Mendengar itu mudah!

“Mendengar itu mudah!”
Ah, yang bener!

Semakin sering hadir di ruang rapat, kelas, atau diskusi, makin jelas bahwa mendengar bukan soal telinga—tapi soal kehadiran. Carl Rogers menyebut active listening sebagai hadir sepenuhnya, tanpa menghakimi, tanpa buru-buru membalas. Mendengar sejati bukan tentang diam saat orang bicara, tapi memberi ruang bagi mereka merasa benar-benar dilihat dan dihargai.

Martin Buber menyebut relasi semacam ini sebagai “Aku–Engkau”—relasi yang melihat orang lain sebagai subjek, bukan objek. Di tengah dunia yang penuh opini dan interupsi, mendengar dengan tulus jadi kemampuan langka! Kita lebih sibuk merespons daripada memahami. Padahal sering kali, yang dibutuhkan bukan solusi atau saran, melainkan seseorang yang benar-benar mau mendengarkan tanpa syarat.

Tapi jujur deh: mendengar seperti ini tak datang begitu saja. Ada levelnya. Otto Scharmer dalam Theory U menyebutkan bahwa mendengar bisa dangkal, bisa juga transformatif. Di tingkat paling rendah—downloading—kita hanya menangkap apa yang ingin kita dengar. Tapi di tingkat tertinggi, generative listening, kita hadir dengan keterbukaan penuh, bahkan terhadap hal yang belum pernah terbayangkan. Di titik ini, mendengar bukan lagi soal memahami masa lalu, tapi merasakan potensi masa depan. Namun… mendengar di level ini butuh sesuatu yang sering luput kita bangun: rasa aman.

Di sinilah peran psychological safety, seperti dijelaskan Amy Edmondson. Mendengar mendalam hanya mungkin jika ada ruang yang membuat orang merasa diterima, tidak dihakimi & bebas mengungkapkan diri. Ini bukan soal keras atau lembut, tapi kepercayaan. Dalam ruang yang aman secara psikologis, orang berani bicara, bereksperimen, dan berbagi ide tanpa takut salah. Dan itulah titik di mana mendengar bukan cuma aktivitas personal—tapi fondasi dari budaya kolaboratif.

Itulah kenapa Design Thinking selalu dimulai dari empati. Tanpa mendengar, tak ada empati, tanpa empati, inovasi kehilangan arah. Mendengar membantu kita menangkap kebutuhan tersembunyi, melampaui asumsi & mencipta solusi yang bermakna. Di sini, mendengar bukan keterampilan tambahan—yapi kunci utama dalam menciptakan perubahan yang relevan & memanusiakan✨

Memilah Teman, Menyaring Arah

Memilah Teman, Menyaring Arah

Di era yang penuh koneksi, kita sering salah kaprah membangun relasi. Kita kira sering berinteraksi berarti dekat, padahal tidak semua orang yang sering berbincang layak disebut teman—apalagi teman kolaborasi. Baik dalam konteks pribadi maupun profesional, pertemanan yang sehat butuh satu hal mendasar: tujuan bersama. Tanpa arah yang jelas, obrolan yang terasa hangat bisa jadi jebakan emosional, membelokkan perhatian dari hal-hal substansial ke ranah personal.

Dalam relasi kolaboratif, kedekatan emosional saja tidak cukup. Radical Collaboration – Tamm & Luyet—menekankan pentingnya visi bersama, saling menghargai, dan komunikasi yang jujur. Tanpa fondasi ini, relasi mudah terjebak dalam percakapan yang dangkal & rentan konflik, karena tidak ada kesepakatan arah. Kita bisa terlalu cepat terbuka, tanpa menyadari bahwa lawan bicara belum siap menjadi bagian dari ruang yang sama.

Konsep ini sejalan dengan Circle of Trust – Parker J. Palmer, yang menyarankan agar kita hanya berbagi hal mendalam kepada mereka yang benar-benar bisa menjaga arah dan kepercayaan. Prinsip ini bukan soal menutup diri, tapi menjaga agar relasi tetap sehat. Dalam kolaborasi, ini berarti menjaga diskusi tetap fokus, jujur & aman. Tidak semua orang yang terlihat dekat, benar-benar memahami kemana kita sedang melangkah.

Jika arah sudah tak lagi sama, tidak apa-apa menurunkan status relasi: dari teman jadi kenalan, dari kolaborator jadi rekan biasa. Ini bukan sikap eksklusif, tapi cara mengelola energi dan arah. Kita tak bisa melangkah jauh dengan orang yang bergerak ke arah berlawanan. Karena itu, perlu keberanian untuk mengevaluasi ulang: siapa yang menumbuhkan, siapa yang sekadar mengisi ruang.

Akhirnya, memilih teman kolaboratif bukan soal membatasi, tapi soal mengarahkan. Di dunia kerja, komunitas, bahkan kehidupan spiritual, relasi terbaik adalah yang menjaga kita tetap pada tujuan—bukan yang menguras perhatian pada hal personal yang tak perlu. Semakin jelas arah kita, semakin mudah membangun kolaborasi yang jujur, bermakna & berdampak. Karena di dunia yang bising ini, kita tak butuh banyak suara—kita butuh gema dari arah yang sejalan✨

Digaji untuk Mimpi, Dihabiskan untuk Deadline?

Digaji untuk Mimpi, Dihabiskan untuk Deadline?

Dalam diskusi santai bersama tim, muncul satu hal yang mengusik: sebagian besar tenaga dan waktu kita terserap untuk pekerjaan teknis yang hasilnya langsung terlihat. Proyek mendesak terasa lebih penting karena tekanan waktunya nyata dan imbalannya cepat dirasakan. Padahal, mereka juga digaji untuk mengerjakan hal-hal strategis—yang justru menentukan arah jangka panjang. Tapi karena hasilnya tidak instan, kerja strategis sering terlupakan begitu saja.

Masalahnya bukan soal kurang niat, tapi soal bagaimana manusia cenderung memilih yang terasa dekat. Dalam psikologi perilaku, ini dikenal sebagai Time Horizon Bias—kecenderungan fokus pada hasil jangka pendek, meskipun nilainya tak sebesar dampak jangka panjang. Akibatnya, kita terus sibuk mengejar yang cepat terlihat, tapi perlahan kehilangan arah. Tanpa sadar, tim bisa aktif bergerak, tapi tidak benar-benar maju.

Dari sisi motivasi, Expectancy Theory – Victor Vroom menjelaskan bahwa orang akan terdorong jika yakin usahanya menghasilkan sesuatu yang dihargai. Jika kerja strategis tidak dibicarakan, tidak diakui, atau tidak dihargai, wajar jika energi beralih ke pekerjaan yang lebih cepat terasa hasilnya. Apalagi bila sistem reward lebih menekankan proyek jangka pendek. Lama-kelamaan, cara kerja yang instan jadi kebiasaan: cepat selesai, cepat dibayar—tapi miskin arah.

Karena itu, visi tak cukup jadi pajangan di dinding atau slide pembuka di awal tahun. Visi perlu hadir dalam percakapan, proses, dan cara tim menilai kemajuan. Ia harus dihidupkan setiap hari—bukan sebagai jargon, tapi sebagai pengarah langkah. Ketika visi bisa dirasakan dan dihubungkan dengan pekerjaan harian, kerja strategis tidak lagi terasa jauh. Ia jadi sesuatu yang nyata, dikejar bersama, dan dirayakan bersama.

Tulisan ini bukan sekadar refleksi, tapi pengingat: membangun sesuatu yang bertahan lama butuh keberanian memberi ruang bagi hal-hal yang belum terlihat hasilnya. Di situlah esensi strategi—tak selalu mendesak, tapi sangat menentukan. Dan mungkin, di situlah pula kedewasaan organisasi diuji: apakah kita sekadar sibuk, atau benar-benar sedang menuju sesuatu yang bermakna✨

Menulis Kalimat Perencanaan Yang Menggerakan Perubahan

Udah yakin bisa bikin kalimat kebijakan dan program? Karena dampaknya akan sangat besar!

Di balik setiap kebijakan publik yang berhasil, selalu ada perumusan strategi yang jernih, tepat sasaran, dan menyentuh akar persoalan. Bukan cuma soal seberapa besar anggaran yang dikelola, tapi bagaimana kebijakan itu ditulis dan dimaknai. 🔆

Sebagai pemangku kebijakan, kemampuan menuliskan arah kebijakan dan program pembangunan adalah keterampilan esensial—karena dari sanalah visi perubahan diterjemahkan ke dalam aksi nyata yang bisa dipahami, diukur, dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

Bukan cuma perlu terampil mengelola anggaran, tapi justru sebelumnya dimulai dari hal yang paling mendasar: cara menyusun kalimat kebijakan dan program yang benar. ✨

Kesalahan menulis arah kebijakan bisa berdampak fatal—baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembangunan.

Kalimat yang kabur, tidak fokus, atau sekadar menyebutkan rutinitas tanpa orientasi hasil, membuat program kehilangan arah dan hanya menjadi formalitas. Padahal, arah kebijakan harus mampu menjawab “apa yang berubah” dan “siapa yang terdampak,” bukan hanya “apa yang dilakukan.”✨

Menulis kebijakan dan program bukan sekadar mengisi dokumen perencanaan. Itu adalah proses artikulasi visi pembangunan ke dalam bentuk yang strategis, operasional, dan kolaboratif. ✨

Kalimat kebijakan harus bisa mengintegrasikan tujuan pembangunan jangka panjang, merespons isu-isu strategis, dan menyinergikan berbagai pemangku kepentingan. ✨

Di sinilah pentingnya pendekatan teknokratik yang disandingkan dengan sensitivitas sosial—agar arah kebijakan tidak hanya kuat secara logika, tetapi juga menyentuh kebutuhan warga.✨

Sudah saatnya kita naik kelas dalam perencanaan: dari sekadar menyusun program ke arah membangun ekosistem perubahan. Perlu ada kesadaran bahwa setiap kata yang tertulis dalam arah kebijakan adalah kompas perubahan. Maka, mari kita perkuat kapasitas ini—agar kita tidak hanya menjadi pengelola anggaran yang andal, tapi juga pemimpin perubahan yang mampu merumuskan masa depan kota dan warganya secara tajam, inklusif, dan berdaya.🎉

Teori Perubahan atau Theory of Change

“Apa yang salah ya? Kenapa perubahan yang diharapkan tidak terlihat?” 😓

Jika Anda sering mengalami hal ini, saatnya UBAH STRATEGI dengan Theory of Change!

📘 E-Book Theory of Change ini akan membantu Anda:
✅ Memetakan perubahan yang ingin dicapai dengan lebih jelas
✅ Menyusun program yang fokus, relevan, dan berdampak jangka panjang
✅ Menghindari aktivitas yang sekadar ramai tapi tak berujung hasil
✅ Mengelola risiko & hambatan dengan lebih sistematis

🔥 Jangan biarkan program Anda hanya menjadi angka di laporan.
Bangun perubahan yang benar-benar NYATA dan TERUKUR.

📌 Download eBook-nya sekarang di:
ebook.designthinkingacademy.id
atau
cek tautannya di bio kami

INTIMATE CLASS WITH DIP – TRANSFORMATIVE INSIGHTS

INTIMATE CLASS WITH DIP – TRANSFORMATIVE INSIGHTS

7 Topik Kunci | 4 Kota | Kelas Eksklusif | Kuota Terbatas

Siap membangun bisnis yang lebih kuat, tim yang lebih agile, dan strategi pendidikan yang lebih inovatif? Intimate Class with DIP menghadirkan Transformative Insights, kelas intensif yang memberikan wawasan strategis, pendekatan praktis, dan solusi langsung yang bisa diterapkan di dunia bisnis dan pendidikan.

📅 Jadwal & Topik Kelas:
📍 Bandung | 12 April 2025 – Business Ecosystem
📍 Jakarta | 26 April 2025 – Change Management
📍 Surabaya | 10 Mei 2025 – Outcome Based Education
📍 Jakarta | 24 Mei 2025 – Agile Teams
📍 Yogyakarta | 21 Juni 2025 – Transformative Education
📍 Jakarta | 5 Juli 2025 – Sustainability Management
📍 Jakarta | 19 Juli 2025 – Innovation & Agility in Education

Kenapa Harus Ikut?
✅ Kelas terbatas untuk pengalaman belajar yang lebih eksklusif dan intensif
✅ Topik yang dirancang khusus untuk menghadapi tantangan bisnis dan pendidikan saat ini
✅ Belajar langsung dengan DIP melalui diskusi interaktif dan studi kasus nyata
✅ Metode inovatif berbasis Design Thinking & Agile Strategy untuk hasil yang lebih efektif

Hanya tersedia untuk peserta terbatas. Daftar sekarang sebelum kuota habis.

s.id/DIPClass
atau
Klik tautannya di bio kami.

📞 +62 811 2232 004

ADKAR

Mengelola Perubahan Itu Tidak Mudah

Banyak organisasi terjebak dalam perubahan yang hanya bersifat sementara.
❌ Strategi diterapkan, tapi gagal bertahan.
❌ Resistensi muncul di setiap lini.
❌ Perubahan tidak memberikan dampak jangka panjang.

Apa yang Salah?
Seringkali, kegagalan bukan karena ide atau tujuan yang lemah, tapi karena strategi perubahan yang tidak terstruktur dan tidak berorientasi pada manusia.

Framework ADKAR hadir sebagai pendekatan strategis untuk memastikan perubahan:
✅ Lebih Mudah Diterima dan Dijalankan di seluruh organisasi.
✅ Mengurangi Resistensi dan meningkatkan keterlibatan tim.
✅ Berlangsung Lebih Lama dan menciptakan dampak yang berkelanjutan.

🔗 Pelajari lebih lanjut dalam eBook ADKAR dari The Local Enablers dan mulai bangun transformasi yang bertahan lama di organisasi Anda.

📥 Download sekarang melalui:
ebook.designthinkingacademy.id
atau
klik tautannya di bio kami!

Design Thinking Mencakup Apa Aja?

Pernah nggak merasa bahwa Design Thinking sering kali diajarkan sebagai proses tahap demi tahap yang kaku? Padahal, bukankah inovasi di dunia nyata justru penuh dengan eksperimen, iterasi, dan sering kali messy?

Kalo gitu, apakah kita perlu melihat Design Thinking bukan hanya sebagai framework, tapi sebagai mindset yang lebih adaptif dan kontekstual?

Kritik terhadap pendekatan linear dalam Design Thinking memang relevan, terutama ketika banyak orang hanya mengenal framework-nya sebagai proses tahap demi tahap yang kaku. Padahal, inti dari Design Thinking bukan hanya pada tahapan eksplisit seperti Empathize, Define, Ideate, Prototype, Test, tetapi lebih pada mindset yang adaptif, iteratif, dan berbasis eksplorasi.

Pendekatan yang biasa kami lakukan di @thelocalenablers ketimbang frameworknya justru lebih menekankan pemahaman akan non-linearity yang akan sangat menarik karena lebih sesuai dengan realitas inovasi. Proses inovasi memang sering kali tidak berjalan rapi atau mengikuti urutan tertentu. Justru, keberhasilan inovasi lebih banyak terjadi dalam lingkungan yang dinamis, penuh eksperimen, dan sering kali “messy.”

Poin tentang outcomes dan impact juga penting. Terlalu banyak yang fokus pada bagaimana menerapkan framework tanpa benar-benar memahami bagaimana ia menciptakan budaya inovasi. Padahal, yang lebih esensial adalah bagaimana mindset inovatif itu bisa diterapkan dalam berbagai konteks, mendorong agility, serta menghasilkan dampak nyata bagi organisasi atau ekosistem.

Kalau ada rencana untuk mendalami atau mendokumentasikan pendekatan ini lebih lanjut—mungkin dalam bentuk tulisan, workshop, atau konten digital—itu bisa jadi kontribusi penting dalam diskursus inovasi, terutama dalam mengedukasi bahwa Design Thinking bukan sekadar framework, tapi a way of thinking and doing innovation.🎉✨

Sertifikasi Design Thinking

🚀 Ciptakan Kebijakan Publik yang Lebih Inovatif, Kolaboratif, dan Berpusat pada Masyarakat! 🌍✨”

Apakah kebijakan publik saat ini sudah benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat? 🤔 Dengan Design Thinking, kita bisa merancang kebijakan yang lebih human-centered, berbasis data, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk solusi yang lebih inovatif dan berkelanjutan!

📍 Makassar | 19-20 Maret 2025
🎯 Untuk akademisi, pembuat kebijakan, birokrat, serta aktivis & LSM yang ingin menghadirkan perubahan nyata!

🔥 Daftar sekarang dan jadi bagian dari transformasi kebijakan publik! 🚀

Radical Colaboration

Di era persaingan ketat dan perubahan cepat, produk saja tidak cukup. Konsumen kini mencari pengalaman dan keterhubungan emosional dengan brand yang mereka pilih. Kolaborasi radikal menjadi strategi efektif untuk menciptakan ekosistem yang menyatukan komunitas, nilai, dan identitas yang berbeda, sekaligus memperkuat posisi brand di benak pelanggan✨

Kolaborasi Tahilalats x One Piece x Kopi Kenangan membuktikan hal ini. Tahilalats dengan humor lokal yang relatable, One Piece dengan fanbase global yang loyal, dan Kopi Kenangan sebagai bagian dari gaya hidup urban, bersatu menciptakan pengalaman yang lebih dari sekadar produk. Ini bukan hanya soal minuman atau merchandise, tetapi juga cara menghadirkan storytelling yang menghubungkan berbagai komunitas dan menciptakan rasa memiliki bagi audiensnya.🔆

Konsumen saat ini ingin lebih dari sekadar membeli—mereka ingin berbagi, merasa terhubung, dan menjadikan produk sebagai bagian dari identitas mereka. Merchandise eksklusif dari kolaborasi ini bukan sekadar barang koleksi, tetapi simbol keterikatan komunitas yang memperkuat hubungan brand dan pelanggan. Detail seperti tutup tumbler berbentuk topi jerami Luffy menciptakan pengalaman yang lebih personal dan emosional.🙌

Di era digital, konsumen adalah marketer terbaik. Produk yang menarik perhatian akan secara alami tersebar di media sosial, menciptakan efek viral tanpa biaya besar. Kolaborasi ini membuktikan bahwa pemasaran berbasis komunitas lebih efektif dibandingkan promosi konvensional👀

Pada akhirnya, brand yang bertahan bukan hanya yang menawarkan produk terbaik, tetapi yang membangun cerita dan pengalaman yang melekat dalam keseharian konsumennya. Kolaborasi radikal bukan sekadar tren, tetapi strategi masa depan untuk menjadikan brand lebih bermakna, relevan, dan selalu hadir di kehidupan pelanggan💙