Evaluasi Dampak Sosial Institusi Pendidikan

Evaluasi Dampak Sosial Institusi Pendidikan:

Pendidikan tidak lagi bisa dinilai hanya dari indikator administratif seperti akreditasi, angka kelulusan, atau peringkat institusi. Ukuran-ukuran tersebut hanya menggambarkan keberhasilan sistem secara prosedural, tetapi tidak menjawab pertanyaan paling mendasar: apakah pendidikan sungguh mengubah kehidupan manusia dan memajukan peradaban?

Evaluasi dampak sosial bisa digunakan sebagai pendekatan kritis untuk menilai sejauh mana pendidikan berkontribusi terhadap peningkatan martabat, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya memenuhi standar birokrasi.

Dampak pendidikan harus dilihat dari kemampuannya membentuk manusia yang memiliki agency, yakni kemampuan untuk menentukan arah hidup, menciptakan solusi, dan membangun ekosistem sosial yang berkelanjutan. Pendidikan yang hanya melahirkan pencari kerja sesungguhnya belum berdampak secara sosial; yang berdampak adalah pendidikan yang melahirkan pencipta nilai, penggerak perubahan, dan pemimpin komunitas.

Dengan demikian, evaluasi dampak pendidikan perlu beralih dari sekadar mengukur keberhasilan individu menuju mengukur perubahan struktur sosial: apakah pendidikan mampu mengurangi kesenjangan, memperluas akses, dan memperkuat kedaulatan masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan.

Jika orientasi pendidikan tidak diubah dari paradigma administratif menuju paradigma transformatif, maka pendidikan hanya akan menjadi mesin reproduksi status quo.

Evaluasi dampak sosial menuntut kita menggeser pertanyaan dari “Apakah target kurikulum tercapai?” menjadi “Apakah pendidikan melahirkan manusia yang mampu mengubah realitas?” Pada titik ini, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai institusi akademik, melainkan sebagai kekuatan peradaban. Dan hanya pendidikan yang menghasilkan dampak sosial nyata yang layak disebut sebagai pilar kemajuan untuk bangsa ini.

Modul Entrepreneurship

Sejak 22 April 2024, kami dipercaya oleh Universitas Terbuka untuk mengembangkan sembilan modul entrepreneurship di bidang pertanian, dan hari ini, dua paket buku pertama resmi hadir di tangan saya. Ini bukan sekadar buku ajar. Ini adalah langkah nyata untuk mengubah cara kita melihat pertanian: bukan sebagai sektor tradisional, tetapi sebagai sumber peluang bisnis masa depan yang berdampak, modern, dan berkelanjutan.

Yang membedakan modul ini adalah pendekatan yang digunakan. Semua topik dibangun dengan mindset design thinking dan ecosystem-based entrepreneurship, sehingga pembaca tidak hanya diajarkan cara memulai usaha, tetapi diajak memahami bagaimana menciptakan model bisnis yang kuat, relevan, dan mampu bertahan dalam perubahan zaman. Tidak ada teori kosong, semuanya dikaitkan dengan konteks Indonesia, lengkap dengan contoh nyata dari desa, UMKM, hingga model bisnis pertanian modern.

Setiap bab dirancang agar mudah dipahami siapa pun, termasuk mereka yang belum punya latar belakang bisnis. Ditambah lagi, buku ini dilengkapi dengan video interaktif yang bisa diakses melalui barcode, sehingga pembelajaran menjadi fleksibel, visual, dan langsung bisa diterapkan. Inilah modul pertama yang bukan hanya mengajarkan wirausaha, tetapi benar-benar mempersiapkan pembelajarnya untuk menciptakan dampak nyata di lapangan.

Saya berterima kasih kepada @univterbuka atas kepercayaannya dan tentu @ftip.unpad untuk pintu izinnya. Bersama modul ini, kami tidak hanya membangun materi pembelajaran, kami sedang membangun gerakan nasional: melahirkan generasi entrepreneur pertanian yang siap menciptakan nilai, membuka lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi bangsa dari akar rumput.

Modul ini bukan hanya bahan ajar, tetapi fondasi untuk membangun gerakan kewirausahaan pertanian yang modern, inklusif, dan berdampak. Semoga ikhtiar ini dapat membantu menggerakkan perubahan kolektif bagi masa depan pertanian di Indonesia❤️

Eksekutor Vs Orkestrator

Eksekutor Vs Orkestrator

Menjadi eksekutor memang senantiasa memberi kesan produktif, target tercapai, aktivitas berjalan, hasil terlihat. Namun, seperti diingatkan Peter Drucker (1967), “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Efisiensi tanpa objective hanyalah kesibukan yang banyak tipuannya. Banyak organisasi terjebak dalam ilusi kemajuan: tampak sibuk, padahal kehilangan kompas strategisnya. Energi terkuras untuk hal mendesak, bukan hal penting. Inilah paradoks eksekusi, semakin cepat bergerak, justru semakin kabur tujuannya.

Untuk keluar dari jebakan itu, pemimpin perlu membangun disiplin refleksi strategis. Mintzberg (1994) menekankan bahwa strategi bukan rencana di atas kertas, melainkan pola keputusan yang sadar. Maka, jeda untuk berpikir bukanlah kemewahan, tetapi bagian dari kerja. Refleksi memungkinkan kita meninjau apakah tindakan harian masih sejalan dengan tujuan jangka panjang. Orkestrator tahu kapan harus turun ke lapangan dan kapan naik ke “menara pandang” untuk membaca lanskap secara utuh. Tanpa itu, organisasi mudah menjadi busy but blind🙏

Kepemimpinan orkestratif menuntut kemampuan sensemaking (Weick, 1995): membaca pemaknaan di balik tiap tindakannya, bukan sekadar menghitung hasilnya. Delegasi dalam konteks ini berarti membagi tanggung jawab sekaligus kesadaran. Saat setiap individu memahami mengapa di balik pekerjaannya, lahir distributed ownership, rasa kepemilikan kolektif yang mendorong sinergi. Energi organisasi pun bertransformasi dari menjalankan perintah menjadi menciptakan nilai bersama 🚌

Sebagaimana dikemukakan Heifetz (1994), kepemimpinan sejati adalah kemampuan “to get on the balcony”, melihat gambaran besar tanpa larut dalam keramaian panggung. Orkestrasi bukan sekadar mengatur ritme kerja, melainkan menjaga jalannya perubahan. Eksekusi menggerakkan roda, tetapi orkestrasi memastikan pergerakannya menuju tujuan. Di sanalah organisasi menemukan kualitas geraknya: tidak sekadar cepat, tetapi selaras, adaptif, dan mengawalnya hingga berdampak.

Kerja Keras

Dalam banyak organisasi, “kerja keras” sering dipuja sebagai simbol dedikasi, padahal tanpa arah yang jelas sering berubah menjadi kelelahan yang dilembagakan. Drucker (1967) membedakan antara efficiency, melakukan sesuatu dengan benar; dan effectiveness, melakukan hal yang benar. Produktivitas baru bermakna bila berpadu dengan tujuan dan integritas. Kerja keras memberi tenaga, kerja cerdas memberi arah, dan integritas memberi jiwa. Ketiganya memberi manfaat melampaui kepentingan pribadi maupun institusional.

Namun, banyak organisasi terjebak pada penyembahan indikator. Sistem seperti Objectives and Key Results (OKR) dan Key Performance Indicators (KPI) sering diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Doerr (2018) menegaskan, OKR seharusnya menghubungkan angka dengan makna; Kaplan dan Norton (1996) menambahkan, indikator hanya berguna jika mencerminkan penciptaan nilai nyata bagi pengguna. Ketika fokus bergeser dari makna ke metrik, organisasi tampak bergerak, tetapi kehilangan arah moral dan emosionalnya.

Untuk mengembalikan makna itu, Theory of Change (Weiss, 1995; Vogel, 2012) mengingatkan bahwa keberhasilan bukan diukur dari output yang dihasilkan, melainkan outcomes dan impact; perubahan perilaku, kepuasan, dan keberdayaan penerima manfaat. Sejalan dengan Service-Dominant Logic (Vargo & Lusch, 2004), nilai sejati lahir dari interaksi antara organisasi dan pengguna. Dengan demikian, tujuan strategis bukan sekadar memenuhi target internal, melainkan memastikan kebermanfaatan yang dirasakan nyata oleh pihak yang dilayani.

Di titik inilah kepemimpinan transformatif (Burns, 1978; Bass & Riggio, 2006) menjadi relevan. Pemimpin tidak hanya mengatur kerja, tetapi menumbuhkan kesadaran kolektif untuk berkarya dengan tujuan. Ia menggeser orientasi organisasi dari output-driven menjadi outcome-driven, dari mengejar hasil menuju menumbuhkan keberkahan. Keberkahan adalah beyond-efficiency effect, hasil nonmaterial berupa kepercayaan, kolaborasi, dan loyalitas yang memperpanjang dampak positif organisasi. Karena itu, ukuran keberhasilan sejati bukan seberapa tinggi seseorang mendaki, tetapi seberapa banyak orang yang ikut tumbuh bersamanya💙

Kenapa harus kerja 100%? 20% aja!

Kenapa harus kerja 100%? 20% aja!

Banyak orang bangga bekerja keras seolah 100% itu tanda kesungguhan. Tapi apakah kerja keras otomatis berbanding lurus dengan keberhasilan? Faktanya, banyak yang bekerja sepanjang hari tapi tetap stagnan, bahkan jatuh pada kelelahan mental. WHO (2019) sudah mengklasifikasikan burnout sebagai masalah serius: kelelahan kronis, sinisme, dan turunnya efektivitas. Artinya, kerja keras tanpa arah bisa kontraproduktif.

Prinsip Pareto mengingatkan: tidak semua usaha punya dampak yang sama. Sering kali hanya sebagian kecil aktivitas yang menghasilkan sebagian besar hasil. Peter Drucker menekankan, efficiency is doing things right; effectiveness is doing the right things. Masalahnya, banyak individu dan organisasi justru tenggelam dalam “80% aktivitas” yang sibuk tapi minim kontribusi. Jadi, persoalannya bukan kurang kerja keras, melainkan salah fokus mengalokasikan energi.

Namun realitasnya, tidak semua orang punya keleluasaan untuk memilih aktivitas paling berdampak. Banyak pekerja, yang oleh Guy Standing (2011) disebut precariat, tidak punya pilihan selain bekerja keras penuh untuk sekadar bertahan. Ini menunjukkan bahwa “kerja cerdas” tidak bisa hanya dilihat sebagai mindset individu, tapi juga soal akses dan struktur sosial yang memberi ruang bagi pilihan. Tanpa ekosistem yang adil, anjuran “fokus pada 20% yang penting” sulit diwujudkan.

Karena itu, perubahan perlu dilakukan di dua tingkat: individu dan organisasi. Budaya kerja yang hanya menilai jam panjang atau tumpukan laporan harus ditinggalkan. Stephen Covey (1989) mengingatkan pentingnya begin with the end in mind: bekerja dengan tujuan yang jelas, bukan sekadar sibuk. Jika individu mampu menjaga energi dan organisasi menata ulang fokusnya, kerja keras bisa berubah menjadi kerja cerdas, bukan cuma produktif, tapi juga berdampak pada keberlanjutannya✨

Bareng @thelocalenablers kami kerap mengingatkan yok kita kerja keras 20% yang fokus bisa memberi 80% hasil, sementara 80% energi lainnya adalah hak kita untuk belajar, bereksplorasi, merawat keluarga, dan membangun makna hidup, mengembangkan kapasitas🚀

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ketika merenungi hakikat penciptaan manusia, kita diingatkan bahwa asal kita begitu sederhana, dari tanah, lalu dari setetes air yang lemah, hingga Allah tumbuhkan menjadi kehidupan yang sempurna. Dari proses yang terlihat kecil dan rapuh itu, justru lahir kemuliaan, sebab Allah meniupkan ruh-Nya dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang diberi amanah. Kehadiran putri kedua kami menjadi pengingat nyata, bahwa setiap anak adalah karunia dan bukti kasih sayang Allah yang begitu teliti dan penuh hikmah.

Perjalanan hidup ini adalah rangkaian yang Allah tetapkan: dari bayi yang mungil, tumbuh menjadi dewasa, lalu melemah, dan akhirnya kembali kepada-Nya. Maka kelahiran bukan hanya kabar gembira, melainkan juga awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan berakhir di hadapan Sang Pencipta. Aqiqah hari ini kami maknai sebagai penanda rasa syukur, bahwa Allah berkenan menambahkan amanah baru dalam keluarga kami.

Di sisi lain, Allah pun mengingatkan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan yang luhur, yakni beribadah, bersyukur, dan menjadi khalifah yang membawa kebaikan. Maka setiap anak adalah titipan yang harus dibimbing agar mengenal Tuhannya dan tumbuh dengan akhlak yang mulia. Doa kami, semoga putri ini tumbuh dalam cinta dan ketaatan, menjadi cahaya kebaikan bagi keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

Dan kami sadar, manusia penuh kelemahan, mudah gelisah, lalai, bahkan lupa bersyukur. Karena itu, kelahiran ini juga menjadi cermin bagi kami sebagai orang tua, bahwa amanah membesarkan anak tidak ringan, dan hanya dengan pertolongan Allah kami bisa menjalaninya. Semoga aqiqah ini menjadi saksi syukur kami, serta tekad untuk menjaga titipan Allah dengan sabar, ikhlas, dan penuh pengabdian.

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ngga semua harus jadi startup;)

Ngga semua harus jadi startup;)

Membangun usaha berbasis purpose memang tidak mudah, terutama di tengah ekosistem bisnis yang masih sangat terikat pada logika profit maximization. Budaya startup sering kali identik dengan cash burning dan obsesi valuasi, sehingga keberhasilan diukur semata-mata dari pertumbuhan finansial jangka pendek. Padahal, konteks global menunjukkan tren baru menuju hybrid business model yang menyeimbangkan keuntungan dengan keberlanjutan. Di Indonesia sendiri, urgensi itu semakin nyata: krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kebutuhan akan keberlanjutan menuntut hadirnya model bisnis yang melampaui sekadar profit.

Dalam lanskap ini, social startup muncul sebagai pilihan strategis. Alih-alih mengejar pertumbuhan dengan segala cara, model ini menempatkan purpose, visi sosial, ekologis, atau pendidikan sebagai inti gerakan. Kita bisa melihat contohnya pada Jejak.in yang memanfaatkan teknologi untuk reboisasi, atau Kitabisa yang menjadi platform gotong royong digital. Dampak yang mereka hasilkan tidak selalu terukur dalam valuasi finansial, tetapi dirasakan nyata oleh masyarakat. Social startup dengan demikian bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan bagian dari transformasi sosial yang menjawab tantangan zaman.

Namun, jalur kewirausahaan tidak berhenti pada pilihan mendirikan startup. Banyak individu memilih menjadi problem solver independen, bekerja lintas komunitas tanpa harus memiliki struktur formal. Dengan entrepreneurial mindset dan kemampuan merancang solusi, mereka tetap terhubung dalam ekosistem yang lebih luas. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan effectuation: berangkat dari sumber daya yang ada, berani bereksperimen, dan berkolaborasi untuk menghadirkan solusi nyata. Pada akhirnya, baik melalui startup profit, social startup, maupun problem solver independen seperti pada ekosistem @youngimpactgenerator , kuncinya sama: menyeimbangkan profit dengan purpose, agar usaha yang dibangun tidak sekadar hidup sebentar, tetapi memberi keberlanjutan dan kebermanfaatan nyata bagi masyarakat❤️

Langit dan Lintang

Allah menitipkan kepada kami dua amanah terindah. Yang pertama, kami menamainya Langit Kalyanatara Amara, sebuah pengingat tauhid, bahwa Allah Maha Tinggi, berada di atas Ar-Rasy, mengatur seluruh semesta tanpa pernah lengah. Dari Langit, kami belajar tentang keluasan doa, kelapangan harapan, dan keagungan Sang Pencipta yang setiap hari mengajarkan kami untuk selalu menengadah kepada-Nya.

Lalu, Allah menyempurnakan kisah itu dengan menghadirkan Lintang Kinanthi Hanania, gugusan bintang sebagaimana disebut dalam Surah Al-Burūj. Bintang-bintang yang bertaburan bukan sekadar hiasan malam, melainkan tanda kebesaran Allah, penuntun arah, dan cahaya yang menenangkan. Lintang adalah simbol petunjuk, pengingat bahwa dalam gelap sekalipun Allah selalu memberikan sinar.

Kini, di rumah kecil kami bersemayam dua cahaya: Langit dan Lintang. Keduanya adalah pelita hati, penguat doa, dan jalan untuk semakin dekat dengan kasih sayang Allah. Semoga Langit tumbuh setegar cakrawala dan Lintang bercahaya seterang bintang, bersama-sama menebar kebaikan, menjaga iman, dan menjadi perempuan shalihah yang kelak mengantarkan kami menuju ridha-Nya.

Seperti keluasan langit dan cahaya bintang, semoga keduanya selalu terjaga dalam rahmat Allah, tumbuh dengan iman, dan bersinar sebagai penebar kebaikan di bumi. Aamiin Ya Rabbalalamiin.

Mengapa Inovator Sering Kalah Suara?

Mengapa Inovator Sering Kalah Suara?

Menjadi inovator dalam organisasi berarti siap menanggung risiko yang sering tidak terlihat. Rogers (2003) menegaskan inovator adalah minoritas berani, tetapi dalam organisasi mereka kerap dianggap “bikin ribet.” Hasil yang belum pasti membuat atasan dan kolega memilih cara lama yang terasa aman. Heidenreich & Spieth (2013) menyebutnya innovation resistance: penolakan ide baru hanya karena dianggap mengganggu kenyamanan kerja.

Lebih tajam lagi, inovasi sering bertabrakan dengan struktur kekuasaan. Bourdieu (1993) melihat organisasi sebagai arena perebutan modal sosial dan politik. Gagasan baru memicu resistensi dari mereka yang sudah nyaman dengan status quo. Realitanya jelas terlihat di birokrasi: anak muda yang menawarkan sistem baru ditolak senior dengan alasan “cara lama sudah cukup.” Kegagalan inovasi di sini bukan soal kualitas ide, tetapi soal benturan kepentingan.

Risiko lain adalah psikologis. Edmondson (2019) menekankan pentingnya psychological safety, namun banyak organisasi justru menciptakan kultur takut. Inovator dicemooh sebagai idealis atau pembangkang, hingga memilih diam. Banyak ide mati bukan karena tidak relevan, tetapi karena organisasi menutup ruang keberanian untuk mencoba.

Terakhir, ada risiko innovation misfit: ide muncul lebih cepat daripada kesiapan organisasi. Christensen (1997) menyebut kegagalan sering terjadi bukan karena ide salah, melainkan karena timing buruk. Contohnya, seseorang yang mengusulkan cara kerja lebih lincah, misalnya, sering dianggap “tidak paham prosedur” sehingga terintimidasi untuk kembali mengikuti pola lama. Ide benar bisa mati jika konteks, kesiapan, dan koalisi tidak dibangun sejak awal. Inilah tamparan terkeras bagi organisasi: kebenaran gagasan tidak ada artinya tanpa kesiapan sistem.

Masih semangat kan bawa perubahan?🎉

Jangan cuma jadi kreatif, Tapi tularkan juga cara jadi kreatifnya🎉

Jangan cuma jadi kreatif,
Tapi tularkan juga cara jadi kreatifnya🎉

Seorang pemimpin sering kali dinilai dari kemampuan melahirkan ide-ide brilian atau solusi yang inovatif. Padahal, ukuran kepemimpinan sejati bukan hanya pada hasil terobosannya, tapi pada kemampuannya menularkan cara berpikir. Bass (1990) lewat teori transformational leadership menekankan bahwa pemimpin yang kuat adalah mereka yang mampu menginspirasi, menanamkan nilai, lalu mengubah pola pikir itu menjadi perilaku kolektif. Dengan begitu, kreativitas tidak berhenti pada sosok pemimpin, tapi hidup dalam organisasi.

Kita bisa melihat banyak contoh organisasi yang terlalu bergantung pada satu figur. Selama ia ada, inovasi berjalan, tapi ketika ia pergi, semuanya berhenti. Edgar Schein (2010) sudah lama mengingatkan bahwa budaya hanya terbentuk jika nilai dan mindset pemimpin ditransfer ke dalam sistem dan perilaku sehari-hari. Kalau tidak, semua inovasi akan lenyap bersama kepergian pemimpinnya.

Itulah mengapa peran pemimpin bukan hanya sebagai problem solver, tapi juga sebagai mindset shaper. Argyris dan Schön (1996) menyebutnya sebagai organizational learning, proses ketika pola pikir reflektif dan adaptif menjadi kebiasaan seluruh anggota, bukan hanya pemimpinnya. Jika hal ini tercapai, organisasi akan tetap kreatif, adaptif, dan mampu berinovasi bahkan tanpa kehadiran sang pemimpin di garis depan.

Akhirnya, warisan terbesar seorang pemimpin bukan sekadar daftar solusi atau inovasi yang pernah ia buat. Lebih dari itu, warisan sejati adalah pola pikir kreatif yang menular, budaya inovatif yang tertanam, dan organisasi yang terus bertumbuh dengan daya hidupnya sendiri. Dengan cara inilah kepemimpinan meninggalkan jejak yang berkelanjutan, mandiri, berdaya, dan siap menjawab tantangan zaman.