Self-Organized Team… Tapi Masih Nanya ‘Next Apa, Pak?’

Self-Organized Team… Tapi Masih Nanya ‘Next Apa, Pak?’

Sering kali pimpinan sudah bilang, “Silakan ambil keputusan,” tapi tim tetap menunggu. Masalahnya bukan sekadar kurang berani, mereka terbentuk oleh pola kerja lama. Dulu setiap inisiatif dikoreksi, keputusan selalu balik ke pimpinan, dan kesalahan kecil bisa jadi panjang. Jadi ketika ruang otonomi dibuka, tim nggak langsung percaya. Mereka masih pakai logika lama: “Kalau salah, ujung-ujungnya saya juga yang kena.” Wajar kalau mereka pilih aman. Memberi ruang itu gampang; membongkar pola lama yang sudah tertanam bertahun-tahun, itu kerja berat😂

Masalah berikutnya: ruang otonomi sering diberikan tanpa kejelasan. Tim bingung apa batas wewenangnya, apa prioritasnya, dan data apa yang boleh dipakai. Jadi meski diberi ruang, mereka seperti disuruh maju tanpa peta.

Dalam kerangka Self-Organized Team (SOT) otonomi baru jalan kalau empat hal ada sekaligus: arahnya jelas, informasinya terbuka, kapasitasnya dibangun, dan tim merasa punya “hak sekaligus tanggung jawab” atas hasilnya. Kalau salah satu hilang, ya tim balik ke pola lama: nunggu. Karena lebih aman menunggu daripada salah langkah tanpa dukungan🙏

Dan satu faktor yang paling menentukan adalah budaya. Tim nggak akan berani memanfaatkan ruang kalau setiap kesalahan dibesar-besarkan, kalau keputusan yang sudah didelegasikan masih ditarik kembali, atau kalau pimpinan kirim sinyal “silakan ambil keputusan” tapi tetap mengontrol detail.

Sinyal itu kontradiktif, dan tim bisa membaca itu dengan cepat. SOT hanya bisa tumbuh jika pimpinan konsisten: kasih kejelasan, kasih informasi, kasih ruang coba, dan yang paling penting; nggak mengambil alih lagi keputusan yang sudah diserahkan. Kalau konsistensinya kuat, barulah tim berani bergerak, bukan karena disuruh, tapi karena mereka tahu ruangnya nyata dan aman.

Jadi, seberapa self-organized nih kah tim kamu?

Trofan;Human-Centered Safety & Risk Analyst

Trofan;
Human-Centered Safety & Risk Analyst

Skripsi Trofan adalah perjalanan yang tidak bisa disederhanakan hanya sebagai penelitian akademik. Dalam proses empati, ia sengaja menembus batas kenyamanan dan turun langsung ke dunia yang sering dianggap rendah, kehidupan para pengelola sampah rumah tangga. Ia bekerja bersama mereka, memanggul sampah yang berat, merasakan bau yang menusuk, menyentuh sisa-sisa yang ditinggalkan orang lain, dan menyaksikan beban sosial yang mereka tanggung setiap hari. Dari kedalaman pengalaman itu, Trofan menemukan sesuatu yang mengubah dirinya: ia jatuh cinta pada profesi yang selama ini diremehkan. Sebab ia melihat bahwa “tukang sampah” bukan sekadar pekerja kasar, merekalah penjaga pertama keberlanjutan kota dan martabat lingkungan kita.

Transformasi Trofan terjadi bukan di meja skripsi, tetapi di lapangan. Ia datang dengan niat menyelesaikan penelitian tentang risiko K3, namun ia pulang dengan pemahaman baru tentang manusia. Ia belajar bahwa keselamatan kerja bukan hanya standar dan regulasi, tetapi bentuk penghormatan kepada orang-orang yang bekerja dalam kondisi keras yang jarang kita pikirkan. Ketika ia menyusun analisis HIRA dan merancang solusi melalui pendekatan Design Thinking, ia melakukannya bukan sebagai kewajiban metodologis, tetapi sebagai komitmen moral untuk melindungi mereka yang selama ini tidak pernah dilindungi.

Inilah yang membuat skripsi Trofan berbeda. Karyanya bukan hanya tentang mencegah bahaya, tetapi tentang keberpihakan, bahwa pekerjaan memungut sampah adalah profesi yang bermartabat, bahwa para pekerjanya adalah garda terdepan peradaban, dan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya hadir untuk menegakkan martabat itu. Saya yakin masa depan Trofan akan dipenuhi kontribusi yang nyata dan manusiawi, karena ia telah menemukan inti dari sebuah pendidikan: bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang membuat kita peduli, berpihak, dan berani memperjuangkan yang sering kali tidak diperjuangkan.

Selamat melanjutkan proses eksplorasi tanpa batas @trofanafa

Dibimbing bersama Dr @kokoiwanagus dan Dr @dharmawan.dedy

Raihan – Innovation & Sustainability Designer

Kenalin!
Raihan – Innovation & Sustainability Designer

Skripsi Raihan Fabian menjadi salah satu contoh paling nyata bagaimana seorang mahasiswa dapat menjadikan karya ilmiahnya sebagai jalan untuk membantu sesama. Ketika memilih mendampingi UMKM Cemara Paper, Ia tidak hanya membawa teori atau metodologi, tetapi juga membawa kepedulian. Ia menggunakan Design Thinking sebagai kerangka kerja, namun yang menggerakkan prosesnya adalah keinginannya untuk melihat usaha kecil ini tetap hidup dan berdaya. Perubahan nyata yang terjadi, mulai dari model bisnis yang lebih kokoh hingga peluang pendapatan baru, menjadi bukti bahwa sebuah skripsi dapat menghadirkan harapan.

Sepanjang proses itu, saya melihat Raihan tumbuh bukan hanya sebagai peneliti, tetapi sebagai manusia. Ia belajar memahami kegelisahan pelaku UMKM, belajar mendengar lebih dalam, dan belajar bahwa memecahkan masalah tidak pernah sesederhana apa yang tertulis di buku. Ada kelelahan, ada keraguan, namun juga ada tekad yang membuatnya terus bergerak. Transformasi pribadinya terasa kuat: dari mahasiswa yang meraba-raba langkah, menjadi seorang problem solver yang lebih matang, sabar, dan peka terhadap realitas sosial.

Karena itulah, skripsi ini bagi saya bukan hanya tentang keberlanjutan Cemara Paper, tetapi tentang perjalanan Raihan menemukan dirinya. Ia telah menunjukkan bahwa pendidikan yang dijalani dengan hati dapat melahirkan perubahan bagi orang lain sekaligus membentuk karakter seseorang. Saya percaya Raihan akan melangkah jauh, karena ia telah belajar hal yang paling penting: bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna ketika ia dipakai untuk memanusiakan dan menguatkan sesama💙

Dibimbing bersama kang Ilham @pinastikosachari CEO dari @palanusantara

Ketika Key Partner Menjadi Kompetitor : Ujian Nyata Purpose dan Kejernihan Strategi.

Ketika Key Partner Menjadi Kompetitor : Ujian Nyata Purpose dan Kejernihan Strategi.

Dalam ekosistem bisnis, partner yang awalnya berkomitmen namun kemudian berubah menjadi kompetitor bukan sekadar persoalan moral atau etika; ini adalah gejala struktural yang muncul ketika insentif antar-aktor tidak selaras, batas co-creation terlalu longgar, atau governance ekosistem belum matang. Konsekuensinya bisa serius: kebocoran pengetahuan, terganggunya rantai nilai, hilangnya akses pasar, atau rusaknya reputasi. Karena itu, kita perlu memahami bahwa dinamika ini bukan “kecelakaan bisnis”, tetapi risiko yang dapat diprediksi dan dikendalikan, melalui desain sistem yang lebih cermat.

Namun ketika pengkhianatan itu tetap terjadi, respons terbaik bukanlah panik atau menghabiskan energi untuk membalas kompetisi, melainkan kembali menata desain ekosistem sambil menjaga visi berdasarkan purpose organisasi. Purpose tidak otomatis menjamin kemenangan, tetapi ia memberi kompas mental dan moral agar organisasi tidak terseret arus drama kompetisi. Yang membuat organisasi bertahan bukan sekadar niat baik, melainkan kombinasi dari purpose-led clarity, kapasitas operasional, dan kemampuan mendesain ekosistem yang aman tetapi tetap kolaboratif. Dengan cara ini, organisasi tidak kehilangan fokus nilai meskipun lingkungan berubah.

Pelajaran penting bagi kita adalah bahwa berhadapan dengan partner oportunistik bukan hanya urusan “sabar dan ikhlas”, melainkan kesempatan untuk memperkuat desain sistem. Tanyakan pada diri sendiri: proses mana yang harus dilindungi? Insentif apa yang harus diselaraskan? Data apa yang boleh dibagi atau tidak? Cara berpikir seperti inilah yang membentuk kemampuan strategis dalam ekosistem.

Kompetitor boleh datang dan pergi, tetapi organisasi yang mampu membaca risiko, merancang aturan main, dan tetap setia pada tujuan kebermanfaatan akan lebih mungkin bertahan dan menciptakan nilai jangka panjang🚀

Costumer Connect

Ada satu isu yang sering dianggap teknis padahal sangat menentukan jalannya organisasi: struktur peran. Logika lama masih umum digunakan, biasanya menilai kontribusi dari nama jabatan, bukan dari nilai strategis yang dihasilkannya.

Dalam konteks kerja modern yang penuh ketidakpastian dan tekanan efisiensi, pendekatan seperti ini tidak lagi memadai. Value-based roles, secara sederhana, adalah cara menilai dan mendesain peran berdasarkan nilai, risiko, dan dampak yang mereka ciptakan. Ketika struktur kerja tidak dibangun dari nilai, organisasi tampak sibuk, tetapi tidak benar-benar bergerak.

Keterjebakan terbesar muncul ketika peran direduksi menjadi aktivitas. Kepemimpinan dipahami sebagai koordinasi, padahal inti kepemimpinan adalah kemampuan mengambil risiko dan menghasilkan keputusan strategis. Analisis dianggap sekadar mengolah data, padahal insight-lah yang menentukan arah organisasi.

Proses bisnis disalahpahami sebagai administrasi, padahal sistem yang buruk menguras energi juga biaya. Bahkan fungsi keuangan, marketing, dan selling sering dipandang teknis, padahal merekalah yang menjaga integritas, pencipta persepsi, dan bergeraknya pendapatan. Masalahnya bukan pada kurangnya kerja keras, tetapi ketidakjelasan nilai dari setiap peran. Aktivitas bukan nilai. Dan organisasi yang gagal membedakannya akan kehilangan daya tumbuhnya.

Implikasinya jelas: kompensasi yang diberikan berdasarkan jabatan cenderung membayar energi, bukan dampak. Struktur seperti ini menghasilkan fixed cost tinggi tanpa kontribusi yang sepadan. Sebaliknya, pendekatan kompensasi berbasis nilai, misalnya skema 60% fixed dan 40% variable memaksa setiap peran menunjukkan dampak nyata: kepemimpinan menghasilkan arah kemajuan, analisis menghasilkan keputusan, proses menghasilkan efisiensi, dan peran pencipta nilai betul-betul menciptakan nilai. Pada akhirnya, refleksi kritisnya sederhana tapi tajam: apakah organisasi berani menata ulang perannya berdasarkan nilai yang dihasilkan, bukan berdasarkan jabatan?

Di organisasi modern, tugas hanya relevan sejauh ia menghasilkan kontribusi. Selamat berkarya!

Why Impact Outgrows Money

Why Impact Outgrows Money

Pertumbuhan ekonomi modern semakin didorong oleh value creation, bukan oleh akumulasi aset fisik semata. Dalam kerangka intangible economy, nilai ekonomi dibentuk oleh 4 komponen utama: kepercayaan, inovasi, relasi & kapabilitas. 4 komponen ini tidak bersumber dari modal finansial, tetapi dari dampak yang dirasakan pengguna, masyarakat & pemangku kepentingan. Dengan kata lain, value, sebagai dasar pertumbuhan ekonomi, merupakan turunan langsung dari real-world impact. Tanpa dampak yang bisa diobservasi, nilai tidak terbentuk secara berkelanjutan.

Dalam model ecosystem value creation (Jacobides, 2018), dampak berperan sebagai pemicu utama koordinasi lintas-aktor di dalam ekosistem. Aktor hanya berpartisipasi ketika dampak yang mereka terima lebih besar dari biaya koordinasi. Mekanisme ini menjelaskan mengapa dampak menjadi prasyarat nilai: dampak mengubah incentive structure, meningkatkan network participation & menurunkan transaction cost. Ketika dampak meningkat, nilai tumbuh melalui perluasan jejaring, peningkatan utilitas bersama & penguatan complementarity antar-aktor. Pada tahap inilah ekonomi mulai bergerak secara eksponensial.

Dari perspektif teori shared value (Porter & Kramer), dampak juga merupakan dasar keberlanjutan nilai. Nilai ekonomi yang tidak dibangun dari dampak cenderung mengikis legitimasi sosial (erosion of social license to operate). Sebaliknya, organisasi yang menghasilkan dampak memperkuat preferensi pelanggan, meningkatkan retensi & menciptakan positive externalities yang menstimulasi pasar baru. Dampak berfungsi sebagai leading indicator untuk nilai, sedang nilai menjadi leading indicator bagi pertumbuhan ekonomi.

Hubungan kausalnya kira-kira seperti ini:
Impact → Behavior Change.
Behavior Change → Value Formation
Value Formation → Economic Growth

Nilai menciptakan pertumbuhan melalui produktivitas, inovasi & ekspansi pasar.

Konsisten dengan Theory of Change, ekonomi kelembagaan (North) & logika ekonomi digital yang menempatkan dampak sebagai unit of value creation. Ekonomi tumbuh ketika nilai terbentuk & nilai hanya terbentuk ketika dampak dihasilkan secara nyata, terukur & nyata dirasakan lintas-aktor.

MEET OUR MENTORS

MEET OUR MENTORS

Di balik program perubahan yang kuat, hadir para mentor yang siap menjadi sparring partner strategis bagi tim inovasi.

Melalui The Change Catalyst and Innovation Program 2025, Innovation Coaching Session difasilitasi oleh mentor ahli di bidang inovasi, bisnis, dan pengembangan organisasi.

Para mentor ini akan mengampu sesi coaching inovasi dan mendampingi tim dalam menajamkan insight dan kebutuhan pengguna, menyelaraskan solusi dengan strategi korporasi, serta memperkuat kesiapan implementasi di lingkungan kerja.

Dengan dukungan mereka, setiap inisiatif inovasi SPTP diharapkan semakin terarah, terukur, dan memberikan nilai tambah nyata bagi perusahaan dan pelanggan.

Catatan kaki dari Melolo

Catatan kaki dari Melolo

Dalam kerangka pembangunan modern, visual seperti ini kerap dibaca sebagai tanda “keterbatasan material.” Namun penilaian itu lebih mencerminkan bias perkotaan daripada realitas Sumba. Jika dilihat dengan lensa filosofis, angsa, ayam, bebek, babi, dan sapi yang berkeliaran adalah living capital—aset ekologis dan sosial yang menopang kemandirian. Kain tenun yang digantung adalah modal budaya, dan tanaman di pekarangan adalah bentuk ketahanan pangan. Kesejahteraan di sini bukan tentang akumulasi, tetapi tentang harmoni antara manusia, alam, dan tradisi.

Secara akademik, ini menantang apa yang disebut context-insensitive measurement: penggunaan indikator kesejahteraan yang tidak mempertimbangkan logika lokal. Kerangka capability approach Amartya Sen lebih tepat untuk membaca konteks ini; kesejahteraan ditentukan oleh kapasitas menjalani hidup yang bernilai, bukan oleh jumlah pendapatan. Ternak yang hidup berdampingan dengan manusia, pangan dari tanah sendiri, serta jaringan sosial yang kuat menunjukkan adanya functional capabilities yang tidak tercermin dalam statistik konvensional.

Karena itu, Sumba mengingatkan kita bahwa indikator ekonomi tidak selalu mampu menangkap makna kesejahteraan substantif. Bila pembangunan memaksakan standar homogen, risiko utamanya adalah hilangnya akar budaya dan ekologi yang justru menopang kehidupan. Dalam konteks seperti Sumba, di mana angsa, ayam, bebek, kuda, babi, dan sapi menjadi bagian integral dari ritme hidup, kita melihat model kesejahteraan yang lebih utuh, di mana nilai tidak hanya diukur, tetapi dijalani.

Terimakasih Sumba tempat kami belajar 💙
Dan teman-teman @transmigrasihub.melolo@pket.kementrans@kementrans.ri

Humanity-Centred Design

Humanity-Centred Design

Selama dua dekade, Human-Centered Design menjadi paradigma dominan dalam inovasi. Namun dunia kini memperlihatkan sisi gelap dari pendekatan yang terlalu berfokus pada user. Kita menciptakan aplikasi yang memudahkan hidup, tetapi mendorong eksploitasi pekerja gig economy; kita mendesain layanan cepat, tetapi memperburuk sampah digital dan e-waste; kita membangun kenyamanan individu, tetapi mengorbankan kepentingan kolektif. Escobar (2018) dan Manzini (2015) mengingatkan bahwa inovasi yang hanya berpihak pada pengguna sering gagal melihat jaringan kehidupan yang lebih luas. Inilah tension besar abad ini: inovasi bisa “benar” bagi user, tetapi “keliru” bagi kemanusiaan.

Karena itu, muncul pendekatan Humanity-Centered Design—sebuah koreksi moral yang menggeser fokus dari keinginan pengguna menuju tanggung jawab terhadap masyarakat, lingkungan, dan generasi mendatang. Pendekatan ini menuntut expanded empathy: memikirkan pekerja di balik rantai produksi, komunitas terdampak, kelompok rentan, hingga keberlanjutan ekologis. Ini sejalan dengan gagasan Design Justice (Constanza-Chock, 2020) yang mempertanyakan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, serta Systemic Design (Jones, 2014) yang menegaskan bahwa setiap desain memiliki konsekuensi yang merambat dalam sistem sosial. Norman (2023) menambahkan bahwa inovasi masa depan harus memikul intergenerational responsibility, bukan hanya memecahkan masalah hari ini, tetapi menjaga kehidupan esok.

Pada akhirnya, keberhasilan inovasi tidak lagi cukup dinilai dari seberapa “usable”, “desirable”, atau “viable” sebuah solusi. Inovasi yang matang adalah inovasi yang ethical, equitable, dan sustainable—yang memperbaiki tanpa merusak, memajukan tanpa mengorbankan, dan mencipta tanpa meninggalkan luka. Humanity-Centered Design mengingatkan kita bahwa setiap keputusan desain adalah keputusan moral: apakah ia merawat atau mengabaikan? Apakah ia memperkuat martabat atau meniadakannya? Dan pertanyaan terpenting yang harus kita jawab sebagai desainer, pemimpin, dan pembuat kebijakan adalah:
“Masa depan seperti apa yang sedang kita bentuk melalui desain kita?”