Tak Sekadar Berangkat—Tapi Bersepakat

Banyak kolaborasi gagal bukan karena niat buruk, tapi karena sejak awal tidak ada pijakan bersama. Orang-orang datang dengan semangat, tapi membawa tafsir, tujuan, dan ekspektasi yang berbeda. Kita bicara kerja bersama, tapi lupa menyamakan arah berpikir. Tanpa fondasi itu, setiap langkah menjadi ladang salah paham.

Inilah yang dalam kajian tim disebut lack of shared mental models (Cannon-Bowers & Salas, 1993), tidak adanya kesamaan cara memahami peran, tujuan, dan proses. Karl Weick (1995) menambahkan, dalam kondisi ambigu (equivocality), setiap orang akan mengisi kekosongan makna dengan logika pribadi. Maka ketika konflik muncul, seringkali bukan soal substansi, tapi asumsi yang tak pernah diklarifikasi.

Ironisnya, tahap penyamaan persepsi justru sering dilewati. Padahal, baik dalam Theory of Change, Design Thinking, maupun Collective Impact, proses menyepakati logika, nilai, dan arah bersama adalah fondasi. Tanpa kesepakatan awal, kolaborasi akan berubah menjadi koeksistensi rapuh: tampak rukun, tapi rawan pecah kapan saja.

Yang dibutuhkan bukan hanya semangat kolaborasi, tapi kesepakatan konseptual dan etis: untuk apa kita di sini, apa yang kita anggap berhasil, bagaimana kita berpikir dan bekerja. Ini bukan sekadar dokumen, tapi penyangga kepercayaan di tengah kompleksitas.

Karena itu, sebelum bicara rencana besar, pastikan dulu kita berangkat dari titik yang sama. Kolaborasi bukan tentang ramai-ramai membuat program, tapi tentang seberapa dalam kita menyepakati makna di baliknya.

“Collaboration begins with alignment. Without shared meaning, even the most passionate efforts will pull in opposite directions.” — Peter Senge

Recommended Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *