi”

Jangan buru-buru bilang punya produk, kalau yang ditawarkan belum menjawab kebutuhan nyata. Dalam proses inovasi, terlalu banyak yang merasa selesai hanya karena telah menciptakan sesuatu. Padahal, dalam kacamata Design Thinking (DT) menciptakan produk hanyalah output. Ia belum tentu menjawab masalah, belum tentu digunakan, apalagi berdampak.

Seperti dijelaskan oleh Brown (2009) dalam Change by Design, DT menekankan pentingnya memulai inovasi dari empati pada pengguna, bukan dari teknologi / ide semata.

DT mengajarkan bahwa titik tolak inovasi bukan pada “apa yang bisa kita buat”, melainkan “masalah siapa yang kita pecahkan.” Mindset ini menuntut kita untuk turun ke lapangan, mendengar keluhan & harapan pengguna, serta menyelami konteks mereka secara utuh.

Produk yang berhasil bukan hanya yang selesai dibuat (done), tetapi yang terbukti digunakan & berdampak. Liedtka (2015), mengungkapkan bahwa pendekatan ini berorientasi pada penciptaan outcomes, perubahan perilaku, pengalaman yang lebih baik & penyelesaian masalah yang relevan, bukan hanya produk yang rapi secara teknis.

Dengan kata lain, produk yang tidak relevan sama saja dengan menjual payung di tengah kemarau. Tampak fungsional, tapi tak dibutuhkan. Inilah mengapa Tim Brown (2009) menyebut inovator sebagai “integrator of desirability, feasibility, and viability”, mereka bukan cuma pembuat barang, tapi penyelesai masalah. Inovasi tidak dilihat dari keunikan produknya, tapi dari kedalaman pemahamannya terhadap manusia. Human-centered innovation menempatkan pengguna sebagai titik pusat dari setiap keputusan desain, bukan sekadar sasaran akhir dari produk jadi.

Berhentilah sekadar memamerkan produk. Mulailah bicara tentang solusi. Bukan “kami sudah punya aplikasi”, tapi “kami bantu petani menjual hasil panen tanpa tengkulak.” Bukan “kami bikin platform digital”, tapi “kami bantu UMKM mengelola keuangan tanpa pusing.” Kita tak kekurangan teknologi, tapi kekurangan empati yang diwujudkan jadi solusi bermakna. Kelley & Kelley (2013) bilang, inovasi sejati lahir dari keberanian untuk bertanya: apa dampak yang benar-benar ingin kita ciptakan?

Berhenti Ngomong “Ga Ada Anggaran”

“Saya cuma staf biasa, Pak. Yang penting ikut aturan.”

Kalimat ini mungkin terdengar biasa, tapi bagi fasilitator Design Thinking, ini sinyal darurat. Karena ketika seseorang berhenti merasa punya suara, maka ide-ide berhenti tumbuh. Karakter divergen, yang jadi nyawa dari tahap awal Design Thinking seperti empati dan define, hanya akan muncul jika kita merasa aman untuk berbeda, mengganggu, dan bertanya “kenapa tidak?”, dan ini sangat ditentukan oleh bahasa yang digunakan sehari-hari di organisasi.

Bahasa adalah pembuka atau penutup ruang divergensi. Kata “salah”, “nggak sesuai SOP”, “tunggu atasan dulu”, adalah tembok kecil yang menghancurkan imajinasi besar. Sebaliknya, kalimat seperti “apa yang bisa kita eksplorasi?”, “menurut kita bagaimana?”, atau “nggak apa-apa, ini belum tepat” adalah pintu masuk menuju diskusi yang lebih terbuka. Amy Edmondson (2019) menyebut ini sebagai psychological safety,x rasa aman untuk bicara, mencoba, bahkan salah, dan itu dimulai dari bahasa. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang-ulang solusi yang nyaman, bukan menjelajah kemungkinan yang dibutuhkan.

Karakter divergen butuh lingkungan yang bahasanya lentur dan menghargai eksplorasi. Maka dalam praktik Design Thinking, kita tidak hanya butuh metode, tapi juga atmosfer. Dan atmosfer dibangun dari kata-kata. “Tugas” bisa diganti jadi “proyek eksplorasi”, “deadline” bisa jadi “kesepakatan waktu”, “memilih” bisa menjadi “meramu”. Ini bukan manipulasi bahasa, tapi desain ulang mindset. Carol Dweck (2006) menyebutnya sebagai growth mindset, yang mendorong kita melihat kemampuan bukan sebagai sesuatu yang tetap, tapi bisa dikembangkan, selama ada ruangnya.

Maka jika tim kita buntu, jangan buru-buru ganti framework. Coba dulu dengarkan bahasanya. Apakah sudah memberi ruang untuk berpikir divergen, atau justru memperkuat pola pikir konvergen yang serba takut salah? Di era ketidakpastian, kita butuh lebih dari sekadar metode. Kita butuh cara bicara yang menumbuhkan keberanian berpikir beda. Karena dari sana, inovasi lahir🚀

Constructivist Learning

Ilmu itu seperti air bagi sawah. Ia menyuburkan, menghidupkan, dan menjadikan tanah lebih mudah dibentuk. Tanah yang rutin dialiri air akan siap menumbuhkan benih, sementara tanah yang kering mengeras dan sulit diolah. Begitu pula akal manusia, ketika tak disiram ilmu, ia menjadi kaku dan tertutup pada perubahan. Dalam khazanah Islam, Imam Syafi’i pernah berpesan, “Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai engkau menyerahkan seluruh dirimu padanya.” Artinya, ilmu tak cukup dikejar sesekali; ia harus dialiri terus-menerus agar membentuk diri seutuhnya.

Yang menarik, walaupun airnya sama, sawah tetap perlu disiram berulang. Demikian pula ilmu: meskipun topiknya terasa akrab, pengulangan justru memperdalam pemahaman. Dalam pandangan constructivist learning (Piaget, Vygotsky), belajar bukan proses menyerap, melainkan membangun makna secara bertahap. Anders Ericsson menyebut bahwa pengulangan yang sadar dan reflektif, deliberate practice, adalah satu-satunya jalan menuju keahlian. Maka, mengulang bukan pertanda ketidaktahuan, melainkan proses menuju ketajaman berpikir dan keluasan makna.

Tantangan masa kini adalah ilusi “sudah tahu” di tengah banjir informasi. Nicholas Carr dalam The Shallows mengingatkan bahwa internet mendorong kita membaca cepat namun dangkal, menjauh dari kedalaman berpikir. Mengulang belajar, dalam konteks ini, justru menjadi bentuk ketahanan intelektual. Peter Senge (1990) bahkan menegaskan bahwa manusia dan organisasi yang terus belajar dengan kesadaran akan lebih adaptif terhadap perubahan yang kompleks. Maka, pengulangan bukan kemunduran, ia adalah disiplin untuk tumbuh lebih dalam.

Berhenti belajar hanya karena topiknya terasa familiar adalah jebakan. Justru dalam pengulangan, kita diperdalam dan dipertajam. Belajar bukan hanya tentang mengejar yang baru, tapi juga tentang menjaga agar yang lama tetap hidup dan bermakna. Seperti sawah yang tetap dialiri meski belum panen, pikiran pun harus terus dialiri ilmu agar tak mengeras. Karena keberkahan ilmu bukan hanya pada apa yang dipahami hari ini, tapi pada kerendahan hati untuk terus dibentuk oleh prosesnya 🌾🌾🌾🌾🌾

Manajemen Inovasi atau Manajemen Perubahan

Kita sering diajak berinovasi,
tapi jarang diajak bersiap berubah.

Inilah ironi yang membekap banyak organisasi besar. Ide-ide segar terus digaungkan, jargon inovasi terpampang dalam roadmap dan strategi. Namun saat masuk ke eksekusi, semuanya mentok di dinding tak kasatmata: resistensi manusia, prosedur yang kaku, dan budaya yang diam-diam menolak gangguan. Sebagus apa pun inovasinya, jika sistem tidak memberi ruang, ia akan layu sebelum sempat tumbuh.

Secara esensial, manajemen inovasi adalah tentang menciptakan hal-hal baru yang relevan, seperti produk, proses, layanan, atau model bisnis. Namun mencipta saja tidak cukup. Manajemen perubahan-lah yang memastikan organisasi siap menerima, mampu menjalankan, dan mau mempertahankan hal baru itu. Keduanya bukan dua tahap berurutan, melainkan dua napas yang harus beriringan. Seperti dijelaskan oleh Teece et al. (1997) dalam konsep dynamic capabilities, organisasi hanya akan bertahan jika mampu berinovasi dan bertransformasi secara simultan, seiring perubahan lingkungan dan kekuatannya sendiri.

Tantangannya bukan sekadar melahirkan ide baru, tapi mengguncang kenyamanan cara lama. Budaya kerja yang menstabilkan, insentif yang mengutamakan kepatuhan, serta SOP yang melanggengkan status quo adalah jebakan sistemik yang meredam nyali inovasi. Christensen (1997) menyebutnya the innovator’s dilemma, organisasi paling sukses seringkali justru yang paling sulit bergerak karena terlalu nyaman dengan kemenangan masa lalu.

Maka, pertanyaan strategis kita bukan lagi, “mana duluan, perubahan atau inovasi?” Melainkan, “apakah organisasi kita cukup luwes untuk menjalankan keduanya secara berkelindan?” Sebab inovasi tanpa perubahan hanya jadi wacana, dan perubahan tanpa inovasi hanya jadi kosmetik organisasi. Dalam dunia yang terus bergerak, hanya organisasi yang mampu mencipta sambil berubah yang akan bertahan dan tetap relevan.

Karir Konvensional Vs Karir Konstributif

Di tengah derasnya transformasi digital & tekanan ekonomi yang kompleks, mulai dari tingginya ketimpangan sektor informal, stagnasi produktivitas, hingga ketidakselarasan antara pendidikan & lapangan kerja, cara lama dalam memaknai karir makin terasa usang.

Banyak orang masih terjebak dalam jalur karir konvensional yang vertikal: naik jabatan, mengumpulkan gelar, dan mengejar keamanan posisi. Namun, data menunjukkan bahwa 57% pekerja Indonesia berada di sektor informal & lebih dari 40% lulusan perguruan tinggi tak bekerja sesuai keahliannya (BPS, 2023). Di balik angka-angka itu tersembunyi satu krisis besar: krisis makna & relevansi karir.

Sebagai respons terhadap situasi tersebut, pendekatan karir kontributif mulai mencuat. Karir tak lagi hanya soal naik ke atas, tapi tentang melebar ke sekitar, dari posisi ke partisipasi, dari promosi ke kontribusi. Inilah pergeseran yang diusung oleh berbagai teori kontemporer seperti Protean Career (Hall), Boundaryless Career (Arthur & Rousseau) & Career Construction (Savickas), yang menekankan pentingnya refleksi, fleksibilitas & nilai personal dalam merancang arah hidup. Namun, pendekatan ini bukan menafikan pentingnya struktur vertikal, justru mengarahkan agar setiap jenjang dan posisi memiliki makna sosial, bukan hanya administratif.

Dalam konteks ini, Design Thinking tidak hadir sebagai alat semata, tetapi sebagai pola pikir yang memungkinkan individu membaca ulang realitas, merumuskan ulang peran, dan mencoba ulang arah. Dengan berlandaskan empati, eksplorasi ide & keberanian untuk memulai prototipe kecil, Design Thinking menawarkan kerangka bertindak di tengah ketidakpastian. Ia memfasilitasi kita untuk tidak sekadar bertahan, tetapi mendesain ulang kehidupan profesional yang adaptif, kontekstual & bermakna, baik dalam sistem kerja formal maupun dalam lintas proyek sosial.

Kini, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah karir masih tentang ‘menjadi lebih tinggi’? Atau sudah saatnya bertanya: “Siapa yang terbantu karena aku bekerja?” Karir kontributif bukan hanya masa depan individu, tetapi juga masa depan masyarakat. Di tengah dunia yang tak menentu, kontribusi adalah satu-satunya kepastian yang bisa kita bangun.

Servant Leadership

Banyak organisasi kecewa ketika orang-orang terbaik yang sudah dilatih justru pergi. “Buat apa capek-capek memberdayakan tim kalau hasilnya tak pasti?” Ini pertanyaan yang terdengar rasional, tapi justru menyingkap krisis kepemimpinan: apakah kita benar-benar ingin menumbuhkan manusia, atau sekadar mengoptimalkan mesin kerja? Sejumlah studi seperti Thomas & Velthouse (1990) & Spreitzer (1995) menunjukkan bahwa pemberdayaan tim meningkatkan rasa makna, kendali, & kontribusi. Dan manusia yang merasa pekerjaannya bermakna, cenderung bertahan & berkembang melampaui ekspektasi teknis.

Namun, investasi pada manusia memang tak selalu menghasilkan jalan mulus. Ada yang tidak berubah meski sudah diberi kepercayaan. Ada yang pergi setelah dilatih. Tapi seperti yang ditekankan oleh Greenleaf (1977) dalam konsep servant leadership, tugas pemimpin bukan menuai hasil secepat mungkin, melainkan menanam kebaikan yang berdampak panjang. Budaya kerja yang sehat dibentuk bukan oleh kontrol, tapi oleh kepercayaan & kesediaan untuk terus menumbuhkan meski hasilnya belum pasti. Dan dalam dunia yang makin kompleks, organisasi yang bisa bertahan adalah yang mampu membangun orang, bukan sekadar struktur.

Lalu mengapa tetap dilakukan, jika berisiko? Karena keberkahan tidak lahir dari kalkulasi semata. Dalam kerangka spiritual leadership (Fry, 2003), keberkahan hadir saat ada niat tulus, harapan kolektif, & cinta altruistik dalam kerja. Konsep barakah dalam Islam pun mengajarkan bahwa nilai suatu tindakan tidak ditentukan dari besarnya hasil, tapi dari manfaat yang terus mengalir dan niat yang lurus. *Memberdayakan tim, meski berat, meski tidak semua membalas dengan loyalitas*, adalah bentuk ikhtiar yang bernilai ibadah ketika dilakukan dengan ikhlas dan konsisten.

Jika keberkahan adalah tujuan, maka memberdayakan tim bukan sekadar strategi, ia adalah napas organisasi yang hidup. Kita bisa memilih menjadi organisasi yang cepat sukses tapi rapuh, atau organisasi yang tumbuh lambat tapi berakar kuat. Sebab dalam dunia yang penuh disrupsi, hanya mereka yang menumbuhkan manusia dengan niat baik yang akan benar-benar membangun masa depan, jadi amal jariah.

Selamat berproses membangun tim!

Skripsi Nizzah Nailul Fathiyyah Bukan Sekadar Tugas Akhir

Skripsi Nizzah Nailul Fathiyyah bukan sekadar tugas akhir, melainkan manifesto generasi muda yang peduli, kreatif, & solutif. Ia tak hanya menyelesaikan studi dengan IPK nyaris sempurna, tetapi juga menghadirkan karya yang menjawab persoalan nyata: bagaimana mendorong masyarakat agar memilih produk ramah lingkungan yang masih kurang diminati, seperti vegan leather dari limbah kopi. Di tengah duka karena kepergian sang Ayah, Nizzah justru melahirkan skripsi yang tak hanya kuat secara akademik, tapi juga punya nyawa.

Keistimewaan skripsi ini terletak pada keberanian menyatukan pendekatan ilmiah dan keberpihakan sosial. Nizzah menggunakan metode mixed methods yang memadukan wawasan para ahli & lima tingkat kedewasaan konsumen ramah lingkungan. Ia menerapkan Henry Garrett Ranking untuk menganalisis faktor-faktor keputusan pembelian secara objektif, lalu mengaitkannya dengan kerangka Sustainable Consumption Behavior (SCB). Ini bukan sekadar metode canggih, tapi cara berpikir yang menunjukkan kedalaman, ketepatan, dan sensitivitas terhadap konteks sosial–ekologis.

Yang membuat skripsi ini lebih dari luar biasa adalah keberanian kreatifnya dalam menawarkan solusi nyata. Nizzah tidak hanya menjelaskan masalah, ia menawarkannya jalan keluar: ide promosi DIY Your Own Wallet Workshop dan komunitas KOPI BERI Indonesia yang mengajak masyarakat belajar, berbagi, dan berinovasi bersama. Rekomendasi ini bukan wacana kosong. Ia lahir dari pemahaman mendalam akan konsumen masa kini, yang tidak hanya mencari produk, tapi juga makna, pengalaman, & keterlibatan sosial.

Melalui skripsinya, Nizzah membuktikan bahwa akademik bisa bersanding dengan keberpihakan, dan penelitian bisa menjelma menjadi gerakan. Ia membawa suara petani kopi, isu limbah industri, dan tren fast fashion ke dalam satu benang merah: bahwa keberlanjutan harus dijembatani dengan empati dan strategi yang membumi. Ia menulis bukan demi nilai, tapi demi nilai-nilai. Di tengah kehilangan, ia memilih tetap memberi. Dan dari ruang riset yang ia bangun, lahirlah harapan bahwa masa depan bisa lebih baik, asal ada yang berani merintisnya dengan hati & nalar yang bekerja bersama✨

Bersama pembimbing dua @gitanoor

Skripsi Bisa Jadi Lebih Dari Sekadar Dokumen Kelulusan

Skripsi ini lahir dari kegelisahan, bukan sekadar tugas akhir. Anggita, melihat desanya, Cibiru Wetan, dikenal secara nasional karena prestasi pemerintahan digital, tapi perlu mengenalkan wajah desa berkelanjutannya. Program wisata edukasi yang ada hanya menawarkan aktivitas menanam padi, kegiatan yang ternyata gagal menarik minat pengunjung, dengan nilai kepuasan hanya 20%. Di tengah ketidakpastian itu, Ia memilih untuk tidak menunggu solusi dari luar. Ia turun tangan, membangun dari nol & memutuskan: desa ini harus menjadi ruang belajar yang hidup & bermakna.

Anggita tidak bekerja sendiri, & tidak mengandalkan intuisi belaka. Ia menerapkan pendekatan Design Thinking secara menyeluruh, menggali kebutuhan riil dari pengguna utama: guru TK, SD, dan SMP. Ia menyusun Empathy Map, Customer Journey, hingga Jobs to Be Done. Dari proses empati itu, ia sadar: yang dibutuhkan bukan sekadar wisata, tapi pengalaman utuh, interaktif, aplikatif & terhubung dengan budaya lokal. Anak-anak butuh ruang untuk bermain sambil belajar; guru butuh program yang sejalan dengan kurikulum; dan warga butuh peran dalam menjalankannya.

Lahirlah program “Ngabolang di Sawah”, wisata edukasi berbasis pertanian, budaya, dan eksplorasi. Ia tak berhenti di desain. Ia mengujinya secara nyata, mengevaluasinya dengan metode Net Promoter Score, dan mencatat lonjakan kepuasan ke level Excellent (52,38%). Ia juga menyusun Business Model serta strategi implementasi 12 bulan, bukan hanya agar program ini berjalan, tapi agar ia bisa ditinggal dan tetap tumbuh. Yang ia bangun bukan sekadar produk wisata, tapi ekosistem pembelajaran dan pemberdayaan berbasis komunitas.

Skripsi bisa jadi lebih dari sekadar dokumen kelulusan. Ia menjadikannya alat perubahan, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk desanya. Di era ketika banyak orang mengejar validasi digital, Ia membuktikan bahwa kontribusi paling nyata justru lahir dari keberanian membangun yang tak terlihat kamera: desa yang berdaya, warga yang terlibat, & masa depan yang ditanam dari akar sendiri. Inilah wajah baru mahasiswa kontribusional, tak hanya ingin lulus, tapi juga meluluskan lingkungannya dari ketertinggalan.

Dibimbing bersama Dr @yulistyne