Design Thinking For Social Change

Setiap tahun, organisasi mahasiswa sibuk menyusun program. Proposal dirancang, kalender dipenuhi, kegiatan dilaksanakan. Tapi satu pertanyaan jarang diajukan: siapa yang benar-benar terbantu? Jika semua hanya berputar di antara mahasiswa sendiri, menghibur yang sudah nyaman, meriah di dalam tapi kosong ke luar, organisasi hanya jadi ruang aman, bukan ruang tumbuh. Kampus bukan tempat istirahat, melainkan titik awal untuk memberi dampak.

Hari ini di Sekolah Vokasi Unpad, saya sampaikan ke BEM dan HIMA: hentikan menjadikan mahasiswa sebagai objek program. Lihat keluar. Banyak masyarakat yang butuh disentuh, didengar, dan dibantu. Rancang program yang user-centric—berangkat dari kebutuhan mereka, bukan asumsi kita. Mahasiswa bukan sekadar pelaksana acara, tapi calon pemimpin yang harus belajar dari realitas, bukan dari kenyamanan.

Pendekatan ini selaras dengan experiential learning (Kolb, 1984); belajar lewat pengalaman langsung. Dan design thinking (Brown, 2009), mulai dari empati, bukan asumsi. Ketika mahasiswa memetakan masalah nyata, merancang solusi berbasis konteks, dan mengeksekusi dengan hormat dan relevan, saat itulah mereka bertumbuh—sebagai pembelajar, pemimpin, dan manusia.

Sebuah tim mahasiswa akuntansi misalnya, membantu UMKM membuat pencatatan keuangan sederhana. Bagi mereka, itu tugas kecil. Tapi bagi si pemilik warung, itu pertama kalinya bisnisnya terasa nyata. Dari situ mahasiswa belajar tentang kesederhanaan, komunikasi, dan makna kontribusi. Kegiatan seperti ini membentuk kapasitas jauh lebih komprehensif dan kontekstual .

Maka sebelum menyusun program, ajukan satu pertanyaan jujur: siapa yang akan benar-benar terbantu? Jika jawabannya hanya “kita sendiri”, mungkin kita sedang bermain aman di kolam kecil. Padahal dunia menanti kita menyelam ke samudra. Di sanalah dampak sesungguhnya dilahirkan, bukan dari sibuknya kegiatan, tapi dari beraninya memberi makna.

Shift!

Shift!

Banyak gerakan tumbuh dari keresahan, idealisme, & energi kolaboratif. Berkembang organik, cepat, & penuh semangat, mengandalkan nilai-nilai sebagai kompas tanpa bergantung pada struktur & prosedur. Banyak yang bergabung bukan karena posisi / sistem, tapi karena merasa terhubung dengan semangat perubahan. Namun seiring waktu, kami sadar bahwa keberlanjutan tak cukup hanya dengan semangat. Gerakan perlu fondasi kokoh, & di titik itulah profesionalisme hadir bukan untuk menggantikan nilai, tapi memperkuatnya.

Transisi dari gerakan ke entitas yang profesional bukan sekadar soal legalitas atau menarik investasi. Ini perubahan mendasar: dari pola pikir “saya bantu karena peduli” menjadi “saya hadir karena bertanggung jawab.” Ini pergeseran budaya, dari spontanitas ke konsistensi, dari relasi personal ke sistem, dari semangat ke indikator. Tantangannya nyata. Perlu belajar ulang cara mengelola & menumbuhkan organisasi, bukan sebagai komunitas sementara, tapi sebagai ekosistem berkelanjutan yang akuntabel.

Dalam teori Organizational Life Cycle (Adizes, 1979), transisi ini digambarkan sebagai pergeseran dari fase Go-Go yang penuh energi tapi ngga stabil menuju fase Adolescence penuh drama mempertentangkan antara idealisme awal & kebutuhan akan sistem. Masa ini penuh gesekan: sebagian merasa kehilangan semangat awal, sementara yang lain kewalahan menghadapi tuntutan administratif. Di sinilah pentingnya cultural transformation roadmap, bukan cuma menyusun SOP, tapi menanamkan kebiasaan baru sebagai identitas kolektif.

Studi institutionalization of innovation (Scott, 2001) menyebutkan pentingnya keseimbangan 3 pilar kelembagaan: struktur regulatif, norma budaya, & mindset kognitif. Profesionalisme sejati tak lahir dari kontrol, tapi dari kesadaran bahwa keberlanjutan butuh akuntabilitas. Kami belajar, sering kali dengan rasa berat bahwa tak semua yang memulai akan terus bertumbuh bersama. Itu wajar.

Perubahan organisasi adalah bagian dari seleksi sosial yang alamiah. Untuk melangkah dengan pemahaman baru: sadar bahwa profesionalisme bukan lawan dari semangat gerakan. Ia adalah kelanjutan yang perlu dibangun dengan kesadaran penuh✨

Waktunya berlomba perangi kemiskinan

Waktunya berlomba perangi kemiskinan

Wacana inovasi sudah menjadi mantra yang diulang-ulang di berbagai forum, ruang kelas, & dokumen strategi. Tapi, di balik keramaian retorika ini, ada satu kenyataan yang sulit disangkal: sebagian besar rakyat Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia, 172 juta jiwa hidup dengan pengeluaran di bawah Rp977.393/ bulan. Meski angka kemiskinan resmi versi BPS hanya 8,6%, angka tersebut seringkali tidak menggambarkan kondisi nyata di lapangan. Ada jurang yang lebar antara apa yang terdata & fakta.

Di perguruan tinggi yang justru sibuk menampilkan diri sebagai pusat inovasi, mengejar beragam pengakuan global & panggung kompetisi. Tapi sayangnya, banyak dari inovasi ini berhenti di ranah wacana atau presentasi.

Ketika daya beli masyarakat menurun, investasi asing mulai mengalir ke negara lain & daya saing menurun, kita perlu bertanya: inovasi seperti apa yang sebenarnya sedang dibangun? Jika inovasi bukan untuk mengangkat derajat hidup warganya, maka ia telah kehilangan fundamentalnya.

Siapa yang sesungguhnya menjadi pusat perhatian dari inovasi kita? Jika hasil riset hanya berputar di kalangan premium, maka kita tidak sedang membangun solusi, melainkan melanggengkan kesenjangan. Inovasi sejati tidak diukur dari kecanggihannya, tetapi dari seberapa mampu ia menjawab kebutuhan paling mendasar & menyentuh mereka yang paling rentan. Sudah waktunya kita jujur, bahwa sebagian besar inovasi hari ini lebih banyak memoles citra daripada membongkar akar masalah.

Inovasi harus kembali menjadi alat untuk memutus rantai kemiskinan. Inovasi perlu menjemput realitas, hadir di pasar-pasar kecil, sekolah-sekolah desa, dan puskesmas pinggiran. Lembaga pendidikan, pusat riset, dan pembuat kebijakan harus menjadikan keberpihakan sosial sebagai tolok ukur utama. Bukan hanya mengejar pengakuan, tetapi memastikan ada akses terhadap pangan sehat, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan terjangkau, dan penghidupan yang layak bagi semua. Inovasi tidak lahir melulu untuk mengejar tren pasar, tapi untuk menjawab masyarakat yang semakin sulit.

This is going to be awesome

Proses kreatif sering dimulai dengan semangat tinggi. Kita punya ide segar, membayangkan hasil yang luar biasa, dan merasa sangat optimis. “This is going to be awesome!” Pada tahap ini, semuanya terasa mungkin. Ini sejalan dengan fase Preparation dalam model Wallas, di mana kita terbuka terhadap berbagai kemungkinan dan ide berkembang liar. Tapi semangat awal ini tak bertahan lama ketika kita mulai masuk ke realita eksekusi.

Saat mulai bekerja, kita segera dihadapkan pada tantangan. Ide yang sebelumnya terasa sederhana, kini tampak rumit. Hambatan muncul, arah mulai kabur, dan kita mulai berpikir, “This is hard.” Inilah fase eksplorasi dan penyempitan dalam Double Diamond Framework, yang menuntut kita untuk tahan dalam ketidakpastian. Banyak dari kita mulai goyah, karena ternyata mewujudkan ide jauh lebih berat daripada membayangkannya.

Ketika kesulitan terus bertambah, kita masuk ke fase emosional yang lebih dalam. “This is terrible,” lalu berubah menjadi, “I am terrible.” Kita bukan cuma meragukan karya, tapi juga diri sendiri. Ini adalah bagian dari the messy middle yang digambarkan Scott Belsky; fase krusial yang sering membuat orang menyerah. Namun, justru di titik terendah ini, pembelajaran terbesar terjadi. Kita mulai belajar menerima ketidaksempurnaan dan memperkuat daya tahan mental.

Jika kita memilih bertahan, pelan-pelan mulai ada perubahan. Kita mulai melihat celah harapan, dan berkata, “Hey, that was not bad.” Ide yang sempat kacau kini mulai menemukan bentuk. Inilah fase Verification, ketika kita mulai menguji ulang dan menyempurnakan dengan lebih jernih. Kita belajar bahwa kreativitas bukan tentang hasil yang langsung jadi, tapi tentang bagaimana kita menyusun ulang, belajar ulang, dan terus memperbaiki.

Hingga akhirnya, kita sampai di titik refleksi dan kepuasan. “Hey, that was awesome!” bukan karena semuanya berjalan mulus, tapi karena kita berhasil melewati prosesnya. Csikszentmihalyi menyebut ini sebagai momen flow, ketika kita tenggelam penuh dalam proses yang bermakna. Di titik ini, kita bukan hanya menghasilkan karya, tapi juga keluar sebagai pribadi yang lebih matang dan tangguh. Dan mungkin, itulah makna sejati dari proses kreatif🎉

Merayakan Hari Pendidikan Nasional: Membangun Ekosistem Pembelajar di Ruang Kelas

Merayakan Hari Pendidikan Nasional:
Membangun Ekosistem Pembelajar di Ruang Kelas

Hari ini, tepat di Hari Pendidikan Nasional, saya mendapati satu peristiwa sederhana namun bermakna di kelas Menggambar Teknik. Sudah memasuki pertemuan kesembilan, tapi sebagian besar mahasiswa belum benar-benar menguasai keterampilan dasar. Bukan karena kurangnya kemampuan, tapi bisa jadi karena pola belajar kita selama ini terlalu individual, terlalu diam-diam, terlalu malu untuk saling bertanya dan berbagi.

Maka saya ubah pendekatannya. Saya minta siapa pun yang belum paham untuk mengangkat tangan, meminta diajari. Dan saya minta siapa pun yang sudah lebih dulu memahami, untuk menawarkan diri membantu. Tiba-tiba kelas itu berubah: bukan lagi tempat menghindar dari kesalahan, tapi ruang untuk saling merangkul kekurangan. Bukan sekadar tempat belajar, tapi ekosistem pembelajar.

Dalam konteks teori, inilah yang disebut sebagai learning ecosystem, sebuah lingkungan di mana pembelajaran tak hanya datang dari satu sumber, melainkan tumbuh dari hubungan, kolaborasi, dan interaksi antarindividu (Siemens, 2005; Downes, 2012). Di sini, terjadi peer teaching, scaffolding alami, dan pembelajaran sosial yang mempercepat pemahaman karena konteksnya lebih dekat dengan dunia nyata.

Pengalaman hari ini mengingatkan saya bahwa pendidikan bukan hanya soal pencapaian individu, bukan pula soal nilai atau produk akhir. Pendidikan adalah tentang menciptakan ruang agar setiap orang bisa tumbuh bersama, di mana belajar dan mengajar menjadi praktik kolektif yang saling menumbuhkan. Inilah esensi dari merdeka belajar, bukan sekadar bebas memilih materi, tapi juga bebas untuk menjadi murid dan guru pada saat yang sama.

Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, pendidikan tak bisa lagi bertumpu pada model satu arah. Kita membutuhkan kelas-kelas yang menjadi ekosistem tumbuh bersama, bukan hanya mencetak juara satu, tapi menciptakan komunitas yang saling menguatkan. Dan mungkin, Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar peringatan, melainkan pengingat: bahwa tugas kita sebagai pendidik bukan hanya menyampaikan, tapi menyemai✨

Ngopi Dua Layer: Menyambungkan Strategi & Eksekusi

Ngopi Dua Layer:
Menyambungkan Strategi & Eksekusi

Dalam banyak kemitraan bisnis, hubungan CEO ke CEO sering kali sudah solid. Namun, kesepakatan di atas kertas bisa gagal total jika tidak diiringi keterhubungan antartim teknis. Yang sering terlupakan adalah membangun komunikasi horizontal, tim teknis satu pihak duduk bareng dengan tim teknis mitranya. Tanpa ini, koordinasi jadi lemah, eksekusi melenceng, bahkan bisa dimanfaatkan pihak luar yang melihat celah.

Kolaborasi ngga cukup hanya di level strategis. Jika tim teknis tak pernah ngopi bareng, kesalahpahaman mudah terjadi. Padahal, keberhasilan kemitraan justru ditentukan oleh bagaimana eksekusi di lapangan bisa menyatu dengan arah besar di atas. Tanpa penyelarasan lintas layer, kemitraan jadi rapuh meski terlihat rapi dari luar.

Strategic Alignment Model (Henderson & Venkatraman, 1993) menegaskan pentingnya keselarasan antara strategi & operasional. Visi bisnis tidak bisa berdiri sendiri, ia harus terhubung erat dengan sistem dan tim yang menjalankannya. Integrasi ini tak terjadi otomatis, perlu ruang dialog yang nyata dan setara antara dua lapis: CEO dan teknis.

Dalam kerangka Design Thinking, empati & keterlibatan lintas peran sangat krusial. Ngopi dua layer bukan sekadar basa-basi, tapi cara membangun kepercayaan dan pemahaman antaraktornya. Bukan hanya puncak yang menyatu, tapi juga akar-akar kerjanya saling terhubung. Di sanalah solusi kolaboratif benar-benar lahir.

Refleksinya jelas: kerja sama yang kuat dibangun dari atas dan bawah. Tanpa komunikasi lintas layer, kita membiarkan celah tumbuh dari dalam. Sebelum bicara tentang strategi jangka panjang, pastikan dulu semua layer bisa duduk bareng, saling paham, dan jalan dalam satu irama. Ngopi dua layer bukan opsi, tapi kebutuhan.

Dalam OKRs, ini disebut sebagai “alignment vertikal dan horizontal”, memastikan tujuan strategis di level atas terhubung langsung dengan hasil nyata di level operasional, dan antar-tim teknis pun saling sinkron. Ngopi dua layer adalah istilah sederhana tapi krusial untuk menjaga alignment ini tetap hidup dan kontekstual.

Semangat belajar!

Customer-Centric Aja Nggak Cukup,Tapi Gimana Sustainability-nya?

Customer-Centric Aja Nggak Cukup,
Tapi Gimana Sustainability-nya?

Kalau kemarin kita membahas gimana China membangun ekosistem mobil listrik, sekarang menarik untuk melirik Jepang. Saat dunia berlomba beralih ke kendaraan listrik, Jepang memilih jalur berbeda: energi hidrogen. Seperti diingatkan dalam system innovation theory (Geels, 2002), perubahan sejati bukan sekadar adopsi teknologi baru, tapi rekonstruksi seluruh ekosistem energi. Jepang bertaruh pada solusi jangka panjang, meski jalannya lebih berat & lambat.

Di Indonesia, adopsi teknologi masih didominasi oleh technology push daripada societal pull (Rogers, 2003). Kita cepat terpikat bentuk baru, seperti mobil listrik, baterai, charging station, tapi abai pada pertanyaan dasar: dari mana energi itu dihasilkan? Dengan pembangkit listrik yang 60% lebih masih bergantung batu bara (ESDM, 2023), adopsi mobil listrik tanpa reformasi energi hanya memperbesar beban ekologi, bukan menyelesaikannya.

Lebih dalam lagi, ekosistem industri kita masih sangat short-term gain oriented, sangat jangka pendek! Apa yang cepat cuan & cepat viral, itulah yang didorong, sebagaimana dikritisi Porter & Kramer (2011) dalam konsep shared value.

Sustainability masih diposisikan sebagai kosmetik branding, bukan fondasi perubahan model bisnis. Akibatnya, banyak konsumen berubah jadi consumer activist instan; membela produk dengan emosi, tanpa refleksi kritis pada rantai nilainya.

Padahal menurut transition management (Loorbach, 2010), inovasi sejati ga cumasoal teknologi, tapi perubahan sistem produksi, konsumsi & relasi dengan sumber daya. Negara lain sudah bergerak ke arah itu. Di kita, baru mulai euforia produk baru, tapi diskusi soal sumber energi, limbah & keadilan sosial belum jadi percakapan utama.

Kalau kita terus berlari tanpa membangun transformative capacity (Waddell, 2016), kita memang akan sampai di masa depan, tapi dalam kondisi lebih rapuh & lebih tergantung. Masa depan tidak butuh sekadar inovasi; ia menuntut perubahan mendasar dalam pola pikir kolektif kita tentang kemajuan & keberlanjutan✨

Kemajuan Bukan Soal Banyak,Tapi Soal Rasa Syukur

Kemajuan Bukan Soal Banyak,
Tapi Soal Rasa Syukur

JIka diperhatikan, banyak organisasi punya cukup modal untuk bergerak. Tapi, ga sedikit yang tetap merasa mandek. Masalah utamanya sering kali bukan kekurangan sumber daya, tapi cara pandang.

Saat orang-orangnya terbiasa bersyukur, fokus mereka bergeser: dari menghitung kekurangan jadi mengoptimalkan kekuatan. Dari sini Asset-Based Thinking tumbuh, bukan sekadar strategi, melainkan kebiasaan batin, membiasakan diri bertanya: “Apa yang bisa digerakkan dari apa yang ada?”

Ketika rasa syukur jadi budaya, organisasi membangun keunggulan: resourcefulness, kemampuan menemukan peluang di tengah keterbatasan. Ini sejalan dengan pendekatan Asset-Based Community Development (Kretzmann & McKnight, 1993), yang menunjukkan bahwa perubahan besar lahir dari kekuatan internal yang sering terabaikan. Organisasi seperti ini ga sibuk cari alasan; mereka memilih berkreasi. Mereka tahu dunia jarang ideal, tapi itu bukan alasan untuk berhenti.

Dari pondasi ini, lahir creative confidence (Kelley & Kelley, 2013): keyakinan bahwa solusi bisa ditemukan dari keterbatasan, bukan dari kemewahan. Organisasi dengan budaya syukur & asset-based thinking tidak menunggu kesempurnaan. Mereka percaya, keterbatasan justru menempa kreativitas. Percaya diri lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari keberanian mencipta dari apa yang ada.

Sebaliknya, organisasi yang fokus pada kekurangan mudah terjebak dalam mentalitas defisit. Meski di atas kertas terlihat kuat, energi mereka habis untuk mengeluh & mencari pembenaran. Di dunia yang bergerak cepat, keluwesan & keberanian untuk mengoptimalkan aset jauh lebih berharga daripada sekadar menumpuk sumber daya. Organisasi yang merasa cukup akan selalu lebih tangguh dibanding yang terus merasa kekurangan.

Maka, kunci pertumbuhan organisasi hari ini bukan sekadar menambah sumber daya, tapi memperdalam kesadaran terhadap apa yang sudah dimiliki. Budaya yang menghargai keberlimpahan tersembunyi, mensyukurinya & menggerakkannya ke dalam aksi nyata menjadi pondasi perubahan. Karena perubahan besar tidak datang dari dunia yang membaik, melainkan dari keberanian untuk melangkah dengan apa yang sudah ada✨

Legenda Ga Lagi Laku, Pasar Generasi Muda Butuh yang Relevan

Legenda Ga Lagi Laku,
Pasar Generasi Muda Butuh yang Relevan

Selama puluhan tahun, mobil Jepang menguasai jalanan Indonesia. Kita terbiasa percaya pada Toyota, Honda, Mitsubishi, dan Suzuki. Tapi dunia berubah. Wuling, BYD, dan merek-merek China datang bukan sekadar bersaing, mereka bawa cara main yang sama sekali baru.

Dunia otomotif kini soal ekosistem dan data, bukan lagi sekadar mesin. China paham lebih cepat, menawarkan mobil sebagai platform digital, terkoneksi, agresif, juga berbasis cloud, AI, serta big data. Sementara Jepang masih bertahan di rantai pasok lama, mobil China sudah jadi simbol mobilitas masa depan.

Perubahan ini ga lepas dari pergeseran perilaku konsumen. Generasi muda tidak terlalu peduli pada “merk legendaris”, mereka peduli pada user experience. Mereka tidak lagi memandang mobil sebagai status sosial, tapi sebagai layanan yang bisa dikustomisasi, terhubung, dan ramah lingkungan. Di sinilah Jepang mulai tertinggal, terlalu lama berada di zona nyaman inovasi bertahap (incremental innovation), sementara China berani bermain di ranah disruptif. Di pasar Indonesia, kita mulai melihat hasilnya, mobil listrik murah, fitur canggih, dan pengalaman digital yang menarik pengguna baru.

Model bisnis pun mulai bergeser. China ga cuma jualan mobil, tapi membangun ekosistem: dari pembiayaan digital, layanan aftersales berbasis aplikasi, hingga koneksi langsung ke smart city dan renewable energy.

Mereka ngga jual produk, mereka jual sistem. Ini beda jauh dari pendekatan Jepang yang masih berbasis pada efisiensi manufaktur dan loyalitas jaringan dealer. Saat Jepang sibuk menyempurnakan sistem lama, China menciptakan sistem baru yang lebih cepat, adaptif, dan berbasis software.

Era Black Ocean (Lewrick, 2023) di mana ketidakpastian adalah norma. Di tengah ketegangan geopolitik, disrupsi teknologi & tekanan terhadap transisi energi, industri otomotif ga bisa lagi andalkan kekuatan masa lalu. Di jalan baru ini, yang menang bukan yang paling lama bertahan, tapi yang paling cepat membaca ulang peta & berani memilih arah yang berbeda.

Jangan-jangan kita juga gitu, melakukan incremental innovations, sementara yang lain bersiap lompat eksponensial ⌛️

Resume Syiar Cinta

Resume Syiar Cinta
@halfdeenwedding Ust @muhammadnuzuldzikri

Kisah perjalanan keluarga Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan kita bahwa hidup bukan tentang mencari kesempurnaan, melainkan tentang kesetiaan dalam ujian. Rumah tangga yang kokoh bukan dibangun dari tiadanya masalah, tetapi dari cinta yang tahu cara bertahan, tahu cara bersujud saat badai datang, dan tahu cara tersenyum meski air mata jatuh. Jika Nabi Ibrahim a.s diuji dengan perpisahan, pengorbanan, dan luka, maka kita pun akan diuji dengan cara yang sesuai dengan kadar cinta kita kepada Allah.

Di dalam perjalanan hidup ini, kita harus belajar membaca bahasa cinta Allah. Setiap kehilangan, setiap rintangan, setiap doa yang belum dikabulkan adalah bagian dari kisah agung antara kita dan Dia. Bahasa cinta-Nya tidak selalu berwujud pelukan yang lembut; kadang Ia hadir dalam bentuk jalan sunyi yang panjang, dalam bentuk perpisahan yang perih, atau dalam bentuk ketidakpastian yang mencekam. Namun bagi hati yang peka, setiap tetes ujian adalah tetes kasih sayang.

Legacy sejati tidak dibangun dari apa yang dunia kagumi. Legacy sejati dibangun dari jejak cinta kepada Allah yang tidak pernah pudar oleh zaman. Ka’bah dan ibadah haji adalah saksi, bahwa satu keluarga yang bertahan dalam cinta sejati dapat menghidupkan rindu umat manusia sepanjang ribuan tahun. Maka, dalam rumah-rumah kecil kita, dalam keluarga-keluarga sederhana kita, jangan pernah meremehkan nilai sebuah kesetiaan kepada Allah.

Dan pada ujung perjalanan ini, kematian tidak lagi menakutkan. Ia berubah menjadi jembatan. Menjadi undangan untuk bertemu dengan Kekasih. Bagi jiwa yang telah lama memupuk cinta kepada Allah, kematian bukanlah kabar buruk; ia adalah kabar baik. Ia adalah panggilan untuk pulang, untuk menuntaskan seluruh rindu yang selama ini hanya terungkap dalam sujud dan air mata.

Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menjalani ujian kehidupan dengan keteguhan Nabi Ibrahim, untuk mencintai dengan pemahaman, untuk membangun warisan yang hidup selamanya, dan untuk wafat dengan membawa rindu, bukan beban. Karena sesungguhnya, hidup hanyalah perjalanan pulang kepada Allah, dan hanya cinta yang mampu membawa kita sampai kepada-Nya. ❤️