Constructivist Learning

Ilmu itu seperti air bagi sawah. Ia menyuburkan, menghidupkan, dan menjadikan tanah lebih mudah dibentuk. Tanah yang rutin dialiri air akan siap menumbuhkan benih, sementara tanah yang kering mengeras dan sulit diolah. Begitu pula akal manusia, ketika tak disiram ilmu, ia menjadi kaku dan tertutup pada perubahan. Dalam khazanah Islam, Imam Syafi’i pernah berpesan, “Ilmu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai engkau menyerahkan seluruh dirimu padanya.” Artinya, ilmu tak cukup dikejar sesekali; ia harus dialiri terus-menerus agar membentuk diri seutuhnya.

Yang menarik, walaupun airnya sama, sawah tetap perlu disiram berulang. Demikian pula ilmu: meskipun topiknya terasa akrab, pengulangan justru memperdalam pemahaman. Dalam pandangan constructivist learning (Piaget, Vygotsky), belajar bukan proses menyerap, melainkan membangun makna secara bertahap. Anders Ericsson menyebut bahwa pengulangan yang sadar dan reflektif, deliberate practice, adalah satu-satunya jalan menuju keahlian. Maka, mengulang bukan pertanda ketidaktahuan, melainkan proses menuju ketajaman berpikir dan keluasan makna.

Tantangan masa kini adalah ilusi “sudah tahu” di tengah banjir informasi. Nicholas Carr dalam The Shallows mengingatkan bahwa internet mendorong kita membaca cepat namun dangkal, menjauh dari kedalaman berpikir. Mengulang belajar, dalam konteks ini, justru menjadi bentuk ketahanan intelektual. Peter Senge (1990) bahkan menegaskan bahwa manusia dan organisasi yang terus belajar dengan kesadaran akan lebih adaptif terhadap perubahan yang kompleks. Maka, pengulangan bukan kemunduran, ia adalah disiplin untuk tumbuh lebih dalam.

Berhenti belajar hanya karena topiknya terasa familiar adalah jebakan. Justru dalam pengulangan, kita diperdalam dan dipertajam. Belajar bukan hanya tentang mengejar yang baru, tapi juga tentang menjaga agar yang lama tetap hidup dan bermakna. Seperti sawah yang tetap dialiri meski belum panen, pikiran pun harus terus dialiri ilmu agar tak mengeras. Karena keberkahan ilmu bukan hanya pada apa yang dipahami hari ini, tapi pada kerendahan hati untuk terus dibentuk oleh prosesnya 🌾🌾🌾🌾🌾

Manajemen Inovasi atau Manajemen Perubahan

Kita sering diajak berinovasi,
tapi jarang diajak bersiap berubah.

Inilah ironi yang membekap banyak organisasi besar. Ide-ide segar terus digaungkan, jargon inovasi terpampang dalam roadmap dan strategi. Namun saat masuk ke eksekusi, semuanya mentok di dinding tak kasatmata: resistensi manusia, prosedur yang kaku, dan budaya yang diam-diam menolak gangguan. Sebagus apa pun inovasinya, jika sistem tidak memberi ruang, ia akan layu sebelum sempat tumbuh.

Secara esensial, manajemen inovasi adalah tentang menciptakan hal-hal baru yang relevan, seperti produk, proses, layanan, atau model bisnis. Namun mencipta saja tidak cukup. Manajemen perubahan-lah yang memastikan organisasi siap menerima, mampu menjalankan, dan mau mempertahankan hal baru itu. Keduanya bukan dua tahap berurutan, melainkan dua napas yang harus beriringan. Seperti dijelaskan oleh Teece et al. (1997) dalam konsep dynamic capabilities, organisasi hanya akan bertahan jika mampu berinovasi dan bertransformasi secara simultan, seiring perubahan lingkungan dan kekuatannya sendiri.

Tantangannya bukan sekadar melahirkan ide baru, tapi mengguncang kenyamanan cara lama. Budaya kerja yang menstabilkan, insentif yang mengutamakan kepatuhan, serta SOP yang melanggengkan status quo adalah jebakan sistemik yang meredam nyali inovasi. Christensen (1997) menyebutnya the innovator’s dilemma, organisasi paling sukses seringkali justru yang paling sulit bergerak karena terlalu nyaman dengan kemenangan masa lalu.

Maka, pertanyaan strategis kita bukan lagi, “mana duluan, perubahan atau inovasi?” Melainkan, “apakah organisasi kita cukup luwes untuk menjalankan keduanya secara berkelindan?” Sebab inovasi tanpa perubahan hanya jadi wacana, dan perubahan tanpa inovasi hanya jadi kosmetik organisasi. Dalam dunia yang terus bergerak, hanya organisasi yang mampu mencipta sambil berubah yang akan bertahan dan tetap relevan.

Karir Konvensional Vs Karir Konstributif

Di tengah derasnya transformasi digital & tekanan ekonomi yang kompleks, mulai dari tingginya ketimpangan sektor informal, stagnasi produktivitas, hingga ketidakselarasan antara pendidikan & lapangan kerja, cara lama dalam memaknai karir makin terasa usang.

Banyak orang masih terjebak dalam jalur karir konvensional yang vertikal: naik jabatan, mengumpulkan gelar, dan mengejar keamanan posisi. Namun, data menunjukkan bahwa 57% pekerja Indonesia berada di sektor informal & lebih dari 40% lulusan perguruan tinggi tak bekerja sesuai keahliannya (BPS, 2023). Di balik angka-angka itu tersembunyi satu krisis besar: krisis makna & relevansi karir.

Sebagai respons terhadap situasi tersebut, pendekatan karir kontributif mulai mencuat. Karir tak lagi hanya soal naik ke atas, tapi tentang melebar ke sekitar, dari posisi ke partisipasi, dari promosi ke kontribusi. Inilah pergeseran yang diusung oleh berbagai teori kontemporer seperti Protean Career (Hall), Boundaryless Career (Arthur & Rousseau) & Career Construction (Savickas), yang menekankan pentingnya refleksi, fleksibilitas & nilai personal dalam merancang arah hidup. Namun, pendekatan ini bukan menafikan pentingnya struktur vertikal, justru mengarahkan agar setiap jenjang dan posisi memiliki makna sosial, bukan hanya administratif.

Dalam konteks ini, Design Thinking tidak hadir sebagai alat semata, tetapi sebagai pola pikir yang memungkinkan individu membaca ulang realitas, merumuskan ulang peran, dan mencoba ulang arah. Dengan berlandaskan empati, eksplorasi ide & keberanian untuk memulai prototipe kecil, Design Thinking menawarkan kerangka bertindak di tengah ketidakpastian. Ia memfasilitasi kita untuk tidak sekadar bertahan, tetapi mendesain ulang kehidupan profesional yang adaptif, kontekstual & bermakna, baik dalam sistem kerja formal maupun dalam lintas proyek sosial.

Kini, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah karir masih tentang ‘menjadi lebih tinggi’? Atau sudah saatnya bertanya: “Siapa yang terbantu karena aku bekerja?” Karir kontributif bukan hanya masa depan individu, tetapi juga masa depan masyarakat. Di tengah dunia yang tak menentu, kontribusi adalah satu-satunya kepastian yang bisa kita bangun.

Servant Leadership

Banyak organisasi kecewa ketika orang-orang terbaik yang sudah dilatih justru pergi. “Buat apa capek-capek memberdayakan tim kalau hasilnya tak pasti?” Ini pertanyaan yang terdengar rasional, tapi justru menyingkap krisis kepemimpinan: apakah kita benar-benar ingin menumbuhkan manusia, atau sekadar mengoptimalkan mesin kerja? Sejumlah studi seperti Thomas & Velthouse (1990) & Spreitzer (1995) menunjukkan bahwa pemberdayaan tim meningkatkan rasa makna, kendali, & kontribusi. Dan manusia yang merasa pekerjaannya bermakna, cenderung bertahan & berkembang melampaui ekspektasi teknis.

Namun, investasi pada manusia memang tak selalu menghasilkan jalan mulus. Ada yang tidak berubah meski sudah diberi kepercayaan. Ada yang pergi setelah dilatih. Tapi seperti yang ditekankan oleh Greenleaf (1977) dalam konsep servant leadership, tugas pemimpin bukan menuai hasil secepat mungkin, melainkan menanam kebaikan yang berdampak panjang. Budaya kerja yang sehat dibentuk bukan oleh kontrol, tapi oleh kepercayaan & kesediaan untuk terus menumbuhkan meski hasilnya belum pasti. Dan dalam dunia yang makin kompleks, organisasi yang bisa bertahan adalah yang mampu membangun orang, bukan sekadar struktur.

Lalu mengapa tetap dilakukan, jika berisiko? Karena keberkahan tidak lahir dari kalkulasi semata. Dalam kerangka spiritual leadership (Fry, 2003), keberkahan hadir saat ada niat tulus, harapan kolektif, & cinta altruistik dalam kerja. Konsep barakah dalam Islam pun mengajarkan bahwa nilai suatu tindakan tidak ditentukan dari besarnya hasil, tapi dari manfaat yang terus mengalir dan niat yang lurus. *Memberdayakan tim, meski berat, meski tidak semua membalas dengan loyalitas*, adalah bentuk ikhtiar yang bernilai ibadah ketika dilakukan dengan ikhlas dan konsisten.

Jika keberkahan adalah tujuan, maka memberdayakan tim bukan sekadar strategi, ia adalah napas organisasi yang hidup. Kita bisa memilih menjadi organisasi yang cepat sukses tapi rapuh, atau organisasi yang tumbuh lambat tapi berakar kuat. Sebab dalam dunia yang penuh disrupsi, hanya mereka yang menumbuhkan manusia dengan niat baik yang akan benar-benar membangun masa depan, jadi amal jariah.

Selamat berproses membangun tim!

Skripsi Nizzah Nailul Fathiyyah Bukan Sekadar Tugas Akhir

Skripsi Nizzah Nailul Fathiyyah bukan sekadar tugas akhir, melainkan manifesto generasi muda yang peduli, kreatif, & solutif. Ia tak hanya menyelesaikan studi dengan IPK nyaris sempurna, tetapi juga menghadirkan karya yang menjawab persoalan nyata: bagaimana mendorong masyarakat agar memilih produk ramah lingkungan yang masih kurang diminati, seperti vegan leather dari limbah kopi. Di tengah duka karena kepergian sang Ayah, Nizzah justru melahirkan skripsi yang tak hanya kuat secara akademik, tapi juga punya nyawa.

Keistimewaan skripsi ini terletak pada keberanian menyatukan pendekatan ilmiah dan keberpihakan sosial. Nizzah menggunakan metode mixed methods yang memadukan wawasan para ahli & lima tingkat kedewasaan konsumen ramah lingkungan. Ia menerapkan Henry Garrett Ranking untuk menganalisis faktor-faktor keputusan pembelian secara objektif, lalu mengaitkannya dengan kerangka Sustainable Consumption Behavior (SCB). Ini bukan sekadar metode canggih, tapi cara berpikir yang menunjukkan kedalaman, ketepatan, dan sensitivitas terhadap konteks sosial–ekologis.

Yang membuat skripsi ini lebih dari luar biasa adalah keberanian kreatifnya dalam menawarkan solusi nyata. Nizzah tidak hanya menjelaskan masalah, ia menawarkannya jalan keluar: ide promosi DIY Your Own Wallet Workshop dan komunitas KOPI BERI Indonesia yang mengajak masyarakat belajar, berbagi, dan berinovasi bersama. Rekomendasi ini bukan wacana kosong. Ia lahir dari pemahaman mendalam akan konsumen masa kini, yang tidak hanya mencari produk, tapi juga makna, pengalaman, & keterlibatan sosial.

Melalui skripsinya, Nizzah membuktikan bahwa akademik bisa bersanding dengan keberpihakan, dan penelitian bisa menjelma menjadi gerakan. Ia membawa suara petani kopi, isu limbah industri, dan tren fast fashion ke dalam satu benang merah: bahwa keberlanjutan harus dijembatani dengan empati dan strategi yang membumi. Ia menulis bukan demi nilai, tapi demi nilai-nilai. Di tengah kehilangan, ia memilih tetap memberi. Dan dari ruang riset yang ia bangun, lahirlah harapan bahwa masa depan bisa lebih baik, asal ada yang berani merintisnya dengan hati & nalar yang bekerja bersama✨

Bersama pembimbing dua @gitanoor

Skripsi Bisa Jadi Lebih Dari Sekadar Dokumen Kelulusan

Skripsi ini lahir dari kegelisahan, bukan sekadar tugas akhir. Anggita, melihat desanya, Cibiru Wetan, dikenal secara nasional karena prestasi pemerintahan digital, tapi perlu mengenalkan wajah desa berkelanjutannya. Program wisata edukasi yang ada hanya menawarkan aktivitas menanam padi, kegiatan yang ternyata gagal menarik minat pengunjung, dengan nilai kepuasan hanya 20%. Di tengah ketidakpastian itu, Ia memilih untuk tidak menunggu solusi dari luar. Ia turun tangan, membangun dari nol & memutuskan: desa ini harus menjadi ruang belajar yang hidup & bermakna.

Anggita tidak bekerja sendiri, & tidak mengandalkan intuisi belaka. Ia menerapkan pendekatan Design Thinking secara menyeluruh, menggali kebutuhan riil dari pengguna utama: guru TK, SD, dan SMP. Ia menyusun Empathy Map, Customer Journey, hingga Jobs to Be Done. Dari proses empati itu, ia sadar: yang dibutuhkan bukan sekadar wisata, tapi pengalaman utuh, interaktif, aplikatif & terhubung dengan budaya lokal. Anak-anak butuh ruang untuk bermain sambil belajar; guru butuh program yang sejalan dengan kurikulum; dan warga butuh peran dalam menjalankannya.

Lahirlah program “Ngabolang di Sawah”, wisata edukasi berbasis pertanian, budaya, dan eksplorasi. Ia tak berhenti di desain. Ia mengujinya secara nyata, mengevaluasinya dengan metode Net Promoter Score, dan mencatat lonjakan kepuasan ke level Excellent (52,38%). Ia juga menyusun Business Model serta strategi implementasi 12 bulan, bukan hanya agar program ini berjalan, tapi agar ia bisa ditinggal dan tetap tumbuh. Yang ia bangun bukan sekadar produk wisata, tapi ekosistem pembelajaran dan pemberdayaan berbasis komunitas.

Skripsi bisa jadi lebih dari sekadar dokumen kelulusan. Ia menjadikannya alat perubahan, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk desanya. Di era ketika banyak orang mengejar validasi digital, Ia membuktikan bahwa kontribusi paling nyata justru lahir dari keberanian membangun yang tak terlihat kamera: desa yang berdaya, warga yang terlibat, & masa depan yang ditanam dari akar sendiri. Inilah wajah baru mahasiswa kontribusional, tak hanya ingin lulus, tapi juga meluluskan lingkungannya dari ketertinggalan.

Dibimbing bersama Dr @yulistyne

Personalized Coffee Blend

Reyhan, mahasiswa kami yang memilih untuk tidak menjadikan skripsinya sebagai rutinitas akademik biasa. Ia melihat peluang riset di tengah tantangan konkret yang dihadapi oleh pemilik coffee shop di Jakarta Selatan: tingginya persaingan pasar, tidak konsistennya kualitas rasa, serta ketergantungan pada supplier yang tidak fleksibel. Melalui pendekatan Design Thinking, Reyhan mengangkat isu tersebut menjadi studi lapangan yang menghasilkan prototipe model bisnis berbasis personalized coffee blend.

Dengan menggunakan mixed methods, Ia memadukan wawancara mendalam dengan 12 pemilik coffee shop dan survei terhadap preferensi pengguna kopi espresso-based. Ia mengidentifikasi tiga kebutuhan utama: konsistensi rasa, efisiensi harga, dan fleksibilitas dalam penyediaan bahan baku. Dari temuan ini, Ia mengembangkan empat varian blend kopi yang kemudian diuji melalui metode cupping pada 21 coffee shop sebagai bentuk validasi pasar. Salah satu varian, komposisi 30% Arabika dan 70% Robusta, terbukti paling disukai, terutama untuk menu berbasis susu seperti cappuccino & latte.

Yang membedakan karyanya adalah keberhasilannya memadukan proses desain berpusat pada pengguna dengan strategi bisnis berbasis data lapangan. Ia tidak hanya menghasilkan produk, tetapi juga merumuskan strategi bisnis yang relevan: mulai dari sistem langganan, komunikasi produk yang disesuaikan dengan pengambil keputusan (owner dan barista utama), hingga rekomendasi penguatan layanan edukatif dari pihak roastery. Proses iteratif yang dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif dalam riset mahasiswa dapat berkontribusi langsung pada penguatan daya saing UMKM di sektor kopi.

Studi ini menjadi contoh konkret bagaimana penelitian tingkat sarjana dapat memberikan kontribusi aplikatif bagi pelaku industri lokal. Reyhan menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya mampu mengidentifikasi masalah riil, tetapi juga merancang solusi berbasis data yang dapat diuji dan diterapkan. Ini adalah bentuk riset yang relevan, kontekstual, dan berdampak, yang menjadikan proses akademik lebih dari sekadar formalitas, melainkan sebagai intervensi nyata dalam ekosistem kewirausahaan lokal🎉

Dibimbing bersama @irfnrs ✨

Khutbah Ustadz @jafarsidiq175

Khutbah Ustadz @jafarsidiq175

Khairun katsīr, kebaikan yang sangat melimpah, bukan terletak pada harta atau jabatan, tetapi pada nikmat iman, hidayah, dan kedekatan dengan Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Q.S. Yunus: 58 agar kita berbahagia karena karunia dan rahmat-Nya, karena itu lebih baik dari apa pun yang dikumpulkan manusia. Maka setiap saat kita berada dalam keimanan, amal saleh, dan taat kepada Allah, sesungguhnya kita sedang hidup dalam keberlimpahan nikmat sejati.

Rasulullah ﷺ menerima Al-Kawthar, karunia agung berupa umat yang banyak dan keberkahan yang luas. Melalui dakwah beliau dan para pewarisnya, hidayah sampai kepada kita. Pertanyaannya kini: apakah hidayah itu berhenti di kita, atau terus kita wariskan? Tugas kita bukan hanya menjaga hidayah itu, tapi juga menyampaikannya, kepada keluarga, tetangga, dan seluruh umat manusia.

Hidup seorang mukmin adalah lirabbika, untuk Rabb-nya. Segala yang dimiliki, dari waktu hingga harta, diarahkan untuk mendekat kepada Allah. Inilah makna dari fasalli lirabbika wanhar: shalat sebagai bentuk ketundukan total, dan berkorban sebagai wujud cinta yang tulus. Saat hidup kita dipersembahkan untuk Allah, saat itulah kita benar-benar hidup dalam keberkahan dan makna.

Contoh paling nyata adalah G*Z* Pa*lest**e. Meski tanah mereka hancur, iman mereka tetap kokoh. Mereka mungkin kehilangan dunia, tetapi tetap bersama Al-Qur’an dan ridha Allah. Inilah kemenangan sejati. Siapa pun yang menjaga hidayah dalam kondisi apa pun, selama hidupnya lirabbika, maka ia telah memperoleh khairun katsīr dan layak berharap minum dari telaga Kawtsar di akhirat kelak.

Selamat Hari Raya Idul Adha!

Kepemimpinan Administratif; Aman di Laporan Mandek di Lapangan

Di era perubahan cepat, menjadi lambat bukan sekadar tertinggal, tapi tersingkir. Namun banyak institusi kita, terutama kampus dan lembaga publik, masih bertumpu pada kepemimpinan administratif. Selama prosedur dijalankan, dokumen lengkap, dan tak menimbulkan masalah, maka dianggap berhasil. Padahal, dunia di luar terus bergerak, bicara AI, ekosistem, dan kolaborasi, sementara kita masih sibuk dengan formulir manual dan tanda tangan.

Kepemimpinan administratif menjaga keteraturan, tapi tak cukup untuk menghadapi masa depan (Weber, 1947; Heifetz et al., 2009).

Ironisnya, sistem justru terus memperkuat pola ini. Bukan karena niat buruk, tapi karena insentifnya salah arah.

Gagasan baru dianggap ancaman, kritik dinilai pembangkangan. Budaya takut salah tumbuh, menggantikan semangat belajar. Padahal, seperti diingatkan Senge (1990), yang bertahan bukan yang paling patuh, tapi yang paling adaptif. Kita terlalu sibuk membuat segalanya terlihat benar, hingga lupa bertanya apakah semuanya masih bermakna.

Transisi menuju kepemimpinan transformatif dan adaptif bukan soal gaya, tapi kebutuhan hidup organisasi. Bukan untuk meniadakan yang administratif, tapi melampauinya. Organisasi butuh ruang untuk mencoba, gagal, dan belajar.

Pemimpin hari ini bukan yang paling hafal aturan, tapi yang paling mampu menciptakan ruang aman untuk tumbuh. Di tengah birokrasi yang beku, satu langkah kecil yang jujur bisa membuka harapan besar.

Sampai kapan kita puas dengan sekadar “baik-baik saja”? Dunia tak menunggu. Seperti ditegaskan Laloux (2014), organisasi masa depan dibangun bukan dari kontrol, tapi dari makna dan kesadaran bersama. Jika terus bersembunyi di balik rutinitas, kita pelan-pelan kehilangan relevansi.

Pertanyaannya kini sederhana namun penting: apakah kita masih menjaga sistem agar tetap hidup, atau mulai menghidupkan kembali sistem itu dengan keberanian dan harapan?

Contribution Is the New Career

Contribution Is the New Career

Di tengah minimnya lapangan pekerjaan dan banyaknya lulusan yang tidak terserap industri, kita menghadapi krisis orientasi pendidikan. Sekolah dan kuliah masih dianggap sebagai jalur untuk mendapat pekerjaan, bukan sebagai proses untuk membentuk manusia yang siap berkontribusi. Padahal, banyak jenis industri telah berubah atau bahkan hilang. Jika pendidikan terus dijalankan untuk mengejar “kerja”, bukan “kontribusi”, maka kita sedang membangun harapan yang salah.

Pemikiran Amartya Sen lewat Capability Approach menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah soal memperluas kemampuan seseorang untuk menjalani hidup yang ia anggap bermakna. Pendidikan seharusnya membekali kemampuan itu, bukan sekadar menjadikan lulusan “layak kerja”, tetapi mampu menciptakan dampak. Lulusan yang punya orientasi kontribusi akan lebih tahan terhadap perubahan, karena mereka bukan sekadar menunggu peluang, tapi menciptakannya.

Dalam Self-Determination Theory (Deci & Ryan), manusia tumbuh sehat ketika merasa punya otonomi, kompetensi, dan koneksi. Kontribusi memenuhi ketiganya, kita memilihnya secara sadar, merasa mampu saat melakukannya, dan merasa terhubung dengan orang lain. Berbeda dengan sekadar mengejar kerja, kontribusi melahirkan healthy urgency, dorongan yang tumbuh dari niat untuk memberi manfaat, bukan tekanan untuk bertahan hidup.

Inilah arah baru pendidikan, sebagaimana tercermin dalam Purpose Economy dan kerangka 21st Century Skills. Fokusnya bukan sekadar kecakapan kerja, tapi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Tugas pendidik kini adalah membentuk mindset kontribusi sejak awal, melalui kurikulum, asesmen, dan interaksi harian, agar siswa tidak hanya siap bekerja tetapi siap memberi dampak. Karena pendidikan sejati bukan mencetak pekerja, tapi membentuk manusia yang bermanfaat❤️

Inframe ; @alyahst salah satu mahasiswa dengan Detail Proses Design Thinking terbaik!