Pragmatisme

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sikap pragmatis sering dianggap tanda kecerdasan adaptif, kemampuan menyesuaikan diri dan bertindak efisien. Namun dalam Islam, pragmatisme harus berakar pada nilai moral & spiritual.

Seorang tidak hanya bertanya “apa yang berhasil?”, tetapi juga “apa yang benar?”. Inilah yang disebut hikmah amaliyah; kebijaksanaan praktis yang berpijak pada wahyu.

Rasulullah ﷺ mencontohkannya dalam Perjanjian Hudaibiyah: keputusan yang tampak merugikan justru menjadi jalan bagi kemenangan dakwah.

Pragmatisme Barat, seperti yang dikemukakan William James dan John Dewey, menilai kebenaran dari sejauh mana sesuatu “berfungsi.” Prinsip truth is what works menempatkan manusia sebagai pusat nilai; menganggap benar apa pun yang berhasil.

Islam menolak pandangan ini karena kebenaran (al-haqq) bersifat tetap & bersumber dari Allah, sedangkan keberhasilan (al-falah) tidak hanya diukur dari capaian duniawi, tetapi juga dari kesesuaian dengan nilai Ilahi. Keberhasilan sejati, bukan sekadar hasil cepat, tetapi kemajuan yang berpijak pada keimanan, kesabaran & integritas.

Refleksi ini mengajak kita menata ulang makna “pragmatis.” Islam tidak menolak efisiensi atau strategi, tetapi menegaskan bahwa semua harus dijalankan dalam kerangka keadilan dan keberkahan. Tindakan benar adalah yang membawa manfaat tanpa melanggar prinsip moral.

Menjadi pragmatis yang beriman berarti membaca kenyataan dengan cerdas tanpa kehilangan arah. Sebab kecepatan tanpa nilai bukanlah kemajuan, dan efisiensi tanpa kebenaran bukanlah keberhasilan.

Dalam pandangan tauhid, keberhasilan sejati adalah ketika manfaat dunia berpadu dengan ridha Allah, hasil yang tidak hanya berguna, tetapi juga mendatangkan keberkahan.

Keberhasilan demikian bukan semata diukur oleh capaian materi, tapi oleh sejauh mana hasil itu menghadirkan kebaikan bagi sesama & menumbuhkan kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta. Dalam kerangka ini, setiap usaha manusia menjadi bentuk ibadah yang bukan sekadar produktif, tetapi juga menumbuhkan nilai, keadilan & rahmat. Puncak keberhasilan bukan pada apa yang dimiliki, tapi pada apa yang dibagikan & seberapa tulus ikhtiar itu mengundang ridha-Nya.

Subang Ngabret BP4D Naik Kelas

“Subang Ngabret BP4D Naik Kelas – Wujudkan Perencanaan Berkualitas” tertulis pada spanduk acara hari ini, setiap kata saya coba cermati, dan ternyata ini keren!

Di ketinggian Gunung Papandayan sore ini, kami berkumpul menguatkan tekad, menyatukan langkah para perencana pembangunan Subang. Di udara sejuk dan sunyi yang menenangkan, kami belajar kembali arti bergerak bersama: bahwa perencanaan bukan sekadar menyusun dokumen, tetapi menata masa depan. Bukan sekadar memenuhi target, tapi memastikan setiap rencana benar-benar membawa manfaat bagi banyak orang.

Ngabret berarti bergerak eksponensial, melipatgandakan dampak melalui semangat, arah, dan kolaborasi. Kecepatan sejati tidak lahir dari tekanan, tapi dari kesadaran bersama akan tujuan yang sama. Ketika setiap orang memahami perannya, energi itu menyatu, menjadi kekuatan kolektif yang mendorong perubahan.

Naik kelas adalah keberanian untuk berpindah kuadran dalam matrix inovasi, dari memperbaiki sistem lama menuju menciptakan nilai baru. Di titik ini, perencanaan bukan lagi sekadar pekerjaan, melainkan ruang tumbuh bersama. BP4D yang naik kelas bukan hanya lebih cepat, tapi juga lebih relevan, adaptif, dan berdampak.

Dan berkualitas bukan hanya tentang hasil yang rapi atau sesuai standar, tapi tentang manfaat yang nyata. Kualitas sesungguhnya terasa ketika rencana menjelma perubahan, data menjadi arah, dan keputusan membawa kebaikan. Itulah perjalanan dari output ke outcome, dan akhirnya menuju impact, dampak yang mengubah kehidupan masyarakat.

Semua itu berawal dari perubahan cara berpikir. Dari compliance menuju co-creation, dari bekerja sendiri menuju co-innovation. Ketika kolaborasi lahir dari empati dan dijalankan dengan integritas, maka network effect terbentuk; menguatkan sistem dari dalam. Sebab tujuan akhir dari setiap ikhtiar bukan hanya keberhasilan, tetapi kebermanfaatan. Dan bila semua dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan, maka hadir keberkahan; koefisien beta yang melipatgandakan setiap usaha menjadi kebaikan yang meluas dan bermakna.

Selamat meluaskan dampak @bp4dsubangofficial

PLN Nusantara Power Services

Coaching berbulan-bulan, berulang-ulang, akhirnya berbuah manis. Tujuh tim berhasil mendapatkan golden ticket dan tiga di antaranya keluar sebagai juara. Sebuah kebanggaan mendampingi para inovator luar biasa ini, bukan hanya karena hasilnya, tetapi karena prosesnya. Setiap sesi adalah perjalanan panjang membentuk cara berpikir, mengasah empati terhadap pengguna, dan memupuk keberanian untuk mencoba lagi setiap kali gagal.

Sejak awal, tujuan utamanya bukan hanya memenangkan kompetisi, tapi menanamkan mindset bahwa inovasi sejati selalu berangkat dari kebutuhan pengguna. Inovasi yang berorientasi pada pengguna akan terus hidup, beregenerasi, dan menciptakan dampak jangka panjang. Karena itu, proses coaching difokuskan pada penguasaan kerangka berpikir inovatif dan kemampuan replikasi, agar inovasi tidak berhenti di satu proyek, tapi terus menular dan berkembang.

Selamat kepada seluruh tim PLN Nusantara Power Services yang telah membuktikan bahwa keberhasilan bukanlah garis akhir, melainkan awal dari perjalanan inovasi yang lebih besar. Inovasi bukan hanya tentang produk, tapi juga model bisnis dan ekosistem yang membuatnya tumbuh eksponensial. Semoga kemenangan ini menjadi titik awal untuk menyalakan lebih banyak nyala inovasi di seluruh Indonesia.

Selamat melanjutkan karya nyatanya @pln_npservices

Inovasi

Inovasi bukan sekadar tentang melahirkan hal baru, melainkan tentang menghadirkan makna yang lebih dalam bagi kehidupan. Di tengah hiruk-pikuk ide dan teknologi, banyak organisasi lupa bahwa inti inovasi bukanlah kebaruan, melainkan keberpihakan pada manusia. Inovasi yang bermakna selalu dimulai dari keberanian membaca realitas, menafsirkan keresahan, dan menyalakan perubahan. Dari sinilah tiga poros inovasi lahir: Problem, Opportunity, dan Progress—tiga langkah yang saling menaut, membentuk perjalanan dari empati menuju dampak.

Segalanya bermula dari Problem. Di titik ini, kita belajar mendengar kembali suara yang sering diabaikan: kegelisahan pengguna, hambatan proses, atau ketimpangan sistem yang membuat hidup terasa tidak adil. Rasa tidak nyaman inilah yang menjadi bahan bakar empati. Namun, berhenti di sini hanya akan membuat inovasi terjebak dalam siklus perbaikan tanpa arah yang jelas, memoles gejala tanpa menyentuh akar. Maka langkah berikutnya adalah menemukan Opportunity, yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang di balik masalah: kesempatan untuk membangun makna baru, mencipta nilai, dan menata ulang sistem agar lebih manusiawi.

Dari peluang inilah muncul dorongan untuk bergerak menuju Progress. Kemajuan menjadi wujud nyata dari keberhasilan inovasi, saat ide tidak hanya indah di atas kertas, tetapi hidup dalam praktik dan memberi manfaat nyata. Progress bukan sekadar soal hasil, melainkan tentang keberanian mengubah cara berpikir, cara bekerja, dan cara berkolaborasi. Ketika empati menjelma aksi dan aksi menghadirkan perubahan yang dirasakan, di situlah inovasi menemukan maknanya.

Akhirnya, inovasi bukan lagi proyek sesaat, tetapi perjalanan panjang memahami manusia dan memperbaiki dunia bersama. Ia menuntut kita untuk terus bergerak; dari masalah menuju peluang, dari peluang menuju kemajuan, dan dari kemajuan menuju keberlanjutan. Karena pada akhirnya, yang membuat sebuah ide layak disebut inovasi bukan seberapa baru bentuknya, tetapi seberapa dalam ia menyentuh kehidupan dan meninggalkan jejak perubahan.

“Innovation is not a project to finish , it’s a lifelong journey of understanding people and improving the world together”

Model Bisnis Vs Business Acumen

Model Bisnis Vs Business Acumen

Bayangkan kita tengah melakukan perjalanan menuju masa depan yang lebih besar dari sekadar angka keuntungan, sebuah tujuan yang menghadirkan makna, pengaruh, dan jejak kebaikan. Perjalanan ini membutuhkan kendaraan yang tepat, dan itulah peran model bisnis. 🚗🚙🚕🚘🚕

Seperti mobil yang kita pilih untuk menembus berbagai medan, model bisnis menentukan bagaimana energi dikelola, seberapa cepat kita bergerak, dan sejauh mana kita mampu menjangkau peluang yang belum tersentuh. Kendaraan ini bukan hanya alat transportasi, tetapi pernyataan tentang visi dan keberanian kita menentukan arah.

Namun kendaraan tidak akan pernah mencapai tujuan jika manusia di dalamnya berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah organisasi menjadi jiwa yang menggerakkan perjalanan. Organisasi bukan sekadar susunan struktur, tetapi ruang hidup yang menyatukan hati, pikiran, dan kontribusi. Ia mengubah sekumpulan individu menjadi kru perjalanan, yang bukan hanya duduk sebagai penumpang, tetapi mengambil peran aktif memastikan kendaraan tetap stabil, semua terhubung dengan tujuan, dan tidak ada satu pun yang merasa tertinggal🚀

Dan yang membuat perjalanan ini benar-benar bermakna adalah kesadaran kolektif atau business acumen. Ia adalah cahaya di dalam diri setiap orang yang membuat mereka peka terhadap arah angin, curah hujan perubahan, dan setiap titik kritis dalam perjalanan. Business acumen menjadikan setiap orang bukan sekadar pengikut, tetapi penjaga masa depan bersama. Ketika semua memiliki kesadaran ini, kendaraan bisnis tidak hanya melaju cepat—tetapi melaju dengan keyakinan, kebijaksanaan, dan keberkahan menuju tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar tiba: yaitu meninggalkan jejak yang memajukan kehidupan banyak orang.

Pada akhirnya, keberhasilan bisnis ditentukan bukan oleh seberapa cepat kita bergerak, tetapi oleh apakah seluruh tim terlibat aktif menjaga arah dan memastikan perjalanan ini benar-benar sampai pada tujuan strategis yang kita sepakati🎉

Strength-Based Design Thinking

Bersua @lilinimam memandu kelas bersama. Hari ini kami memadukan Design Thinking dengan pendekatan Strength-Based. Pertanyaannya sederhana: bagaimana jika inovasi tidak dimulai dari masalah, tetapi dari kekuatan manusia yang sudah kita miliki?

Banyak organisasi merasa sudah berinovasi, padahal hanya memperbaiki sistem lama agar terlihat lebih modern. Design Thinking sering dijalankan sebagai ritual mencari masalah dan menambal kekurangan demi efisiensi. Hasilnya, organisasi tampak bergerak, tetapi sebenarnya kehilangan arah, kehilangan energi, dan perlahan kehilangan relevansi. Fokus pada masalah hanya melahirkan inovasi berbasis ketakutan, bukan kekuatan.

Padahal aset terbesar organisasi bukan teknologi atau anggaran, tetapi manusia, dengan empati, imajinasi, nilai, dan jejaring sosial yang hidup di dalamnya. Inilah kekuatan yang tak bisa ditiru pesaing. Strength-Based Design Thinking mengubah manusia dari objek yang harus dibenahi menjadi sumber energi yang siap diperbesar. Inovasi tidak muncul karena keadaan mendesak, tetapi karena kekuatan yang ingin diberdayakan dan dikapitalisasi.

Organisasi yang mengadopsi pendekatan ini tidak lagi bertanya, “Bagaimana mengejar ketertinggalan?” tetapi “Kekuatan apa yang hanya kita miliki, dan bagaimana menjadikannya pemimpin masa depan?” Masa depan bukan milik organisasi yang paling efisien, tetapi yang paling berani mengorkestrasi kekuatan manusianya menjadi gerakan inovasi yang tak terbendung.

Dan di sinilah perjalanan baru dimulai: berinovasi bukan karena terpaksa, tetapi karena kita berdaya. 🚀

-Human potential is the real exponential force; technology only multiplies what the human spirit dares to envision-Telah disunting · 2 ming

Inovasi Lama Tidak Akan Menyelamatkan Kita

Inovasi Lama Tidak Akan Menyelamatkan Kita

Selama ini, banyak organisasi menganggap efisiensi sebagai bentuk inovasi. Padahal efisiensi tidak menciptakan nilai baru; ia hanya memperpanjang napas sistem lama. Seperti mempercantik rumah di atas tanah yang mulai amblas—indah sesaat, tapi perlahan kehilangan pijakan. Sementara itu, dunia sudah bergerak pada model baru yang bukan hanya memperbaiki kinerja, tetapi mendefinisikan ulang bagaimana nilai diciptakan dan dibagikan. Innovation Matrix hadir untuk menegaskan bahwa efisiensi hanyalah titik awal perjalanan inovasi, bukan tempat kita berakhir.

Perubahan nyata dimulai ketika kita memasuki Kuadran Disruptive. Pada tahap ini, inovasi tidak lagi fokus menyempurnakan apa yang sudah ada, tetapi membuka akses baru bagi mereka yang sebelumnya tidak terlayani. Inilah wilayah para pengubah permainan; mereka yang tidak sekadar mengikuti arus masa depan, tetapi menciptakan arah baru yang lebih inklusif dan relevan.

Perjalanan meningkat ke Kuadran Architectural, di mana orientasi inovasi bergeser dari produk ke ekosistem. Organisasi tidak lagi berdiri sebagai pemain tunggal, melainkan menjadi penghubung dan penggerak kolaborasi lintas sektor. Pertanyaan strategis pun berubah: bukan lagi “bagaimana kita menang?”, tetapi “bagaimana kita membangun sistem yang memungkinkan semua pihak tumbuh bersama?”.

Puncaknya adalah Kuadran Exponential, tempat inovasi menjadi kekuatan pencipta masa depan. Di sini, organisasi melampaui batas industri konvensional dan membangun zona nilai baru yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Pada titik ini, organisasi tidak sekadar beradaptasi dengan masa depan; mereka menjadi arsitek masa depan itu sendiri.

Pilihan kita semakin jelas: bertahan di zona efisiensi dan perlahan ditinggalkan, atau bergerak menuju inovasi eksponensial dan menjadi pusat gravitasi perubahan global. Inilah saatnya berhenti bermain dalam aturan lama, dan mulai menciptakan masa depan yang kita inginkan🎉

Kepemimpinan

Banyak orang memandang pemimpin sebagai sosok yang harus memberikan manfaat langsung kepada mereka, memberi posisi, fasilitas, dan perlindungan. Cara pandang seperti ini menjadikan anggota organisasi sebagai penerima pasif, bukan pelaku aktif.

Padahal, Al-Qur’an menggambarkan umat terbaik bukan sebagai mereka yang paling banyak menerima manfaat, tetapi sebagai mereka yang “dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” (QS. Ali ‘Imran: 110). Ini menunjukkan bahwa kemuliaan bukan berada pada posisi penerima, tetapi pada kesediaan menjadi sumber manfaat bagi banyak orang.

Kepemimpinan sejati bukan tentang memusatkan manfaat pada satu figur, melainkan menggerakkan seluruh anggota organisasi agar menjadi penghasil manfaat. Dalam QS. Al-Maidah ayat 2, Allah memerintahkan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” Ayat ini memberi penegasan bahwa fungsi utama kepemimpinan adalah membangun ekosistem kebaikan, tempat setiap individu terdorong untuk berkontribusi, bukan bergantung. Pemimpin bukan pusat pelayanan, tetapi katalis yang membangkitkan kesadaran kolektif untuk bersama-sama melahirkan kebermanfaatan yang lebih luas.

Organisasi yang produktif dan berpengaruh tidak bertumpu pada kehebatan satu pemimpin, melainkan pada kesadaran setiap anggotanya untuk menjadi bagian dari solusi. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Hadis ini bukan hanya perintah moral, tetapi fondasi peradaban: kebermanfaatan bukan status, melainkan fungsi, dan fungsi itu bersifat kolektif, bukan individual.

Karena itu, memilih pemimpin bukan soal siapa yang mampu memberi kita keuntungan pribadi, tetapi siapa yang mampu menggerakkan kita untuk menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pemimpin transformatif mengajak kita keluar dari mentalitas sebagai objek yang menunggu pelayanan, menuju posisi subjek yang aktif melayani dan membangun. Inilah kepemimpinan yang sesuai dengan nilai Qur’ani, karena ia tidak hanya membawa manfaat untuk individu, tetapi menghidupkan kembali fungsi organisasi sebagai rahmat bagi sesama💙

Kreativitas

Kreatif adalah identitas individu, tetapi kreativitas adalah energi kolektif. Tugas orang kreatif adalah menyalakan pola pikir itu pada orang lain.

Setiap individu bisa memiliki sisi kreatif, namun sifat kreatif tidak muncul secara otomatis. Ia adalah karakter unik, sebuah pola pikir yang melihat dunia dari sudut berbeda, mengganti “apa adanya” dengan “apa yang mungkin.” Kreatif adalah identitas personal, seperti sidik jari mental yang membedakan satu individu dari yang lain, dan karena itulah ia tidak bisa disalin begitu saja.

Sebaliknya, kreativitas adalah energi yang dapat direkayasa. Kreativitas lahir dari proses, bukan hanya bakat. Dengan ekosistem yang tepat, lingkungan yang mendorong pertanyaan kritis, eksperimen berani, dan kolaborasi lintas batas; kreativitas dapat muncul berulang, meluas, dan direplikasi. Kreativitas bukan milik segelintir orang, tetapi menjadi kekuatan kolektif ketika sistemnya dirancang dengan benar.

Dalam ekosistem seperti ini, tugas orang kreatif bukan hanya menghasilkan ide, tetapi menularkan cara berpikirnya. Mereka berperan sebagai katalis; mengajarkan pola berpikir eksploratif, menstimulasi keberanian mencoba, dan menginspirasi orang lain untuk melihat peluang di balik masalah. Dengan demikian, dari satu individu kreatif lahirlah budaya kreativitas yang berkelanjutan dan berdampak luas.

🎉

User-Centric: Titik Nol Inovasi Eksponensial

User-Centric: Titik Nol Inovasi Eksponensial

User-centricity bukan sekadar teknik mendengarkan kebutuhan pelanggan, melainkan perubahan paradigma dalam cara organisasi mendefinisikan nilai. Pada tahap inovasi yang masih “operational-driven”, fokus perusahaan biasanya adalah efisiensi internal dan pemenuhan target administratif. Namun, organisasi dengan mindset user-centric melihat pengguna sebagai sumber insight strategis, bukan sebagai objek layanan.

Setiap solusi dirancang berangkat dari realitas emosi, perilaku, dan konteks operasional pengguna, sehingga inovasi bukan hanya menjawab masalah, tetapi menciptakan pengalaman baru yang mengubah cara pengguna berinteraksi dengan ekosistemnya.

Dalam Innovation Maturity Matrix, pergeseran menuju user-centricity menandai transisi dari inovasi reaktif menuju inovasi proaktif dan eksponensial. Pada tingkat maturity yang lebih tinggi, perusahaan tidak hanya meningkatkan proses yang ada (exploit), tetapi mulai menciptakan model baru (explore) dan membangun ekosistem (exponential). Inovasi yang matang bukan lagi diukur dari jumlah aplikasi atau teknologi yang diluncurkan, tetapi dari kemampuan solusi tersebut menciptakan nilai nyata bagi pengguna, memperkuat brand positioning, membuka sumber pendapatan baru, dan meningkatkan trust serta engagement stakeholders.

Pada puncak maturity, user-centricity menjelma menjadi human-centric innovation, di mana pengguna tidak lagi diposisikan sebagai konsumen, tetapi sebagai co-creator dalam perjalanan transformasi perusahaan. Inilah fase ketika inovasi tidak berhenti pada pilot project, melainkan menjadi sistem yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan KPI korporasi. Dengan mindset ini, inovasi tidak hanya efisien pada hari ini, tetapi relevan dan adaptif terhadap masa depan. Artinya, user-centricity bukan sekadar pendekatan presentasi—ini adalah instrumen strategis untuk memastikan inovasi menjadi penggerak keberlanjutan, bukan sekadar aktivitas jangka pendek.

In innovation, the user is not the endpoint, they are the starting line❤️