Dalam kerja sehari-hari, kita sering merasa sudah objektif hanya karena menilai apa yang kelihatan: cara orang bicara di rapat, keputusan yang ia ambil, atau gaya komunikasinya di grup. Diskusinya terlihat rasional, tapi sebenarnya yang dinilai sering kali orangnya, bukan cara berpikirnya. Siapa yang ngomong, nadanya gimana, posisinya apa. Ini yang dalam psikologi disebut Fundamental Attribution Error, kita cepat memberi label ke orang, bukan memahami konteks dan alasan di balik tindakannya. Akhirnya, banyak diskusi profesional berubah jadi adu ego, bukan upaya cari pemahaman.

Karena itu, penting melatih diri untuk menarik analisis sampai ke WHY. Bukan buat membela orang, tapi buat menguji rujukan berpikirnya: teori apa yang dipakai, nilai apa yang dipegang, prinsip etika atau keyakinan apa yang dijadikan dasar. Tapi WHY juga bukan kebenaran final. Teori bisa usang, nilai bisa ditafsirkan sempit, dan rujukan bisa dipakai buat membenarkan kepentingan. Di sinilah kerja profesional dimulai: WHY harus diuji, bukan diamankan.
Contohnya sederhana. Pemimpin yang hati-hati sering dicap tidak progresif. Padahal, bisa jadi ia sedang berpijak pada manajemen risiko, prinsip kehati-hatian, atau nilai moral tertentu. Diskusi yang sehat seharusnya tidak menyerang orangnya, tapi menguji isinya: masih relevan atau tidak, proporsional atau berlebihan. Dari situ kita belajar, bukan karena siapa yang bicara, tapi karena argumennya diuji.
Intinya, objektif itu bukan soal terlihat netral, tapi mau dan berani menguji rujukan, termasuk rujukan kita sendiri. Figur penting untuk tanggung jawab, tapi bukan pusat perdebatan. Profesionalisme tumbuh saat kita dipengaruhi oleh kekuatan alasan, bukan oleh ego, jabatan, atau karisma.
“As long as discussions stay at WHAT and HOW, we are not training objectivity, we are training ego.”













