Bluebird

Yang selalu satset (pain relievers)
buat jemput kamu tanpa ribet (pain points)

Dalam pengalaman saya, Bluebird selalu menjadi top of mind. Bukan karena logonya, bukan pula karena sejarah panjangnya, tetapi karena satu hal yang konsisten: setiap kali masuk ke taksinya, mood terasa terjaga.

Mobilnya rapi, pengemudinya relatif tenang, dan interaksinya profesional tanpa basa-basi yang melelahkan. Pengalaman ini mungkin tampak sederhana, tetapi justru di situlah Brand Experience (BX) bekerja, bukan sebagai pesan, melainkan sebagai rasa aman yang langsung dirasakan tubuh dan pikiran pelanggan.

Namun dalam konteks bisnis hari ini, BX seperti ini tidak lagi bisa bergantung pada kebiasaan lama atau ingatan masa lalu. Pasar kini memberi pelanggan terlalu banyak pilihan, dan top of mind tidak otomatis berarti top of choice. BX Bluebird yang kuat di momen inti, saat duduk di dalam mobil, akan melemah jika pengalaman di luar momen itu terasa tertinggal, berjarak, atau tidak kompetitif. Di titik ini, BX diuji bukan oleh niat baik perusahaan, tetapi oleh apakah pengalaman tersebut masih terasa relevan di tengah kemudahan alternatif lain.

Pelajaran bisnisnya keras: BX bukan sesuatu yang bisa diwariskan, ia harus terus dibuktikan. Reputasi yang dulu dibangun dari konsistensi layanan bisa terkikis jika tidak diterjemahkan ulang ke dalam ekspektasi pelanggan hari ini. Bluebird “yang sekarang” sedang berada pada fase krusial BX, bukan lagi soal dikenal atau dipercaya, tetapi soal apakah rasa aman dan nyaman itu masih cukup kuat untuk membuat pelanggan memilih tanpa berpikir ulang. Dalam persaingan yang semakin transparan, BX bukan soal dikenang dengan baik, melainkan soal tetap dipilih unconsciously 🚙🚙

Sumber gambar @bluebirdgroup 💙

Change Management

Dalam kerangka change management, sebagaimana dirumuskan oleh John P. Kotter, perubahan yang berkelanjutan selalu dimulai dari penciptaan sense of urgency, bukan dari peluncuran simbol / identitas visual. Sense of urgency berfungsi sebagai fondasi psikologis dan organisatoris yang membuat individu & institusi bersedia meninggalkan cara lama yang sudah tidak efektif. Tanpa kesadaran bersama bahwa kondisi eksisting bermasalah atau berisiko jika dipertahankan, perubahan akan dipahami sebagai instruksi administratif / agenda komunikasi semata. Karena itu, manajemen perubahan sejatinya adalah proses membangun kesadaran & kebutuhan akan perubahan sebelum memperkenalkan penanda simbolik dari arah baru yang ingin dituju.

Ketika urutan ini dibalik dan simbol seperti logo atau identitas baru justru diluncurkan di awal, yang terjadi bukan hanya ketidaktepatan komunikasi, tetapi kerusakan logika implementasi perubahan. Dalam istilah Kotter, organisasi berisiko melakukan premature declaration of victory, seolah-olah perubahan telah tercapai karena sudah diumumkan secara visual. Dampaknya, energi perubahan melemah, aparatur merasa tidak lagi berada dalam fase transisi, dan kerja-kerja substantif tertunda. Pada saat yang sama, publik mengalami ketidaksinkronan antara narasi perubahan dan pengalaman sehari-hari, yang memicu sinisme, resistensi pasif, serta memperlebar jarak kepercayaan antara pengelola perubahan dan pihak yang terdampak.

Sebaliknya, perubahan yang dimulai dari sense of urgency dan diterjemahkan ke dalam tindakan nyata, seperti pembenahan layanan prioritas, perbaikan proses kerja, dan penciptaan quick wins yang konsisten, membangun dasar operasional dan kultural yang kokoh. Pada tahap inilah simbol dan identitas visual memperoleh fungsi yang tepat, yakni sebagai alat pengikat dan pengukuh perubahan yang telah terjadi, bukan sebagai pengganti perubahan itu sendiri. Dalam urutan ini, logo tidak dibaca sebagai janji / kosmetik kebijakan, melainkan sebagai representasi kolektif dari perubahan yang sudah dialami, dipahami & diinternalisasi organisasi maupun publik.

Sawit

Sawit memang menggerakkan ekonomi, Ia menghasilkan uang, devisa, dan angka-angka yang mudah dipresentasikan. Tetapi ketika hutan disamakan dengan sawit hanya karena sama-sama hijau dan menyerap karbon, di situlah persoalannya bukan lagi soal kebijakan, melainkan soal cara berpikir. Sawit adalah alat ekonomi; hutan bukan. Menyederhanakan hutan menjadi sekadar variabel ekonomi adalah kesalahan mendasar yang menunjukkan betapa mudahnya kita menukar sistem kehidupan dengan logika spreadsheet.

Hutan adalah fondasi kesejahteraan hidup manusia, bukan aset yang bisa dikompensasi dengan rupiah. Dari hutan mengalir air yang kita minum, udara yang kita hirup, pangan yang menopang hidup, dan perlindungan dari bencana yang makin sering terjadi. Semua itu tidak pernah sepenuhnya masuk ke laporan keuangan negara, tetapi justru tanpanya tidak ada ekonomi yang bisa bertahan. Mengatakan “jangan takut deforestasi” sama artinya dengan berkata: jangan takut kehilangan masa depan, padahal yang akan menanggung akibatnya bukan pembuat kebijakan hari ini, melainkan rakyat dan generasi yang belum lahir.

Masalah kita bukan kurang sawit, bukan kurang investasi, melainkan terlalu percaya bahwa uang bisa menggantikan segalanya. Ekonomi seharusnya melayani kesejahteraan, bukan mendefinisikannya. Jika hutan terus dikorbankan demi pertumbuhan, maka negara sedang membangun kemajuan di atas fondasi yang rapuh. Dan ketika fondasi itu runtuh, banjir datang, krisis air meluas, kehidupan masyarakat hancur, tidak ada devisa, tidak ada angka pertumbuhan, yang bisa menjelaskannya sebagai keberhasilan🌳🌴🌳🪾🌳

“A nation doesn’t fail because it lacks palm oil, but because it destroys the foundations of its own welfare”

Ilustrasi dan data dari @geoaccess

Employee Experience

Urgensinya hari ini tidak bisa ditunda lagi: organisasi tidak lagi dapat mengelola Employee Experience (EX) secara biasa-biasa saja. Perubahan lingkungan bisnis, percepatan teknologi, dan munculnya inovasi disruptif menuntut karyawan yang tidak hanya patuh pada sistem, tetapi mampu berpikir kreatif, adaptif, dan berani bereksperimen. Penelitian menunjukkan bahwa inovasi sangat dipengaruhi oleh konteks kerja yang memungkinkan otonomi, rasa aman psikologis, dan pembelajaran berkelanjutan, bukan oleh kontrol berlebihan dan prosedur kaku (Amabile, 1996; Edmondson, 1999).

Dalam konteks tersebut, Employee Experience menjadi fondasi strategis bagi inovasi, bukan sekadar agenda HR atau fasilitas kerja. Proses inovasi, mulai dari eksplorasi ide, validasi dengan kebutuhan pengguna, hingga pengembangan solusi yang berkelanjutan, membutuhkan lingkungan kerja yang mendukung kreativitas, kolaborasi lintas fungsi, dan keberanian untuk mencoba serta gagal secara terkelola. Studi tentang organisasi inovatif menunjukkan bahwa EX yang dirancang dengan baik meningkatkan engagement, kualitas ide, dan kecepatan pembelajaran organisasi (Deloitte, 2017; Schaufeli, 2017).

Karena itu, kebutuhan akan ruang untuk bermain di kantor harus dipahami sebagai bagian integral dari desain EX. Ruang bermain bukan simbol relaksasi semata, melainkan ruang eksperimentasi, tempat karyawan dapat menguji gagasan, berdialog tanpa hierarki, dan membangun solusi secara iteratif. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip design thinking dan innovation culture, di mana kreativitas tumbuh ketika organisasi secara sadar menyediakan ruang aman untuk eksplorasi dan kolaborasi (Brown, 2009; Lewrick et al., 2020). Di titik inilah EX berfungsi sebagai pengungkit utama agar kreativitas benar-benar bermuara pada inovasi yang relevan dan berdampak.

Innovation grows where employees feel safe to try, safe to fail, and encouraged to learn.

In public service, CX defines whether innovation truly makes life easier

“In public service, CX defines whether innovation truly makes life easier.”

Diberagam perusahaan, perhatian sedang sungguh-sungguh berfokus pada CX, Customer experience yang bukanlah metrik yang perlu sekadar diperbaiki, tetapi konsekuensi dari bagaimana sebuah organisasi memilih cara bekerjanya. Pengalaman pelanggan tidak akan berubah hanya karena target dinaikkan, survei diperbanyak, atau teknologi ditambahkan. CX terbentuk dari keputusan kepemimpinan, desain proses, dan budaya kerja yang dijalankan setiap hari. Ketika cara kerja organisasi lebih sederhana, selaras, dan manusiawi, pengalaman pelanggan akan membaik secara alami. Sebaliknya, jika cara kerja tetap rumit dan terfragmentasi, program CX apa pun hanya akan menutup masalah di permukaan.

Banyak upaya inovasi gagal karena tidak berangkat dari pengalaman pelanggan. Organisasi sering meluncurkan sistem baru atau inisiatif perubahan tanpa benar-benar memahami friksi yang dialami pengguna. CX seharusnya menjadi sinyal paling jujur tentang di mana inovasi dibutuhkan. Dengan menjadikan CX sebagai input, bukan output, inovasi bergeser dari sekadar ide internal menjadi respons terhadap masalah nyata. Hasilnya, perubahan yang dilakukan lebih tepat sasaran, lebih mudah diadopsi, dan lebih konsisten dirasakan manfaatnya.

Pada akhirnya, peningkatan CX bukan agenda layanan semata, melainkan agenda kepemimpinan. CX menuntut pimpinan untuk melihat kembali bagaimana pekerjaan diatur, bagaimana keputusan dibuat, dan bagaimana orang-orang di dalam organisasi diberdayakan. Ketika kepemimpinan mampu menyelaraskan cara kerja internal dengan pengalaman yang ingin dirasakan pelanggan, inovasi akan memiliki arah yang jelas dan kepercayaan publik akan tumbuh secara berkelanjutan.

– CX is a leadership responsibility, not a frontline task-

KPI

Banyak organisasi hari ini tampak sukses, setidaknya menurut indikatornya sendiri. KPI individu tercapai, GPI hijau, laporan rapi, dan dashboard penuh panah ke atas. Namun justru di saat angka-angka itu membaik, organisasi kehilangan daya inovasinya. Respons terhadap perubahan melambat, keberanian bereksperimen menurun, dan ide-ide baru lebih sering lahir di luar sistem daripada di dalamnya. Organisasi terlihat bergerak, tetapi tidak berkembang. Inilah performance paradox: indikator membaik, tetapi kemampuan strategis justru menurun, sebuah gejala klasik dari organisasi yang salah mendefinisikan kemajuan (Meyer & Gupta, 1994; Van Thiel & Leeuw, 2002).

Masalahnya bukan karena organisasi kekurangan ide, talenta, atau komitmen terhadap inovasi. Masalahnya adalah sistem kinerja yang secara sistematis menghukum pembaruan. KPI dirancang untuk menjaga kepastian, efisiensi, dan kepatuhan, bukan untuk membuka kemungkinan baru. Dalam sistem seperti ini, keputusan paling rasional bagi individu adalah bermain aman: jangan bereksperimen, jangan mengambil risiko, jangan menggoyang angka yang sudah hijau. Organisasi lalu mengumumkan inovasi sebagai prioritas strategis, sambil secara bersamaan memberi insentif pada perilaku yang mempertahankan status quo. Paradoks ini sudah lama dijelaskan: ketika eksploitasi diberi imbalan lebih tinggi daripada eksplorasi, inovasi akan selalu kalah di meja evaluasi (Kaplan & Norton, 1996).

Organisasi yang benar-benar ingin berinovasi harus berani mengakui satu hal yang tidak nyaman: selama KPI dan GPI hanya mengukur kinerja hari ini, organisasi sedang menggadaikan masa depannya. Inovasi tidak akan lahir dari sistem yang hanya menilai hasil pasti dan menghukum pembelajaran dari kegagalan. Karena itu, indikator harus diperlakukan ulang, bukan sebagai alat kontrol, tetapi sebagai mekanisme pembelajaran strategis yang menilai apa yang sedang dipelajari, diuji, dan dipertaruhkan untuk masa depan. Inilah inti dari organizational ambidexterity dan double-loop learning: inovasi bukan persoalan budaya semata, melainkan konsekuensi langsung dari desain kepemimpinan & sistem kinerja yang berani mengoreksi asumsi tentang apa itu “sukses” (OECD, 2019).

Kreativitas

Kreativitas adalah denyut nadi yang menjaga perusahaan tetap hidup. Ia lahir dari manusia, dari rasa ingin tahu, dari kegelisahan melihat sesuatu yang bisa dibuat lebih baik, dari keberanian kecil untuk bertanya “bagaimana jika?” Tidak ada kreativitas tanpa keberanian, dan tidak ada keberanian tanpa harapan. Ketika kreativitas tumbuh, ia tidak sekadar melahirkan ide; ia menyalakan kembali energi seseorang, membuat mereka merasa bahwa pekerjaannya punya makna, dan bahwa dirinya penting bagi perjalanan perusahaan.

Namun kreativitas tidak bisa berkembang sendirian. Ia membutuhkan rumah, sebuah ekosistem yang membuat orang merasa aman untuk mencoba, gagal, dan mencoba lagi. Ekosistem yang memberi ruang bagi suara-suara kecil yang sering tak terdengar. Yang menatap kesalahan sebagai bagian dari proses, bukan alasan untuk menyalahkan. Yang memeluk kegelisahan sebagai sumber pemantik, bukan ancaman. Di dalam ekosistem seperti ini, kreativitas bukan lagi inspirasi sesaat, tetapi denyut kolektif yang menggerakkan semua orang untuk berani melangkah sedikit lebih jauh dari kemarin.

Dan ketika kreativitas bertemu ekosistem yang mencintainya, perusahaan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar daripada organisasi kerja: ia menjadi tempat di mana orang tumbuh, saling menguatkan, dan menemukan versi terbaik dari dirinya. Di sana lahir inovasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga tulus. Solusi yang bukan hanya efektif, tetapi juga penuh empati. Inilah momen ketika perusahaan tidak sekadar berkembang, tetapi melejit, menembus batas-batasnya, dan memberi dampak yang lebih luas. Karena pada akhirnya, kreativitas yang dijaga oleh ekosistem adalah bentuk cinta: cinta pada kemungkinan, cinta pada pertumbuhan, dan cinta pada masa depan dan kebermanfaatan.

Terimakasih @injourneyairports sudah berkenan menjadi bagian dari proses co-innovation ekosistem-ekosistem kreativitas🚀

It’s a Feeling That You Belong, Rather Than a Life Full of Belongings

“It’s a feeling that you belong, rather than a life full of belongings.”

Saya mendapatkan insight yang sangat kuat dari speech Bapak @herdyharman , Direktur Human Capital & Digital Injourney, ketika ia mengatakan: “It’s a feeling that you belong, rather than a life full of belongings.” Kalimat itu langsung menampar cara pikir kita selama ini, bahwa hidup bukan diukur dari apa yang kita kumpulkan, tetapi dari di mana kita merasa diterima dan dihargai. Belongings memberi kenyamanan sesaat, tetapi belonging memberi tempat pulang.

Dalam konteks organisasi, makna ini menjadi sangat penting. Orang bertahan bukan karena benefit terbesar, tetapi karena mereka merasa dilihat, didengar, dan menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna. Belonging membuat orang berani tumbuh, mengambil peran, dan menghadapi tantangan bersama. Energi kolektif seperti ini tidak bisa dibeli atau dipaksakan; ia hanya lahir dari hubungan manusia yang tulus.

Pada akhirnya, pesan ini mengingatkan kita bahwa masa depan organisasi tidak ditentukan oleh banyaknya fasilitas atau struktur, tetapi oleh kedalaman ikatan di dalamnya. Belonging mengubah tim menjadi komunitas, dan pekerjaan menjadi perjalanan bersama. Dan di dunia yang semakin bising, belonging bukan hanya kebutuhan, ia adalah kekuatan yang membuat kita benar-benar merasa pulang🛩️

Bertemu dengan kawan-kawan PKP Pasca Sarjana UGM

Bertemu dengan kawan-kawan PKP Pasca Sarjana UGM berdiskusi bagaimana mengambangkan proses yang lebih relevan dengan jamannya. Selama ini banyak program pemberdayaan dirancang dari jauh dan dipaksakan ke masyarakat, seolah perubahan bisa dibentuk hanya dengan modul dan kegiatan. Ketika hasilnya tidak bertahan, masyarakat yang disalahkan, padahal yang lemah adalah cara kita membaca manusia dan sistem. Tanpa memahami konteks sosial secara mendalam, pemberdayaan mudah terjebak menjadi aktivitas administratif. HCD+ hadir sebagai koreksi terhadap pendekatan teknokratis yang terlalu jauh dari kenyataan hidup warga.

Pendekatan menjadi HCD+ penting karena menggeser fokus pemberdayaan: dari agenda lembaga menuju kebutuhan dan dinamika manusia yang sebenarnya.

Banyak kegagalan terjadi bukan karena kurangnya kapasitas masyarakat, tetapi karena program dibangun di atas asumsi. Dengan memahami budaya, norma, motivasi, dan cara orang mengambil keputusan, HCD+ memastikan perubahan yang dirancang tidak hanya masuk akal bagi institusi, tetapi juga relevan dan bermakna bagi warga.

Namun memperkuat individu saja tidak cukup jika sistem tetap menciptakan hambatan. HCD+ memetakan pertukaran nilai, ketidakselarasan antar-aktor, dan ketegangan struktural yang membentuk perilaku. Ini membuat intervensi tidak berhenti pada pelatihan, tetapi menyasar akar masalah: insentif yang salah, beban yang tidak adil, dan relasi kekuasaan yang timpang. Dengan memahami ekosistem, pemberdayaan dapat mendorong perubahan yang benar-benar memperkuat kemandirian.

Pada akhirnya, pemberdayaan hanya berkelanjutan jika masyarakat memiliki kontrol atas perubahan itu sendiri. Melalui co-creation, pengujian prototipe, dan learning loops, HCD+ menempatkan warga sebagai mitra dalam mendesain solusi. Inovasi tidak lagi datang dari luar, tetapi tumbuh bersama komunitas. Dengan cara ini, HCD+ membuat pemberdayaan lebih adil, lebih inklusif, dan lebih tahan lama, karena perubahan tidak dipaksakan, tetapi dimiliki🙌

“As long as solutions arrive faster than empathy, empowerment will remain a project; not a transformation.”

Pertemuan dengan para penggerak kawan-kawan @turuntangan

Pertemuan dengan para penggerak kawan-kawan @turuntangan kemarin seperti mengisi ulang baterai empati. Jika dalam pendekatan Humanity Centered Design +, empati bukan cuma soal “ikut merasakan,” tetapi kemampuan untuk benar-benar melihat manusia secara utuh, ceritanya, perjuangannya, dan konteks hidupnya. Ketika para relawan saling berbagi pengalaman, ada energi yang muncul: rasa terinspirasi karena menyaksikan ketulusan orang lain. Banyak peneliti menyebut ini sebagai moral elevation, dan memang terasa bahwa pertemuan itu mengembalikan alasan mendasar kenapa kita semua bergerak.

Namun perjalanan gerakan sosial bisa berbelok ketika kita terlalu fokus pada angka dan target, sampai lupa pada manusia yang ingin kita bantu. Dalam dunia akademik, kondisi ini dikenal sebagai mission drift, yaitu saat tujuan mulia mulai tersisih oleh logika yang serba teknis. HCD+ mengingatkan bahwa gerakan kehilangan kekuatannya ketika terlalu sibuk mengurusi indikator, tetapi lupa memeriksa apakah manusia benar-benar merasakan manfaatnya. Seperti kata Amartya Sen, pembangunan yang hanya mengejar efisiensi biasanya gagal menyentuh inti kemanusiaan.

Karena itu, pertemuan-pertemuan seperti ini menjadi penting, karena akan membantu kita menyelaraskan kembali tujuan gerakan. Ini bukan sekadar kumpul-kumpul, tetapi proses memahami ulang “kenapa kita bergerak” dan “siapa yang paling perlu kita dengarkan.” Dalam bahasa teori organisasi, proses ini disebut sensemaking. Dalam bahasa HCD+, ini adalah cara untuk memastikan bahwa setiap langkah kita kembali berpihak pada manusia. Pertemuan ini bukan hanya menghangatkan hati, tetapi juga mengingatkan bahwa kekuatan gerakan ada pada nilai, empati, dan kemampuan kita menjaga agar api kebermanfaatan tetap menyala🙌🙌

Witnessing someone’s kindness awakens the desire to be better. That is where the true energy of a movement begins.

Terimakasih @turuntanganfest 💙