Kreativitas

Di era sekarang, kreativitas bukan lagi soal melukis atau mencipta lagu semata. Ia telah menjadi bahan bakar utama dalam membangun ekonomi. Dalam konteks ekonomi kreatif, kreativitas adalah kemampuan untuk melihat sesuatu yang biasa secara luar biasa, mengubah cerita lokal jadi produk global, menjadikan budaya sebagai solusi, dan menjahit identitas jadi peluang. Menurut UNCTAD (2010), ekonomi kreatif adalah titik temu antara ide, budaya, teknologi, dan ekonomi yang mendorong pertumbuhan secara inklusif dan berkelanjutan.

Tapi ide saja tidak cukup. Kreativitas butuh dieksekusi, dan di sinilah peran inovasi masuk. Inovasi adalah proses menjadikan ide kreatif itu menjadi nyata dan berguna. Dalam banyak kasus, inovasi di sektor kreatif muncul bukan dari laboratorium, tapi dari jalanan, dari obrolan komunitas, atau dari keresahan yang diolah jadi aksi. Seperti ketika kerajinan tangan lokal dikawinkan dengan digitalisasi, atau musik tradisional diberi ruang di platform global, semua itu adalah bentuk inovasi kontekstual.

Nah, agar inovasi ini tidak hanya jadi “proyek keren sesaat”, dibutuhkan model bisnis yang solid. Model bisnis membantu ide dan inovasi berjalan dalam sistem yang berkelanjutan. Ia menjawab pertanyaan sederhana tapi krusial, siapa yang akan menggunakan ini, bagaimana nilainya ditukar, dan bagaimana bisa terus tumbuh? Banyak komunitas kreatif yang dulunya hanya berkarya, kini mulai menyadari pentingnya struktur bisnis agar karya mereka punya napas panjang dan berdampak luas (Bekraf, 2018, Osterwalder & Pigneur, 2010).

Jadi sebenarnya, kreativitas, inovasi, dan model bisnis itu saling terhubung. Kreativitas adalah titik awal, inovasi adalah proses perubahan, dan model bisnis adalah cara bertahan. Di titik pertemuan ketiganya, kita melihat wajah baru ekonomi, yang bukan hanya mengejar pertumbuhan, tapi juga kebermaknaan. Dan mungkin, di situlah letak masa depan yang layak kita perjuangkan bersama.

Diskusi bareng @galihsedayu
Difoto ciamik oleh maestro foto @dudisugandi

Memahami Batas Relasi: Antara Koneksi dan Kapasitas

Memahami Batas Relasi: Antara Koneksi dan Kapasitas

Kita tidak bisa memelihara semua hubungan dengan kualitas yang sama.

Banyak orang berpikir bahwa semakin banyak kenalan, semakin besar peluang yang dimiliki. Itu tidak salah, tapi tidak sepenuhnya tepat. Penelitian Dunbar menunjukkan bahwa otak manusia hanya bisa mengelola sekitar 150 hubungan sosial aktif dengan kualitas yang bermakna. Itu bukan soal kemampuan teknologi, tapi kapasitas mental dan emosional kita untuk benar-benar hadir dalam hubungan.

Masalahnya bukan pada jumlah orang yang kita kenal, tapi pada berapa banyak hubungan antar mereka yang juga harus kita pahami dan kelola. Jika kamu punya 10 teman dan mereka semua saling kenal, maka kamu tidak hanya mengurus 10 relasi, tapi puluhan dinamika antar mereka. Kompleksitas ini tumbuh secara kuadratik, artinya bertambah jauh lebih cepat dari jumlah orangnya.

Di sinilah banyak komunitas, tim, dan organisasi gagal. Mereka mengira dengan membesarkan jaringan, kualitas akan ikut tumbuh. Padahal tanpa struktur, prioritas, dan kesadaran batas, hubungan yang terlalu banyak justru melemahkan koordinasi, memperbesar potensi konflik, dan menguras energi sosial.

Kesimpulannya sederhana: jangan kejar banyaknya relasi, tapi kelola yang penting dan bangun yang bermakna. Dalam dunia yang terus menambahkan koneksi, kita justru harus semakin sadar memilih mana yang harus dirawat, mana yang cukup dikenali, dan mana yang tak perlu dipaksakan. Karena kapasitas kita terbatas, dan setiap hubungan butuh energi nyata🎉

Catatan untuk Bandung

Catatan untuk Bandung.

Bandung terlalu lama disibukkan oleh sampah. Dari media, forum warga, hingga rapat birokrasi, isu ini terus muncul sebagai pusat perhatian. Padahal yang terjadi bukan sekadar masalah lingkungan, tapi cara kota ini melihat urgensi. Sampah telah menjadi unhealthy urgency, memaksa kita terus bereaksi, tanpa ruang berpikir ulang arah. Krisis mendorong respons teknis, tapi tidak mengubah sistem dan budaya hidup warganya.

Kota yang hidup bukan kota yang selalu menyelesaikan masalah, tapi kota yang tahu apa yang layak dikejar bersama. Kreativitas seharusnya menjadi healthy urgency Bandung, sebuah dorongan yang lahir dari visi, bukan desakan. Saat warga diajak mencipta, bukan hanya diawasi; saat budaya hadir di ruang publik, bukan sekadar di panggung festival; maka kota bergerak dari dalam. Warga bukan sekadar objek, tapi pelaku transformasi.

Dalam ekosistem seperti itu, sampah bukan lagi isu utama. Ia tetap ada, tapi tak lagi mendominasi. Karena ketika gaya hidup warga berubah, dari konsumtif ke kreatif, dari pasif ke kolaboratif, masalah seperti sampah akan didekati dengan cara baru. Inovasi lahir bukan dari ketakutan, tapi dari kebiasaan dan kebanggaan. Bahkan pemulung dan pelaku ekonomi informal pun bisa masuk dalam ekosistem kreatif yang produktif dan bermartabat.

Kota kreatif bukan soal mural, festival, atau slogan. Tapi soal bagaimana kebijakan, ruang, dan anggaran diarahkan untuk menghidupkan daya cipta warga. Kreativitas harus menjadi strategi utama, bukan dekorasi. Ini bukan sekadar pembaruan program, tapi pembaruan cara berpikir tentang siapa yang membangun kota, dan bagaimana mereka dilibatkan.

Jika Bandung ingin keluar dari siklus darurat yang berulang, maka yang dibutuhkan bukan hanya solusi atas sampah. Tapi keberanian untuk menggeser arah. Menjadikan kreativitas sebagai pusat perhatian. Karena ketika kota hidup dari semangat warganya, maka persoalan seperti sampah tak perlu dihadapi dengan panik, cukup dengan perubahan cara hidup yang diciptakan bersama❤️

From corporate hierarchies to living organisms;

From corporate hierarchies to living organisms;

Dalam ekosistem yang sehat, setiap individu sadar bahwa dirinya bagian dari sistem yang saling terhubung. Peter Senge dalam The Fifth Discipline menyebut ini sebagai system thinking, kesadaran bahwa setiap tindakan membawa dampak sistemik. Ketika pemahaman ini tumbuh, tanggung jawab terhadap keberlangsungan ekosistem muncul bukan karena instruksi, melainkan karena kesadaran bersama.

Namun, kesadaran semacam itu tidak hadir seketika. Ia lahir dari relasi yang bermakna dan ruang dialog yang terbuka. Margaret Wheatley dalam Leadership and the New Science menegaskan bahwa keteraturan dalam sistem hidup bukan hasil kontrol, melainkan hubungan yang saling menghidupkan. Tanpa ruang ini, individu mudah terjebak dalam posisi pasif: hadir dan menikmati hasil ekosistem tanpa merasa perlu turut menjaga atau memperjuangkannya.

Jika dibiarkan, pola ini melahirkan ilusi keteraturan. Frederic Laloux dalam Reinventing Organizations menyebut banyak organisasi tampak stabil, padahal hanya sebagian kecil yang memikul beban perubahan. Ketika individu berhenti bertanya “apa kontribusiku?” dan hanya fokus pada “apa yang kudapat?”, maka organisasi bergerak tanpa arah kolektif. Yang tersisa hanyalah keteraturan administratif tanpa ruh kebersamaan.

Maka diperlukan lebih dari sekadar pengarahan, dibutuhkan ruang refleksi bersama. Otto Scharmer lewat Theory U menawarkan konsep presencing, sebuah proses menyelami ulang niat dan arah kolektif. Dialog yang jujur menjadi jalan keluar dari keterasingan sistemik, membuka kesadaran baru bahwa ekosistem harus terus dibangun secara sadar, bukan hanya dijalankan secara teknis.

Di sinilah peran pemimpin berubah: bukan sebagai pengontrol, melainkan fasilitator kesadaran. Ron Heifetz dalam Adaptive Leadership menegaskan bahwa perubahan hanya mungkin jika tanggung jawab dibagikan. Ekosistem yang tangguh dibangun oleh banyak tangan yang sadar arah. Ketika semua merasa memiliki, perjuangan menjadi milik bersama, dan keberlangsungan tak lagi bergantung pada satu figur.

In frame @sabilgn – ecosystem designer

Artificial Integrity

Di era AI yang makin canggih, kesempurnaan teknis kerap dianggap sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Kita terpukau oleh kecepatan, kerapihan, dan ketepatan hasil, lupa bahwa AI hanya bisa menghasilkan output, bukan menanamkan niat, nilai, atau integritas. Ia bisa memahami konteks, tapi tak memiliki nurani (Jordan Imutan, 2024). AI bisa menjawab, tapi tak bisa memikul bertanggung jawab.

Kemajuan ini menciptakan ilusi kesetaraan: semua bisa tampak cerdas dan produktif. Namun, perbedaan sejati bukan pada hasil akhirnya, melainkan pada niat dan proses di baliknya. World Economic Forum (2024) menekankan pentingnya AI value alignment, bahwa teknologi harus diarahkan oleh nilai kemanusiaan. Dua karya bisa tampak sama bagusnya, tapi hanya satu yang lahir dari empati dan tanggung jawab moral.

Dalam dunia serba instan, godaan meninggalkan nilai makin besar. Jalan pintas sering tampak efisien, tapi tak selalu etis. Harvard Business Review (2024) menegaskan: etika bukan pelengkap, melainkan fondasi penggunaan teknologi. Nilai adalah benteng yang menjaga manusia untuk tetap lurus, bahkan saat tak ada yang melihat. Integritas diuji bukan dalam kesulitan, tapi dalam peluang menyimpang yang tak terdeteksi.

Maka pertanyaan terpenting di era ini bukan sekadar “apa hasilnya?”, tapi “nilai apa yang kamu jaga saat berkarya?”. AI akan terus berkembang, bahkan melampaui manusia dalam banyak hal. Tapi hanya manusia yang mampu menjaga keberkahan, karena seperti diingatkan Duke Corporate Education (2024), masa depan tak hanya soal Artificial Intelligence, tapi juga Artificial Integrity, dan di situlah manusia tetap memegang peran utamanya✨

Transformative Learning

Tak semua hadiah berwujud benda. Banyak hadiah terbaik justru hadir dalam bentuk yang tak kasat mata, seperti kesempatan yang membuka jalan, ilmu yang menyalakan pemahaman, jejaring yang menghubungkan makna, atau ruang aman untuk tumbuh dan berproses. Hadiah-hadiah ini tidak bisa dibungkus kertas atau diabadikan dalam foto, tetapi mampu mengubah arah hidup seseorang. Marcel Mauss dalam The Gift mengingatkan bahwa hadiah sejati bukan tentang barang yang berpindah tangan, melainkan tentang hubungan sosial yang menumbuhkan keterhubungan, kepercayaan & kebermaknaan.

Dalam kerangka pendidikan & pengembangan manusia, bentuk-bentuk hadiah ini sejalan dengan domain afektif dari taksonomi Bloom, di mana pembelajaran tidak hanya menyentuh aspek kognitif tetapi juga nilai & sikap. Memberi kesempatan untuk mencoba, mendampingi proses gagal & bangkit, atau membuka akses terhadap jejaring merupakan bentuk konkret dari pendidikan berbasis empati. Di sinilah peran pendidik melampaui sekadar transfer ilmu, menjadi fasilitator pertumbuhan sebagaimana ditekankan dalam pendekatan humanistik oleh Carl Rogers & Abraham Maslow, yang memandang pendidikan sebagai jalan menuju keutuhan diri.

Jack Mezirow melalui konsep transformative learning, menyatakan bahwa pembelajaran yang paling bermakna terjadi ketika seseorang mengalami perubahan cara pandang, bukan karena diberi jawaban tetapi karena diberi ruang untuk bertanya & mengalami. Hadiah dalam bentuk akses, jejaring, dan kepercayaan bisa menjadi pemicu proses transformatif tersebut. Dalam lingkup sosial yang lebih luas, pendekatan ini selaras dengan asset-based community development (ABCD), yang meyakini bahwa menghadiahkan akses terhadap potensi diri & kekuatan kolektif lebih memberdayakan daripada bantuan instan.

Jika hari ini ada seseorang yang bertumbuh karena pernah diberi ruang untuk mencoba, pernah diajak bicara dengan tulus, ditautkan dengan sosok yang tepat, maka itulah hadiah yang sesungguhnya. Hadiah yang mungkin tidak pernah dianggap pemberian oleh penerimanya, namun justru menjadi titik tolak dari perubahan hidupnya, tidak sekadar mengisi, melainkan menghidupkan.✨

Pendekatan Experiential Learning

Di tengah derasnya arus teknologi dan kehadiran kecerdasan buatan (AI) di dunia pendidikan, peran guru justru semakin penting, bukan sebagai penyampai materi, tapi sebagai penjaga akal sehat dan rasa ingin tahu anak-anak. Kita sering bicara soal literasi digital, tapi lupa bahwa yang lebih mendasar adalah literasi berpikir kritis: keberanian bertanya, kemampuan memilah informasi, dan kesadaran untuk memahami sebelum menyimpulkan (Facione, 2011). Di sinilah guru mengambil peran sentral, membentuk bukan hanya “anak pintar,” tapi “anak berpikir”.

Design Thinking menjadi pendekatan yang sangat relevan untuk konteks ini. Ia mengajak guru untuk memulai dari empati, coba duduk di kursi siswa, rasakan bingungnya, kebosanan, atau rasa takut saat tidak paham tapi juga takut bertanya. Dari sini, guru bisa mulai merancang kelas sebagai ruang eksplorasi, bukan hanya tempat mengejar nilai (Brown, 2009; Razzouk & Shute, 2012). Ketika murid diberi ruang untuk mencoba dan bahkan gagal, justru di sanalah muncul pembelajaran yang paling melekat. Belajar jadi pengalaman, bukan sekadar hafalan.

Yang membuat pembelajaran berkesan seringkali bukan materinya, tapi suasananya, cara guru mendengar, cara mereka memotivasi, dan bagaimana anak merasa dihargai. Teori pembelajaran bermakna dari Ausubel (1968) dan pendekatan experiential learning dari Kolb (1984) menyebutkan bahwa pembelajaran akan jauh lebih kuat ketika siswa bisa mengaitkan materi dengan pengalaman hidupnya. Maka, aktivitas sederhana seperti menulis jurnal cuaca atau bermain peran bisa jauh lebih berdampak daripada sekadar lembar kerja.

Akhirnya, AI bisa memberikan banyak jawaban, tapi tidak bisa memberikan rasa. Guru tetap tak tergantikan karena bisa menyentuh sisi manusiawi dalam proses belajar, menemani anak saat bingung, menguatkan saat gagal, dan menyalakan semangat saat mereka kehilangan arah. Seperti kata Parker Palmer (1998), mengajar itu bukan hanya soal teknik, tapi soal keberanian membawa diri yang utuh ke dalam kelas. Maka di era AI ini, guru justru jadi lebih relevan dari sebelumnya, sebagai penjaga pikiran kritis & pelita bagi rasa ingin tahu anak-anak.

AI bukan pengganti berpikir. Ia hanya alat bantu.

Belakangan ini, AI menjadi semacam mantra sakti: seolah semua masalah bisa selesai asal pakai AI. Banyak wirausaha berlomba-lomba “meng-AI-kan” bisnisnya tanpa sempat bertanya,apa sebenarnya masalah yang sedang dihadapi? Ini bukan hanya soal teknologi yang makin canggih, tapi soal cara kita berpikir sebelum mengambil keputusan.

Faktanya, menurut riset MIT Sloan (Ransbotham et al., 2021), sebagian besar kegagalan dalam penerapan AI di organisasi bukan karena teknologi yang buruk, melainkan karena ketidakjelasan masalah yang hendak diselesaikan. Dalam banyak kasus, AI dipaksa menjawab pertanyaan yang bahkan belum pernah dirumuskan dengan benar.

Di sinilah pentingnya kerangka berpikir kritis dan Design Thinking. Sebelum bicara tentang model prediktif, chatbot, atau sistem rekomendasi, kita perlu kembali ke dasar: siapa yang kita bantu, masalah apa yang mereka alami, dan bagaimana kita bisa memahami konteksnya secara utuh. Seperti kata Tim Brown dari IDEO, “Design Thinking is less about the brilliance of a single idea and more about the process of getting to the right one.”

Tanpa proses pemahaman ini, AI justru bisa mempercepat kesalahan. Kita bisa dengan mudah mengotomatisasi proses yang salah arah, memperkuat bias yang tak terlihat, dan membuat keputusan yang tak berpijak pada realitas pengguna. AI memperbesar efek dari apa yang kita pikirkan. Kalau cara berpikirnya keliru, maka kesalahannya juga jadi lebih cepat dan lebih besar.

Maka jadi penting para wirausahawan bukan sekadar tentang akses ke teknologi, tapi soal membentuk mindset problem-solving. Wirausaha yang tangguh di era AI adalah mereka yang tidak hanya bisa menggunakan teknologi, tapi lebih dulu memahami masalah dengan jernih, merumuskan hipotesis, dan membangun solusi secara iteratif.

AI bukan pengganti berpikir. Ia hanya alat bantu. Tapi hanya akan membantu kalau kita tahu, apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan untuk dipecahkan✨✨

Dipakai Sekali, Disimpen Seumur Hidup

Dipakai Sekali,
Disimpen Seumur Hidup.

Di balik logika sederhana “lebih murah beli alat cuci mobil daripada bolak-balik ke carwash,” tersimpan ironi yang menggambarkan kegagalan memahami alasan sebenarnya mengapa orang memilih jasa cuci mobil. Pada permukaan, argumen ini masuk akal: sekali cuci di carwash seharga 50 ribu, maka tiga kali saja sudah menyamai harga satu set alat cuci mobil komplit seharga 150 ribu. Maka, beli alat cuci sendiri terlihat seperti keputusan finansial yang lebih bijak.

Namun, di sinilah kesalahan berpikirnya—dan sekaligus pelajaran penting dari Jobs to Be Done. Sebab, ketika seseorang pergi ke carwash, mereka sebenarnya tidak sedang “membeli kebersihan mobil” semata. Mereka sedang “menyelesaikan pekerjaan” yang lebih kompleks: menghemat waktu, menghindari kerepotan, menghindari basah dan kotor, bahkan kadang sambil menikmati waktu santai atau interaksi sosial saat menunggu. Itulah “job” yang sesungguhnya mereka sewa dari layanan carwash.

Alat cuci mobil mungkin bisa menggantikan fungsi teknis—yakni membuat mobil bersih. Tapi alat itu tidak menyelesaikan seluruh “pekerjaan” yang diharapkan oleh penggunanya. Karena itulah, meskipun sudah dibeli, alat itu hanya digunakan sekali. Hari berikutnya, si bapak kembali ke carwash, karena sebenarnya bukan alatnya yang mereka butuhkan, tapi penyelesaian menyeluruh dari “pekerjaan” yang tidak ingin mereka lakukan sendiri.

Contoh ini dengan sangat sederhana tetapi tajam menunjukkan bahwa inovasi atau solusi yang hanya fokus pada fitur dan harga bisa gagal digunakan bila tidak memahami konteks utuh kebutuhan manusia. Di situlah Jobs to Be Done dalam Value Proposition dengan pendekatan Design Thiniking memberi pelajaran penting: bukan produknya yang salah, tapi pekerjaannya yang tidak terselesaikan.

Inspired by curhatan Bapak-bapak @hendipratama ✨

Oleh-oleh Jumat dari Istiqomah

Oleh-oleh Jumat dari Istiqomah

Indonesia ini bukan negara miskin. Kita punya tanah yang subur, laut yang luas, tambang yang tak habis-habis. Tapi entah kenapa, rasa-rasanya kita tak pernah benar-benar merasa cukup. Yang kaya makin kuat, yang kecil makin terdesak. Aturan dibuat, tapi keadilan seperti barang langka. Masyarakat sering cuma jadi angka, dihitung, tapi tak dianggap.

Mungkin yang hilang dari kita bukan sekadar kebijakan yang salah, tapi cara pandang yang keliru. Kita terlalu sibuk membenahi negara dari atas, lupa membangun kepercayaan dari bawah. Terlalu banyak strategi, tapi terlalu sedikit empati. Di sinilah pentingnya kita menengok sejarah, bukan untuk romantisme, tapi untuk belajar ulang tentang arah.

Rasulullah SAW pernah memimpin kota yang retak: sukunya banyak, agamanya beda-beda, konflik tak pernah usai. Tapi beliau datang bukan membawa dominasi, melainkan perjanjian hidup bersama: Piagam Madinah. Isinya bukan soal kekuasaan, tapi soal martabat. Bahwa semua orang berhak merasa aman, dihormati, dan punya suara. Di situ, masyarakat bukan beban, tapi fondasi.

Apa kabar Indonesia hari ini? Apakah kita masih percaya masyarakat sebagai pusat kekuatan? Atau justru kita perlahan menggesernya jadi objek kebijakan, bukan subjek perubahan? Mungkin sudah saatnya kita berhenti sekadar mengejar pertumbuhan, dan mulai bertanya: siapa yang kita tumbuhkan? Karena negara yang besar tak berarti apa-apa kalau masyarakatnya merasa kecil.

Kita hidupkan lagi semangatnya, bahwa negara bukan sekadar soal kekuasaan, tapi tentang memuliakan masyarakat. Jika kita ingin benar-benar maju, maka keadilan harus dirasakan oleh yang kecil, suara rakyat harus dihormati, dan kekuasaan kembali menjadi amanah, bukan alat untuk kekuasaan.