Network Effect

Pernah ngga lihat bapak-bapak kerjaannya sarungan, ngopi-ngopi sana sini, ngobrol-ngobrol sana sini, kayak ngga punya kerjaan, tapi kaya banget? Nah, ini contoh dari network effect versi akar rumput.

Mereka kelihatannya hanya duduk santai di warung kopi atau pos ronda, tapi sesungguhnya sedang membangun dan merawat jejaring sosial yang sangat vital bagi ketahanan sosial dan ekonomi komunitas. Aktivitas mereka mencerminkan apa yang Granovetter (1973) sebut sebagai “the strength of weak ties”, di mana hubungan-hubungan sosial yang tampak tidak formal dan longgar justru menjadi sumber penting informasi, peluang, dan solidaritas. Dalam konteks ini, warung kopi bukan hanya tempat ngopi, tapi node dalam social network informal.

Obrolan ringan itu adalah arus data tak kasat mata. Mereka berbicara tentang siapa yang butuh tukang, siapa yang mau jual motor, siapa yang butuh pinjaman, atau bahkan kabar penting tentang tetangga. Di sinilah konsep network effect bekerja secara sosial: semakin banyak orang yang terhubung dalam jaringan tersebut, semakin besar nilai dan manfaat yang didapat setiap anggotanya (Shapiro & Varian, 1999). Masing-masing individu memperkuat kapasitas kolektif jaringan—mirip seperti apa yang terjadi dalam platform digital modern, tapi ini berbasis warung dan trust, bukan algoritma.

Selain itu, keberadaan ruang interaksi sosial seperti ini membentuk apa yang disebut oleh Putnam (2000) sebagai social capital, yaitu kepercayaan dan norma timbal balik yang memfasilitasi koordinasi & kerjasama untuk kepentingan bersama. Bahkan James Scott (1998) dalam Seeing Like a State menekankan pentingnya “infra-politik” atau struktur sosial tak terlihat yang justru menentukan bagaimana komunitas bertahan dalam sistem formal yang sering kali tidak adaptif.

Jadi, jangan meremehkan obrolan santai itu. Di balik sarung dan cangkir kopi, ada sistem ekosistem sosial yang bekerja. Ini adalah network effect dalam bentuk yang sangat lokal dan manusiawi, bukan dibangun lewat kecanggihan teknologi, tapi lewat kehadiran rutin, saling percaya & komitmen sosial. Justru inilah jenis ekosistem yang semakin langka di tengah masyarakat yang makin individualistik & transaksional✨

Ruang-Ruang Pertemanan

Banyak usaha rintisan di kalangan anak muda dibangun dari ruang-ruang pertemanan. Dari tongkrongan warung kopi, komunitas kampus, hingga percakapan larut malam tentang mimpi besar, lahirlah inisiatif kolektif untuk membangun sesuatu bersama. Energinya bukan semata-mata kapital atau struktur, tetapi kepercayaan.

Dalam fase awal, rasa saling percaya seringkali menggantikan kontrak formal. Namun seiring waktu, tidak semua yang tumbuh bersama memilih bertahan bersama. Justru dalam ekosistem semacam inilah sering terjadi kasus paling menyakitkan: sahabat yang diberdayakan dalam organisasi justru menjadi aktor utama kehancurannya.

Fenomena ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai “kompetisi biasa”. Ketika seseorang memanfaatkan relasi personal untuk memperoleh akses, mengambil sumber daya internal (seperti tim, jaringan, data), dan membangun usaha tandingan dengan model yang nyaris identik, ini bukan sekadar divergensi strategi, melainkan pelanggaran terhadap integritas dan rasa keadilan kolektif.

Dalam teori pertukaran sosial (Blau, 1964), relasi yang sehat dibangun di atas asas resiprositas. Jika relasi itu berubah menjadi eksploitatif, maka mempertahankan istilah “pertemanan” justru memperpanjang distorsi moral yang seharusnya disudahi.

Secara psikologis, pengkhianatan dari orang yang dekat bukan hanya menyakitkan, ia mengguncang orientasi moral organisasi. Disonansi kognitif muncul ketika individu atau tim menyaksikan ketimpangan antara nilai yang diklaim (loyalitas, kepercayaan, solidaritas) dan tindakan yang bertolak belakang.

Etika relasional (Held, 2006) mengingatkan kita bahwa hubungan yang sehat bukan hanya tentang masa lalu bersama, tetapi tentang kesediaan untuk menjaga nilai bersama ke depan. Di titik ini, organisasi tidak boleh ragu untuk menegaskan batas: siapa yang masih satu visi, siapa yang cukup dikenang saja.

Dalam iklim kolaborasi masa kini yang cair dan penuh dinamika, profesionalisme ditunjukkan melalui keberanian untuk menjaga nilai, membangun mimpi tidak sekadar menjaga nostalgia masa lalu, memastikan melesat bersama dengan nilai yang sama🚀

Invensi dan Inovasi

Hari ini mendampingi kawan-kawan PLN Jawa Barat, para inovator yang bersiap melaju ke tingkat nasional. Dalam sesi ini, saya menekankan bahwa inovasi tidak lahir dari kebetulan semata. Memang, ide bisa muncul tiba-tiba seperti wangsit, tapi yang lebih penting adalah memiliki pola pikir yang terstruktur agar ide bisa terus dihasilkan secara berkelanjutan. Inilah bedanya antara idea popping dan idea generating. Kreativitas bukan soal hasil akhir, tapi soal cara berpikir, berawal dari pengalaman langsung (experiencing), kemudian menghasilkan insight, dan akhirnya membentuk foresight sebagai solusi.

Kita juga perlu membedakan antara invensi dan inovasi. Invensi cukup dengan hal yang baru, sedangkan inovasi menuntut validasi: apakah pengguna benar-benar merasakan manfaatnya? Inovasi yang baik harus terbukti bermanfaat dan relevan. Namun itu belum cukup. Produk yang bagus bisa menjadi mahal jika tidak didukung model bisnis yang tepat. Dalam pendekatan yang berpusat pada tujuan dan pengguna, produk yang baik seharusnya tetap terjangkau. Di sinilah pentingnya memperbaiki model bisnis agar nilai dan akses bisa berjalan beriringan.

Model bisnis yang kuat memungkinkan kita menurunkan biaya, meningkatkan nilai, dan menciptakan beragam sumber pendapatan yang menopang keberlanjutan. Tujuan utamanya bukan mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tetapi memastikan bisnis tetap bertahan dan terus memberi manfaat dalam jangka panjang. Bisnis yang baik bukan yang terkaya, tetapi yang paling bertahan dan berdampak.

Agar manfaatnya meluas secara eksponensial, model bisnis harus terbuka terhadap kolaborasi lintas sektor, bahkan dengan pihak yang berbeda arah sekalipun. Kolaborasi radikal semacam ini akan melahirkan ekosistem yang saling menguatkan, memperbesar dampak, dan mendorong keberlanjutan. Itulah semangat utama dalam sesi pendampingan hari ini: membangun inovasi yang tidak hanya brilian, tapi juga berdampak dan bertahan lama melalui model bisnis dan kolaborasi yang tepat.

Selamat melesatkan kebermanfaatan @pln_jabar 🚀

Insan Pembuka Pintu Kebaikan & Penutup Pintu Keburukan

Ada manusia yang kehadirannya membuka jalan bagi cahaya, menenangkan dalam perkataan, menguatkan dalam tindakan, dan menuntun dalam diamnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Dan di antara manusia ada pula yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan…” (HR. Ibnu Majah). Pertanyaannya bagi kita bukan sekadar “siapa mereka?”, tapi lebih dalam: “apakah hari ini aku menjadi salah satunya?”

Kebaikan tidak selalu hadir dalam bentuk besar atau dramatis. Ia bisa tampak saat kita memberi peluang kerja kepada teman yang sedang kesulitan, membela seseorang yang diperlakukan tidak adil, atau sekadar memperkenalkan dua orang yang akhirnya saling menolong. Kadang kita lupa bahwa menjadi penghubung, penguat, atau penyambung informasi pun bisa membuka jalan-jalan baru yang berdampak nyata. Kebaikan tumbuh dari kepekaan, bukan dari sorotan.

Namun, yang sering luput dari kesadaran kita adalah bahwa membiarkan keburukan berjalan juga bagian dari peran. Ketika kita tahu ada yang salah, tapi memilih diam karena tak ingin repot. Ketika kita mampu mencegah, tapi enggan melangkah karena tidak nyaman. Sikap pasif itu bukan tanpa akibat, ia bisa menjadi pupuk bagi tumbuhnya kemungkaran. Diam yang membiarkan bisa jadi lebih tajam dari kata-kata yang menyesatkan.

Maka doa paling penting hari ini mungkin bukan lagi soal rezeki atau pencapaian. Tapi: “Ya Allah, jadikan aku kunci pembuka bagi kebaikan dan penutup bagi keburukan.” Sebab pada akhirnya, keberkahan hidup tak diukur dari seberapa besar panggung yang kita pijak, tapi dari seberapa banyak pintu kebaikan yang terbuka lewat keberadaan kita, meski dalam langkah-langkah yang sunyi.

Selamat menebar kebaikan!🚀

Niat Tulus Untuk Kembali Membangun Kampung Halaman

Pagi ini, di ruang sidang kami, hadir sebuah skripsi yang tak hanya memuat teori dan metodologi, tapi juga niat tulus untuk kembali membangun kampung halaman. Mahasiswa ini tumbuh di Binongjati, kawasan yang dulu dikenal sebagai sentra rajut rumahan yang hidup dan produktif. Ia menyaksikan langsung bagaimana perubahan zaman membuat geliat ekonomi di lingkungannya perlahan meredup. Namun alih-alih berpaling, ia memilih kembali, membawa ilmu dan semangat baru untuk menghidupkan kembali potensi yang sempat terlupakan.

Lewat Be-Fair-Trade-Knit, ia merancang model bisnis sosial berbasis keperantaraan, menghubungkan para perajut lokal dengan pasar yang lebih luas dan berkeadilan. Ia percaya bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang tumbuh bersama. Produk-produk rajutan yang sebelumnya bernilai rendah di pasar lokal kini bisa memiliki harga yang lebih layak, dengan pembagian keuntungan yang adil dan transparan. Inisiatif ini bukan semata bisnis, melainkan upaya membangun ekosistem baru yang memberi ruang bagi para pelaku lokal untuk kembali berdaya.

Warga Binongjati memiliki kekuatan yang luar biasa, dalam keterampilan, semangat, dan daya tahan. Yang mereka butuhkan adalah jembatan, ruang kolaborasi, dan sistem yang berpihak. Skripsi ini menjadi salah satu upaya ke arah itu. Ia tidak datang dengan janji-janji besar, tapi dengan langkah nyata: merajut kembali koneksi antara komunitas, pasar, dan nilai-nilai keberlanjutan. Ini adalah bentuk kontribusi yang lahir dari kedekatan, bukan dari jarak. Dan justru karena itu, punya peluang untuk tumbuh kuat dari dalam.

Apa yang kami saksikan pagi ini adalah awal dari perjalanan yang menjanjikan. Ketika ilmu yang dipelajari di bangku kuliah dipadukan dengan kepedulian terhadap lingkungan asal, maka lahirlah inisiatif-inisiatif yang berdampak. Bukan sekadar untuk menyelesaikan studi, tapi untuk membuka jalan baru bagi banyak orang. Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa kembali membangun kampung bukan langkah mundur, melainkan lompatan menuju masa depan yang lebih adil dan bermakna.

Dibimbing bersama @galihsedayu

Tiga Kunci Inovasi

Kreativitas bukan sekadar menciptakan hal baru, tetapi memastikan hal yang penting benar-benar sampai pada yang membutuhkan. Dalam inovasi sosial dan bisnis berdampak, kreativitas menjadi keharusan, namun belum tentu berpihak. Banyak solusi tampak menarik namun gagal menjawab kebutuhan riil. Karena itu, penting memahami tiga level kreativitas: dari menciptakan solusi, membangun model bisnis yang adil, hingga menciptakan kolaborasi ekosistem yang berkelanjutan.

Level pertama, kreativitas solusi, fokus pada pemecahan masalah nyata pengguna. Mengacu pada pendekatan Jobs to Be Done (Christensen et al., 2016), solusi harus menyentuh aspek fungsional, emosional, dan sosial. Alat seperti Value Proposition Canvas (Osterwalder et al., 2014) membantu memahami kebutuhan pengguna, sementara co-creation (Prahalad & Ramaswamy, 2004) menempatkan mereka sebagai mitra aktif. Di sini, kreativitas lahir dari empati, bukan dari teknologi semata.

Level kedua, kreativitas model bisnis, menekankan pentingnya sistem yang efisien dan berpihak. Dengan kerangka Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010), organisasi didorong merancang struktur biaya dan pendapatan yang membuka akses, bukan membebani pengguna. Melalui strategi seperti subsidi silang dan kolaborasi lintas sektor (Yunus et al., 2010), kreativitas diarahkan untuk menciptakan kebermanfaatan yang berkelanjutan.

Level ketiga, kreativitas ekosistem, mendorong kolaborasi lintas sektor untuk pertumbuhan bersama. Kemitraan tidak hanya soal efisiensi, tapi menciptakan shared value (Porter & Kramer, 2011) melalui radical collaboration (Austin & Seitanidi, 2012). Di level ini, organisasi tak sekadar membangun produk, tetapi memperkuat sistem yang memungkinkan dampak luas dan berjangka panjang. Kreativitas tertinggi adalah tentang menyambungkan kekuatan untuk kebaikan bersama.

Koperasi Merah Putih

Dalam sebuah perbincangan hangat bersama kawan-kawan di Kementerian Koperasi, muncul satu pertanyaan yang menggugah: Apa yang bisa kami bantu? Pertanyaan ini bukan basa-basi, melainkan pemantik untuk mengakselerasi 80.000 Koperasi Merah Putih yang hari ini sedang mencari arah, terutama dalam hal membangun dan mengembangkan model bisnis yang mandiri, kontekstual, dan berdampak.

Berangkat dari pengalaman mendampingi berbagai organisasi menuju kemandirian, kami percaya bahwa model bisnis bukan sekadar dokumen yang mengisi sembilan kotak. Ia adalah cermin dari cinta: cinta pada dampak sosial, cinta pada kemandirian, dan cinta pada masyarakat yang dilayani. Kami ingin membantu koperasi-koperasi ini menemukan bentuk model bisnis yang bukan hasil tiruan, bukan template, tapi tumbuh dari akar realitas dan potensi lokal mereka sendiri.

Kami ingin mengajak koperasi melihat model bisnis sebagai alat berpikir, bukan semata hasil cetak. Bukan output, tapi proses. Bukan hanya tujuan, tapi perjalanan. Dari situ akan lahir koperasi yang mampu menunjukkan outcomes yang nyata, dan dari outcomes itulah muncul impact yang sesungguhnya, yakni masyarakat yang terlayani, anggota yang berdaya, dan ekosistem yang tumbuh bersama.

Bayangkan jika koperasi tidak hanya bicara soal neraca dan laba, tapi juga tentang purpose. Koperasi yang bukan sekadar entitas ekonomi, tapi organisasi yang dipimpin oleh tujuan (purpose-led organizations). Maka model bisnis bukan alat cari untung, tapi cara untuk menghadirkan keberkahan dalam skala luas. Inilah kontribusi yang ingin kami tawarkan: mendampingi tumbuhnya koperasi yang tidak hanya bergerak, tapi juga bertumbuh, menuju cita-cita besar gerakan ekonomi rakyat.

Fiqih Zakat Kontemporer

Ketika dunia baru mengenal sistem pajak untuk mengatur negara, Islam sejak awal telah mengenalkan zakat, sebuah instrumen keuangan sosial yang tidak sekadar memungut, tetapi memanusiakan. Zakat tak hanya soal angka, tapi soal kesadaran: siapa yang memberi, kepada siapa, dan dalam kondisi seperti apa. Ia bukan sekadar rukun Islam, melainkan sistem keadilan yang berpijak pada empati. Ia hanya dikenakan pada harta yang cukup (nisab), dimiliki penuh & tidak digunakan secara langsung untuk kebutuhan pokok atau produksi. Artinya, zakat menyasar harta yang mengendap, bukan yang bergerak. Di sini kita belajar bahwa Islam mendorong kekayaan untuk terus mengalir, bukan menumpuk.

Jika dibandingkan dengan pajak, terlihat pendekatan yang berbeda. Pajak bersifat menyeluruh, semua bentuk penghasilan, konsumsi, & aset bisa dikenai pungutan, tanpa melihat situasi ekonomi orang yang menanggungnya. Zakat, sebaliknya, mengajarkan bahwa pungutan yang adil bukan hanya soal jumlah, tapi juga tentang siapa yang dibebani dan dalam kondisi apa. Prinsip zakat menunjukkan pentingnya sensitivitas sosial dalam desain fiskal: jangan bebani yang sedang bangkit, dan jangan abaikan yang sudah mapan.

Tantangan Zakat bukan pada konsep, tapi pada kelembagaan, distribusi yang belum merata, pengelolaan yang belum terpercaya, dan belum terintegrasi dengan sistem fiskal negara. Tapi justru karena zakat berbasis kesadaran, bukan sanksi, ia punya potensi menghidupkan kembali rasa tanggung jawab yang lahir dari dalam, bukan dari tekanan luar. Di situlah keunggulannya: zakat menyentuh sisi terdalam dari kepemilikan, bahwa dalam setiap harta ada hak orang lain yang harus dikeluarkan dengan sadar, bukan sekadar karena wajib.

Kita bisa menjadikannya sebagai inspirasi memperkaya arah kebijakan fiskal agar lebih adil dan manusiawi. Bayangkan jika semangat zakat, yang meringankan yang lemah dan menyentil kesadaran yang kuat, diadopsi dalam sistem pajak. Kita tak hanya membangun kepatuhan, tapi juga budaya berbagi, jadi ekosistem yang saling menguatkan, jadi fondasi keadilan sosial yang hidup dalam tubuh masyarakat.

Jazakallah khairan katsiran Ust @amminurbaits

The Power of Habit

Semalam saya bersua dua orang mentee cerdas dan berani, membuka kembali pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya membuat sebuah bisnis bertahan? Di tengah semangat belajar dari mereka yang telah sukses, banyak orang terjebak pada meniru apa yang terlihat, produk yang dijual, strategi promosi atau bahkan menjiplak substansinya atau membajak jejaringnya. Padahal, seperti yang diungkapkan Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001), organisasi hebat tidak dibangun dari taktik jangka pendek, melainkan dari karakter kuat pemimpinnya.

Bisnis yang kokoh berdiri bukan hanya soal model bisnis yang cemerlang, tapi juga soal siapa yang menjalankannya. Pola pikir, kebiasaan harian, kemampuan menghadapi tekanan, cara menjaga integritas, semua itu tidak bisa disalin begitu saja dari luar. Angela Duckworth dalam Grit (2016) menyebut daya tahan mental sebagai kunci utama keberhasilan jangka panjang. Sayangnya, grit dan karakter tak tampak dari hasil akhir. Yang terlihat hanyalah pencapaian, bukan perjuangan diam-diam yang mendasarinya.

Dalam percakapan itu, saya bertanya padanya; “Kamu biasa bangun jam berapa?”, “Jam 7 pak! jawabnya.” Saya menimpali; “Coba cari pebisnis sukses yang rutin bangun siang.” Bukan berarti bangun pagi adalah formula mutlak, tapi karena konsistensi dalam kebiasaan kecil sering kali menentukan ketahanan dalam hal-hal besar.

Charles Duhigg dalam The Power of Habit (2012) menekankan bahwa perubahan besar seringkali berakar dari kebiasaan kecil yang diulang secara sadar.

Sebelum tergesa meniru bisnis orang lain, mungkin yang perlu dilakukan adalah melihat ke dalam. Sudahkah pola hidup dan cara berpikir mencerminkan pribadi yang siap menanggung beban dan tanggung jawab bisnis yang ingin dibangun? Seperti dikatakan Simon Sinek dalam Start with Why (2009), kekuatan sebuah organisasi terletak pada kejelasan nilai dan keteguhan individu di dalamnya. Sebab pada akhirnya, yang membuat bisnis bertahan bukan hanya produknya, tapi pribadi yang tumbuh dan menghidupinya✨

Indikator Hanyalah Penanda Bukan Tujuan

Pertemuan semalam dengan salah satu lulusan, Ia ungkapkan keinginannya untuk jadi konglomerat. Tapi ketika ditanya lebih dalam, ia bingung harus mulai dari mana. Ini sering terjadi: kita fokus pada akibat; hasil besar yang diinginkan, tapi lupa pada sebab yang harus dibangun sejak awal. Dalam merumuskan visi, baik sebagai individu maupun organisasi, penting untuk menyadari bahwa mimpi tanpa pemahaman sebab-akibat yang logis hanya akan jadi ilusi. Sebab adalah nilai, kebiasaan, dan keputusan kecil yang konsisten; akibat adalah hasil jangka panjang yang muncul darinya.

Obrolan lain muncul di rumah: mengapa jumlah Guru Besar di kampus meningkat, tapi beban biaya juga makin tinggi? Ini menyentuh beda antara output dan outcomes. Jumlah guru besar itu output; tampak, terukur. Tapi apakah kehadirannya memperkuat kontribusi kampus ke masyarakat? Itu outcomes. Tanpa orientasi pada dampak, output bisa jadi beban, bukan nilai. Sebaliknya, ada kampus yang menjadikannya sebagai penggerak kolaborasi dan inovasi. Maka, visi yang baik tak hanya soal hasil yang bisa dihitung, tapi perubahan yang bisa dirasakan.

Begitu juga dengan perbedaan antara tujuan dan indikator. Tujuan adalah arah besar yang dituju, sementara indikator memberi sinyal apakah kita sedang mendekatinya. Banyak visi terdengar indah, tapi tanpa indikator yang jelas, kita tak tahu apakah sudah maju atau justru jalan di tempat. Indikator memberi realitas pada ambisi, menjembatani mimpi dan tindakan nyata.

Visi yang kuat bukan sekadar kata-kata motivasional. Ia lahir dari pemahaman yang jernih: mana sebab, mana akibat; mana output, mana outcomes; mana tujuan, mana indikator. Di tengah derasnya narasi inspiratif, kemampuan membedakan dan merumuskan ini adalah fondasi utama agar kita tidak hanya sibuk, tapi benar-benar bergerak ke arah yang bermakna✨