The Leadership Blindspot

The Leadership Blindspot

Banyak organisasi tampak berkembang secara struktural, unit bertambah, aktivitas administratif meningkat, dan program diperluas, namun tidak disertai peningkatan relevansi. Kondisi ini sering muncul ketika posisi kepemimpinan ditentukan oleh kedekatan atau kenyamanan, bukan kapasitas adaptif. Mintzberg (2009) mengingatkan bahwa struktur yang terlalu stabil justru melemahkan fungsi strategis karena organisasi berhenti menantang dirinya. Ketika proses seleksi menjadi seremonial dan homogen, kemampuan organisasi membaca perubahan lingkungan perlahan menurun.

Masalah ini semakin jelas terlihat ketika individu dengan perspektif berbeda justru diperlakukan sebagai gangguan, bukan sumber pembelajaran. Heifetz dan Linsky (2002) menyebut kelompok ini sebagai pembawa adaptive pressure, yakni sinyal bahwa asumsi lama perlu diperiksa ulang. Namun banyak organisasi memilih meredam tekanan tersebut demi menjaga harmoni internal. Akibatnya, psychological safety melemah (Edmondson, 2019), dan kritik substantif sulit muncul. Situasi ini menempatkan organisasi dalam single-loop learning, di mana perbaikan hanya terjadi di level prosedur. Padahal Argyris dan Schön (1978) menunjukkan bahwa perubahan yang bermakna membutuhkan double-loop learning, kemampuan meninjau ulang pola pikir yang mendasari keputusan.

Ketika kondisi tersebut berlangsung lama, dampaknya menjadi struktural. Rekrutmen dan promosi yang tidak berbasis kompetensi menghasilkan organisasi yang sulit beradaptasi dan terjebak pada pola kerja statis (Laloux, 2014). Karena itu, memperkuat meritokrasi dan menata ulang proses seleksi bukan sekadar langkah administratif, tetapi fondasi kapasitas adaptif organisasi. Prinsip organisasi pembelajar dari Senge (1990) relevan di sini: ketahanan organisasi tidak ditentukan oleh banyaknya aktivitas, tetapi oleh kemampuan melihat realitas secara jernih dan memperbaiki sistem yang keliru. Dengan begitu, organisasi dapat keluar dari blind spot-nya sendiri dan kembali berorientasi pada misi yang seharusnya🙌

Ilmu

Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tidak dipandang sebagai kumpulan informasi, melainkan sebagai fondasi moral yang menuntut transformasi diri. Ilmu hanya memperoleh legitimasi ketika melahirkan perubahan nyata dalam sikap, perilaku, dan cara seseorang mengambil keputusan. Karena itu, keikhlasan, kesungguhan belajar, dan pengamalan yang konsisten menjadi tiga pilar utama yang menentukan apakah sebuah ilmu benar-benar berfungsi sebagai hidayah atau berhenti sebagai pengetahuan yang kosong dari nilai.

Ali bin Abi Thalib r.a. memberikan kerangka evaluatif yang sangat kuat mengenai bagaimana manusia memposisikan ilmu. Ia mengkritik empat kecenderungan yang merusak integritas keilmuan:
– ketidakamanahan terhadap ilmu,
– mengikuti tanpa verifikasi (taklid),
– kemalasan yang menghindari proses, serta
– orientasi hidup yang menempatkan harta di atas ilmu.

Kecenderungan-kecenderungan ini membuat seseorang mampu mendengar kebenaran tanpa pernah hidup di dalam kebenaran tersebut. Dengan demikian, nasihat Ali bukan sekadar catatan historis, tetapi sebuah alat untuk menilai konsistensi diri dalam membangun karakter ilmiah yang jujur.

Pada akhirnya, ilmu tidak pernah tumbuh subur dalam kesantaian atau pola hidup yang serba mudah. Disiplin mujāhadah dan riyāḍah menegaskan bahwa kedalaman ilmu hanya dapat dicapai melalui kesediaan menghadapi ketidaknyamanan, mengendalikan hawa nafsu, dan melatih diri secara berkesinambungan. Ilmu menjadi cahaya ketika ia hadir dalam keputusan moral, ketahanan emosi, dan akhlak sehari-hari. Dari sini, jelas bahwa ilmu bukan penghias identitas, melainkan mekanisme pembentukan pribadi yang menuntun seseorang berjalan di atas jalan kebenaran.

Empati, Data, dan Masa Depan Pendidikan

Catatan Dua Hari di @binusuniversityofficial
Empati, Data, dan Masa Depan Pendidikan

Key Lesson, disampaikan Wakil Rektor Binus Prof. Yohannes, mengingatkan lagi bahwa bahwa empati bukan sekadar kompetensi yang diajarkan, tetapi struktur berpikir yang menentukan bagaimana sebuah universitas melihat dirinya di tengah perubahan dunia. Ketika beliau menekankan bahwa;

🔆 Empathy Sustains, jadi langsung teringat pada banyak ruang pendidikan kita yang justru kehilangan empati, sibuk mengejar akreditasi, ranking, dan KPI, tetapi lupa membaca denyut hidup mahasiswa dan masyarakat. Apa yang beliau sampaikan membuat saya menilai ulang: tanpa empati, pendidikan mungkin tetap berjalan, tetapi tidak akan pernah menumbuhkan manusia.

🔆 Data Matters, but Humanity Matters More
Pesannya terkait antara data dan kemanusiaan juga menggugah. Beliau tidak menolak data; beliau mengingatkan bahwa data tanpa moralitas hanya menghasilkan efisiensi yang dingin. Ini relevan sekali dengan kerja-kerja yang saya lihat di banyak ekosistem, kita sering terjebak pada dashboard dan angka, sampai lupa untuk bertanya “siapa yang terdampak?” atau “nilai apa yang sedang kita tegakkan?”. Catatan itu seperti menepuk pundak saya: inovasi tak boleh menjauh dari manusia, karena manusia adalah tujuan, bukan variabel.

🔆 Learning to Knowing
Yang paling menempel adalah konsep learning → knowing. Banyak universitas sibuk mengajarkan konten, padahal yang kita butuhkan adalah kebijaksanaan. Knowing bukan soal menambah informasi, tetapi kemampuan membacanya dalam konteks yang tidak pasti, memahami tensi sosialnya, dan mengeksekusinya dengan keberanian.

Pembelajaran ini mengajak kita untuk collaborate fearlessly & design for sustainability, tentu ini adalah ilmu yang mahal, membuat kita bisa melihat jelas arah baru pendidikan: bukan sekadar menyiapkan lulusan untuk dunia kerja, tetapi menyiapkan mereka menjadi penjaga masa depan. Dan bagi saya pribadi, ini adalah pengingat bahwa misi pendidikan adalah merawat manusia dan merancang masa depan, secara bersamaan.

“A university’s greatest achievement is not producing brilliance, but raising humans who protect the future.”

Great event mas @arimgn 🙌🙌

Dari Human-Centered ke Humanity-Centered HCD+

Dari Human-Centered ke Humanity-Centered HCD+

Kita pada dasarnya tidak kekurangan pengetahuan maupun solusi. Banyak persoalan yang kita hadapi, mulai dari isu lingkungan hingga layanan publik, telah dipahami dengan cukup mendalam, dan berbagai alternatif penyelesaiannya pun sudah sering diusulkan🙏

Namun dalam praktiknya, solusi-solusi tersebut kerap berhenti di ruang diskusi karena tidak sepenuhnya terhubung dengan realitas kehidupan orang yang akan menjalankannya. Tantangan utama kita bukanlah kurangnya ide, melainkan memastikan bahwa ide tersebut relevan, dapat diterapkan, dan sesuai dengan konteks komunitas yang menjadi penerimanya🌹

Human-Centered Design membantu kita memahami kebutuhan pengguna, tetapi kompleksitas dunia saat ini menuntut pendekatan yang lebih luas. Setiap teknologi, kebijakan, dan produk membawa konsekuensi yang menjangkau keluarga, komunitas, dan lingkungan. Oleh karena itu, kita perlu bergerak menuju Humanity-Centered Design, suatu cara berpikir yang tidak hanya mempertimbangkan “apa yang dibutuhkan pengguna”, tetapi juga “siapa saja yang terdampak” dan “bagaimana dampaknya terhadap kehidupan bersama.” Dengan perspektif ini, desain tidak semata-mata berorientasi pada kemudahan penggunaan, melainkan juga pada keberlanjutan dan tanggung jawab jangka panjang🌎

Ketika bekerja bersama komunitas, kita perlu mengakui bahwa mereka adalah pihak yang paling memahami kondisi dan dinamika kehidupan mereka sendiri. Para ahli dapat memberikan analisis teknis, tetapi masyarakat memiliki pengetahuan kontekstual yang menentukan apakah sebuah solusi realistis dan dapat bertahan🙌

Peran kita bukan untuk menentukan arah atas nama mereka, tetapi untuk hadir ketika diperlukan, mendengarkan secara tulus, memfasilitasi proses belajar, dan menguatkan kapasitas mereka dalam merancang masa depan. Perubahan yang baik lahir dari dalam komunitas, dan tugas kita adalah memastikan bahwa mereka memperoleh dukungan yang memungkinkan hal tersebut terjadi🔆

“The world doesn’t need more ideas. It needs people willing to apply good ideas together with the communities they affect.” – Don Norman

Human-Centered Design

Bertemu dengan Don Norman, sosok penting di balik lahirnya Human-Centered Design, menjadi momen reflektif bagi perjalanan berpikir kami 🙌

Pembelajaran hari ini menegaskan bahwa inovasi yang relevan tidak cukup hanya berangkat dari kreativitas, tetapi membutuhkan cara berpikir yang lebih luas seperti HCD+. Lima lensanya, systems thinking, wellbeing, bioinspiration, circularity, dan social equity, mengarahkan kita untuk melihat bahwa setiap solusi harus mempertimbangkan manusia, lingkungan, dan keberlanjutan secara bersamaan. Pendekatan ini membantu kita berpindah dari penyelesaian masalah jangka pendek menuju desain yang berdampak jangka panjang.

Kelima pilar HCD+ ini saling memperkuat:
🔆 systems thinking membantu kita membaca pola dan keterhubungan;

🔆 holistic wellbeing memastikan solusi meningkatkan kualitas hidup;

🔆 bioinspiration & regenerasi mengajak kita belajar dari cara alam memecahkan masalah secara berkelanjutan;

🔆 circularity menuntun kita merancang sistem yang minim limbah; dan

🔆 social equity memastikan setiap inovasi berpihak pada akses yang adil bagi semua. Inilah fondasi berpikir yang menempatkan manusia dan bumi sebagai satu kesatuan ekosistem yang harus dijaga bersama.

Terima kasih undangannya mas @arimgn 🙌🙌

Self-Organized Team… Tapi Masih Nanya ‘Next Apa, Pak?’

Self-Organized Team… Tapi Masih Nanya ‘Next Apa, Pak?’

Sering kali pimpinan sudah bilang, “Silakan ambil keputusan,” tapi tim tetap menunggu. Masalahnya bukan sekadar kurang berani, mereka terbentuk oleh pola kerja lama. Dulu setiap inisiatif dikoreksi, keputusan selalu balik ke pimpinan, dan kesalahan kecil bisa jadi panjang. Jadi ketika ruang otonomi dibuka, tim nggak langsung percaya. Mereka masih pakai logika lama: “Kalau salah, ujung-ujungnya saya juga yang kena.” Wajar kalau mereka pilih aman. Memberi ruang itu gampang; membongkar pola lama yang sudah tertanam bertahun-tahun, itu kerja berat😂

Masalah berikutnya: ruang otonomi sering diberikan tanpa kejelasan. Tim bingung apa batas wewenangnya, apa prioritasnya, dan data apa yang boleh dipakai. Jadi meski diberi ruang, mereka seperti disuruh maju tanpa peta.

Dalam kerangka Self-Organized Team (SOT) otonomi baru jalan kalau empat hal ada sekaligus: arahnya jelas, informasinya terbuka, kapasitasnya dibangun, dan tim merasa punya “hak sekaligus tanggung jawab” atas hasilnya. Kalau salah satu hilang, ya tim balik ke pola lama: nunggu. Karena lebih aman menunggu daripada salah langkah tanpa dukungan🙏

Dan satu faktor yang paling menentukan adalah budaya. Tim nggak akan berani memanfaatkan ruang kalau setiap kesalahan dibesar-besarkan, kalau keputusan yang sudah didelegasikan masih ditarik kembali, atau kalau pimpinan kirim sinyal “silakan ambil keputusan” tapi tetap mengontrol detail.

Sinyal itu kontradiktif, dan tim bisa membaca itu dengan cepat. SOT hanya bisa tumbuh jika pimpinan konsisten: kasih kejelasan, kasih informasi, kasih ruang coba, dan yang paling penting; nggak mengambil alih lagi keputusan yang sudah diserahkan. Kalau konsistensinya kuat, barulah tim berani bergerak, bukan karena disuruh, tapi karena mereka tahu ruangnya nyata dan aman.

Jadi, seberapa self-organized nih kah tim kamu?

Trofan;Human-Centered Safety & Risk Analyst

Trofan;
Human-Centered Safety & Risk Analyst

Skripsi Trofan adalah perjalanan yang tidak bisa disederhanakan hanya sebagai penelitian akademik. Dalam proses empati, ia sengaja menembus batas kenyamanan dan turun langsung ke dunia yang sering dianggap rendah, kehidupan para pengelola sampah rumah tangga. Ia bekerja bersama mereka, memanggul sampah yang berat, merasakan bau yang menusuk, menyentuh sisa-sisa yang ditinggalkan orang lain, dan menyaksikan beban sosial yang mereka tanggung setiap hari. Dari kedalaman pengalaman itu, Trofan menemukan sesuatu yang mengubah dirinya: ia jatuh cinta pada profesi yang selama ini diremehkan. Sebab ia melihat bahwa “tukang sampah” bukan sekadar pekerja kasar, merekalah penjaga pertama keberlanjutan kota dan martabat lingkungan kita.

Transformasi Trofan terjadi bukan di meja skripsi, tetapi di lapangan. Ia datang dengan niat menyelesaikan penelitian tentang risiko K3, namun ia pulang dengan pemahaman baru tentang manusia. Ia belajar bahwa keselamatan kerja bukan hanya standar dan regulasi, tetapi bentuk penghormatan kepada orang-orang yang bekerja dalam kondisi keras yang jarang kita pikirkan. Ketika ia menyusun analisis HIRA dan merancang solusi melalui pendekatan Design Thinking, ia melakukannya bukan sebagai kewajiban metodologis, tetapi sebagai komitmen moral untuk melindungi mereka yang selama ini tidak pernah dilindungi.

Inilah yang membuat skripsi Trofan berbeda. Karyanya bukan hanya tentang mencegah bahaya, tetapi tentang keberpihakan, bahwa pekerjaan memungut sampah adalah profesi yang bermartabat, bahwa para pekerjanya adalah garda terdepan peradaban, dan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya hadir untuk menegakkan martabat itu. Saya yakin masa depan Trofan akan dipenuhi kontribusi yang nyata dan manusiawi, karena ia telah menemukan inti dari sebuah pendidikan: bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang membuat kita peduli, berpihak, dan berani memperjuangkan yang sering kali tidak diperjuangkan.

Selamat melanjutkan proses eksplorasi tanpa batas @trofanafa

Dibimbing bersama Dr @kokoiwanagus dan Dr @dharmawan.dedy

Raihan – Innovation & Sustainability Designer

Kenalin!
Raihan – Innovation & Sustainability Designer

Skripsi Raihan Fabian menjadi salah satu contoh paling nyata bagaimana seorang mahasiswa dapat menjadikan karya ilmiahnya sebagai jalan untuk membantu sesama. Ketika memilih mendampingi UMKM Cemara Paper, Ia tidak hanya membawa teori atau metodologi, tetapi juga membawa kepedulian. Ia menggunakan Design Thinking sebagai kerangka kerja, namun yang menggerakkan prosesnya adalah keinginannya untuk melihat usaha kecil ini tetap hidup dan berdaya. Perubahan nyata yang terjadi, mulai dari model bisnis yang lebih kokoh hingga peluang pendapatan baru, menjadi bukti bahwa sebuah skripsi dapat menghadirkan harapan.

Sepanjang proses itu, saya melihat Raihan tumbuh bukan hanya sebagai peneliti, tetapi sebagai manusia. Ia belajar memahami kegelisahan pelaku UMKM, belajar mendengar lebih dalam, dan belajar bahwa memecahkan masalah tidak pernah sesederhana apa yang tertulis di buku. Ada kelelahan, ada keraguan, namun juga ada tekad yang membuatnya terus bergerak. Transformasi pribadinya terasa kuat: dari mahasiswa yang meraba-raba langkah, menjadi seorang problem solver yang lebih matang, sabar, dan peka terhadap realitas sosial.

Karena itulah, skripsi ini bagi saya bukan hanya tentang keberlanjutan Cemara Paper, tetapi tentang perjalanan Raihan menemukan dirinya. Ia telah menunjukkan bahwa pendidikan yang dijalani dengan hati dapat melahirkan perubahan bagi orang lain sekaligus membentuk karakter seseorang. Saya percaya Raihan akan melangkah jauh, karena ia telah belajar hal yang paling penting: bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna ketika ia dipakai untuk memanusiakan dan menguatkan sesama💙

Dibimbing bersama kang Ilham @pinastikosachari CEO dari @palanusantara

Ketika Key Partner Menjadi Kompetitor : Ujian Nyata Purpose dan Kejernihan Strategi.

Ketika Key Partner Menjadi Kompetitor : Ujian Nyata Purpose dan Kejernihan Strategi.

Dalam ekosistem bisnis, partner yang awalnya berkomitmen namun kemudian berubah menjadi kompetitor bukan sekadar persoalan moral atau etika; ini adalah gejala struktural yang muncul ketika insentif antar-aktor tidak selaras, batas co-creation terlalu longgar, atau governance ekosistem belum matang. Konsekuensinya bisa serius: kebocoran pengetahuan, terganggunya rantai nilai, hilangnya akses pasar, atau rusaknya reputasi. Karena itu, kita perlu memahami bahwa dinamika ini bukan “kecelakaan bisnis”, tetapi risiko yang dapat diprediksi dan dikendalikan, melalui desain sistem yang lebih cermat.

Namun ketika pengkhianatan itu tetap terjadi, respons terbaik bukanlah panik atau menghabiskan energi untuk membalas kompetisi, melainkan kembali menata desain ekosistem sambil menjaga visi berdasarkan purpose organisasi. Purpose tidak otomatis menjamin kemenangan, tetapi ia memberi kompas mental dan moral agar organisasi tidak terseret arus drama kompetisi. Yang membuat organisasi bertahan bukan sekadar niat baik, melainkan kombinasi dari purpose-led clarity, kapasitas operasional, dan kemampuan mendesain ekosistem yang aman tetapi tetap kolaboratif. Dengan cara ini, organisasi tidak kehilangan fokus nilai meskipun lingkungan berubah.

Pelajaran penting bagi kita adalah bahwa berhadapan dengan partner oportunistik bukan hanya urusan “sabar dan ikhlas”, melainkan kesempatan untuk memperkuat desain sistem. Tanyakan pada diri sendiri: proses mana yang harus dilindungi? Insentif apa yang harus diselaraskan? Data apa yang boleh dibagi atau tidak? Cara berpikir seperti inilah yang membentuk kemampuan strategis dalam ekosistem.

Kompetitor boleh datang dan pergi, tetapi organisasi yang mampu membaca risiko, merancang aturan main, dan tetap setia pada tujuan kebermanfaatan akan lebih mungkin bertahan dan menciptakan nilai jangka panjang🚀