Pengabdian

Kita sering menyebut Tridharma dengan bangga, tapi dalam praktiknya, pengabdian masih sering diperlakukan sebagai pelengkap. Banyak program berhenti di tataran kegiatan: pelatihan, laporan, dokumentasi, tanpa napas keberlanjutan. Padahal, di situlah seharusnya ilmu diuji, bukan di ruang seminar atau jurnal. Pengabdian adalah cara universitas membuktikan bahwa pengetahuan yang lahir di kampus bisa benar-benar mengubah hidup masyarakat, bukan hanya menambah sitasi.

Pengabdian masa kini perlu bergeser dari sekadar berbagi ilmu menjadi proses membangun nilai bersama. Ia harus menjadi living lab; ruang nyata di mana teori diuji oleh praktik, dan praktik memperkaya teori. Di sana mahasiswa belajar empati dan relevansi, dosen menemukan kembali makna keberilmuannya, dan masyarakat ikut menumbuhkan ekonomi serta martabatnya sendiri. Inilah bentuk nyata integrasi pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang hidup, saling menguatkan, dan berdampak.

Sudah saatnya pengabdian dilihat bukan sebagai kegiatan tambahan, tetapi sebagai poros dari seluruh Tridharma. Tanpa pengabdian yang bermakna, riset kehilangan valuenya dan pendidikan kehilangan jiwanya. Pengabdian sesungguhnya bukan tentang berapa banyak program dilakukan, tetapi seberapa dalam universitas menjejak di kehidupan masyarakat jadi sumber perubahan, pemberdayaan, dan pengetahuan yang benar-benar membawa masyarakat menjadi lebih baik.

Terimakasih @lppmunib Universitas Bengkulu @univterbuka

Inovasi bukan soal seberapa cepat kamu membangun, tapi seberapa cepat kamu belajar

Inovasi bukan soal seberapa cepat kamu membangun, tapi seberapa cepat kamu belajar.

Banyak tim terjebak ingin hasil sempurna, padahal yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menguji, mengamati, dan mengulang hingga memahami apa yang benar-benar pengguna butuhkan.

Mulailah dengan prototype sederhana, amati bagaimana orang berinteraksi, dan terus lakukan iterasi dari temuan kecil. Dari iterasi kita bisa menemukan kelemahan, memperbaiki asumsi, dan menangkap peluang baru yang muncul dari proses iterasi sehingga inovasi lebih relevan dan efektif.

🔗Pelajari selengkapnya di
ebook.designthinkingacademy.id

Agile, Eksploratif, dan Punya Naluri Bisnis

Agile, Eksploratif, dan Punya Naluri Bisnis

Budaya kerja yang agile dan eksploratif lahir dari kesadaran bahwa perubahan bukan ancaman, tapi ruang untuk belajar dan tumbuh. Di tempat kerja yang agile, keputusan dibuat bukan karena tekanan atasan, tapi karena setiap orang paham kenapa sesuatu perlu dilakukan.

Timnya bergerak cepat karena ada rasa percaya, bukan rasa takut. Mereka berani mencoba hal baru, belajar dari kesalahan, dan terus memperbaiki diri. Ketangkasan seperti ini bukan cuma tentang bisa menyesuaikan diri, tapi juga tentang mampu membaca situasi, memahami arah perubahan, dan menyelaraskan langkah dengan tujuan besar organisasi.

Namun, kelincahan tanpa clarity hanya melahirkan kebingungan. Karena itu, agility perlu dipadukan dengan business acumen, kecerdasan untuk melihat hubungan antara strategi, operasional, dan nilai bisnis. Business acumen itu bukan sekadar kemampuan menghitung untung rugi, tapi naluri untuk menilai mana ide yang layak dikejar dan mana yang hanya menarik di permukaan. Ia mengajarkan fokus, keberanian memilih prioritas, dan kepekaan membaca dampak setiap keputusan. Setiap eksperimen tidak hanya kreatif, tapi juga relevan, realistis, dan membawa nilai nyata bagi pengguna maupun ekosistem organisasi.

Pada akhirnya, budaya kerja yang agile, eksploratif, dan berwawasan bisnis akan melahirkan tim yang gesit bergerak tapi tetap berpikir dalam. Mereka berani mencoba, rendah hati untuk belajar, dan bijak dalam menilai hasil.

Jika agility adalah cara kita melangkah, eksplorasi adalah cara kita menemukan jalannya, maka business acumen itu kompas yang memastikan setiap langkah membawa manfaat nyata. Organisasi perlahan menemukan kematangannya: bukan sekadar cepat berubah, tapi juga cerdas menciptakan nilai dan memastikan dampaknya terus berlanjut. 🚀

Pragmatisme

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sikap pragmatis sering dianggap tanda kecerdasan adaptif, kemampuan menyesuaikan diri dan bertindak efisien. Namun dalam Islam, pragmatisme harus berakar pada nilai moral & spiritual.

Seorang tidak hanya bertanya “apa yang berhasil?”, tetapi juga “apa yang benar?”. Inilah yang disebut hikmah amaliyah; kebijaksanaan praktis yang berpijak pada wahyu.

Rasulullah ﷺ mencontohkannya dalam Perjanjian Hudaibiyah: keputusan yang tampak merugikan justru menjadi jalan bagi kemenangan dakwah.

Pragmatisme Barat, seperti yang dikemukakan William James dan John Dewey, menilai kebenaran dari sejauh mana sesuatu “berfungsi.” Prinsip truth is what works menempatkan manusia sebagai pusat nilai; menganggap benar apa pun yang berhasil.

Islam menolak pandangan ini karena kebenaran (al-haqq) bersifat tetap & bersumber dari Allah, sedangkan keberhasilan (al-falah) tidak hanya diukur dari capaian duniawi, tetapi juga dari kesesuaian dengan nilai Ilahi. Keberhasilan sejati, bukan sekadar hasil cepat, tetapi kemajuan yang berpijak pada keimanan, kesabaran & integritas.

Refleksi ini mengajak kita menata ulang makna “pragmatis.” Islam tidak menolak efisiensi atau strategi, tetapi menegaskan bahwa semua harus dijalankan dalam kerangka keadilan dan keberkahan. Tindakan benar adalah yang membawa manfaat tanpa melanggar prinsip moral.

Menjadi pragmatis yang beriman berarti membaca kenyataan dengan cerdas tanpa kehilangan arah. Sebab kecepatan tanpa nilai bukanlah kemajuan, dan efisiensi tanpa kebenaran bukanlah keberhasilan.

Dalam pandangan tauhid, keberhasilan sejati adalah ketika manfaat dunia berpadu dengan ridha Allah, hasil yang tidak hanya berguna, tetapi juga mendatangkan keberkahan.

Keberhasilan demikian bukan semata diukur oleh capaian materi, tapi oleh sejauh mana hasil itu menghadirkan kebaikan bagi sesama & menumbuhkan kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta. Dalam kerangka ini, setiap usaha manusia menjadi bentuk ibadah yang bukan sekadar produktif, tetapi juga menumbuhkan nilai, keadilan & rahmat. Puncak keberhasilan bukan pada apa yang dimiliki, tapi pada apa yang dibagikan & seberapa tulus ikhtiar itu mengundang ridha-Nya.

Subang Ngabret BP4D Naik Kelas

“Subang Ngabret BP4D Naik Kelas – Wujudkan Perencanaan Berkualitas” tertulis pada spanduk acara hari ini, setiap kata saya coba cermati, dan ternyata ini keren!

Di ketinggian Gunung Papandayan sore ini, kami berkumpul menguatkan tekad, menyatukan langkah para perencana pembangunan Subang. Di udara sejuk dan sunyi yang menenangkan, kami belajar kembali arti bergerak bersama: bahwa perencanaan bukan sekadar menyusun dokumen, tetapi menata masa depan. Bukan sekadar memenuhi target, tapi memastikan setiap rencana benar-benar membawa manfaat bagi banyak orang.

Ngabret berarti bergerak eksponensial, melipatgandakan dampak melalui semangat, arah, dan kolaborasi. Kecepatan sejati tidak lahir dari tekanan, tapi dari kesadaran bersama akan tujuan yang sama. Ketika setiap orang memahami perannya, energi itu menyatu, menjadi kekuatan kolektif yang mendorong perubahan.

Naik kelas adalah keberanian untuk berpindah kuadran dalam matrix inovasi, dari memperbaiki sistem lama menuju menciptakan nilai baru. Di titik ini, perencanaan bukan lagi sekadar pekerjaan, melainkan ruang tumbuh bersama. BP4D yang naik kelas bukan hanya lebih cepat, tapi juga lebih relevan, adaptif, dan berdampak.

Dan berkualitas bukan hanya tentang hasil yang rapi atau sesuai standar, tapi tentang manfaat yang nyata. Kualitas sesungguhnya terasa ketika rencana menjelma perubahan, data menjadi arah, dan keputusan membawa kebaikan. Itulah perjalanan dari output ke outcome, dan akhirnya menuju impact, dampak yang mengubah kehidupan masyarakat.

Semua itu berawal dari perubahan cara berpikir. Dari compliance menuju co-creation, dari bekerja sendiri menuju co-innovation. Ketika kolaborasi lahir dari empati dan dijalankan dengan integritas, maka network effect terbentuk; menguatkan sistem dari dalam. Sebab tujuan akhir dari setiap ikhtiar bukan hanya keberhasilan, tetapi kebermanfaatan. Dan bila semua dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan, maka hadir keberkahan; koefisien beta yang melipatgandakan setiap usaha menjadi kebaikan yang meluas dan bermakna.

Selamat meluaskan dampak @bp4dsubangofficial

PLN Nusantara Power Services

Coaching berbulan-bulan, berulang-ulang, akhirnya berbuah manis. Tujuh tim berhasil mendapatkan golden ticket dan tiga di antaranya keluar sebagai juara. Sebuah kebanggaan mendampingi para inovator luar biasa ini, bukan hanya karena hasilnya, tetapi karena prosesnya. Setiap sesi adalah perjalanan panjang membentuk cara berpikir, mengasah empati terhadap pengguna, dan memupuk keberanian untuk mencoba lagi setiap kali gagal.

Sejak awal, tujuan utamanya bukan hanya memenangkan kompetisi, tapi menanamkan mindset bahwa inovasi sejati selalu berangkat dari kebutuhan pengguna. Inovasi yang berorientasi pada pengguna akan terus hidup, beregenerasi, dan menciptakan dampak jangka panjang. Karena itu, proses coaching difokuskan pada penguasaan kerangka berpikir inovatif dan kemampuan replikasi, agar inovasi tidak berhenti di satu proyek, tapi terus menular dan berkembang.

Selamat kepada seluruh tim PLN Nusantara Power Services yang telah membuktikan bahwa keberhasilan bukanlah garis akhir, melainkan awal dari perjalanan inovasi yang lebih besar. Inovasi bukan hanya tentang produk, tapi juga model bisnis dan ekosistem yang membuatnya tumbuh eksponensial. Semoga kemenangan ini menjadi titik awal untuk menyalakan lebih banyak nyala inovasi di seluruh Indonesia.

Selamat melanjutkan karya nyatanya @pln_npservices

Inovasi

Inovasi bukan sekadar tentang melahirkan hal baru, melainkan tentang menghadirkan makna yang lebih dalam bagi kehidupan. Di tengah hiruk-pikuk ide dan teknologi, banyak organisasi lupa bahwa inti inovasi bukanlah kebaruan, melainkan keberpihakan pada manusia. Inovasi yang bermakna selalu dimulai dari keberanian membaca realitas, menafsirkan keresahan, dan menyalakan perubahan. Dari sinilah tiga poros inovasi lahir: Problem, Opportunity, dan Progress—tiga langkah yang saling menaut, membentuk perjalanan dari empati menuju dampak.

Segalanya bermula dari Problem. Di titik ini, kita belajar mendengar kembali suara yang sering diabaikan: kegelisahan pengguna, hambatan proses, atau ketimpangan sistem yang membuat hidup terasa tidak adil. Rasa tidak nyaman inilah yang menjadi bahan bakar empati. Namun, berhenti di sini hanya akan membuat inovasi terjebak dalam siklus perbaikan tanpa arah yang jelas, memoles gejala tanpa menyentuh akar. Maka langkah berikutnya adalah menemukan Opportunity, yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang di balik masalah: kesempatan untuk membangun makna baru, mencipta nilai, dan menata ulang sistem agar lebih manusiawi.

Dari peluang inilah muncul dorongan untuk bergerak menuju Progress. Kemajuan menjadi wujud nyata dari keberhasilan inovasi, saat ide tidak hanya indah di atas kertas, tetapi hidup dalam praktik dan memberi manfaat nyata. Progress bukan sekadar soal hasil, melainkan tentang keberanian mengubah cara berpikir, cara bekerja, dan cara berkolaborasi. Ketika empati menjelma aksi dan aksi menghadirkan perubahan yang dirasakan, di situlah inovasi menemukan maknanya.

Akhirnya, inovasi bukan lagi proyek sesaat, tetapi perjalanan panjang memahami manusia dan memperbaiki dunia bersama. Ia menuntut kita untuk terus bergerak; dari masalah menuju peluang, dari peluang menuju kemajuan, dan dari kemajuan menuju keberlanjutan. Karena pada akhirnya, yang membuat sebuah ide layak disebut inovasi bukan seberapa baru bentuknya, tetapi seberapa dalam ia menyentuh kehidupan dan meninggalkan jejak perubahan.

“Innovation is not a project to finish , it’s a lifelong journey of understanding people and improving the world together”

Model Bisnis Vs Business Acumen

Model Bisnis Vs Business Acumen

Bayangkan kita tengah melakukan perjalanan menuju masa depan yang lebih besar dari sekadar angka keuntungan, sebuah tujuan yang menghadirkan makna, pengaruh, dan jejak kebaikan. Perjalanan ini membutuhkan kendaraan yang tepat, dan itulah peran model bisnis. 🚗🚙🚕🚘🚕

Seperti mobil yang kita pilih untuk menembus berbagai medan, model bisnis menentukan bagaimana energi dikelola, seberapa cepat kita bergerak, dan sejauh mana kita mampu menjangkau peluang yang belum tersentuh. Kendaraan ini bukan hanya alat transportasi, tetapi pernyataan tentang visi dan keberanian kita menentukan arah.

Namun kendaraan tidak akan pernah mencapai tujuan jika manusia di dalamnya berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah organisasi menjadi jiwa yang menggerakkan perjalanan. Organisasi bukan sekadar susunan struktur, tetapi ruang hidup yang menyatukan hati, pikiran, dan kontribusi. Ia mengubah sekumpulan individu menjadi kru perjalanan, yang bukan hanya duduk sebagai penumpang, tetapi mengambil peran aktif memastikan kendaraan tetap stabil, semua terhubung dengan tujuan, dan tidak ada satu pun yang merasa tertinggal🚀

Dan yang membuat perjalanan ini benar-benar bermakna adalah kesadaran kolektif atau business acumen. Ia adalah cahaya di dalam diri setiap orang yang membuat mereka peka terhadap arah angin, curah hujan perubahan, dan setiap titik kritis dalam perjalanan. Business acumen menjadikan setiap orang bukan sekadar pengikut, tetapi penjaga masa depan bersama. Ketika semua memiliki kesadaran ini, kendaraan bisnis tidak hanya melaju cepat—tetapi melaju dengan keyakinan, kebijaksanaan, dan keberkahan menuju tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar tiba: yaitu meninggalkan jejak yang memajukan kehidupan banyak orang.

Pada akhirnya, keberhasilan bisnis ditentukan bukan oleh seberapa cepat kita bergerak, tetapi oleh apakah seluruh tim terlibat aktif menjaga arah dan memastikan perjalanan ini benar-benar sampai pada tujuan strategis yang kita sepakati🎉

Strength-Based Design Thinking

Bersua @lilinimam memandu kelas bersama. Hari ini kami memadukan Design Thinking dengan pendekatan Strength-Based. Pertanyaannya sederhana: bagaimana jika inovasi tidak dimulai dari masalah, tetapi dari kekuatan manusia yang sudah kita miliki?

Banyak organisasi merasa sudah berinovasi, padahal hanya memperbaiki sistem lama agar terlihat lebih modern. Design Thinking sering dijalankan sebagai ritual mencari masalah dan menambal kekurangan demi efisiensi. Hasilnya, organisasi tampak bergerak, tetapi sebenarnya kehilangan arah, kehilangan energi, dan perlahan kehilangan relevansi. Fokus pada masalah hanya melahirkan inovasi berbasis ketakutan, bukan kekuatan.

Padahal aset terbesar organisasi bukan teknologi atau anggaran, tetapi manusia, dengan empati, imajinasi, nilai, dan jejaring sosial yang hidup di dalamnya. Inilah kekuatan yang tak bisa ditiru pesaing. Strength-Based Design Thinking mengubah manusia dari objek yang harus dibenahi menjadi sumber energi yang siap diperbesar. Inovasi tidak muncul karena keadaan mendesak, tetapi karena kekuatan yang ingin diberdayakan dan dikapitalisasi.

Organisasi yang mengadopsi pendekatan ini tidak lagi bertanya, “Bagaimana mengejar ketertinggalan?” tetapi “Kekuatan apa yang hanya kita miliki, dan bagaimana menjadikannya pemimpin masa depan?” Masa depan bukan milik organisasi yang paling efisien, tetapi yang paling berani mengorkestrasi kekuatan manusianya menjadi gerakan inovasi yang tak terbendung.

Dan di sinilah perjalanan baru dimulai: berinovasi bukan karena terpaksa, tetapi karena kita berdaya. 🚀

-Human potential is the real exponential force; technology only multiplies what the human spirit dares to envision-Telah disunting · 2 ming

Inovasi Lama Tidak Akan Menyelamatkan Kita

Inovasi Lama Tidak Akan Menyelamatkan Kita

Selama ini, banyak organisasi menganggap efisiensi sebagai bentuk inovasi. Padahal efisiensi tidak menciptakan nilai baru; ia hanya memperpanjang napas sistem lama. Seperti mempercantik rumah di atas tanah yang mulai amblas—indah sesaat, tapi perlahan kehilangan pijakan. Sementara itu, dunia sudah bergerak pada model baru yang bukan hanya memperbaiki kinerja, tetapi mendefinisikan ulang bagaimana nilai diciptakan dan dibagikan. Innovation Matrix hadir untuk menegaskan bahwa efisiensi hanyalah titik awal perjalanan inovasi, bukan tempat kita berakhir.

Perubahan nyata dimulai ketika kita memasuki Kuadran Disruptive. Pada tahap ini, inovasi tidak lagi fokus menyempurnakan apa yang sudah ada, tetapi membuka akses baru bagi mereka yang sebelumnya tidak terlayani. Inilah wilayah para pengubah permainan; mereka yang tidak sekadar mengikuti arus masa depan, tetapi menciptakan arah baru yang lebih inklusif dan relevan.

Perjalanan meningkat ke Kuadran Architectural, di mana orientasi inovasi bergeser dari produk ke ekosistem. Organisasi tidak lagi berdiri sebagai pemain tunggal, melainkan menjadi penghubung dan penggerak kolaborasi lintas sektor. Pertanyaan strategis pun berubah: bukan lagi “bagaimana kita menang?”, tetapi “bagaimana kita membangun sistem yang memungkinkan semua pihak tumbuh bersama?”.

Puncaknya adalah Kuadran Exponential, tempat inovasi menjadi kekuatan pencipta masa depan. Di sini, organisasi melampaui batas industri konvensional dan membangun zona nilai baru yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Pada titik ini, organisasi tidak sekadar beradaptasi dengan masa depan; mereka menjadi arsitek masa depan itu sendiri.

Pilihan kita semakin jelas: bertahan di zona efisiensi dan perlahan ditinggalkan, atau bergerak menuju inovasi eksponensial dan menjadi pusat gravitasi perubahan global. Inilah saatnya berhenti bermain dalam aturan lama, dan mulai menciptakan masa depan yang kita inginkan🎉