Lateral Thinkers

Merasa berbeda karena nilai‑nilainya tampak tak terwadahi dalam ukuran‑ukuran konvensional sebenarnya kerap kali terjadi. Kerap juga terjadi ketika kreatifitas dipaksakan diukur dengan cara‑cara konvensional, sudah pasti tak terwadahi. Apalagi ukuran penilaiannya dibuat dari sudut pandang vertikal. Kreatifitas itu lateral, tak mungkin diukur vertikal. Jika dipaksakan juga semakin banyak anak‑anak kita yang tersingkir merasa “bodoh” karena dipaksakan dinilai dengan alat ukur yang tak relevan🙌

Menjadi kreatif adalah sebuah usaha untuk tetap relevan dengan jaman, begitu pula dengan pemikirannya, untuk menjadi inovator yang tidak berhenti pada sebuah titik inovasi yang dibuatnya namun dapat melompat melahirkan inovasi‑inovasi baru. Jangan berhenti menemukan pola baru karena terjebak pola lama yang sempat menjadi “best practice” pada masanya yang tak lagi relevan pada konteks jaman yang berbeda🌏


Pendekatan #LateralThinking, kami bahas hari ini bersama The British Council dalam bahasan tentang Growth Mindset. melatih kemampuan berpikir lateral adalah salah satu cara menumbuhkan Growth Mindset🤸🏿‍♀️. Hal ini sangat bisa dilatih dengan berbagai macam cara., antara lain;

1. Buka pintu seluas‑luasnya berbagai kemungkinan.
2. Coba ekseskusi ide & peroleh insight darinya, lompat lagi pada ide lainnya.
3. Fokus pada pergerakan bahwa ide itu bertumbuh.
4. Selalu cari perspektif lain, belajar menyimak, beranikan diri untuk mendengar hal‑hal yang berbeda dari sudut pandang lain.
5. Asah lagi kemampuan nalar dengan pertanyaan‑pertanyaan yang provokatif menantang.
6. Cari aneka cara baru setiap menyelesaikan sebuah pekerjaan, hati‑hati terjebak pola yang tak disadari kita menggunakan pola yang sama dalam waktu lama.
7. Coba dulu hal‑hal yang relevan & tidak, belajar menempatkannya dengan konteks berbeda. Siapa tau perbedaan konteks akan membawa sebuah hal irrelevant menjadi relevan!
8. Jangan ragu buka pemikiran & memperoleh beragam peluang, banyak‑banyaklah bertanya!
9. Di dunia nyata pasti banyak batasan, tapi ingat bahwa kreativitas itu tanpa batas! Begitu kita mengenal keterbatasan, disitulah sebenarnya kita mulai menyerah untuk tetap kreatif.💥💥

Vertikal X Lateral

Pertentangan cara berpikir memang kerap kali timbul, entah ditempat bekerja atau tempat lainnya.⁣ Punya cara berbeda kerap kali dicap salah🧐

Kemampuan berpikir kerap kali dilatih di institusi pendidikan selama ini dengan kemampan berpikir vertikal, mengikuti pola‑pola baku & merujuk pada satu atau beberapa cara saja yang dianggap benar atau biasa dilakukan😤

Tak heran lembaga pendidikan justru menjadi lembaga menjadi penyumbang terbesar melahirkan pemikiran‑pemikiran berpola lama dan tak kreatif (de Bono, 2010)⁣

Ketika setiap kelas diarahkan untuk mengasah hanya pada kemampuan berpikir konvergen, memilih alternatif yang ada, tidak menyeimbangkan dengan membuka pemikiran divergen, yakni mengembangkan anak‑anak didiiknya untuk mengembangkan wawasan menemukan berbagai alternatif baru🤯

Pada awalnya mungkin kita adalah seorang pembelajar, hingga pada satu titik kita merasa bisa & berhenti mendengar. Pada titik inilah kita mulai tak sadar bahwa kita kehilangan kemampuan berpikir kreatif. Atau memang dari awal kita tak pernah belajar membuka peluang hal‑hal baru masuk pada kepala kita, apalagi jika kita berada di suatu tempat bekerja dalam jangka waktu lama tak terasa lupa membuat lingkaran‑lingkaran pertemanan baru.🤩

Terhentinya input baru pada cara pandang & kerja kita inilah, yang menyebabkan makin kuatnya Vertical Thinking kita, makin jauh dari kemampuan berpikir lateral / kreatif. Pengalaman‑pengalaman, teman, ilmu, sumber daya & titik‑titik baru yang ditemui akan memperkaya referensi melahirkan sebuah solusi baru inovatif kala yang lain terjebak pada jalan buntu tak menemukan jalan keluar karena pola lama tak memungkinkan keluar alur dimana kreatifitas justru memperkenankan alur baru yang tak diduga jalannya, bahkan diakhir solusi, hal diluar dugaan akan terjadi melebihi harapan🚀

Kemampuan berpikir lateral kerap berbenturan dengan birokrasi, karena birokrasi kerap kali diturunkan dari cara berpikir vertikal. Mengutamakan cara yang sama ketimbang tujuannya. Berbeda dengan cara lateral, cara baru justru bebas dilakukan hingga goals tercapai & menghasilkan hal‑hal beyond tanpa melanggar prinsip‑prinsip fundamentalnya😍

Ngga Semua Kreatifitas Itu Berwujud Produk

Awalnya sering bingung/mider bergaul dengan para penggiat kreatif, karena kawan‑kawan luar biasa ini hadir dengan produk2 kreatif yang keren! Apalagi pemerintah juga kerap kali mengkotak2an kreatifitas dengan 16 subsektor kreatifnya. Terus saya bertanya, “saya dimana ya?” Tak satu pun masuk ke dalam pilar‑pilar ini, ga ada! Artinya golongan saya ga kreatif dong? ⁣🧐

Padahal kreatif itu tak perlu selalu berpola, bahkan kreatifitas biasanya keluar dari pola yang ada, namun impact‑nya besar. Orang‑orang kreatif tak melulu perlu diidentifikasi dengan hal‑hal fisik, tapi juga hal‑hal non fisik seperti pemikiran yang mendatangkan paradigma & cara baru menuju sebuah tujuan mulia❤️

Kerap juga dikotomi kreatifitas & inovasi dikaitkan dengan barang visual canggih, terlihat kasat mata! Pemikiran kerap kali tak dirasa sebagai produk kreatif. Bahkan beberapa program pemerintah selalu meminta “mana produknya?” literally produk yaa! “Produk kami pemikiran pak!” “Oh gitu, maaf ga bisa ngga ada slotnya!”⁣🤷‍♀️

Penggiat kreatif hadir sesungguhnya karena kemampuannya berpikir kreatif, seperti dikemukakan dalam buku‑buku Edward de’Bono yang mengungkapkan banyak hal tentang Lateral / Creative Thinking. Pemikirannya mengungkapkan mengapa kerap kali seorang kreatif memiliki optimisme tinggi & jika bergagasan memecahkan masalah punya cara yang berbeda yang tak diduga! Menemukan pola yang keluar dari pola tradisional🙅‍♂️


⁣Saya gemar sekali dengan #LateralThinking ini, konsep yang menjawab mengapa seseorang kreatif memiliki cara memecahkan masalah menggunakan pendekatan tak langsung & kreatif melalui penalaran yang tak terburu‑buru, “Slow Thinking” istilahnya. Melatih kepalanya meraih ide‑ide yang mungkin tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan pola logika tradisional🙌

Cara berpikir ini beda dari pemikiran kritis yang merujuk pada “judging the true value of statements & seeking errors”, sedangkan berpikir lateral berfokus pada “movement value” dari sebuah pernyataan & ide🤩

Biasanya Ia menggunakan pemikiran lateral untuk berpindah dari satu ide yang diketahui ke ide baru yang menghadirkan solusi. Besok‑besok kita bahas lebih detail tentang ini ya! Tunggu yaa besok🚀

Proses Kreatif

Kerap mempresentasikan gambar proses kreatif ini pada kawan‑kawan, kemudian menorehkan garis merah diatas “Valley of death” ini sebagai jembatan dimana kita dapat melaluinya & tidak terlalu dalam terjebak lagi dalam “learning the hard way”. Untuk itu perlu ekosistem agar kita mampu melaju pada keberhasilan yang dituju. Coretan‑coretan ini adalah temuan empirik, temuan‑temuan asli yang dilakukan dilapangan selama ini🧗‍♂️

Kebiasaan kami jika ada temuan dilapangan, tak segan kami cari literaturnya seperti apa sih, apa bener kayak gini keadaannya? Ternyata temuan dilapangan dapat dikomparasi pada rujukan ilmiah menarik, apalagi ini diilustrasikan sangat baik dalam sebuah teori menajemen perubahan🤔

Sebuah perusahaan bernama G2G3 di  Edinburgh, UK megeluarkan ilustrasi yang brilian! Melengkapi pemahaman bagaimana ekosistem dapat membantu sebuah perjalanan perubahan lebih baik lagi🤩

Sebuah perubahan selalu berawal dari keterkejutan, diikuti dengan penyangkalan, kemarahan, depresi, penerimaan hingga keadaan menjadi lebih baik kemudian. Tahapan ini adalah tahapan dimana seseorang melalui proses kreatifnya menuju perubahan🤝


Perasaan‑perasaan ini memang lazim terjadi seiring dengan proses manajemen perubahan dimana fasenya terdiri dari 1) Discover, 2) Visualize, 3) Engage, 4) Enable dan 5) Embed. Dalam sebuah perubahan memang perlu diawali dengan mendatangkan proses transformasi, yakni hal‑hal baru seperti Tools, Proses, Budaya dan Restrukturisasi dan berakhir pada kesiapan dimana tim menjadi berdaya, komit, tercapainya ROI dan terwujudnya berbagai benefit.🤸‍♂️

Pada setiap fase perubahan, memang setiap organisasi perlu menghadirkan program deliverabelsnya, hingga penting mencapai outcomes yang ditarget pada setiap tahapannya hingga ia berhasil🙌

Bagaimana menarik garis merah berupa jembatan agar kita tak terlalu mengeluarkan energi terlalu extra dan berujung kelelahan. Disinilah kita perlu membangun dan terjalin dengan ekosistem dimana dalam setiap perjalanan sebuah perubahan perlu menghadirkan “Change Initiation” yakni ikut aktif berpartisipasi, mau memahami, berinteraksi, bertahan dan komit pada proses.⁣

Gimana, siap melakukan perubahan?

Inovasi!

Apa itu ekosistem inovatif, makhluk apa ini?⁣

Pernah dengar kata kolaborasi kan? Paling mudah mengemukakannya, hanya memang menantang tak semudah membalikkan tangan🙌 Ada proses panjang menumbuhkannya🌴

Sering kali kita juga gontok‑gontokan merasa paling unggul di wilayahnya masing‑masing. Merasa paling maju dibidang keilmuannya, paling hebat teknologinya, paling keren solusinya atau hebat karena memiliki talenta‑talentanya unggul.⁣


Pendekatan Inovasi Itu dapat dibagi menjadi 4 wilayah & bisa jadi ide kamu ngga jadi‑jadi solusi & kenyataan karena ternyata kita hanya fokus pada salah satunya saja. Wilayah itu meliputi ⁣

1) Kecerdasan, menyangkut kemampuan berpikir & analisa serta kemampuan memahami realitas, ⁣

2) Teknologi mencakup pendekatan & teknologi seperti alat, digitalisasi, metode, data sehingga memungkinkan sebuah inovasi dilakukan,⁣

3) Solusi‑solusi, menyangkut penguasaan methodologi, pendekatan baru serta tools yang membantu pada proses “reality shaping” & ⁣

4) Talenta, berfokus pada bagaimana memobilisasi para talenta‑talenta potensial mengembangkan keterampilan dan meningkatkan kesiapan timnya untuk membuat perubahan dengan mengadopsi cara‑cara belajar paling cocok untuk diberdayakan dengan meningkatkan kapasitasnya.⁣

Keempat wilayah tersebut ternyata memiliki irisannya 🧐Jika ditelaah irisan kolaborasi ini menitikberatkan pada kemampuan kita untuk menguasai berbagai keterampilan‑ kolaboratif yang sudah tidak bisa dihindarkan lagi🥳

Nesta 2018 dalam tulisannya mengungkapkan kemampuan‑kemampuan ini meliputi; ⁣
1) menyelenggarakan inovasi yang terbuka,
2) perkembangan yang positif, ⁣
3) open making policy,⁣
4) action research,⁣
5) System thinking, ⁣
6) kegiatan trandisipliner, ⁣
7) Design Thinking, ⁣
8) Human Centered Design, ⁣
9) Living Labs,⁣
10) Service Design, ⁣
11) UX Design & ⁣
10) transformasi digital. ⁣

Hal inilah yang menjadi kunci kemampuan kolaborasi interdisipliner kita, nyawa utama kolaborasi. Yuk belajar lagi!🚀🚀🚀 #agilitytransformation

Meramu Perbedaan

Sebuah pertemuan panas kemarin 🙂 Tapi saya selalu suka hal‑hal dinamis, banyak lesson learned! Bukan toxic positivity ya, kejadian tak menyenangkan itu akan selalu ada, tinggal menata respon kita 😀 ⁣

Menjadi pendengar sebenarnya selalu menyenangkan, menyimak hal‑hal baru dari beragam latar belakang berbeda. Kali ini menemukan diskusi yang tampaknya masih jadi mayoritas tipe diskusi yang ada. Ketika pertemuan diarahkan untuk memilih dari opsi yang ada. Saya mungkin bukan tipikal orang yang suka “memilih”, tapi sangat suka “meramu”.⁣
⁣Ada kalanya pertemuan terjebak menjadi ajang adu pintar,titel, atau jabatan. Tampil untuk bersuara bukan menyimak.Ada kalanya juga pertemuan terjebak pada pihak yang menuntut solusi dengan mengambil jalan pintas yang bahkan proses ideasinya saja tak dijalankan. Atau jangan‑jangan tak paham juga bahwa sebenarnya ada proses bernama ideasi. Ideasi adalah proses “menggagas” lanjutan prosesnya adalah memperbaikinya.⁣

Inklusifitas dalam pertemuan memang perlu diajarkan, dibangun mulai dari kualitas individunya menyimak. Jenis‑jenis pertemuan tak inklusif ini masih kerap terjadi, ada kalanya di satu sisi ada pihak yang selalu datang dengan ide jitu, tanpa merasa perlu mengajak pihak lain memperkaya gagasannya, menjadi individu yang tak sadar bahwa Ia tak melibatkan sekeliling.⁣

Ada juga tipe lain, tipe yang dibiasakan untuk menunggu solusi jitu, tanpa perlu merasa dilibatkan secara aktif dalam proses berideasi. Golongan ini kemudian terjebak perlahan tak disadari, menumpul proses bergagasannya, “Serahkan saya sama yang lain!” atau lebih parah “salahkan pihak lain saya karena itu tanggungjawabnya!”⁣

Kita bisa hadir untuk tidak selalu mengedepankan opsi memilih, coba dahului dengan opsi non‑linear, yakni “meramu gagasan”. KIta hadir dari latar belakang berbeda, tujuan kita pasti sama, “untuk kebaikan”, luaskan lagi cakrawala dengan menyimak &menyanding‑nyandingkan pemikiran yang berbeda, hingga kita jadi kaya!⁣

Jika ada pilihan A,B,C, mengapa kita perlu memilihnya? Bukankah kita bisa meramu ketiganya menjadi gagasan baru? ⁣

Jika berbeda saling memperkaya⁣
Jika sama saling menguatkan!
#agilitytransformation

Being Critical Vs Creative

Salah satu 21st Century Skills adalah kemampuan bepikir kritis, semalam ketika #unpadkokgitu trending😂 saya menyikapinya sebagai media belajar bagi mereka, belajar dalam menyampaikan pemikirian kritisnya. Namun, bagi kampus hal ini juga menggugah pemikiran tentang proses pembelajaran yang diselenggarakan kampus untuk melatih lagi kapabilitas berpikir kritis civitasnya.⁣🤸🏿‍♀️
⁣⁣
Merujuk literatur, “Critical thinking is the ability to think clearly & rationally about what to do or what to believe. It includes the ability to engage in reflective and independent thinking. Someone with critical thinking skills is able to understand the logical connections between ideas”⁣⁣😎
⁣⁣
Sudah banyak dibahas bagaimana semestinya kampus membuat anak‑anaknya terlatih kemampuan berpikir kritisnya, namun rasanya ada yang kurang🧐 Ketika kritis pada aspek tertentu namun tak menawarkan cara bersolusi kreatif, terjebak luapan‑luapan hasil Fast Thinking yang membawa gelombang masalah baru🤯
⁣⁣
Berpikir kritis, sebuah kemampuan menilai sesuatu menggunakan logika & hasil risetnya untuk mengambil keputusan yang baik, hanya saja kita perlu memperkayanya.
⁣⁣
Mengapa saya katakan ada perlu diperkaya? Karena sebuah pemikiran kritis perlu dilengkapi dengan solusi, hingga individu hadir juga dengan solusi🤩
⁣⁣
Bersolusi juga ada ilmunya, ada skillsnya, salah satunya “Creative Thinking” kemapuan bergagasan, ideasi, mengkomunikasikannya hingga mengeksekusinya dengan baik.⁣⁣

Doyle, 2020 menuliskan, “Creative thinking is the ability to consider something in a new way. It might be a new approach to a problem, a resolution to a conflict between employees, or a new result from a data set”⁣

Yuk, kita sandingkan, Critical & Creative Thinking kamu, hingga lengkaplah anak bangsa sebagai individu yang tidak hanya pintar, namun juga cerdas!⁣⁣✊

Jangan menjadikan generasi ini kaya akan kritik, tapi miskin solusi. Masih banyak waktu kita belajar aneka tools seperti juga terkait berpikir kreatif, melatih diri mengolah insight menjadi solusi‑solusi layak eksekusi.⁣⁣ Peer panjang dunia pendidikan, saatnya bangun bersama. PR besar kampus 🙌
⁣⁣
Yok hadir bawa solusi, kapan mulai bersua berlatih lagi? 🚀