Deforestasi

Ketimpangan kekayaan yang mencolok di Indonesia hari ini bukanlah anomali, melainkan cermin dari cara negara mendefinisikan kesuksesan. Masyarakat kecil terus didorong menjadi wirausaha tangguh, berjuang dari nol, dipuji sebagai pahlawan ekonomi rakyat, sementara pada saat yang sama, kekayaan ekstrem justru terkonsentrasi pada segelintir aktor yang menguasai sumber daya alam melalui konsesi tambang dan sawit. Ini bukan semata dinamika pasar, tetapi hasil dari struktur kebijakan yang timpang.

Masalahnya menjadi lebih serius ketika kekayaan yang lahir dari ekstraksi besar-besaran itu dipromosikan sebagai teladan entrepreneurship. Padahal, banyak di antaranya tidak dibangun melalui inovasi produktif atau penciptaan nilai yang luas, melainkan melalui akses istimewa terhadap izin dan keberpihakan politik. Negara pun secara tidak langsung melegitimasi perusakan lingkungan sebagai jalan sah menuju kemakmuran, sementara risiko sosial dan ekologis ditanggung oleh masyarakat luas.

Dampak dari pilihan ini bersifat jangka panjang dan antargenerasi. Hutan Indonesia, yang dulu diagungkan sebagai zamrud khatulistiwa, terus menyusut, menyisakan krisis ekologis yang tidak dapat dipulihkan dalam satu generasi. Anak cucu kita berpotensi mewarisi tanah rusak, konflik lahan, dan bencana ekologis, bukan kemakmuran. Ketika kebijakan gagal melindungi alam, sesungguhnya yang dikorbankan adalah masa depan bangsa.

Karena itu, persoalan ini bukan sekadar perdebatan antara pembangunan dan lingkungan, melainkan soal keadilan dan integritas kebijakan. Selama negara terus merayakan kekayaan hasil perusakan, sambil meminta rakyat kecil berjuang sendiri atas nama kemandirian, ketimpangan dan kehancuran akan terus direproduksi. Sudah saatnya definisi kesuksesan ekonomi dibenahi, bukan demi hari ini, tetapi demi generasi yang akan datang.

What destroys shared resources cannot be called entrepreneurship.

Lulus dengan Predikat Berdampak!

Lulus dengan Predikat Berdampak!

Sidang skripsi Wulan dan Lia ini saya pindahkan dari ruang akademik yang steril ke Aula RW 07 di Sarijadi, ruang hidup tempat pengolahan sampah dijalankan setiap hari. Di sana, pengetahuan hadir sebagai kebiasaan, intuisi, dan keputusan praktis yang melekat pada para pelakunya. Pengetahuan ini efektif, tetapi tersembunyi sebagai implicit knowledge: tidak terdokumentasi, sulit ditransfer, dan bergantung pada individu. Tiga skripsi yang diuji diarahkan untuk mengexplicitkan pengetahuan tersebut, lalu merumuskannya menjadi proses bisnis yang lebih efisien dan model bisnis yang lebih berkelanjutan.

Sidang yang berlangsung di hadapan pengelola dan pemilah sampah dan ibu-ibu warga ini mengubah makna ujian akademik. Masyarakat tidak lagi menjadi objek penelitian, melainkan pemilik pengetahuan yang sedang dipantulkan kembali dalam bentuk sistem dan alur kerja. Saat Wulan dan Lia menutup presentasinya, audiens tidak hanya menyimak, tetapi terlibat, memeluk, menanggapi, dan menguji relevansi temuan dengan realitas mereka. Ilmu pun berpindah fungsi: dari milik kampus menjadi alat bersama.

Pendekatan tugas akhir yang berupa action research ini menguatkan mengapa mahasiwa perlu paham membangun kemitraan sosial, bukan sekadar syarat kelulusan. Mahasiswa diuji bukan hanya pada metodologi, tetapi pada keberanian menghadapi kompleksitas lapangan dan tanggung jawab atas rekomendasinya. Pengetahuan tidak diekstraksi demi gelar, melainkan dikonstruksi bersama dan dikembalikan untuk memperkuat kapasitas kolektif. Inilah riset yang berpihak, tanpa kehilangan keteguhan akademiknya.

Bagi saya, makna terdalam sidang ini tampak pada perubahan mahasiswanya. Mereka lebih percaya diri, lebih tajam menganalisis, dan lebih matang memecahkan persoalan nyata. Karena itu, Trovan, Wulan, dan Lia tidak hanya lulus cum laude, tetapi lulus dengan dampak. Predikat yang menegaskan bahwa pendidikan tinggi seharusnya melahirkan manusia yang berguna, bukan sekadar karya tulis yang rapi. Selamat memasuki babak baru🚀

Dibimbing bersama
Dr @dharmawan.dedy
Dr Luthfi Budiman
@yetiyuli MBA

Happy VS Wealthy

Happy VS Wealthy

Dalam banyak keputusan hidup, kita sering menyamakan happy dan wealthy, seolah keduanya identik. Padahal keduanya berada pada level yang berbeda. Happy adalah output, rasa senang yang muncul segera setelah suatu tindakan. Ia cepat dirasakan, mudah diproduksi, dan cepat menguap.

Wealthy adalah outcomes, kondisi hidup yang relatif stabil dan berkelanjutan setelah berbagai konsekuensi diperhitungkan. Masalahnya, karena output selalu lebih mudah dicapai daripada outcomes, banyak keputusan berhenti pada happy, tanpa memastikan apakah hidup benar-benar menjadi lebih kuat setelahnya.

Melalui kerangka Jobs to Be Done, perbedaan ini menjadi jelas. Manusia selalu berusaha memenuhi tiga kebutuhan sekaligus: functional, emotional, dan social. Happy umumnya muncul ketika satu kebutuhan, biasanya emosional, terpenuhi. Namun wealthy hanya tercapai ketika ketiganya relatif terpenuhi dan saling menopang. Ketika satu dimensi diabaikan, kegembiraan berubah menjadi kerentanan. Inilah sebabnya happy sering terasa penuh di awal, tetapi rapuh dalam jangka panjang.

Contoh sederhana adalah membeli gawai terbaru. Kepemilikan itu memang memberi kepuasan emosional dan simbol sosial. Namun ketika diperoleh dengan skema kredit yang memberatkan, fungsi keuangan terganggu, ketenangan emosional tergerus, dan relasi sosial ikut tertekan. Dalam kondisi ini, seseorang mungkin happy, tetapi jelas tidak wealthy. Kegembiraan hadir, namun dibayar dengan risiko dan masalah di masa depan.

Karena itu, orientasi hidup yang lebih dewasa bukan bertanya, “Apakah ini membuat saya senang?”, melainkan “Apakah ini membuat hidup saya lebih utuh dan tahan uji?” Happy itu mudah, bahkan bisa direkayasa. Wealthy menuntut disiplin berpikir dan kesadaran lintas waktu. Happy tanpa wealthy hanyalah kegembiraan sesaat; sementara wealthy, meski tidak selalu euforia, memberi probabilitas keberlanjutan hidup yang jauh lebih tinggi🚀

Orang-orangnya keren! Tapi mengapa organisasinya berjalan lamban?

Orang-orangnya keren! Tapi mengapa organisasinya berjalan lamban?

Keterandalan sering disalahpahami sebagai kualitas personal semata, seolah cukup dengan menghadirkan individu yang cerdas, berpengalaman, dan visioner, maka sebuah organisasi atau program akan berjalan dengan baik. Padahal, keterandalan individual, betapapun pentingnya, bersifat rapuh jika tidak ditopang oleh sistem. Ia bergantung pada kehadiran seseorang, rentan terhadap kelelahan, dan sulit direplikasi. Banyak inisiatif terlihat hebat di permukaan, tetapi kehilangan daya hidup ketika figur kuncinya bergeser atau tidak lagi terlibat aktif.

Di sisi lain, keterandalan sistem bekerja lebih sunyi dan tidak selalu terlihat spektakuler. Ia hadir dalam bentuk mekanisme belajar bersama, dokumentasi pengetahuan, pola pengambilan keputusan yang transparan, serta ruang refleksi yang terus hidup. Sistem yang dalam memungkinkan kualitas berpikir dan bertindak tidak berhenti pada satu kepala, melainkan menyebar dan bertumbuh secara kolektif. Dampaknya mungkin tidak instan, tetapi lebih tahan lama, adil, dan mampu bertahan melampaui siklus kepemimpinan atau program.

Karena itu, pertanyaan “mana yang lebih baik” sejatinya perlu digeser. Bukan memilih antara keterandalan individual atau sistem, melainkan memastikan bahwa keterandalan individual diabdikan untuk membangun keterandalan sistem. Individu yang benar-benar matang bukan yang menjadi pusat segalanya, tetapi yang meninggalkan jejak berupa sistem yang terus belajar dan melahirkan individu-individu baru yang juga dalam. Di titik inilah keberlanjutan dan dampak jangka panjang benar-benar dimulai.

Sistem yang handal, melahirkan orang-orang yang dihandakan🙌

Fokus Pada Argumen Bukan Orangnya

Dalam kerja sehari-hari, kita sering merasa sudah objektif hanya karena menilai apa yang kelihatan: cara orang bicara di rapat, keputusan yang ia ambil, atau gaya komunikasinya di grup. Diskusinya terlihat rasional, tapi sebenarnya yang dinilai sering kali orangnya, bukan cara berpikirnya. Siapa yang ngomong, nadanya gimana, posisinya apa. Ini yang dalam psikologi disebut Fundamental Attribution Error, kita cepat memberi label ke orang, bukan memahami konteks dan alasan di balik tindakannya. Akhirnya, banyak diskusi profesional berubah jadi adu ego, bukan upaya cari pemahaman.

Karena itu, penting melatih diri untuk menarik analisis sampai ke WHY. Bukan buat membela orang, tapi buat menguji rujukan berpikirnya: teori apa yang dipakai, nilai apa yang dipegang, prinsip etika atau keyakinan apa yang dijadikan dasar. Tapi WHY juga bukan kebenaran final. Teori bisa usang, nilai bisa ditafsirkan sempit, dan rujukan bisa dipakai buat membenarkan kepentingan. Di sinilah kerja profesional dimulai: WHY harus diuji, bukan diamankan.

Contohnya sederhana. Pemimpin yang hati-hati sering dicap tidak progresif. Padahal, bisa jadi ia sedang berpijak pada manajemen risiko, prinsip kehati-hatian, atau nilai moral tertentu. Diskusi yang sehat seharusnya tidak menyerang orangnya, tapi menguji isinya: masih relevan atau tidak, proporsional atau berlebihan. Dari situ kita belajar, bukan karena siapa yang bicara, tapi karena argumennya diuji.
Intinya, objektif itu bukan soal terlihat netral, tapi mau dan berani menguji rujukan, termasuk rujukan kita sendiri. Figur penting untuk tanggung jawab, tapi bukan pusat perdebatan. Profesionalisme tumbuh saat kita dipengaruhi oleh kekuatan alasan, bukan oleh ego, jabatan, atau karisma.

“As long as discussions stay at WHAT and HOW, we are not training objectivity, we are training ego.”

Perbedaan Pendekatan Kovensional dan Pendekatan User-Centric

Mengapa setiap kali inovasi dibicarakan di perusahaan, solusi yang muncul hampir selalu aplikasi atau AI? Ketika target tidak tercapai atau proses dianggap lambat, persoalan kerap dipersempit menjadi masalah teknis. Akibatnya, inovasi dipahami sebagai penambahan sistem, dashboard, atau otomatisasi. Padahal, di balik persoalan tersebut sering terdapat masalah yang lebih mendasar: alur kerja yang tidak jelas, peran yang tumpang tindih, serta tekanan pengambilan keputusan yang tinggi bagi karyawan.

Teknologi menjadi pilihan yang terlihat aman dan terukur. Aplikasi dapat diluncurkan, AI dapat dipresentasikan, dan kemajuan dapat dilaporkan dalam bentuk angka. Namun, di tingkat operasional, cara kerja sering kali tidak berubah. Proses lama hanya berpindah medium, sementara kompleksitasnya tetap. Formulir bertambah, persetujuan semakin berlapis, dan beban kerja karyawan justru meningkat. Dalam kondisi ini, teknologi tidak memperbaiki pengalaman kerja, melainkan menambah lapisan masalah baru.

Inovasi yang bermakna justru berangkat dari perbaikan cara kerja sebelum penerapan teknologi. Penyederhanaan proses, kejelasan peran dan tanggung jawab, serta pengambilan keputusan yang lebih rasional adalah fondasi utamanya. Ketika proses sudah logis dan manusiawi, teknologi akan berfungsi sebagai enabler, bukan beban. Dengan demikian, keberhasilan inovasi di perusahaan seharusnya diukur dari perubahan perilaku dan kualitas pengalaman kerja, bukan semata dari kecanggihan sistem yang digunakan.

Innovation fails not because technology is insufficient, but because the way people work is never fixed.

Bluebird

Yang selalu satset (pain relievers)
buat jemput kamu tanpa ribet (pain points)

Dalam pengalaman saya, Bluebird selalu menjadi top of mind. Bukan karena logonya, bukan pula karena sejarah panjangnya, tetapi karena satu hal yang konsisten: setiap kali masuk ke taksinya, mood terasa terjaga.

Mobilnya rapi, pengemudinya relatif tenang, dan interaksinya profesional tanpa basa-basi yang melelahkan. Pengalaman ini mungkin tampak sederhana, tetapi justru di situlah Brand Experience (BX) bekerja, bukan sebagai pesan, melainkan sebagai rasa aman yang langsung dirasakan tubuh dan pikiran pelanggan.

Namun dalam konteks bisnis hari ini, BX seperti ini tidak lagi bisa bergantung pada kebiasaan lama atau ingatan masa lalu. Pasar kini memberi pelanggan terlalu banyak pilihan, dan top of mind tidak otomatis berarti top of choice. BX Bluebird yang kuat di momen inti, saat duduk di dalam mobil, akan melemah jika pengalaman di luar momen itu terasa tertinggal, berjarak, atau tidak kompetitif. Di titik ini, BX diuji bukan oleh niat baik perusahaan, tetapi oleh apakah pengalaman tersebut masih terasa relevan di tengah kemudahan alternatif lain.

Pelajaran bisnisnya keras: BX bukan sesuatu yang bisa diwariskan, ia harus terus dibuktikan. Reputasi yang dulu dibangun dari konsistensi layanan bisa terkikis jika tidak diterjemahkan ulang ke dalam ekspektasi pelanggan hari ini. Bluebird “yang sekarang” sedang berada pada fase krusial BX, bukan lagi soal dikenal atau dipercaya, tetapi soal apakah rasa aman dan nyaman itu masih cukup kuat untuk membuat pelanggan memilih tanpa berpikir ulang. Dalam persaingan yang semakin transparan, BX bukan soal dikenang dengan baik, melainkan soal tetap dipilih unconsciously 🚙🚙

Sumber gambar @bluebirdgroup 💙

Change Management

Dalam kerangka change management, sebagaimana dirumuskan oleh John P. Kotter, perubahan yang berkelanjutan selalu dimulai dari penciptaan sense of urgency, bukan dari peluncuran simbol / identitas visual. Sense of urgency berfungsi sebagai fondasi psikologis dan organisatoris yang membuat individu & institusi bersedia meninggalkan cara lama yang sudah tidak efektif. Tanpa kesadaran bersama bahwa kondisi eksisting bermasalah atau berisiko jika dipertahankan, perubahan akan dipahami sebagai instruksi administratif / agenda komunikasi semata. Karena itu, manajemen perubahan sejatinya adalah proses membangun kesadaran & kebutuhan akan perubahan sebelum memperkenalkan penanda simbolik dari arah baru yang ingin dituju.

Ketika urutan ini dibalik dan simbol seperti logo atau identitas baru justru diluncurkan di awal, yang terjadi bukan hanya ketidaktepatan komunikasi, tetapi kerusakan logika implementasi perubahan. Dalam istilah Kotter, organisasi berisiko melakukan premature declaration of victory, seolah-olah perubahan telah tercapai karena sudah diumumkan secara visual. Dampaknya, energi perubahan melemah, aparatur merasa tidak lagi berada dalam fase transisi, dan kerja-kerja substantif tertunda. Pada saat yang sama, publik mengalami ketidaksinkronan antara narasi perubahan dan pengalaman sehari-hari, yang memicu sinisme, resistensi pasif, serta memperlebar jarak kepercayaan antara pengelola perubahan dan pihak yang terdampak.

Sebaliknya, perubahan yang dimulai dari sense of urgency dan diterjemahkan ke dalam tindakan nyata, seperti pembenahan layanan prioritas, perbaikan proses kerja, dan penciptaan quick wins yang konsisten, membangun dasar operasional dan kultural yang kokoh. Pada tahap inilah simbol dan identitas visual memperoleh fungsi yang tepat, yakni sebagai alat pengikat dan pengukuh perubahan yang telah terjadi, bukan sebagai pengganti perubahan itu sendiri. Dalam urutan ini, logo tidak dibaca sebagai janji / kosmetik kebijakan, melainkan sebagai representasi kolektif dari perubahan yang sudah dialami, dipahami & diinternalisasi organisasi maupun publik.

Sawit

Sawit memang menggerakkan ekonomi, Ia menghasilkan uang, devisa, dan angka-angka yang mudah dipresentasikan. Tetapi ketika hutan disamakan dengan sawit hanya karena sama-sama hijau dan menyerap karbon, di situlah persoalannya bukan lagi soal kebijakan, melainkan soal cara berpikir. Sawit adalah alat ekonomi; hutan bukan. Menyederhanakan hutan menjadi sekadar variabel ekonomi adalah kesalahan mendasar yang menunjukkan betapa mudahnya kita menukar sistem kehidupan dengan logika spreadsheet.

Hutan adalah fondasi kesejahteraan hidup manusia, bukan aset yang bisa dikompensasi dengan rupiah. Dari hutan mengalir air yang kita minum, udara yang kita hirup, pangan yang menopang hidup, dan perlindungan dari bencana yang makin sering terjadi. Semua itu tidak pernah sepenuhnya masuk ke laporan keuangan negara, tetapi justru tanpanya tidak ada ekonomi yang bisa bertahan. Mengatakan “jangan takut deforestasi” sama artinya dengan berkata: jangan takut kehilangan masa depan, padahal yang akan menanggung akibatnya bukan pembuat kebijakan hari ini, melainkan rakyat dan generasi yang belum lahir.

Masalah kita bukan kurang sawit, bukan kurang investasi, melainkan terlalu percaya bahwa uang bisa menggantikan segalanya. Ekonomi seharusnya melayani kesejahteraan, bukan mendefinisikannya. Jika hutan terus dikorbankan demi pertumbuhan, maka negara sedang membangun kemajuan di atas fondasi yang rapuh. Dan ketika fondasi itu runtuh, banjir datang, krisis air meluas, kehidupan masyarakat hancur, tidak ada devisa, tidak ada angka pertumbuhan, yang bisa menjelaskannya sebagai keberhasilan🌳🌴🌳🪾🌳

“A nation doesn’t fail because it lacks palm oil, but because it destroys the foundations of its own welfare”

Ilustrasi dan data dari @geoaccess

Employee Experience

Urgensinya hari ini tidak bisa ditunda lagi: organisasi tidak lagi dapat mengelola Employee Experience (EX) secara biasa-biasa saja. Perubahan lingkungan bisnis, percepatan teknologi, dan munculnya inovasi disruptif menuntut karyawan yang tidak hanya patuh pada sistem, tetapi mampu berpikir kreatif, adaptif, dan berani bereksperimen. Penelitian menunjukkan bahwa inovasi sangat dipengaruhi oleh konteks kerja yang memungkinkan otonomi, rasa aman psikologis, dan pembelajaran berkelanjutan, bukan oleh kontrol berlebihan dan prosedur kaku (Amabile, 1996; Edmondson, 1999).

Dalam konteks tersebut, Employee Experience menjadi fondasi strategis bagi inovasi, bukan sekadar agenda HR atau fasilitas kerja. Proses inovasi, mulai dari eksplorasi ide, validasi dengan kebutuhan pengguna, hingga pengembangan solusi yang berkelanjutan, membutuhkan lingkungan kerja yang mendukung kreativitas, kolaborasi lintas fungsi, dan keberanian untuk mencoba serta gagal secara terkelola. Studi tentang organisasi inovatif menunjukkan bahwa EX yang dirancang dengan baik meningkatkan engagement, kualitas ide, dan kecepatan pembelajaran organisasi (Deloitte, 2017; Schaufeli, 2017).

Karena itu, kebutuhan akan ruang untuk bermain di kantor harus dipahami sebagai bagian integral dari desain EX. Ruang bermain bukan simbol relaksasi semata, melainkan ruang eksperimentasi, tempat karyawan dapat menguji gagasan, berdialog tanpa hierarki, dan membangun solusi secara iteratif. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip design thinking dan innovation culture, di mana kreativitas tumbuh ketika organisasi secara sadar menyediakan ruang aman untuk eksplorasi dan kolaborasi (Brown, 2009; Lewrick et al., 2020). Di titik inilah EX berfungsi sebagai pengungkit utama agar kreativitas benar-benar bermuara pada inovasi yang relevan dan berdampak.

Innovation grows where employees feel safe to try, safe to fail, and encouraged to learn.