Business Thinking & Design Thinking

Business thinking dan design thinking adalah dua pendekatan yang berbeda dalam memecahkan masalah dan mengembangkan ide.

✔️Business thinking fokus pada pengembangan dan pertumbuhan bisnis dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti biaya, keuntungan, dan pasar.

✔️Sedangkan design thinking fokus pada pemahaman mendalam tentang pengguna dan menemukan solusi kreatif yang menyelesaikan masalah pengguna dengan cara yang efektif.

Bedanya antara business thinking dan design thinking adalah:

✔️Tujuan utama: Business thinking bertujuan untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan bisnis, sedangkan design thinking bertujuan untuk menciptakan solusi inovatif untuk masalah pengguna.

✔️Proses yang digunakan: Business thinking menggunakan metode analisis data dan strategi bisnis untuk mengembangkan dan mengoptimalkan bisnis, sedangkan design thinking menggunakan pendekatan empiris untuk mengembangkan solusi kreatif untuk masalah pengguna.

✔️Fokus pada pengguna : Design thinking memprioritaskan kebutuhan pengguna dan berusaha memahami perspektif mereka secara mendalam, sementara business thinking lebih berfokus pada kepentingan bisnis.

✔️Pembuatan keputusan : Business thinking mengutamakan pengambilan keputusan berdasarkan analisis data dan strategi bisnis, sementara design thinking lebih mengutamakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada pemahaman mendalam tentang pengguna dan berfokus pada solusi kreatif dan inovatif.

✔️Orientasi waktu : Business thinking lebih berorientasi pada jangka pendek, sementara design thinking lebih berorientasi pada jangka panjang dan keberlanjutan solusi.

Pastikan keduanya berjalan beriringan, business thinking maupun design thinking dapat saling melengkapi dalam pengembangan bisnis dan pengembangan produk yang sukses.

Keduanya bisa digunakan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang lebih baik dan menciptakan solusi yang lebih inovatif. Ayoo latih lagi skillnya! #tleecosociopreneur

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat

Jangan hanya sekedar berpendidikan, karena yang terdidik belum tentu kemudian jadi pembelajar. Jadi ingat pembicaraan dengan sahabat saya, “kita belajar bukan untuk jadi pintar, tapi biar engga bego, Dwi!” Ungkapan terdengar shocking pasa mulanya, tapi ini semacam tamparan yang mengingatkan agar kita tetap relevan dengan jaman dan kondisinya, mau jadi pembelajar sepanjang hayat.

Kalimat menampar seperti “Sekolah biar ngga bego! bukan buat pintar” diungkapkan seorang teman, sahabat baik saya, sosok yang gemar sekali bersekolah. Kalimat ini begitu membekas, jadi selalu teringat mengapa kita perlu belajar?

Belajar bukan untuk menjadi pintar, tetapi justru agar kita tak menjadi bodoh! Adalah ungkapan yang penting, bahwa kecintaan belajar sepanjang hayat adalah untuk menjaga kita tetap relevan, adaptif dan tau tujuan kedepan dengan pasti. Tidak sebatas pada batasan-batasan gelar akademik yang menyatakan bahwa saya pernah bersekolah, tapi dari situlah bermula kemampuan pembelajar sepanjanghayatnya dikuatkan.

QS. Al-Baqarah Ayat 67; Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”

Tag sahabat terbaik @putiretno_

Subjektif Vs Objektif

Melatih objektivitas jadi sangat penting dalam organsiasi pembelajar, menumbuhkan sikap jujur yang tidak dipengaruhi pendapat & pertimbangan pribadi atau golongan dalam menilai sesuatu hasil 🎁

Objektivitas berarti hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran / persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah fakta yang ada dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan & perasaan🤔

Penilaiaan subjektif memang sah-sah saja selama didasarkan pada akal sehat, tahu konteksnya & kemudian memvalidasinya. Subjektivitas memang kerap dikaitkan dengan pandangan & perasaan seseorang, bisa bersifat jujur / tidak jujur, bisa sesuai / tak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Subjektifitas bisa membawa seseorang melihat bahwa pandangan & perasaannya kerap bertentangan dengan masyarakat disekitarnya, oleh karena itu, jika seseorang memiliki penilaian subjektif, maka Ia perlu memvalidasi pandangan & perasaannya🔍

Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya, hubungan kerja keduanya memiliki kelebihan & kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif🥁

Subjektivitas yang tidak diuji kerap menimbulkan chaos, terlebih budaya-budaya kolot yang melanggengkan budaya takut bertanya, validasi hingga berakibat fatal kemudian. Menilai orang akan lebih jernih dari karyanya, bukan dari Individunya sebagai persona. Persona akan sangat tergantung perspektif penilainya, basisnya akan sangat relatif. Namun jika melihat karyanya akan sangat berbeda akibatnya, karena melepaskan aspek relativitas dan didasarkan pada fakta✅

Nilai yang dihasilkan oleh upaya penelaahan objektif menghasilkan kebenaran tunggal, kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang menunjukkan perbedaan. Sedangkan penelitian subjektif cenderung majemuk, bergantung konteksnya🖼️

Melatih kebenaran subjektifitas memang perlu waktu, tapi akan lebih mudah hidup jika kita menilai orang dari karyanya, tak perlu pusing memikirkan personanya, jangan-jangan karena terlalu sibuk memikirkan persona orang lain, malah kita yang lebih urgent membenahi diri daripada orang tsb❤️

Design Thinking Dari Masa Ke Masa

Lima hari workshop di Bali, ngulik pesatnya perkembangan Design Thinking dari berbagai proses aplikasinya.

Era digital, terlebih masa pandemik, sangat terlihat bahwa setiap organisasi lebih memiliki kesadaran untuk melakukan proses transformasi. Bagaimana membuat organisasi menjadi lebih adaptif dengan resiliensinya yang kuat. Salah satu kerangka berpikir yang paling kuat dilakukan dalam proses transformasi adalah Design Thinking, terutama kerangka pikir yang digunakan untuk melakukan proses reframing beragam tantangan yang dihadapi😎

Mengeksplorasi beragam cara melihat permasalahan dari jaman ke jaman mengalami evolusinya. Bagaimana sesungguhnya evolusi Design Thinking?

Tahap I🥁
Dalam proses evolusinya, pada awalnya tahun 1960-1980an kerangka berpikir ini digunakan lebih banyak bagi pengembangan produk, jasa, model bisnis dan rekayasa pengalaman. 🚀Keberhasilanya diukur dari pengeluaran litbang, modal, intensifikasi teknologi, paten, jumlah publikasi & jumlah produk baru.

Tahap II🥁🥁
Pada tahun 2000 hingga 2020an saat ini, kerangka berpikir Design Thinking berkembang lebih banyak untuk digunakan sebagai Digital Platform Enablers, pengembangan ekosistem bisnis, mengembangkan perilaku baru organisasi, dan beragam pengalaman pengguna (UX). 🚀Keberhasilannya diukur dari seberapa banyak outcomes yang berhasil diciptakan, proses, portofolio, resiko, return, klaser, efek jaringan, kemampuan penguasaan Design & System Thinking dan performa tim.

Tahap III🥁🥁🥁
Dimasa yang datang, 2040an diperkirakan dimana dunia sudah sangat kompleks terhubung. DT berperan untuk merancang beragam pengalaman, bertemu dengan AI yang semakin canggih, otomasi & komunikasi masal yang akan memecahkan beraham masalah rumit dalam peradaban manusia kelak. 🚀Keberhasilannya akan diukur dari ekstensifitas sistem dinamknya, kolaborasi, keterampilan masa depan yang didukung AI, Big Data Analytic dan kemunculan beragam komunitas dan modal ekosistem lainnya.

Makin rumit & canggih pasti. Namun semua kembali kepada nilai-nilai yang paling hakiki dari seorang manusia. Design Thinking adalah tentang empati yang kemudian prosesnya melahirkan beragam solusi yang memanusiakan❤️

Belajar lagi🚀🚀🚀

Sudah Dekatkah dengan Tujuan?

Saat ini perkembangannya sangat luar biasa, mengarah bukan sekedar pada pengembangan produk dan jasa. Tahun 2000-2020an berkembang pesat ke arah IT, Digital Platforms, Social Engineering, kebijakan, model bisnis dan ke depan semakin diperlukan bagi pengembangan ekosistem bisnis, immersive experience AI dan automation.

Pengukurannya pun menjadi lebih menarik, karena tidak semata-mata pada keberhasilan sebuah produk diterima, tapi bagaimana DT melandasi culture sebuah organisasi dan ekosistem yang menggerakkannya pada inovasi. Ada sebuah Model yang dituliskan Lewrick tahun 2022, yang menyatakan bahwa ada empat tingkatan kematangan bahwa sebuah organisasi dalam penguasaan Design Thinking-nya yang melingkupi

1. Talenta baru / keterampilan masa depan
2. Pola pikir dan perangkat inovasi
3. Organisasi / kepemimpinan dan budaya.

Ke-tiga aspek diatas ternyata dapat dipetakan kapabilitasnya.

1. Untuk pilar talenta misalnya, Ia dipetakan kematangannya bedasarkan seberapa matang Ia memiliki penguasaan yang baik, punya team T-Shaped yang lengkap, sudahkan menjadi Team of Teams hingga sudahkan ia memiliki mindfulness dalam setiap prosesnya.
2. Untuk pilar mindset dan tools, seberapa paham Ia memahami dasar pemahaman cara kerja baru yang agile, seberapa transparan, melakukan proses DT secara konsisten, rasa kepemilikan yang tinggi, dipicu oleh hasil berupa outcomes dan diaplikasikan dalam beragam projectnya.
3. Untuk pilar organisasinya, sebera matang Ia sebagai organisasi pembelajar, strukturnya jejaring, apakah Ia sudah puya tim yang Self-organized yang berkontribusi kuat? inovatif, eksploratif dan membangkitkan rasa keingintahuan yang tinggi?

Mengukur seberapa jauh kita melangkah dan seberapa dekat lagi dengan tujuan menjadi penting. Apakah proses ini dibangun dengan sungguh-sungguh berorientasi keberlanjutan atau sesaat memastikan proses inovasinya melahirkan kemampuan adaptif, melompatkan pada kemajuan yang hakiki berkontribusi bagi peradaban.

Menemukan “Big Why”

Pernah ingat ngga ketika masa kecil, yang selalu kita utarakan adalah kalimat-kalimat tanya meminta penjelasan dengan awalan “Mengapa?” , saat beranjak dewasa bertanya mengapa kuantitasnya menjadi lebih sedikit, lebih banyak didominasi oleh asumsi.

Shosin, gabungan kata sho (bahasa Jepang: 初) yang berarti “pemula” atau “awal”, dan shin (bahasa Jepang: 心), yang berarti “pikiran”. Konsep Buddhisme Zen yang berarti “Beginers’ Mind” pikiran pemula. Mengacu pada sikap keterbukaan, keinginan. & minim prasangka ketika mempelajari suatu subjek, bahkan ketika belajar di tingkatan selanjutnya, berlaku seperti seorang pemula.

Istilah ini terutama digunakan dalam studi Buddhisme Zen dan seni bela diri Jepang, dipopulerkan di luar Jepang oleh buku tahun 1970 Shunryū Suzuki Zen Mind, Beginner’s Mind. Praktik ini adalah lawan dari keangkuhan & pemikiran tertutup yang sering dikaitkan dengan menganggap diri sendiri sebagai seorang ahli sehingga Ia bisa terjebak pada efek Einstellung, di mana seseorang menjadi begitu terbiasa dengan cara tertentu dalam melakukan sesuatu yang mereka lakukan. tidak mempertimbangkan atau mengakui ide / pendekatan baru.

Dalam Design Thinking, sangat penting mengasah kemampuan ini, memposisikan sebagai pemula selalu terdapat kemungkinan yang terbuka. Berbeda dengan asumsi, kerap menutup beragam kemungkinan yang bisa hadir membawa banyak alternatif solusi atau bahkan mimpi-mimpi baru. Proses Design Thinking memang sering bermula dari ambiguitas, disinilah kita belajar untuk mau dan mampu terbuka, bertanya mengapa berulang hingga mendalam. Memastikan ambiguitas berproses baik hingga memperoleh kejelasan (Clarity).

Shosin, akan membantu membukakan cakrawala untuk “Solving the right problem” karena Ia paham “Why-nya” lebih dalam paham akar masalahnya, kemudian kemampuan Shosinnya akan membawa para kemampuan “Solving the problem right” karena Ia membuka beragam kemungkinan gagasan baru memperoleh cara-cara kreatifnya.

Memelihara kemampuan Beginers Mind akan mempermudah mendapatkan banyak insight baru, bagian-bagian penting yang tak tersingkap karena terlalu banyak asumsi dan memungkinkan penjelasannya yang menyeluruh. Gimana dengan kamu?🤩

Team of Teams

Efek jejaring, baru saja kemarin membahas ini dengan beberapa kawan di ekosistem The Local Enablers, kali ini bersama Michael Lewrick penulis buku Design Thiking Playbook, salah satu penggunaan Design Thinking adalah memastikan proses perubahan sebuah organisasi bermuara pada sebuah ekosistem yang sehat sebagai muaranya.

Transformasi dari organisasi dengan struktur tradisional yang biasanya hierarkis-tersentralisasi menuju organisasi yang terdiri dari beberapa tim membentuk sebuah ko-kreasi, biasa disebut sebagai team of teams.

Bentuk ini melahirkan interaksi sebuah tim sebagai ekosistem yang terdiri dari tim-tim didalamnya, hanya saja ada nilai berbeda yang perlu dipahami yang sangat berbeda dengan tim hierarki tradisional yakni melakukan proses evolusi tim dengan cara;
1. Mau bekerja dengan aneka ambiguitas
2. Kolaborasi radikal dengan Design Thinking mindset
3. Pemimpin perlu menghubungkan beragam elemen organisasi

Proses ini menggerakan sebuah entitas bergerak dari struktur komando ke Team of Teams. Hal ini bermanfaat agar memiliki outcomes berupa network effects, dimana setiap elemen bergerak saling memperkaya dan menguatkan. Network effects adalah fenomena ketika suatu produk atau layanan menjadi lebih berharga ketika lebih banyak orang berinteraksi dan atau menggunakannya. Proses interaksi yang masih saling menguatkan menjadikan kondinya lebih berharga, sebuah ekosistem menjadi lebih kreatif karena tingkatan resourcefulnya menjadi tinggi.

Manfaat yang dirasakan memang signifikan untuk melakukan proses transformasi dari struktur komando tradisional jadi organisasi Team of Teams, tetapi ini tidak mudah. Hal yang mendasari bahwa pergerakan ini ditekankan karena sebuah purpose kuat daripada sekedar prosedur. Transformasi ditumbuhkan dengan cara;
1. Kesadaran bahwa ini adalah tim (Team Conciosness)
2. Menyemai rasa saling percaya,
3. Punya tujuan bersama,
4. Ikatan tim yang kuat dan komitmen untuk berbagi informasi secara real-time.
5. Setiap anggota tim harus paham sistem dari seluruh grup.

Proses ini bernama transformasi, maka tak boleh mencoba beralih langsung dari struktur komando-struktur langsung ke Team of Teams, lakukan bertahap ya!

Saatnya Shifting!

Dalam sesi para calon pemimpin BNI kemarin, beberapa hal yang perlu dipahami terkait paradigma yang relevan sangat berbeda dengan era lalu. Beberapa hal yang shifting misalnya berada pada istilah-istilah berikut ;

Ada -> Connected👋
Ini muncul karena era ini adalah era dimana kita perlu merasa connected, banyak terjadi, meski ada kita tak connected, jadi zombie. Secara fisik ada, hati dan pikiran dialam lain.

Jauh -> Terhubung🫶
Tidak semua yang jauh perlu didekatkan, apalagi jika menimbulkan banyak kebutuhan sumberdaya baru. Pastikan terkoneksi, era digital membuat kita bisa terhubung dengan konsumen seolah-olah kita melayaninya personal

Lama -> Dipastikan👌
Jika dulu istilah lama obatnya cepet, tapi tidak lagi dengan saat ini. Konsumen tidak melulu minta cepat, tapi minta kepastian. Memastikan kapan datang, kapan selesai, seberapa lama menunggu atau seberala cepat tuntas.

Lelah -> Eksplorasi👐
Gladly report 2019 mengungkapkan “Experience Matter More Than Channel” orang justru senang berlelah-lelah, berkeringat demi sesuatu. Orang tak melulu mencari santai, dekat / mudah, Produk yang membawanya bereksplorasi justru membawanya bersedia membayar lebih mahal karena membawanya pada banyak value & insight baru👏

Selain hal di atas, banyak sekali redefinisi baru hasil reevaluasi perjalanan konsumen di era digital yang merubah beragam perilaku hidupnya. Redefinisi ini juga diungkap banyak tokoh bisnis dunia seperti;

🍧Data yang bernilai adalah data yang dimonetisasi (MIT IDE 2018 Platform Strategy Summit);

🍧Jangan habiskan waktumu ditempat dimana informasi yang kamu dapat dikontrol oleh algoritma (Ian Myers, CEO, NewsPicks)

🍧Inovasi adalah hasil dari arsitektur & organisasi yang mengamplifikasi kekuatan mekanisme & budaya. (Dirk Didascalou, Amazon)

🍧Walau bisa kita jualan via telpon, chart, email / sekedar bersua sesaat. Ada konteks fisik, mental-emosional yang dibentuk dimata client yang menentukan kita berhasil atau tidaknya.
(Megan Burns, Experience Enterprises)

🍧Pastikan connected! Keterhubungan antara kreator & konsumen. Keterlibatan antar komunitas konsumen & kreator yang kemudian berdampak pada bisnis & societynya (Kotler-Sarkar, 2019)👌

Slow, but Sure!

Jika saja kita merasakan beberapa gejala seperti 1) Kulit gatal, 2) Mata merah 3) Kepala sakit sekiranya bolehkah kita memberikan obatnya satu-satu seperti salep kulit untuk gatal, salep mata untuk mata & obat pereda nyeri sakit kepala?

Inilah gambaran sederhana mengapa kita perlu mensintesa gejala-gejala tersebut hingga mendapatkan masalahnya. Kemudian kitapun tak bisa mendiagnosa sendiri karena memang bukan ahlinya, sang dokterlah kemudian yang akan mengolah gejala ini untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya kamu sakit apa?

Inilah yang kerap terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada entrepreneur dalam menghasilkan solusi bagi pelanggannya.

Dalam pendekatan Design Thinking, proses discovery di tahapan awal dilakukan untuk medapatkan gambaran gejala-gejala apa yang tampak dipermukaan dari para calon pelanggan. Gejala-gejala itu tampak secara visual, yang kemudian tugas kitalah sebagai problem solver menganalisa sejatinya apa masalah mendasar yang terjadi pada konsumen kita.

Kesalahan utama dalam proses menggagas solusi, biasanya terjadi karena;

1)Tak paham & tak berupaya memvalidasi persona konsumennya, masalah apa sesungguhnya?
2)Bedakan gejala dengan akar masalah
3)Masalah yang diidentifikasi biasanya adalah yang terjadi saat ini, sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menarik garis waktu ke depan & menggambarkan kondisi masa depan yang diinginkan sang konsumen.
4)Apakah solusi yang ditawarkan merupakan peluang dimasa datang yang menjadikannya seseorang menjadi lebih baik atau bukan?
5)Awas! kerap terjadi Creative Paradox dalam bersolusi. Andai-andai jadi kreatif justru malah kebalikannya.

Mengambil simpulan dari gejala-gejala tak bisa satu-satu solusinya secara parsial, perlu slow thinking, mengundang juga beberapa orang dengan latar belakang berbeda untuk melihat perspektifnya. Jangan lupa menarik garis imajinernya antar gejala & lingkungannya, apa yang terjadi dengan relasionalnya & berakibat apa. Hingga kemudian bisa mengambil simpulan sebenarnya apa masalahnya?

Kenali dulu masalahnya, baru bergagasan cari solusinya. Agak lama sih, namanya juga slow thinking, tapi cara ini sangat efektif menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Ekplorasi Pembuka Inovasi

“Pak kami harus ngapain?” Pertanyaan yang sering muncul dalam tiap permulaan proses. Dalam Design Thinking, kita mengenal istilah eksplorasi di tahap pertama. Tujuannya berempati memahami keadaan.

Dilakukan dengan mencari tahu & menemukan beragam bentuk temuan di lapangan. Keterampilan utama yang diperlukan adalah mendengar hingga bisa menangkap beragam sudut pandangnya dari proses experiencenya. Pengalaman akan membawa pada kepekaan untuk mendengar keberagaman sudut pandang user, sekaligus cara pandang orang lain, kemudian melakukan proses sintesa temuannya.

DT akan berhasil jika dilakukan bukan dengan memaksa, tapi dilakukan & dimiliki oleh seluruh aktor dalam organisasi. Semua aktor berperan sebagai Desainer sebagai sebuah cara berpikir, bukan peranan, dalam perjalanannya Ia tak akan berhenti belajar dari interaksi langsungnya bersama konsumen & lingkungannya.

Sesungguhnya sangat menarik menjadikan pendekatan ini untuk menguatkan kemampuan tim berinovasi. Tiap individu adalah perancang yang diberi tanggung jawab & hak untuk mensintesis semua simpul koneksi yang ditemuinya.

Neri Oxman menyebutkan bahwa “The role of Design is to convert utility into behavior” Ia mendetailkan penjelasan yang memilah antara peranan ilmu, keteknikan, desain dan seni seperti ini;

1)Science
The role of Science is to explain & predict the world around us; it ‘converts’ information into knowledge.

2)Engineering
The role of Engineering is to apply scientific knowledge to the development of solutions for empirical problems; it ‘converts’ knowledge into utility.

3)Design
The role of Design is to produce embodiments of solutions that maximize function and augment human experience; it ‘converts’ utility into behavior.

4)Art
The role of Art is to question human behavior and create awareness of the world around us; it ‘converts’ behavior into new perceptions of information.

Kembali ke ekplorasi, empati & mendengar. Inovasi hadir jika tau persis masalah, validitasnya tergantung kemampuan menangkap kenyataan & sintesanya. Maka sebelum berbicara solusi, maka eksplorasi akan membawa kita paham dengan baik kemudian menentukan titik mula gagasan jadi solusi jitu.