Lokapasar Festival

✨ Dikenal Sebagai Pendorong Inovasi Sosial di Indonesia✨️

Beliau akan berbagi wawasan transformatif dan siap menginspirasi Anda dengan ide-ide brilian.

Kenalin, beliau adalah Dr. Ir. Dwi Purnomo seorang Dosen, Founder The Local Enablers, Mentor Design Thinking, dan Penulis buku inspiratif 💡

Dalam Lokapasar Festival kali ini, siap-siap kamu akan diajak melihat tantangan dan peluang dari sudut pandang berbeda, dengan pendekatan kreatif dan berdampak.

Kalau kamu ingin jadi bagian dari perubahan positif lewat inovasi sosial, this session is totally for you!

📍Stay tuned, catat tanggalnya, dan jangan sampai kelewatan!

Inovasi Nggak Cuma Soal Hal Baru

Kita pikir inovasi itu soal fitur baru, ide disruptif, atau teknologi tercanggih. Tapi ternyata, banyak perubahan besar justru berakar dari hal kecil, cara kita bersikap, merespons rekan kerja, atau mengambil keputusan. Bukan soal seberapa canggih idenya, tapi apakah perilakunya berubah? Di sinilah kita keliru: kita ingin transformasi, tapi perilakunya masih stagnan.

BJ Fogg mengajarkan bahwa perubahan bisa dimulai dari lima hal: memulai hal baru (green behavior), menghidupkan ulang yang dulu sempat baik (blue), meningkatkan frekuensi aksi positif (purple), mengurangi hal yang tidak sehat (gray), atau bahkan menghentikan total kebiasaan merusak (black). Ini bukan teori abstrak, ini bisa berarti sesederhana: “Berhenti menyalahkan user kalau fitur gagal dipakai.”

Tapi mengapa sulit dilakukan? Karena kita terlalu sering mengandalkan sistem dan SOP, tapi lupa membiasakan percakapan sehari-hari yang membangun. Kita ingin tim kreatif, tapi tak berani membuka ruang untuk gagal. Kita ingin budaya kolaboratif, tapi meeting masih jadi ajang kompetisi ego. Perubahan budaya bukan proyek HR, tapi urusan setiap individu di dalamnya.

Cobalah satu perubahan saja minggu ini. Minta feedback secara terbuka. Ucapkan terima kasih sebelum mengkritik. Matikan notifikasi 30 menit sebelum brainstorming. Jangan tunggu manajemen. Karena seperti kata Peter Senge: “People don’t resist change. They resist being changed.” Tapi mereka akan berubah… kalau diajak memulai dari sesuatu yang bisa mereka rasakan dan percayai.

RE-INVENTING BMC

Kita ingin bisnis terus berkembang.

Tapi kadang, justru strategi yang dulu terasa solid mulai terasa kaku. Pelanggan berubah, pasar bergerak cepat, sementara model bisnis kita masih sama seperti dulu.

Masalahnya, kita seringkali hanya mengisi Business Model Canvas (BMC) sekali, lalu disimpan seperti pajangan. Padahal BMC itu bukan arsip, tapi kompas yang harus terus disesuaikan.

Lewat eBook RE-INVENTING BMC,
@dwiindrapurnomo mengajak kita meninjau ulang model bisnis dari tiga sisi penting:

🎯 Frontstage
bagaimana pelanggan merasakan bisnis kita

🔧 Backstage
bagaimana tim kita bekerja dan menciptakan Value

📈 Profit Formula
bagaimana kita bisa tetap untung tanpa membebani operasional

Bukan berarti harus mulai dari nol, tapi kita perlu tahu bagian mana yang harus diubah, disesuaikan, atau ditinggalkan. Kalau kita merasa bisnis mulai melambat, mungkin ini waktunya reinvent.

📥 Unduh eBook-nya sekarang melalui tautan di bio.

Siapa tahu, perubahan kecil di strate

Mencetak Enablers Butuh Proses, Bukan Hanya Pelatihan

Perubahan jarang datang dari atas. Ia lahir dari orang-orang yang memilih bergerak di level paling dekat dengan realita, anak-anak muda yang sadar bahwa kontribusi tidak harus menunggu jabatan. Mereka belajar memahami konteks, membangun kepercayaan, dan menjadi jembatan antara harapan dan aksi nyata. Di The Local Enablers, mereka disebut enablers: bukan tokoh utama, tapi kunci yang menyambungkan sistem dengan masyarakat (Leadbeater, 2008; Westley et al., 2013).

Mencetak enablers butuh proses, bukan hanya pelatihan. Dibutuhkan ruang aman untuk salah, komunitas yang saling dorong, dan sistem pendampingan yang membumi. Wenger (1998) menyebutnya sebagai communities of practice—tempat di mana orang belajar bukan hanya dari materi, tapi dari perjumpaan dan kolaborasi. Ini sejalan dengan prinsip experiential learning (Kolb, 1984), di mana kapasitas dibentuk lewat siklus mencoba, merefleksi, dan memperbaiki secara terus-menerus.

Tantangannya bukan sekadar membuat mereka aktif, tapi memastikan mereka punya kapasitas untuk berdampak. Enablers masa kini harus bisa memetakan masalah, merancang solusi yang relevan, dan mengelola perubahan dengan cara yang inklusif. Heifetz dan Linsky (2002) menyebut ini sebagai bentuk adaptive leadership; memimpin tanpa otoritas formal, tapi punya pengaruh karena kredibilitas, empati, dan konsistensi.

Proses ini tidak sedang membentuk bintang, tapi ekosistem. Karena perubahan besar sering kali dimulai dari sekelompok kecil yang bekerja dengan hati, bukan sorotan. Dan kalau hari ini kita terus mencetak enablers, maka esok kita tak hanya punya program yang berjalan, kita punya generasi yang terus menyalakan dampak.

Jangan Lelah Berproses @thelocalenablers

Apreciate to the all co-supervisors

@nizzahnaf co supervised by @gitanoor
@alyahst co supervised by @mangroisz
@anggitameliaaa co supervised by @yulistyne

Buku Manusia Kreatif

Edisi Terbaru Seri Buku Manusia Kreatif telah hadir!

📚 4 Buku | 2 Versi | Banyak Inspirasi 🔥

Kini, seri buku Manusia Kreatif hadir dalam 2 versi:
📘 Versi Berwarna – dengan ilustrasi dan elemen visual penuh warna yang memperkaya pengalaman membaca.
⚫ Versi Hitam Putih – lebih ekonomis, tetap dengan konten dan kualitas cetak yang sama, hanya berbeda di pewarnaan isi halaman

✨ 4 Judul Buku Seri MANUSIA KREATIF:
1. Activation! – Strategi Mengenal Tujuan
2. Let’s Agile! – Kiat Mempertajam Mindset
3. Re-Design Your Thinking! – Cara Mendesain Sistem Berpikir Kita
4. Transformative Education – Mempersiapkan Pemimpin Masa Depan

🎁 HARGA SPESIAL PRE-ORDER (24 Juni – 31 Juli 2025)
🔸 Warna: Rp125.000/buku
🔸 Hitam Putih: Rp90.000/buku
💥 Beli 2 buku → Diskon 10%
💥 Beli 4 buku → HANYA Rp400.000 (warna) / Rp300.000 (hitam putih)

* BONUS:
Kelas GRATIS di Lokapasar Festival! (Untuk pemesanan 24 Juni – 2 Juli 2025).

Buku dapat langsung diambil di Lokapasar Festival yang akan diselenggarakan pada 7 Juli 2025, di Pasar Kreatif Jawa Barat

Gratis book signing dan konsultasi dengan mentor ahli

Info lebih lanjut mengenai Lokapasar Festival dapat diakses melalui instragram @lokapasar.festival

📲 Order sekarang via:
🔗 https://bit.ly/POManusiaKreatif
📞 WA: Putri 0816-777-379

📍 Follow: @thelocalenablers
📌 Jangan lewatkan juga keseruan kelas & aktivitas di Lokapasar Festival!

User-Centric, Bukan Monetisasi Terselubung!

User-Centric, Bukan Monetisasi Terselubung!

“Produk ini sangat membantu kami, tapi terlalu mahal untuk dipakai terus-menerus.”

Kalimat ini sering terdengar, terutama dari mereka yang paling membutuhkan solusi namun justru tak mampu menjangkaunya. Masalahnya bukan pada kualitas produk, tapi pada logika bisnis yang menjadikan kebermanfaatan sebagai alasan untuk menaikkan harga. Di balik jargon inovasi, tersembunyi praktik monetisasi yang tak selalu berpihak.

Padahal, Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010) dirancang untuk menyeimbangkan tiga dimensi utama: desirability (apakah pengguna menginginkan), feasibility (apakah organisasi mampu menciptakan), dan viability (apakah bisa berkelanjutan). Namun dalam praktiknya, keberhasilan menciptakan value proposition sering disalahartikan sebagai izin moral untuk mematok harga setinggi mungkin.

Liedtka et al. (2017) mengingatkan bahwa inovasi harus berangkat dari empati. User-centricity berarti menyelami kenyataan hidup pengguna—bukan hanya apa yang mereka inginkan, tapi juga apa yang mampu mereka jangkau. Solusi yang benar-benar berpihak tidak hanya hadir dalam bentuk produk yang baik, tapi juga dalam akses yang adil.
Di sinilah kreativitas model bisnis diuji. Bukan dengan menaikkan harga, tapi dengan merancang ulang blok kiri BMC; Key Activities, Key Resources, dan Key Partners, untuk menciptakan efisiensi, menjalin kolaborasi, dan mendistribusikan biaya tanpa membebani pengguna. Banyak organisasi gagal di titik ini: mereka punya misi mulia, tapi model bisnisnya justru menciptakan ketimpangan akses.

Seperti dijelaskan oleh Hurst (2014) dalam The Purpose Economy, organisasi masa depan adalah mereka yang menjaga nyala misi tanpa membakar daya jangkau penggunanya. Menjadi purpose-led berarti menempatkan pengguna sebagai mitra perubahan, bukan target profit. Dan menjadi user-centric berarti berani mengatur ulang logika bisnis agar nilai yang diciptakan bisa dinikmati oleh yang membutuhkan, bukan hanya yang mampu membayar✨

Jangan bilang lagi kami punya“produk, tapi kami punya “solusi”

Jangan bilang lagi kami punya“produk,
tapi kami punya “solusi”

Jangan buru-buru bilang punya produk, kalau yang ditawarkan belum menjawab kebutuhan nyata. Dalam proses inovasi, terlalu banyak yang merasa selesai hanya karena telah menciptakan sesuatu. Padahal, dalam kacamata Design Thinking (DT) menciptakan produk hanyalah output. Ia belum tentu menjawab masalah, belum tentu digunakan, apalagi berdampak.

Seperti dijelaskan oleh Brown (2009) dalam Change by Design, DT menekankan pentingnya memulai inovasi dari empati pada pengguna, bukan dari teknologi / ide semata.

DT mengajarkan bahwa titik tolak inovasi bukan pada “apa yang bisa kita buat”, melainkan “masalah siapa yang kita pecahkan.” Mindset ini menuntut kita untuk turun ke lapangan, mendengar keluhan & harapan pengguna, serta menyelami konteks mereka secara utuh.

Produk yang berhasil bukan hanya yang selesai dibuat (done), tetapi yang terbukti digunakan & berdampak. Liedtka (2015), mengungkapkan bahwa pendekatan ini berorientasi pada penciptaan outcomes, perubahan perilaku, pengalaman yang lebih baik & penyelesaian masalah yang relevan, bukan hanya produk yang rapi secara teknis.

Dengan kata lain, produk yang tidak relevan sama saja dengan menjual payung di tengah kemarau. Tampak fungsional, tapi tak dibutuhkan. Inilah mengapa Tim Brown (2009) menyebut inovator sebagai “integrator of desirability, feasibility, and viability”, mereka bukan cuma pembuat barang, tapi penyelesai masalah. Inovasi tidak dilihat dari keunikan produknya, tapi dari kedalaman pemahamannya terhadap manusia. Human-centered innovation menempatkan pengguna sebagai titik pusat dari setiap keputusan desain, bukan sekadar sasaran akhir dari produk jadi.

Berhentilah sekadar memamerkan produk. Mulailah bicara tentang solusi. Bukan “kami sudah punya aplikasi”, tapi “kami bantu petani menjual hasil panen tanpa tengkulak.” Bukan “kami bikin platform digital”, tapi “kami bantu UMKM mengelola keuangan tanpa pusing.” Kita tak kekurangan teknologi, tapi kekurangan empati yang diwujudkan jadi solusi bermakna. Kelley & Kelley (2013) bilang, inovasi sejati lahir dari keberanian untuk bertanya: apa dampak yang benar-benar ingin kita ciptakan?

The Pitch Canvas

Kebahagiaan itu muncul tat kala melihat jelas bagaimana peserta bertransformasi secara mendalam, bukan hanya dalam cara membuat presentasi, tapi juga dalam memahami esensi inovasi itu sendiri. Di awal, sebagian besar masih berpikir bahwa membuat aplikasi atau alat berarti sudah berinovasi. Namun, seiring berjalan, mereka mulai menyadari bahwa inovasi yang bermakna justru lahir dari pemahaman akan kesulitan pengguna di lapangan, dari proses yang berbelit, dari titik-titik friksi yang nyata. Di sinilah pendekatan user-centric mulai mengambil alih, menggantikan logika lama yang hanya berpusat pada produk.

Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam isi, tapi juga dalam cara mereka menyampaikan. Jika sebelumnya mereka bergantung pada slide dan penjelasan teknis yang kaku, kini mereka mampu membawakan kisah inovasi dengan alur yang runtut, humanis, dan menyentuh. Mereka mulai bercerita, bukan hanya memaparkan. Visual-visual proses bisnis, simulasi kerugian waktu dan biaya, hingga potensi dampak nasional mulai tampil dengan jelas. Bahkan, dalam waktu hanya lima menit, mereka bisa membuat pendengar memahami urgensi, solusi, dan manfaat dari inovasi yang dibawanya.

Satu hal penting lainnya adalah munculnya kesadaran akan perbedaan antara invensi dan inovasi. Mereka mulai paham bahwa membuat hal baru saja tidak cukup. Inovasi adalah ketika hal itu dipakai, menyelesaikan masalah nyata, dan berdampak pada efisiensi, keselamatan, atau pelayanan pelanggan. Beberapa tim bahkan mulai menghitung: berapa menit waktu yang bisa dihemat, berapa rupiah potensi kerugian yang bisa ditekan, dan apa implikasinya jika solusi ini direplikasi secara nasional. Ini adalah lompatan berpikir yang sangat berarti.

Namun agar transformasi ini tidak berhenti di ruang lomba, perlu langkah yang sistemik. Rekomendasinya adalah membangun ekosistem inovasi internal yang memungkinkan gagasan terus tumbuh, diuji, dibagikan, dan disempurnakan. Sebuah platform yang bukan hanya mendokumentasikan solusi, tapi juga memfasilitasi kolaborasi, pendampingan, dan replikasi lintas unit. Dengan itu, inovasi bukan lagi acara musiman, tapi budaya kerja yang hidup & berkembang di setiap lini, terimakasih @pln_jabar🎉

Berhenti Ngomong “Ga Ada Anggaran”

“Saya cuma staf biasa, Pak. Yang penting ikut aturan.”

Kalimat ini mungkin terdengar biasa, tapi bagi fasilitator Design Thinking, ini sinyal darurat. Karena ketika seseorang berhenti merasa punya suara, maka ide-ide berhenti tumbuh. Karakter divergen, yang jadi nyawa dari tahap awal Design Thinking seperti empati dan define, hanya akan muncul jika kita merasa aman untuk berbeda, mengganggu, dan bertanya “kenapa tidak?”, dan ini sangat ditentukan oleh bahasa yang digunakan sehari-hari di organisasi.

Bahasa adalah pembuka atau penutup ruang divergensi. Kata “salah”, “nggak sesuai SOP”, “tunggu atasan dulu”, adalah tembok kecil yang menghancurkan imajinasi besar. Sebaliknya, kalimat seperti “apa yang bisa kita eksplorasi?”, “menurut kita bagaimana?”, atau “nggak apa-apa, ini belum tepat” adalah pintu masuk menuju diskusi yang lebih terbuka. Amy Edmondson (2019) menyebut ini sebagai psychological safety,x rasa aman untuk bicara, mencoba, bahkan salah, dan itu dimulai dari bahasa. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang-ulang solusi yang nyaman, bukan menjelajah kemungkinan yang dibutuhkan.

Karakter divergen butuh lingkungan yang bahasanya lentur dan menghargai eksplorasi. Maka dalam praktik Design Thinking, kita tidak hanya butuh metode, tapi juga atmosfer. Dan atmosfer dibangun dari kata-kata. “Tugas” bisa diganti jadi “proyek eksplorasi”, “deadline” bisa jadi “kesepakatan waktu”, “memilih” bisa menjadi “meramu”. Ini bukan manipulasi bahasa, tapi desain ulang mindset. Carol Dweck (2006) menyebutnya sebagai growth mindset, yang mendorong kita melihat kemampuan bukan sebagai sesuatu yang tetap, tapi bisa dikembangkan, selama ada ruangnya.

Maka jika tim kita buntu, jangan buru-buru ganti framework. Coba dulu dengarkan bahasanya. Apakah sudah memberi ruang untuk berpikir divergen, atau justru memperkuat pola pikir konvergen yang serba takut salah? Di era ketidakpastian, kita butuh lebih dari sekadar metode. Kita butuh cara bicara yang menumbuhkan keberanian berpikir beda. Karena dari sana, inovasi lahir🚀