Trust & Agility

Mendapatkan hasil yang baik adalah hasil dari terbangunnya kolaborasi dan rasa saling percaya satu sama lainnya. Hal yang cukup menantang dalam kolaborasi memang terletak pada isu trust. Belum semua individu dan organisasi memiliki kemampuan untuk membangun trust pada level kematangan yang baik.

Apalagi hidup di era digital saat ini, dimana Agile Leadership sangat dibutuhkan. Era lalu adalah era dimana kita perlu tumbuh dengan cepat dan pasti, namun berbeda hal saat ini, kala dinamika perubahan sangat cepat, kita perlu tetap Agile. Dalam agile yang dinamikanya tinggi, maka melatih trust menjadi sangat penting.

Menumbuhkan trust, kepercayaan akan banyak melahirkan inspirasi, dari saling inspirasi akan lahir banyak aksi terwujud. Kemudian keduanya menjadi sebuah hal bernama ā€œinspired actionā€. Biasnya aksiā€‘aksi yang menginspirasi ini menghasilkan banyak halā€‘hal yang beyond!

Basis trust menjadi fundamental untuk kita membuka cara berpikir yang tumbuh dan mencoba opsiā€‘opsi baru yang perlu dieksplorasi.

ā€œTrust opens up new and unimagined possibilitiesā€ Pada kenyataannya kita tidak bisa membuat ekosistemnya 100% memiliki kecepercayaan yang baik satu sama lainnya, menghadirkannya perlu proses menbangunnya, bertahap dengan bekal strategi dan ilmunya.

Selaras dengan era disruptif, ada satu kalimat yang menarik dikaitkan dengan ā€œtrustā€ dengan Agility apalagi dengan era bonus demografi Indonesia yang baru saja kita mulai hingga 2038 nanti, yakni ā€œ If you donā€™t let them be their best selves, you donā€™t get to hire the best peopleā€

Era sekarang dimana muncul kreatifitas yang berbedaā€‘beda, tak ada yang sama dan memang tak bisa disamakan, maka trust adalah fundamental penting untuk menghadirkan lebih banyak ā€œInspired Actionā€

Selamat berproses!

Kritis Vs Kreatif

Menjadi kritis atau kreatif,ā£
Keduanya menjadi penting, apalagi saat ini adalah saat dimana beragam cara menjadi baru, kala halā€‘hal lama menjadi tak relevan. ā£
ā£
Memiliki kemampuan memecahkan masalah dan solutif adalah hal paling penting untuk tak terjebak menjadi ekosistem yang merengekā€‘rengek lagi dengan ketergantungan. Membangun kemandirian yang hakiki.ā£ Bonus demografi akan berakhir pada tahun 2038, satuā€‘satunya pintu peluang agar Indonesia menjadi negara maju kelak. 17 tahun adalah waktu tak lama, cepat sekali berlalu, apalagi dalam konteks pembangunan manusia.ā£ Sudah waraā€‘wiri berita televisi mengungkapkan bahwa potensi Indonesia gagal memanfaatkan Bonus Demografi sangatlah besar, hingga kelak menempatkan Indonesia pada deretan negara yang terjebak pada golongan midle income.ā£ Tak mau itu terjadi, saatnya kita sungguhā€‘sungguh melahirkan generasi kritis sekaligus kreatif. Berkemapuan untuk memiliki daya ungkit, melompatkan bangsa ini pada kemajuan. ā£


ā£
Kemampuan kritis biasanya berada pada kemampuan menganalisa, menurunkan, mensintesa, membandingkan, mengkategorikan, merunutkan hingga mengurutkan.ā£
ā£
Kemampuan kedua adalah Kemampuan kreatif biasanya pada kemampuan untuk berimajinasi, menemukan, merubah, merancang dan mencipta.ā£
ā£
Irisan keduanya adalah kemampuan memecahkan masalah, biasanya akan mampu melakukan perbaikan, merancang, memperbaiki, menemukan, mencipta kriteria hingga menghasilkan temuanā€‘temuan baru.ā£
ā£
Kemampuanā€‘kemampuan yang lagi bisa atas dasar saya memilih untuk lebih kritis atau lebih kreatif. Tapi memadukannya hingga menghasilkan banyak solusi berdampak.ā£
ā£
Ayo para generasi solutif, Saatnya bergegas!ā£

Baurkan & Ramu

Menyamakan frekwensi yaa, beda dengan menyamakan pendapat, atau harus benarā€‘benar menjadi satu pandangan yang biasanya dilakukan dengan memilih.

Menyamakan frekwensi justru sebuah ritual dalam organisasi yang menjadi penting untuk melahirkan gagasanā€‘gagasan baru, tidak terjebak dengan halā€‘hal lama atau gagasan dari orangā€‘orang HiPPO (Highest Paid Person in the Office) yang biasanya memiliki kedudukan tertinggi dan terbiasa membiasakan diri dan organisasinya untuk tergantung padanya.

Ketergantungan menentukan sesuatu pada satu titik di organisasi, justru akan menumpulkan inovasi dalam jangka panjang, mematikan banyak inisiatif dan terpuruk pada beban berat ketergantungan.

Menyamakan frekwensi adalah titik nol berpikir bersama, memberikan kesempatan untuk bersamaā€‘sama berpikir bahwa kita perlu menyamakan konteks. Bukan berarti setiap gagasan pada proses selanjutnya akan dieliminir. Justru dalam menyamakan frekwensi kita didorong membuka wawasan lebih luas, memahami perspektif berbeda dan mendudukan masalah pada konteks yang benar. Menyamakan frekwensi biasanya menyamakan kerangka berpikir yang disepakati.

Aneka latar belakang dari gagasanā€‘gagasan yang berbeda, dalam ekseskusinya akan dipahami apakah artinya 1) gagasanā€‘gagasan berbeda itu saling melengkapi, 2) akankah menjadi salah satu bagian dari bagian yang lain, 3) apakah jika ditelusuri merupakan akibat dari sesuatu yang lebih besar, 4) apakah berakibat pada hal lain, apakah ada irisannya, 5) apakah saling berhubungan, 6) apakah berada pada kelompok yang sama, 7) apakah gagasanā€‘gagasa tsb dalam proses yang sequential, 8) apakah dapat dibagi menjadi dua bagian atau 9) bahkan apakah dapat ditempatkan diatas salah satunya?

Menyamakan frekwensi bisa juga dikatakan sebagai pondasi untuk meletupkan gagasan kreatif dan meroketkan inisiatif dari setiap anggota tim kita. Selamat menyamakan frekwensi!

4 Cara Berdamai dengan Situasi Problematik

Sejak Pandemik Covid-19, keadaan memang sangat menguras pemikiran, memacu banyak dinamika, akhirnya banyak juga meluncur kreatifitas yang dulu tak ditemukan dengan cara-cara yang biasa. Tekanan keadaan justru membuat orang berupaya semaksimal mungkin berdamai dengan situasi yang problematis.

Banyak hal menggaungkan mulailah beradaptasi, namun bagaimana jika kondisinya tak sesuai dengan harapan? Apa yang perlu dilakukan, berkolaborasikah? beradaptasikah? atau bahkan menyerahkah? Kemudian bagaimana caranya menemukan jalan-jalan kreatif untuk melompat bereksplorasi, atau perlukah kita tetap berjalan sendiri?

Lebih dari satu tahun pandemik bergejolak, Saat ini justru banyak pihak yang menggunakan strategi keduanya, memantapkan oragnisasinya untuk melangkah lebih jauh dalam berdamai dengan situasi problematiknya. Jika Ia bisa melakukannya sendiri dalam organisasinya, maka Ia akan melakukannya secara unilateral, melakukan perbaikan-perbaikan mandiri secara mandatory. Namun, jika Ia tak bisa maka ia perlu mengambil opsi kolaborasi, menyegerakan aksi-aksi bersama dengan pihak-pihak lain.

Jika kondisinya, sebuah organisasi tak mampu berubah, namun diperkirakan mampu bertahan dengan situasinya, maka pilihan organisasi untuk beradaptasi adalah opsinya. Namun jika tak juga mampu bertahan maka pilihan untuk Exit memang pilihan pahit namun dapat dilakukan.

Seperti banyak dilakukan banyak usaha di era Pandemik ini. Exit merupakan strategi yang pahit namun tak menutup kemungkinan Ia akan hadir lagi dengan sesuatu yang benar-benar baru, melompat dengan fundametal baru yang sesuai dengan kondisi saat ini. Menyerah bukan hal buruk kok, asal kita berani memulai hal baru lagi, bangun lagi & belajar lagi. Fail fast, learn fast!

Setiap langkah selalu membawa hal baru, apapun itu biasanya membawa banyak insight baru. Yang sering kali dialami adalah ragu-ragu mengambil keputusan, hingga tak jua melangkah. Jangan lupa juga bahwa pilihan itu banyak, tinggal berani mencobanya, tidak berhenti pada satu titik. Terlebih jika punya rujukan pengetahuan, banyak hal yang dapat kita perhitungkan resikonya, perbesar kemungkinan suksesnya bahkan melompat jauh lebih tinggišŸš€šŸš€šŸš€

Gambar; PWC

Lanjut atau Pindah?

Hal penting sebelum kita beranjak ke solusi adalah memvalidasi masalah. Sering kali kita lompat ke solusi & mengabaikan proses validasi masalahnya. Meskipun suatu masalah tampaknya valid & masuk akal, menjadi penting untuk memeriksanya lagi terhadap beberapa kriteria pada pelanggan sesungguhnya: Apakah sudah didefinisikan dengan baik? Tujuan memvalidasi masalah adalah menguji lagi, Apakah dirumuskan denhgan tepat? Apakah itu benarā€‘benar ada Apakah orangā€‘orang memahaminya?ā£
ā£
Jika sebuah ide unik & orisinal, bukan berarti valid yaa. Pertanyaan yang biasanya diajukan untuk memvalidasinya adalah; Apakah itu layak? Apakah sesuai dengan konteksnya? Apakah orangā€‘orang mengerti bahwa ide Anda akan menyelesaikan masalah mereka? Apakah sesuai dengan masalahnya?ā£
ā£
Jika dalam proses memvalidasi ke dua ide tsb ada beraham kendala, coba selami keempat kuadaran dari Ɓkos CsertĆ”n (2017) ini. ā£
ā£

  1. Go, kamu pilih opsi ini jika masalah & solusinya cocok. Dilanjutkan & menerapkannya. Selain itu, ini bisa berarti bahwa uji coba yang kita buat tidak cukup menyeluruh. Jika ini terjadi, kita perlu memastikan bahwa kita juga memeriksa hasil pengujian agar tidak menghasilkan halā€‘hal yang bias.ā£
    ā£
  2. Iterasi! Keadaan ini terjadi jika masalah sudah valid, tapi gagasananya ngga juga cocok menyelesaikan permasalahannya dengan baik. Jika hal ini terjadi maka lakukanlah proses ITERASI! Sebenarnya, hal inilah yang paling sering terjadi. Perlu kita ingat bahwa sangat jarang sekali kita akan menemukan ide terbaik pada percobaan pertama.ā£
    ā£
  3. Pivot! Hal ini bisa dilakukan jika sebuah ide cocok dengan individunya, tapi masalahnya belum dapat divalidasi. Jika kita memilih opsi ini bisa jadi kita baru bisa menyelesaikan masalah yang tidak diinginkan. Jangan raguā€‘ragu mengambil langkah ini!ā£
    ā£
  4. Definisikan ulang! Nah ini bisa jadi hal menantang jika kita menemukan keduanya baik masalah maupun solusinya tidak dapat divalidasi. Balik lagi ke awal dan mulai lagi. Jika ini terjadi tetap bergembira yaa, karena justru dengan hal ini kita dapat menghemat sumber daya yang akan dihabiskan jika diteruskan karena akan berujung gagal.
    ā£
    Mari kita coba!ā£

Seek, Sense & Share

Inovasi sangat erat kaitannya dengan kemampuan berjejaring, menemukan ekosistem yang sehat akan membantu kita berkaselerasi atas kebutuhan inovasi. Apalagi memasuki era ekonomi kolaborasi dimana tak mungkin lagi kita berjalan sendiri tanpa melengkapi satu sama lainnya.

Gagasanā€‘gagasan baru justru semakin deras mengalir dengan aneka kolaborasi. Membuat ide baru tercipta. Lalu, bagaimana membuat tim kerja kita memiliki kemampuan untuk berkembang menembus jejaring sosial yang lebih luas?

Ilustrasi Jarche ini cukup jelas menggambarkan bahwa kita memulainya dengan tim kerja yang baik. Biasanya tim kerja sangat terstruktur bahkan hierarkis, didalamnya terdapat kerjasama & bergerak menuju tujuan organisasinya (Goalā€‘oriented).

Setiap organisasi ini memerlukan ruang untuk membagikan pengalamannya, menyebarkan reputasi positifnya pada komunitas yang lebih besar. Komunitas ini adalah tempat yang aman untuk menguji ideā€‘ide baru, mengintegrasikan pembelajaran baru dari sesama organisasi dan anggotanya dengan pekerjaan hariannya.

Dari komunitas kemudian berkembang ke Jejaring Sosial. Jejaring ini berfungsi untuk berbagi pengetahuan. Walau lebih longgar ikatannya dibandingkan dengan komunitas, namun media ini justru menjadi media terbaik dalam menebarkan kesadaran baru atas pengetahuan baru yang ada.

Kenaikan level ini kemudian menyebabkan semakin banyak pihak mencari pengetahuan baru dengan mencari komunitasnya dan bergabung, istilahnya ā€œseek knowledgeā€. Hingga pada komunitas tsb Ia mulai mendapatkan implicit knowledge yang Ia rasakan masuk akal dan mulai Ia gunakan pada usaha dan organisasinya.

Hubungan saling menguntungkan antara organisasi yang ā€œgoalā€‘orientedā€ dengan ekosistem yang ā€œopportunityā€‘driven & cooperativeā€ adalalah hubungan timbal balik yang tak terelakkan lagi sangat penting.

Dalam bahasa sehariā€‘harinya, jangan lupakan silaturahmi, bergabunglah dengan komunitasā€‘komunitas lain, melebur dengan Social Network nya, niscaya gagasanā€‘gagasan baru untuk tetap adaptif itu selalu ada, yang bonusnya adalah lompatanā€‘lompatan baru yang semakin tinggi.

Selamat berjejaring!