Subang Innovation Challenge 2025

Subang Innovation Challenge 2025 membuka mata kita bahwa inovasi tak harus lahir dari laboratorium atau teknologi canggih.
Banyak gagasan terbaik justru muncul dari keresahan sehari-hari: antrean layanan publik, harga panen petani, sampah di lingkungan, hingga tantangan literasi.

Dari perjalanan ini, ada beberapa pelajaran berharga:
🌱 Inovasi yang berangkat dari keresahan nyata selalu lebih relevan.
🤝 Modal sosial terbukti jadi fondasi kuat, bahkan lebih berharga daripada sekadar teknologi.
📱 Teknologi sederhana bisa menjadi solusi nyata bila digunakan tepat sasaran.
📝 Banyak ide brilian, tapi sering berhenti di kertas—menunjukkan pentingnya pendampingan, prototyping, dan validasi.

Sebagaimana dikatakan Mulgan et al. (2007), “Inovasi sosial sering kali muncul ketika solusi yang ada gagal menjawab permasalahan sehari-hari secara efektif, dan masyarakat kemudian menciptakan cara baru dalam mengorganisasi serta berkolaborasi.”

Dalam konteks teknologi, Schumacher (1973) mengingatkan melalui konsep appropriate technology bahwa “Yang terpenting bukanlah seberapa maju sebuah teknologi, melainkan seberapa baik teknologi itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”

SIC 2025 membuktikan bahwa teknologi sederhana dan media sosial bisa lebih berdampak daripada teknologi canggih yang tidak terjangkau.

Akhirnya, kita sampai pada satu kesimpulan besar:
✨ Inovasi tidak harus canggih, tapi harus sesuai konteks.
Yang dibutuhkan adalah empati, keberanian mempertanyakan cara lama, serta konsistensi melangkah kecil demi perubahan besar.
Itulah kunci kemenangan para inovator Subang.

“Menurut kamu, inovasi apa yang paling dibutuhkan di daerahmu?”

Universitas Padjadjaran

Enam puluh delapan tahun bukan sekadar bilangan, melainkan perjalanan panjang pengabdian. Sejak awal berdirinya, Universitas Padjadjaran tidak hanya hadir untuk mencetak lulusan, tetapi untuk melahirkan manusia paripurna, yang ilmunya kokoh, nuraninya peka, dan pengabdiannya tulus.

Sebab kita percaya, pendidikan tanpa empati hanya akan melahirkan kepandaian tanpa keberpihakan. Kenyamanan sering membuat kita jauh dari luka sosial, padahal kampus sejatinya adalah ruang untuk menumbuhkan kepekaan.

Di usia ke-68, masih jadi perjalanan panjang meneguhkan diri sebagai rumah besar yang membangunkan nalar kritis sekaligus mengasah kepedulian.

Dari ruang kuliah hingga pelosok negeri, dari riset hingga pengabdian, perjuangan untuk tetap hadir untuk menyapa kenyataan: kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan, bukan untuk dihindari, tetapi untuk diperjuangkan bersama.

Melalui kapal ini, kami percaya, Indonesia tidak cukup hanya dengan lulusan yang cerdas. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang peduli, intelektual yang gelisah terhadap ketidakadilan, dan warga yang berani terlibat dalam perubahan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengguncang kenyamanan, menyalakan empati, dan menggerakkan langkah nyata.

Hari, jadi momentum refleksi penting untuk bertanya apakah kami masih setia dengan misinya: menjadi pusat ilmu yang inklusif, mercusuar pengabdian, dan ruang lahirnya pemimpin masa depan. Mari kita rawat rumah ini dengan mimpi, keberanian, dan karya, agar terus menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat dan cahaya bagi Indonesia.

Selamat Dies Natalis ke-68 @universitaspadjadjaran

Ilusi Produktivitas

Banyak organisasi & tim kreatif terjebak dalam ilusi produktivitas. Mereka tampak sibuk berdiskusi, mengulas ide, bahkan mengadakan pertemuan demi pertemuan, tetapi sebenarnya hanya berputar di tempat. Alih-alih mempercepat eksekusi, diskusi yang berlebihan justru menambah keraguan. Fenomena ini dikenal sebagai paralysis by analysis: kita semakin pintar mengomentari, tetapi semakin takut melangkah. Peter Drucker pernah mengingatkan, “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Sibuk berdiskusi tanpa validasi hanyalah aktivitas sia-sia yang membungkus stagnasi.

Padahal, tujuan utama diskusi adalah memperjelas risiko dan menyiapkan mitigasi, bukan menciptakan ketakutan baru. Setiap masukan seharusnya menjadi daftar antisipasi, bukan alasan untuk menunda langkah. Dalam inovasi, kecepatan menguji ide jauh lebih penting daripada kesempurnaan rencana. Thomas Edison menegaskan, “The value of an idea lies in the using of it.” Artinya, ide tidak akan bernilai tanpa uji nyata di pasar. MVP (Minimum Viable Product) yang sederhana sekalipun bisa memberi data dan pelajaran berharga, sementara diskusi tanpa akhir hanya melahirkan asumsi.

Peran teman diskusi sangat menentukan dalam proses ini. Rekan yang baik bukan sekadar kritikus, tetapi mitra yang mendorong keberanian untuk mencoba. Kritik sehat adalah yang memperkuat kesiapan, bukan yang mematikan nyali. Karena itu, pilihlah lingkungan diskusi yang suportif, yang membantu memetakan risiko namun tetap menyalakan api eksekusi. Dan lebih penting lagi, jadilah orang yang menumbuhkan energi maju, bukan penunda. Diskusi yang sejati bukanlah arena untuk mempertahankan keraguan, melainkan batu loncatan menuju validasi.

Pada akhirnya, kita harus berani melepaskan kebiasaan memelihara asumsi. Berpikir panjang tanpa bertindak hanyalah bentuk lain dari ketakutan. Edison kembali menekankan, “Vision without execution is hallucination.” Maka simpulannya jelas: diskusi hanya bermanfaat bila mengarah pada tindakan nyata. Ide terbaik bukanlah yang paling cemerlang di ruang rapat, melainkan yang berani diuji, divalidasi, lalu diperbaiki dari pengalaman pasar.✨

Tidak sekedar menghentikan tunjangan yang besar

Tidak sekedar menghentikan tunjangan yang besar;

Sesungguhnya, yang paling berbahaya bukanlah besaran gaji atau fasilitas yang melekat pada jabatan, melainkan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan adalah ruang yang rawan karena di sana ada peluang untuk mengatur, menentukan, dan bahkan memonopoli hidup banyak orang. Bila tidak dikendalikan oleh moralitas, integritas, dan empati, maka kekuasaan bisa berubah menjadi alat penindasan.

Lord Acton pernah mengingatkan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kutipan ini menunjukkan bahwa tanpa mekanisme kontrol; baik dari hati nurani, hukum, maupun masyarakat, kekuasaan mudah berubah menjadi bencana bagi rakyat.

Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an memberikan peringatan keras bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan titipan yang harus dipertanggungjawabkan dengan adil. Nabi Muhammad ď·ş juga bersabda:

“Kepemimpinan itu amanah. Dan pada hari kiamat nanti, ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang menunaikan amanahnya dengan benar dan menunaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.”
(HR. Muslim)

Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat akan runtuh karena hanya bertumpu pada paksaan. Pemimpin bijak mestinya sederhana dan menggunakan kekuasaan untuk kebermanfaatan, sebab tanpa empati ia menjadi penindasan, namun dengan moral dan kasih sayang ia menjadi rahmat bagi rakyat.

Culture of Silence

Bersua mahasiswa yang kesulitan menentukan judul penelitian bukan karena kehabisan masalah, tapi karena kehilangan kepekaan. Hidup mereka cukup, aman, dan terlepas dari realitas yang getir. Kemiskinan, ketimpangan, atau ketidakadilan tak terasa sebagai luka, karena tidak pernah benar-benar disentuh. Seperti kata Martha Nussbaum (2010), pendidikan tanpa empati hanya akan mencetak teknokrat tanpa nurani. Ketika mahasiswa tidak merasa terganggu oleh ketimpangan di sekitarnya, berpikir kritis pun kehilangan arah: ia jadi rutinitas akademik, bukan alat perubahan.

Yang lebih menyedihkan, kampus justru sering ikut melumpuhkan kepekaan itu. Mahasiswa diajak menghafal teori sosial, tapi tidak pernah diajak menyapa dunia nyata. Paulo Freire (1970) menyebut ini sebagai culture of silence, ketika sistem pendidikan meninabobokan nalar & menghapus kegelisahan. Mahasiswa sibuk menyusun proposal, tapi jarang bertemu warga yang menjadi subjek penderitaan. Mereka bicara soal ketimpangan dari balik layar laptop, tanpa pernah berjalan di gang sempit, pasar becek, atau desa yang terpinggirkan. Kampus jadi ruang simulasi berpikir, tapi kehilangan keberanian untuk merasa.

Padahal, judul yang bermakna lahir dari kegelisahan, bukan sekadar literature gap. Seperti diingatkan Judith Butler (2009), empati adalah fondasi dari dorongan moral untuk bertindak. Jika mahasiswa tak pernah terusik oleh anak putus sekolah, oleh petani yang kalah di pasar, atau oleh warga yang kehilangan akses layanan dasar, maka riset yang mereka buat akan kosong dari keberpihakan. Mereka menulis karena disuruh, bukan karena tergugah. Skripsi pun menjadi laporan, bukan langkah awal untuk memperbaiki keadaan.

Indonesia tak butuh lebih banyak lulusan yang sekadar cerdas. Kita butuh lebih banyak mahasiswa yang gelisah, yang pikirannya tajam & hatinya terhubung. Yang tak bisa tidur saat melihat ketidakadilan. Bell hooks (1994) menulis; pendidikan yang membebaskan adalah yang mampu mengguncang kenyamanan. Jika kampus hanya mencetak mahasiswa yang mengejar nilai, tapi tak tahu harus peduli pada siapa, maka kita sedang gagal. Gagal mencetak manusia yang utuh. Dan itu bukan sekadar kegagalan akademik, tapi moralđź’”

Kalau Program Itu untuk Warga, Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Kalau Program Itu untuk Warga,
Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Coba kita jujur sebentar: berapa banyak program yang kita jalankan, tapi tak pernah benar-benar hidup di masyarakat? Poster kegiatan ditempel. Undangan rapat dibagikan. Tapi warga datang hanya karena diminta RT, bukan karena merasa butuh. Bahkan tak sedikit program selesai sesuai jadwal, laporan rapi, dana terserap, tapi setelah itu? Sepi. Tak ada yang berubah. Seolah-olah semuanya hanya rutinitas administratif, bukan upaya membangun kehidupan yang lebih baik.

Masalahnya sederhana tapi sering diabaikan: kita terlalu sering merancang program tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Kita menebak-nebak. Kita kira mereka butuh pelatihan, padahal mereka sedang sibuk bertahan hidup. Kita kira mereka kurang pengetahuan, padahal mereka sedang kehilangan rasa percaya. Kita membuat program atas nama mereka, tapi jarang bersama mereka. Inilah mengapa banyak program jadi “asing” di tengah rumah sendiri.

Program yang berpihak pada pengguna, user-centric, berarti kita memulai bukan dari asumsi, tapi dari mendengar. Dari duduk bersama warga, bertanya apa yang sebenarnya menyulitkan, dan apa yang membuat mereka tetap bertahan. Baru setelah itu kita bicara solusi. Mungkin solusinya bukan pelatihan, tapi ruang aman. Bukan sosialisasi, tapi teman bicara. Bukan bantuan, tapi akses dan kepercayaan. Saat kita mau mendengarkan, kita akan menyadari bahwa warga bukan “sasaran program,” tapi justru pemilik persoalan dan potensi.

Karena pada akhirnya, program bukan soal berapa banyak kegiatan yang kita laksanakan. Tapi apakah hidup seseorang menjadi sedikit lebih tenang, sedikit lebih kuat, sedikit lebih punya harapan. Kalau kita tak merancang dari situ, untuk siapa sebenarnya program ini dibuat?

Liberating Structures

Apakah Liberating Structures (LS), yang biasa dipakai para Agilist untuk memfasilitasi kolaborasi, bisa juga diterapkan di ruang kelas? Untuk apa LS hadir di pendidikan tinggi? Pertanyaan ini penting, karena mahasiswa sering tampak hadir dan mencatat, tetapi tidak sungguh belajar. Jika proses belajar tidak mengubah cara berpikir dan bertindak mahasiswa, maka Outcome-Based Education (OBE) kehilangan maknanya sebagai kerangka capaian kompetensi.

Hari ini kami memandu dosen-dosen Teknik Industri dalam sesi terkait OBE dan delivery method. Pertanyaan dasarnya: apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi, atau hanya sekadar lulus ujian? Banyak CPL tertulis rapi di RPS, tetapi di kelas mahasiswa tetap pasif. Kelas terlihat tertib, namun apakah ketertiban itu berarti belajar? Jika demikian, OBE hanya berhenti di dokumen.

Untuk menjembatani kesenjangan itu, kami memperkenalkan LS sebagai teknik fasilitasi dalam delivery method. Ada 33 cara yang kaya dan mudah untuk menghidupkan kelas. Nine Whys membantu menajamkan masalah produksi, 1-2-4-All memastikan semua mahasiswa menyumbang ide, dan What, So What, Now What menuntun refleksi setelah simulasi. LS sederhana, tidak membutuhkan sumber daya besar, tetapi mampu mengubah dinamika: mahasiswa yang biasanya diam ikut terlibat, dan CPL tidak hanya tertulis, tetapi dialami.

LS juga menuntut transformasi dosen. Kita terbiasa menjadi pusat jawaban, padahal mahasiswa belajar lebih dalam ketika diberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan menemukan solusi. Seperti fasilitator Agile yang memandu tim, dosen perlu bergeser dari instruktur tunggal menjadi fasilitator proses belajar. Integrasi OBE dan LS menegaskan: hasil belajar tidak cukup berupa nilai, tetapi harus nyata dalam kompetensi dan perubahan pola pikir. Pertanyaannya: apakah kita puas dengan kelas yang tenang tapi kosong, atau berani membangun kelas yang riuh, penuh ide, dan transformatif?

Berapa Harga Jaket Almamatermu?

Pernah lihat konten “Berapa Harga Jaket Almamatermu?

Fenomena ini hanyalah permukaan dari masalah yang lebih serius. Sebagian kampus memilih jalan pintas: menjual kursi kuliah dengan harga selangit. Seleksi akademik yang mestinya jadi pintu utama, tergeser oleh daya beli orang tua. Akibatnya, masuk universitas tidak lagi ditentukan oleh kecerdasan & kerja keras, melainkan oleh kemampuan finansial.

Dampaknya tidak berhenti pada level individu. Motivasi belajar mahasiswa baru bisa luntur karena merasa akses mereka sudah “dibeli.” Prinsip meritokrasi tergerus, reputasi akademik melemah & dalam jangka panjang kualitas SDM bangsa ikut terancam. Pendidikan tinggi yang semestinya jadi jalan mobilitas sosial justru berisiko memperlebar jurang ketidakadilan & menurunkan kepercayaan publik. Solusi tidak bisa berhenti pada diversifikasi pemasukan. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: universitas harus bertransformasi dari lembaga yang menjual kursi menjadi ekosistem pencipta nilai.

Pendapatan universitas tidak pantas lagi diperlakukan sebagai “pos pemasukan,” melainkan sebagai efek samping dari mesin pencipta nilai. Kampus yang sibuk menghitung uang pangkal. Universitas sejati justru bekerja dengan mencetak valuta pengetahuan: teknologi yang dipakai industri, solusi yang memperbaiki kota, gagasan yang menyehatkan demokrasi, hingga gerakan sosial yang mengubah wajah masyarakat. Dukungan finansial akan datang dengan sendirinya ketika ia konsisten menumbuhkan solusi, gagasan & manusia pembawa perubahan.Uang menjadi konsekuensi logis dari relevansi & kebermanfaatan, bukan tujuan utama yang dipaksa lewat harga kursi kuliah.

MIT atau NUS misalnya, memperlihatkan bahwa kekuatan mereka bukan dari uang pangkal, tapi dari inovasi & relevansi. Indonesia pun punya potensi serupa, jika berani menggeser mindset. Universitas yang visioner tidak menjadikan kursi kuliah sbg komoditas. Mereka bersaing dalam menghasilkan inovasi, pengetahuan & dampak sosial. Jaket almamater mestinya melambangkan perjuangan intelektual, bukan harga. Karena itu, komitmen baru perlu ditagih bukan hanya dari kampus, tapi juga dari pemerintah, mahasiswa, alumni & masyarakat luas.

Tag Univ kamu!

Model Bisnis Bukan Soal Menang Sendiri, Tapi Menang Bersama Pelanggan

Dalam dunia bisnis yang kian kompetitif & terhubung, kita tak bisa lagi berpikir linier bahwa kualitas tinggi harus dibayar dengan harga tinggi, atau bahwa satu-satunya sumber keuntungan adalah dari transaksi langsung pelanggan. Justru tantangan zaman ini adalah: bagaimana menciptakan produk sebaik mungkin, dengan harga semurah mungkin, & tetap menghasilkan keuntungan setinggi mungkin. Inilah esensi dari non-linear business model thinking. Pendekatan ini menantang logika lama dan mendorong kita berpikir ulang: bagaimana value diciptakan, dibagikan, dan ditangkap secara cerdas? (Osterwalder & Pigneur, 2010)

Berpikir non-linear berarti tidak terpaku pada satu jalur nilai antara produk dan pelanggan. Kita bisa merancang model bisnis yang memungkinkan harga tetap terjangkau tanpa memiskinkan organisasi. Contohnya, banyak model freemium memungkinkan pengguna mendapatkan layanan gratis, sementara fitur lanjutan dijual ke segmen premium. Model cross-subsidy memungkinkan pelanggan membayar murah karena sebagian biaya ditanggung sponsor, mitra, atau segmen lain. Platform seperti Gojek atau Tokopedia juga tidak hanya mengandalkan margin transaksi, tapi memonetisasi lewat data, iklan, hingga layanan keuangan (Zengler & Bogers, 2021). Jadi bukan sekadar menjual produk, tapi merancang ekosistem nilai yang berlapis.

Di sinilah pentingnya evaluasi menyeluruh atas proses dan model bisnis. Jangan cuma fokus “jualan-jualan-jualan”, tapi refleksikan: apakah sistem kita masih relevan dan revenue-nya optimal? Seperti disoroti Johnson dkk. (2008), inovasi model bisnis sering lebih berdampak daripada sekadar inovasi produk. Tanpa riset pasar, umpan balik pelanggan, & simulasi model pendapatan, organisasi bisa stagnan, bukan karena produknya buruk, tapi karena modelnya tak lagi cocok dengan zamannya.

Ekosistem bukan sekadar jaringan, tapi mekanisme keberlanjutan bersama. Kolaborasi lintas aktor—mitra, komunitas, pemerintah, hingga sponsor, harus jadi bagian dari desain nilai. Sejalan dengan purpose-driven business (Mackey & Sisodia, 2013), organisasi bisa tetap bermisi sosial tanpa mengorbankan finansial. Prinsipnya: untung karena berpikir cerdas, bukan karena membebani pelanggan.

Presentasi Inovasi Yang Efektif

Kalau kita bicara tentang presentasi inovasi, banyak orang langsung membayangkan slide yang penuh angka, grafik, dan kata-kata keren. Padahal, inti dari sebuah presentasi bukanlah seberapa canggih desainnya, melainkan seberapa dalam ia bisa menyentuh pikiran dan hati audiens. Di banyak kompetisi atau forum strategis, saya melihat satu hal yang membedakan pemenang dan yang biasa-biasa saja: kemampuannya menceritakan perjalanan ide menjadi solusi, dan membuat pendengar merasa ikut “memiliki” masalah yang sedang dipecahkan.

Di banyak organisasi, inovasi bukanlah sekadar mencari solusi teknis. Kita bicara tentang bagaimana ide itu lahir dari kenyataan di lapangan, bertemu dengan kebutuhan pelanggan, lalu diolah bersama tim hingga menjadi terobosan yang nyata. Presentasi menjadi panggung untuk membuktikan bahwa ide kita tidak hanya “pantas didengar”, tapi juga “pantas didukung” dan “pantas dijalankan”. Ini adalah momen untuk menunjukkan bahwa inovasi kita punya napas, punya nyawa, dan punya arah yang jelas.

Sayangnya, sering kali presentasi berhenti di level “menjelaskan” tanpa benar-benar “mengajak”. Padahal audiens, baik itu juri, manajemen, atau mitra, tidak hanya ingin tahu apa inovasinya, tapi juga kenapa mereka harus percaya dan bagaimana mereka bisa ikut mendorongnya maju. Di titik ini, presentasi bukan lagi sekadar alat komunikasi, tapi alat untuk membangun aliansi, dukungan, dan bahkan komitmen jangka panjang terhadap inovasi yang kita usung.

Itulah kenapa kita perlu menguasainya bukan sekadar untuk mengasah kemampuan teknis membuat slide, tetapi juga untuk melatih keterampilan bercerita yang relevan, mengalir, dan berdampak. Belajar membedah presentasi inovasi sebagai perpaduan antara data, narasi, dan emosi, tiga unsur yang jika berpadu dengan tepat, akan membuat audiens tidak hanya mengerti, tapi juga percaya dan tergerak. Sebab pada akhirnya, inovasi yang hebat butuh cerita yang hebat untuk menggerakkannya.

Siapa nih yang mau belajar bikin presentasi inovasi yang efektif? belajar bareng yuk!