Selamat mempercepat proses perubahan!

Bulan ini adalah bulan ke-9 setelah ekosistem kami melakukan reset total. Melakukan reorganisasi, spinn-off dan bahkan menutup unit-unit yang tak lagi bisa dipertahankan, apalagi setelah terhantam pandemik panjang kemarin. Sepanjang pandemik, perkembangan teknologi terasa menjadi sangat eksponensial, dipaksa berkembang dalam keterbatasan organisasi. “Melakukan spin-off bahkan mematikan unit-unit bisnis benar ngga ya?” pertanyaan yang meragukan kala itu.

Namun keadaan memaksakan perubahan tak terelakkan, apalagi faktanya memang perkembangan teknologi berubah secara eksponensial, tetapi organisasi berubah secara logaritmik bahkan sulit sekali beranjak.

Ternyata, teori ini dijelaskan dalam Hukum Martec! (Gb A) yang menjelaskan mengapa organisasi manusia justru tidak bisa berubah secepat teknologinya. Perubahan perilaku dan budaya jelas membutuhkan waktu.

Jadi bagaimana caranya agar perubahan juga bisa terjadi cepat pada organisasi, individu, kelompok, proses & teknologi yang dapat diserap oleh organisasi secara produktif sekaligus? setidaknya terwujud tanpa memicu gangguan yang besar.

Tantangan organisasi yang berasa lamban karena manusia dan organisasinya berubah pada tingkat logaritmik, jauh lebih lambat daripada perubahan teknologi yang eksponensial. Pertanyaannya adalah “bagaimana kita mengelola organisasi yang relatif lambat berubah dalam lingkungan teknologi yang berubah dengan cepat?”

Sejak era pandemik, gejala ini semakin menjadi. Teknologi sangat cepat mendisrupi organisasi. Bahkan beberapa organisasi jatuh, tapi beberapa diantaranya justru melesat jauh menjadi maju. Era ini adalah era belajar banyak, pada ekosistem tempat kami tumbuh kami belajar bahwa sebuah organisasi dapat di reset dengan melakukan reorganisasi, spinn-off dan atau ditutup serta merelokasi sumberdayanya pada organisasi-organisasi modern yang ramah teknologi (Gb. B).

Mau tidak mau, organisasi memang perlu me-reset jika ingin bertahan, manajemen perlu secara strategis mentransformasikan organisasi yang lebih agile dengan praktek-praktek agile & lean management, hingga kecepatan perubahan organisasi bisa meningkat (Gb. C).

Selamat mempercepat proses perubahan!

Merawat Organisasi dengan Kepemimpinan Kolektif

Merawat organisasi dengan kepemimpinan kolektif. Menjadi tantantan memang dalam merawat sebuah organisasi yang sehat menjadi ruang inovasi bagi setiap insannya.

Ada beberapa hal yang menjadi variabel apakah organisasi kita sudah cukup ideal menjadi wadah bagi tumbuhnya Collective Leadership. Ruang-ruang invasi ditumbuhkan dengan memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk tumbuh dan menumbuhkan hal-hal berikut, oh ya coba kamu berikan nilai 1-5 pada setiap poinnya, dan lakukan proses retrospektif setelahnya bersama tim kamu pada bagian mana yang perlu diperbaiki.

1.KEBERSAMAAN
-Berkontribusi
-Saling mendukung
-Berlatih kontekstualitas

2.KECERDASAN BERSAMA
-pembelajaran iteratif
-keragaman
-dialog berkualitas

3.KEMANUSIAAN
-Empati
-Keseimbangan
-Mindfulness

4.INOVASI
-Agility / ketangkasan
-Keunggulan
-Kreativitas

5.KETERIKATAN
-Aksi kolektif
-Keterhubungan
-Aksi bersama

6.PELUANG MASA DEPAN
-Ketegasan
-Pemberdayaan
-Berorientasi masa depan

Kepemimpinan di era kompleksitas ini, ada pergeseran yakni “a shift from thinking of a leader as a ‘hero’ to thinking of a leader as a ‘host’” Ketika seorang pemimpin adalah ‘pahlawan’, dia diharapkan memiliki semua jawaban, menyelesaikan semua masalah, dan memperbaiki segalanya untuk orang lain. ‘Pahlawan’ itu dinamis, karismatik, dan brilian. Tantangan dengan dengan pola pikir ini adalah bahwa model perintah & kontrol sering menggunakan solusi cepat yang dibuat oleh segelintir orang yang berkuasa & seringkali solusi ini tidak cocok untuk masalah kompleks yang dihadapi sekarang

Alih-alih menjadi ‘pahlawan’ kita membutuhkan pemimpin sebagai ‘tuan rumah’ yang memiliki keterampilan mempromosikan pembelajaran bersama, pengambilan keputusan kelompok yang efektif, refleksi, visi dan penetapan tujuan & akuntabilitas bersama.

Bagaimana tim bergerak menuju pendekatan kepemimpinan kolektif akan berbeda untuk setiap organisasi, tergantung pada seberapa mengakarnya pendekatan tradisional, seperti yang tercermin dalam struktur, prosedur pelaporan, praktik pengambilan keputusan & banyak lagi.

Saatnnya kita bisa bergerak menuju pola pikir kepemimpinan kolektif, kapan nih kita diskusi dan berbersamai shifting organisasimu?

Collective Leadership

Perbincangan menarik di sebuah tim yang membandingkan tim lain terkait leadershipnya. Ia berkata “Tim disana leadershipnya kuat, anggota timnya punya petunjuk & menurutinya, timmnya selalu tertib & berjalan sesuai kehendak pemimpinnya” Kemudian saya menjawab, “jika kamu berada di tim tsb, apakah kira-kira kamu berkenan mengikuti arahan leadernya hingga detail?”

Perbincangan ini mengarah pada pertanyaan, mana yang lebih baik? Keduanya baik, kita tak bisa memaksakan kultur yang sama pada organisasi yang beda, terlebih sejarah & kulturnya beda. Yang terbaik adalah dimana organisasi berjalan bahagia menuju visinya. Disinilah kita bisa memaknai mana organisasi yang memang baik menggunakan Traditional Leadership atau Collective Leadership.

Collective Leadership, ketika sekelompok individu bekerja bersama & berbagi tujuan. Anggota di dalamnya secara internal & eksternal termotivasi bekerja bersama menuju visi bersama dalam sebuah kelompok menggunakan talenta-talenta uniknya dengan beragam keterampilannya untuk saling berkontribusi bagi kesuksesannya. Kepempimpinan kolektif merekognisi bahwa kesuksesan yang langgeng tidak mungkin terjadi tanpa perspektif & kontribusi yang beragam.

Sebuah proses yang tergantung pada keterhubungan antarbagian yang saling bekerja sama.Bagaimana kelompok bisa bekerja bersama dengan keunikan tiap oranglah yang membedakannya dari kepemimpinan tradisional.

Ada pembagian tanggung jawab, pengambilan keputusan, akuntabilitas & ikatan otentik. Semua dilibatkan dalam mencipta visi & berkomitmen bekerja untuk mencapai visinya. Asumsinya bahwa tiap orang dapat & perlu memimpin. Hanya saja, jika kamu memilih tipe ini maka perlu kondisi khusus untuk memastikan keberhasilan secara keseluruhan, yakni membangun kepercayaan, shared power, komunikasi transparan, efektif, akuntabilitas & pembelajaran bersama. Hal ini didasarkan pada pengakuan bahwa tanpa karunia, bakat, perspektif & upaya banyak pihak, perubahan berkelanjutan akan sulit dicapai.

-A key aspect of collective leadership is that the success depends on the leadership within the entire group rather than the skills of one person- -Follett-

Bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Seseorang bercerita pada saya, suatu saat Ia pernah mengemukakan kegelisahannya pada pimpinan, yang pada awal asumsinya Ia akan didukung pimpinan dalam memegang teguh prinsip manjemen perubahan. Biasanya Pimpinan akan berperan jadi sponsor dalam perubahan, dan Ia sangat percaya itu.

Namun tampaknya realita tak sesuai dengan kenyataan, membukakan matanya ketika ternyata masih jadi peer panjang berharap seorang pemimpin yang menjadi bumper perubahan ketika ada dinamika hadir dalam prosesnya.

Budaya yang suportif memang menjadi tantangan masif terutama pada organisasi-organisasi konvensional yang masih mengharap zona nyaman dalam menghadapi era perubahan.

Pemimpin yang sadar betul bahwa proses perubahan itu penting maka Ia perlu melatih dirinya dengan sungguh-sungguh menjadi “Visionary Leaders”, punya mimpi yang kuat menghadirkan gagasan baru di masa datang. Dibalik proses tranformasi, agile leaders adalah salah satu kunci penting, Agile comes from the top. Mengarahkan Ia dan timnya menjadi “Being Agile” dengan memahamkan pentingnya;

1. Urgensi
2. Koalisi
3. Visi
4. Komunikasi
5. Aksi dan Pembedayaan
6. Kemenangan-kemenangan
7. Konsolidasi
8. Institusionalisasi
Membangun kedelapan hal ini adalah proses transformasi, dibangun dan dirawat yaa, karena ini bukan sulap.

Dalam prosesnya, yang terbaik adalah menumbuhkan budaya yang suportif, ini yang kerap kali tak ditumbuhkan tapi ingin segera menghasilkan. Pimpinan mendorong dukungan atas perubahan dengan menumbuhkan Awareness, Desire, Ability, Promote & Transfer. Ingat lagi bahwa ini transformasi, bukan sulap! Lakukan inspeksi pada setiap perubahan dan adaptasi secara terus menerus.

Setelah hal ini dilakukan, maka bantulah dengan perangkat-perangkat bantuan. Melengkapi Being Agile dengan Doing Agile dengan memandu tim untuk paham bahwa proses adopsi dipastikan berawal dari 1) Problem Driven, 2) Adopsi Praktek Agile dan 3) Memastikan increment2nya terwujud.

Perubahan dilakukan diatas perubahan memang memancing dinamika, disini perlu hadir para pemimpin yang menjadi sponsor perubahannya, bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Tapi jangan salah, menjadi Agile juga tidak menjadikan kita chaos

Era VUCA atau BANI, satu kata yang menggambarkannya “Ruwet”. Kata ini muncul dalam diskusi kami kemarin, hingga era ini memang sangat fundamental untuk memahaminya dengan cara berpikir yang baru dan relevan terhadap perkembangan yang serba cepat. Berubah menjadi ruwet ya memang karena konstelasi proses, sistem dan mekanisme menjadi baru yang tak bisa dipahami dengan paradigma tradisional.

Menjadi Agile, sebuah terminonologi yang sedang sering terkemukakan, namun memaknainya memang menantang. Apalagi jika populasi masyarakatnya mayoritas masih terkungkung dalam pola pikir tradisional yang menuntut berbagai kejelasan pada setiap langkah yang Ia ingin jalankan. Hal ini timbul karena memang Ia terbiasa dengan proses bisnis lama dan mendarah daging dalam kehidupannya dan membentuk pola pikirnya saat ini.

Era dimasa pandemik melandai ini juga menjadi penanda makin jelasnya sesuatu yang unclear atau tak jelas semakin banyak ditemui diberbagai ruang kehidupan, hingga hal ini membawa pada prasyarat yang juga tak jelas. Sementara masyarakat masih nyaman dengan sesuatu hal yang pasti dan jelas.

Menjadi Agile, tak lagi membawa pada hal-hal yang pasti dan jelas yang dapat dideskripsikan. Tapi jangan salah, menjadi Agile juga tidak menjadikan kita Chaos. Mengupayakannya untuk mengeksplorasi ruang antara clear dan unclear, antara simple dan chaotic, antara kompleksitas dan simplisitas. Memastikan outcomes dan dampaknya terwujud.

Dalam mencapai tujuan, maka ada upaya yang kompleks & unik dimana tak ada satu ukuran yang cocok untuk semua pendekatan, hingga dalam menyelesaikannya kita perlu menyesuaikan metodologi pada setiap tujuan yang berbeda.

Coba petakan permasalahan dan kondisinya, matriks Stacey ini mungkin bisa membantu kamu dimana kita menggunakan pendekatan Agile atau Waterfall. Petakan lagi kondisi, prasayarat dan kaitannya dengan teknologi. Ada dimana mereka. Agile memang berada pada kompleks, maka jalan bersolusinya adalah dengan ko-kreasi, bergagasan yang kolaboratif, visioning, eksplorasi, pengembangan yang iteratif hingga knowledge management.

Bereksplorasilah hingga kamu lebih dekat dengan tujuan!

Bikin tim kamu lebih agile, gimana caranya? apa aja pilar-pilarnya?

Bikin tim kamu lebih agile, gimana caranya? apa aja pilar-pilarnya?

Coba deh kamu bicarakan dan petakan kembali tim kamu, apa sebenarnya tujuan usaha bersama kita, apa yang yang menjadi kunci perubahannya, apa saja yang bisa jadi energi pada setiap langkahnya, apa yang bikin kamu dan tim punya alasan untuk bersua dan bersama mengarungi dinamikanya, bagaimana kita bisa melakukan proses secara inklusif dan merasakan bahwa tim ini bisa saling menguatkan, serta apa yang sesungguhnya kita perlu pahami dalam dalam konteks saat ini?

Yuk kita kupas satu-satu 😀

1. Tujuan;
Tujuan utama tentunya adalah bagaimana kita melahirkan Innovation & Efficiency menuju ultimate goals kita bersama.
Keberhasilan di era perubahan artinya mampu beradaptasi dengan berinovasi & melakukan hal-hal baru. Menjadi lebih efisien dengan sumberdayanya yang menipis.

2. Kunci: 
Ada banyak dinamika, maka kuncinya adalah Communication & Knowledge.
Komunikasi adalah memahami dengan proses interaktif dalam membangun realita yang baru. Pengetahuannya dibangun melalui pengalaman pribadi & interaksinya.

3. Energi: 
Energi terbaik adalah menumbuhkan kemampuan Entrepreneurship & Proactivity tim kita. Perlu waktu yaa, ga usah buru;)

Di era ketidakpastian, memang lebih beresiko jika tak melakukan apa-apa dari pada melangkah walau salah arah. Proactivity, adalah inisiatif & eskperimen yang akan menjaga pergerakan agar terus beradaptasi.

4. Magnet: 
Bagaimanapun membangun “Teamwork & Commitment” adalah magnet terbaik, pastikan keterlibatan tim & fokus pada prioritas utama.

5. Pendekatan: 
Ngga semua dikerjakan & diinisiasi pemimpin, maka pola Distributed Leadership & Coordination menjadi cara & budaya terbaik! Kepemimpinan yang terdistribusikan jadi penting untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk munculnya inisiatif-inisiatif baru!

6. Kerangka Kerja: 
Kerja di era perubahan, mesti paham bahwa era ini penuh Complexity & Uncertainty, memahami proses bisnisnya menjadi hal penting. Masyarakat global yang saling terhubung & saling ketergantungan berakibat pada pengelolaan yang kompleks menjadi perhatian utama kita.

Gimana? Makin pusing yaa🤣🤣 Bismillah kita melompat!🚀

How to Develop an Agile Team

Seseorang berkata; “Ah Agile! Ngga mungkin kalo leadernya ga Agile!” Pernyataan ini benar, memang “Agile comes from the top” Pe-ernya adalah bagaimana sebenarnya membangun & menerapkannya ke dalam budaya. Kunci sukses terletak pada pada kapasitas tim yang self-coordinating.

Menjadi “self-coordinating team” memang penting, tapi kabar buruknya, memang ga gampang, tapi sangat mungkin diwujudkan!
Tim yang Agile secara kolektif memikul tanggung jawab penuh atas kesuksesan memberikan hasil, bersifat multifungsi, paham bahwa tim ini akan bekerja secara kolaboratif, kohesif & bekomitmen sepanjang proyeknya.

Ada di tiga tingkat menurut Cooplexity Model dari Ricardo Zamora
1.Individu; sikap & bakat.
2.Lelompok; komitmen & keselarasan.
3.Organisasi; perubahan budaya.

Faktor kunci memfasilitasi integrasi & perubahan budaya adalah memecah silo, meningkatkan koordinasi antar & intra-tim, menyelaraskan tujuan, memfokuskan organisasi pada tujuan dengan cara;

1. Tujuan; Innovation & Efficiency.
Keberhasilan dalam dunia yang berubah-ubah artinya adalah beradaptasi dengan berinovasi & melakukan hal-hal baru dengan lebih efisien pada hal-hal yang sama kala sumberdaya menipis.

2. Kunci: Communication & Knowledge.
Memahami dengan proses interaktif dalam membangun realita yang baru. Pengetahuan dibangun melalui pengalaman & interaksinya.

3. Energi: Entrepreneurship & Proactivity.
Di era ketidakpastian, memang lebih beresiko jika tak melakukan apa-apa dari pada melangkah walau salah arah. Proaktivitas, adalah inisiatif & eskperimen yang akan menjaga pergerakan untuk terus beradaptasi.

4. Magnet: Teamwork & Commitment.
Proses keseluruhan dari penyelarasan tujuan bisnis diraih dari hasilnya dengan memastikan keterlibatan & fokus pada priorotas utama.

5. Pendekatan: Distributed Leadership & Coordination.
Kepemimpinan yang terdistribusi penting untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk munculnya desentralisasi self-coordination & koordinasi spontan

6. Kerangka Kerja: Complexity & Uncertainty. Masyarakat global yang saling terhubung jadi saling ketergantungan, hingga masalah mengelola kompleksitas menjadi perhatian utama.

Gimana tim kamu siap?🚀

Mengubah model bisnis menjadi ekositem bisnis adalah hal yang lazim saat ini dan dimasa depan

Jangan lupa, bahwa saat ini ga cuma model bisnis yang membuat sebuah organisasi menjadi pemenang dalam bidangnya. Atau bahkan kita perlu mendefinisikan kemenangan itu sendiri.

Model bisnis yang baik saat ini adalah yang mempu menginisasi ekosistemnya menjadi sebuah wadah dimana ia berakselerasi mencapai tujuannya. Nah, tujuan inilah yang menjadi kriteria kesuksesan, tidak lagi bermuara pada besaran, kecepatan / bahkan keunggulan. Kemenangan perlu didefinisikan sudah sejauh mana kita langkah mendekat pada tujuannya.

Setiap model bisnis organisasi memiliki tujuan masing-masing, namun dalam prakteknya setiap bisnis punya irisannya hingga membentuk ekosistem yang mewadahinya melakukan percepatan pencapaian tujuannya.

Mengubah model bisnis menjadi ekositem bisnis adalah hal yang lazim saat ini dan dimasa depan. Bahkan perusahaan besar dalam proses transformasinya Ia bergeser untuk menjadi pemberdaya bagi ekosistemnya, hingga Ia justru menjadi hub-nya. Contohnya, perusahaan listrik di Eropa misalnya, Ia tak lagi berlomba menjadi penghasil listrik. Tapi meng-engcourage masyarakat menghasilkan listrik paling ramah lingkungan & Ia menggeser kedudukannnya sebagai penghasil menjadi hub, orkesreator ekosistemnya menjadi inklusif.

Dalam ekosistem, memang perlu dibangun kesepahaman, ada nilai yang dibagi bersama. Peneliti Universitas Islam Azad Aghajani Hashjeen, dkk., menuliskan bahwa kreativitas & inovasi akan sangat bergantung pada struktur organisasinya.

1. Makin fleksibel suatu organisasi & makin bergerak menuju struktur organik, semakin banyak kreativitas yang dipupuk (& sebaliknya).
2. Makin formal suatu organisasi (penekanan pada aturan), makin banyak kreativitas terkubur
3. Makin kompleks organisasi, semakin tidak kreatif.
4. Semakin terpusat suatu oxrganisasi, semakin berkurang kreativitasnya.

Usaha-usaha yang agile, membentuk ekosistem & mengarah pada semakin banyaknya kreatifitas, makin inovatif meski mereka punya tujuan berbeda. Jangan lupa libatkan masyarakat. karena konsep shared value akan menghubungkan kesuksesan organisasi dengan keberhasilan masyarakat & mendorong gelombang inovasi sosial baru secara masif jadi titik temu orientasi bisnis & sosial.

Menjadi ekosistem yang mengeksplorasi pemahaman satu sama lain

Gagal paham lintas generasi, kerap terjadi karena era digital begitu cepat mengubah landscape kehidupan.  Setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya, apalagi di era ini dimana ledakan ketidaksepahaman sering terjadi dan menguras energi.

Dalam sesi diskusi hari ini bersama kawan-kawan calon-calon pemimpin sebuah BUMN, mengulas bagaimana organisasi kita sebaiknya menjadi wadah berpadunya perbedaan. Menjadi ekosistem yang mengeksplorasi pemahaman satu sama lainnya. 

Golongan senior tentu membawa nilai-nilai berbeda, idealnya juga ia membawa big picture yang lebih kayak karena dengan pengalamannya Ia memiliki pemahaman tidak semata-mata di permukaan, tapi Ia bisa melihat yang tak tersembunyi dibawah permukaan sehingga ia kerap mengernyitkan dahinya jika Ia menemukan hal-hal yang tak sesuai dengannya.

Disisi lain adalah terkait generasi kekinian yang paham konteks kekinian, paham cara deliver yang paling pas dengan penguasaan teknologinya membawanya menguasai kebaruan-kebaruan andal yang bisa dijadikan alat kemajuan. 

Transformasi yang sering dilewati untuk beradaptasi dengan perubahan justru terletak pada wadahnya, karena wadah organisasi muncul tak berwujud fisik, tapi nyawa yang hadir di dalamnya. Kedua generasi ini perlu mencairkan diri bersama dalam melting pot yang sehat. Mencipta ruang-ruang diskusi yang penuh dengan ritual kreativitas yang inklusif, mewadahi berbagai ide dan tidak hadir sebagai blockers. 

Keterbukaan, umpan balik, perbaikan berkelanjutan menjadi penting. Dalam setiap fasenya memastikan keterlibatan juga sering kali menjadi kendala, membangunnya menjadi nyata adalah proses tumbuh. Artinya tak tiba-tiba ada, ada siklus berulang yang semakin baik dan matang.

Keterlibatan setiap pihak menjadi penting, menumbuhkannya menjadi semangat kepemilikan bersama. Melting pot ini menjadi wadah meluruhnya kesenjangan generasi, melakukan proses transformasi yang baik, melahirkan wadah yang transformatif membuka pintu-pintu perubahan dan melompatkan pada keberhasilan dimasa datang. Melting pot ini menjadi tempat-tempat gagasan didiskusikan, diracik dan dieksekusi hingga menjadi dampak yang terjaga keberlanjutannya.

Jangan-jangan ini adalah fenomena gunung es

Menyimak beberapa influencer muda beramai-ramai ditangkap Bareskrim. Kasus para afiliator muda Binary Options yang mencuat belakangan melibatkan anak-anak muda DS, IK juga belakangan ada ADG bukan afiliator, tapi influencer dengan usia 23-26 tahunan yang sesungguhnya mereka ini cerdas, punya keleluasaan mendapatkan akses pada dunia digital sesuai dengan jaman para Gen Z saat ini. Bukan maksud mengeneralisir, hanya saja memang perlu dicermati, jangan-jangan ini adalah fenomena gunung es.

Ketiga orang diatas memang sangat intens di dunia digital, dua diantaranya intens dengan aktivitas finansial digital, ADG yang terakhir menyalah-gunakan keterampilan komunikasi & politiknya di dunia media sosial. Anak-anak muda ini cerdas secara substansi, tapi di era digital ini, tampaknya mereka tak tumbuh dengan nilai-nilai hidup & sosialnya.

Saya jadi berhipotesa, bahwa era digital memang membuat setiap individunya untuk menjadi sangat mudah memiliki akses pada ilmu pengetahuan. Namun sayangnya penumbuhan pengetahuan ini tak memastikan juga membawa serta nilai-nilai hidupnya.

Proses akuisisi pengetahuannya berjalan terus, tapi nilai-nilainya tak terbangun sepanjang proses tumbuh pengetahuannya. Pada akhirnya Ia menumbuhkan pengetahuannya yang terpisah dengan nilai-nilai luhur hidup. Jika kita amati IK, DS & ADG, mengapa dari ketiga orang ini ketika Ia melanggar hukum pun justru merasa tak bersalah? Bahkan bersikeras bahwa Ia tak juga melanggar nilai.

Kasus merasa benar, sah & benar dengan polosnya, terlebih dengan kasus ADG terkini cukup mencengangkan. Bagaimana seseorang cerdas tumbuh menjadi pemfitnah & pengadudomba profesional dengan memanfaatkan media digital & menganggapnya sebuah kelaziman demi uang.


Tantangan era digital ini sejatinya bukan hanya pertanyaannya terkait akuisisi pengetahuannya saja, karena sumber pengetahuan sangat luas dan mudah didapat, tapi bagaimana kemudian kita berstrategi menumbuhkan nilai-nilai dasar kemanusiaan, etika dan empati yang dapat terinternalisasi dengan baik mejadi fundamental hidup manusia yang beradab dalam peradaban di era digital.