MEET OUR MENTORS

MEET OUR MENTORS

Di balik program perubahan yang kuat, hadir para mentor yang siap menjadi sparring partner strategis bagi tim inovasi.

Melalui The Change Catalyst and Innovation Program 2025, Innovation Coaching Session difasilitasi oleh mentor ahli di bidang inovasi, bisnis, dan pengembangan organisasi.

Para mentor ini akan mengampu sesi coaching inovasi dan mendampingi tim dalam menajamkan insight dan kebutuhan pengguna, menyelaraskan solusi dengan strategi korporasi, serta memperkuat kesiapan implementasi di lingkungan kerja.

Dengan dukungan mereka, setiap inisiatif inovasi SPTP diharapkan semakin terarah, terukur, dan memberikan nilai tambah nyata bagi perusahaan dan pelanggan.

Catatan kaki dari Melolo

Catatan kaki dari Melolo

Dalam kerangka pembangunan modern, visual seperti ini kerap dibaca sebagai tanda “keterbatasan material.” Namun penilaian itu lebih mencerminkan bias perkotaan daripada realitas Sumba. Jika dilihat dengan lensa filosofis, angsa, ayam, bebek, babi, dan sapi yang berkeliaran adalah living capital—aset ekologis dan sosial yang menopang kemandirian. Kain tenun yang digantung adalah modal budaya, dan tanaman di pekarangan adalah bentuk ketahanan pangan. Kesejahteraan di sini bukan tentang akumulasi, tetapi tentang harmoni antara manusia, alam, dan tradisi.

Secara akademik, ini menantang apa yang disebut context-insensitive measurement: penggunaan indikator kesejahteraan yang tidak mempertimbangkan logika lokal. Kerangka capability approach Amartya Sen lebih tepat untuk membaca konteks ini; kesejahteraan ditentukan oleh kapasitas menjalani hidup yang bernilai, bukan oleh jumlah pendapatan. Ternak yang hidup berdampingan dengan manusia, pangan dari tanah sendiri, serta jaringan sosial yang kuat menunjukkan adanya functional capabilities yang tidak tercermin dalam statistik konvensional.

Karena itu, Sumba mengingatkan kita bahwa indikator ekonomi tidak selalu mampu menangkap makna kesejahteraan substantif. Bila pembangunan memaksakan standar homogen, risiko utamanya adalah hilangnya akar budaya dan ekologi yang justru menopang kehidupan. Dalam konteks seperti Sumba, di mana angsa, ayam, bebek, kuda, babi, dan sapi menjadi bagian integral dari ritme hidup, kita melihat model kesejahteraan yang lebih utuh, di mana nilai tidak hanya diukur, tetapi dijalani.

Terimakasih Sumba tempat kami belajar 💙
Dan teman-teman @transmigrasihub.melolo@pket.kementrans@kementrans.ri

Humanity-Centred Design

Humanity-Centred Design

Selama dua dekade, Human-Centered Design menjadi paradigma dominan dalam inovasi. Namun dunia kini memperlihatkan sisi gelap dari pendekatan yang terlalu berfokus pada user. Kita menciptakan aplikasi yang memudahkan hidup, tetapi mendorong eksploitasi pekerja gig economy; kita mendesain layanan cepat, tetapi memperburuk sampah digital dan e-waste; kita membangun kenyamanan individu, tetapi mengorbankan kepentingan kolektif. Escobar (2018) dan Manzini (2015) mengingatkan bahwa inovasi yang hanya berpihak pada pengguna sering gagal melihat jaringan kehidupan yang lebih luas. Inilah tension besar abad ini: inovasi bisa “benar” bagi user, tetapi “keliru” bagi kemanusiaan.

Karena itu, muncul pendekatan Humanity-Centered Design—sebuah koreksi moral yang menggeser fokus dari keinginan pengguna menuju tanggung jawab terhadap masyarakat, lingkungan, dan generasi mendatang. Pendekatan ini menuntut expanded empathy: memikirkan pekerja di balik rantai produksi, komunitas terdampak, kelompok rentan, hingga keberlanjutan ekologis. Ini sejalan dengan gagasan Design Justice (Constanza-Chock, 2020) yang mempertanyakan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, serta Systemic Design (Jones, 2014) yang menegaskan bahwa setiap desain memiliki konsekuensi yang merambat dalam sistem sosial. Norman (2023) menambahkan bahwa inovasi masa depan harus memikul intergenerational responsibility, bukan hanya memecahkan masalah hari ini, tetapi menjaga kehidupan esok.

Pada akhirnya, keberhasilan inovasi tidak lagi cukup dinilai dari seberapa “usable”, “desirable”, atau “viable” sebuah solusi. Inovasi yang matang adalah inovasi yang ethical, equitable, dan sustainable—yang memperbaiki tanpa merusak, memajukan tanpa mengorbankan, dan mencipta tanpa meninggalkan luka. Humanity-Centered Design mengingatkan kita bahwa setiap keputusan desain adalah keputusan moral: apakah ia merawat atau mengabaikan? Apakah ia memperkuat martabat atau meniadakannya? Dan pertanyaan terpenting yang harus kita jawab sebagai desainer, pemimpin, dan pembuat kebijakan adalah:
“Masa depan seperti apa yang sedang kita bentuk melalui desain kita?”

Nasihat kang @kangmaman1965

Nasihat kang @kangmaman1965

Pengetahuan bukanlah puncak untuk ditaklukkan, melainkan jembatan yang membantu manusia menyeberang menuju makna yang lebih dalam. Gelar, prestasi, dan usia bukan indikator utama; semuanya hanyalah logistik dalam perjalanan panjang belajar. Generasi muda hari ini hidup di dunia tanpa guru tunggal, setiap percakapan bisa menjadi kelas, setiap halaman buku bisa menjadi dunia baru, dan setiap ruang kecil bisa melahirkan visi besar. Yang menentukan arah bukan asal tempat atau posisi, tetapi keberanian memilih kebenaran daripada kenyamanan, dan integritas ketika berdiri di persimpangan yang sulit.

Dalam kesadaran itulah pengetahuan menjadi bekal untuk hidup, bukan sekadar hiasan untuk dipamerkan. Bangsa ini merumuskan cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” karena mereka yang membangun Indonesia dulu memahami bahwa kehancuran tidak berakar dari kejahatan semata, melainkan dari kebodohan. Maka membaca bukan lagi aktivitas untuk tahu, tetapi untuk menjadi lebih manusiawi, lebih tegar, lebih berguna, dan lebih menyelamatkan. Optimisme pun tumbuh dari skeptisisme yang sehat, dari kesediaan mempertanyakan, sekaligus keyakinan bahwa perubahan adalah mungkin.

Negara tetap harus hadir sebagai penghasil ruang—memberikan insentif bagi inovasi, bukan sekadar mengatur dari jauh. Dan setiap anak muda, siapa pun mereka, bisa meninggalkan nama yang harum seperti Mohammad Hatta: menulis perjalanan hidupnya dengan tinta emas berupa kecerdasan yang bermakna, mastery yang rendah hati, dan integritas yang tak tergoyahkan. Jika seseorang benar, baik, dan bermanfaat, maka keberadaannya akan terus menginspirasi jauh melampaui usia atau gelarnya. Dengan cara itulah optimisme tentang Indonesia dapat terus menyala, pelan, pasti, dan penuh harapan.

Menyimak Prof @dwilarsodl direktur beasiswa @lpdp_ri di @bangkitfest

Menyimak Prof @dwilarsodl direktur beasiswa @lpdp_ri di @bangkitfest

Di dunia yang berubah secepat sekarang, banyak skill teknis punya “masa kedaluwarsa.” Yang bertahan justru meta-skill: cara berpikir, problem framing, empati, komunikasi, dan kemampuan belajar ulang. Karena itu, masa depan tidak cukup diisi spesialis tunggal. Kita butuh multi-talenta dengan dua kedalaman keahlian (Pi-shape), satu sebagai fondasi profesional, satu lagi sebagai mesin adaptasi ketika tuntutan berubah.

Banyak universitas top dunia sudah menangkap sinyal ini. Harvard menggabungkan teknik dengan human-centered design, Stanford d.school mencampur bisnis–desain–perilaku, MIT Media Lab melintasi seni–teknologi–sains, dan NUS hingga KAIST mulai mewajibkan lintas-disiplin sebagai standar. Artinya jelas: pendidikan global sedang bergeser dari “menguasai satu hal” menjadi menjembatani banyak hal.

Menjadi multi-talenta bukan soal tahu semuanya, tapi siap belajar ulang kapan pun. Mereka yang punya dua kedalaman, kolaboratif, dan mampu menghubungkan perspektif lintas-peran akan jadi pemain paling relevan. Di era ini, yang menang bukan yang paling ahli, tetapi yang paling adaptif, lintas-batas, dan mampu menciptakan diri versi baru—berulang kali.

@gnfi

Sebelum Mengatur Cost,Pahami Dulu Realitasnya.

Sebelum Mengatur Cost,
Pahami Dulu Realitasnya.

Di era VUCA–BANI yang penuh ketidakpastian, banyak bisnis dan organisasi masih terjebak dalam keyakinan lama: bahwa ketelitian ekonomi manajerial cukup untuk membuat mereka bertahan. Padahal, realitas hari ini menunjukkan sebaliknya, perhitungan yang teliti tidak banyak membantu jika dilakukan di atas model bisnis yang salah baca konteks. Kita sering langsung menghitung biaya, menyusun proyeksi pendapatan, atau menetapkan target penjualan, sementara lingkungan kita berubah lebih cepat daripada rumus-rumus yang kita anggap aman. Ketika pasar bergeser, perilaku konsumen berubah, dan kompetitor bermunculan tanpa pola, maka angka bukan lagi titik awal, melainkan konsekuensi dari keputusan yang kontekstual.

Banyak organisasi masih mengira kegagalan mereka berasal dari ketidaktelitian menghitung cost dan revenue. Padahal, akar masalahnya lebih dalam: mereka tak memahami konteks strategis tempat mereka beroperasi.

Apakah pasar mereka sedang mengalami disrupsi?
Apakah perilaku pelanggan bergeser?
Apakah struktur industrinya berubah?
Apakah ada teknologi baru yang memecah aturan lama?

Tanpa memahami ini semua, perhitungan finansial justru menjadi ilusi kepastian, seolah-olah kita sedang memegang peta lama untuk membaca kota yang sudah berubah total.

Karena itu, di era ini, ekonomi manajerial harus dimulai dari pemahaman konteks: memahami lanskap, memetakan risiko, membaca arah angin industri, dan menyusun model bisnis yang benar-benar relevan. Barulah angka-angka finansial memiliki arti yang kongkret. Jika konteksnya keliru, seluruh hitungan runtuh seperti kartu-kartu domino. Pesannya menampar: bukan perhitungannya yang salah, melainkan titik awal berpikirnya. Bisnis dan organisasi harus belajar membaca realitas sebelum membaca Excel, memahami dunia sebelum mengeksekusi strategi, dan merancang model bisnis sebelum sibuk mengutak-atik laporan keuangan.

“You cannot fix the numbers if you misunderstand the reality they are meant to describe.”

Universitas YARSI

Hari ini, ketika mengajar di Program MARS Universitas YARSI, saya merasakan sesuatu yang jarang hadir: sebuah ruang belajar yang benar-benar hidup. Para calon pemimpin rumah sakit ini datang bukan hanya dengan buku catatan, tetapi dengan kegelisahan, harapan, dan keberanian untuk berubah. Di wajah mereka saya melihat kesungguhan yang tidak bisa dibuat-buat, kesungguhan untuk menjadi pemimpin yang lebih baik bagi ribuan manusia yang akan mereka layani.

Diskusi kami tidak sekadar tentang inovasi. Itu tentang tanggung jawab. Tentang bagaimana keputusan seorang direktur rumah sakit bisa menentukan apakah seorang pasien merasa aman, apakah seorang perawat merasa dihargai, apakah sebuah keluarga merasa didengar. Dan ketika para peserta mulai mengaitkan teori dengan realitas yang mereka temui setiap hari, saya melihat kilatan-kilatan kesiapan untuk memimpin dengan hati sekaligus pikiran.

Ruang belajar seperti ini selalu membuat saya rindu, tersentuh. Ada sesuatu yang terasa magical ketika orang-orang yang peduli berkumpul, membuka diri, dan mencoba menjadi versi terbaik dari dirinya demi orang lain. Jika energi seperti ini terus tumbuh, saya percaya masa depan rumah sakit Indonesia akan diisi oleh pemimpin yang bukan hanya cerdas mengambil keputusan, tetapi juga tulus menjaga martabat manusia, berlomba-lomba melahirkan kebermanfaatan.

@universitasyarsi 💙

Law of Triviality

Law of Triviality

Bayangkan rapat besar dengan tema serius: transformasi digital, kurikulum baru, atau kota cerdas. Tapi begitu dimulai, yang dibahas justru warna logo, bentuk spanduk, atau siapa yang duduk di depan saat acara. Ide besar lenyap, waktu habis untuk hal kecil. Inilah Law of Triviality, hukum yang bilang semakin remeh topiknya, semakin lama orang membicarakannya. Karena membahas hal mudah terasa lebih aman dan membuat semua orang merasa pintar, padahal tidak membawa perubahan apa pun.

Inilah sebab banyak organisasi terlihat sibuk tapi sebenarnya tidak bergerak. Semua sibuk rapat, tapi hasilnya tidak jelas. Yang sulit dan penting justru dihindari, karena tidak semua paham atau berani menyentuhnya. Diskusi jadi tempat untuk terlihat aktif, bukan untuk menyelesaikan masalah. Energi yang seharusnya dipakai untuk memecahkan isu besar malah habis untuk urusan kecil yang tidak berdampak.

Pemimpin yang baik tahu kapan pembahasan mulai melenceng. Ia bisa memotong diskusi yang tidak penting dan mengarahkan tim kembali ke hal yang benar-benar berpengaruh. Fokus bukan di berapa banyak yang dibahas, tapi apa yang berubah setelahnya. Karena masalah terbesar dalam organisasi bukan kurang ide atau dana, tapi terlalu banyak waktu dihabiskan untuk hal-hal kecil yang tidak mengubah apa-apa.

Law of Triviality, dikemukakan oleh C. Northcote Parkinson dalam bukunya Parkinson’s Law and Other Studies in Administration (1957), menyatakan bahwa semakin remeh suatu hal, semakin banyak waktu dan energi yang dihabiskan orang untuk membahasnya.

“If every meeting is spent on small things, don’t expect big results.”

Pengabdian

Kita sering menyebut Tridharma dengan bangga, tapi dalam praktiknya, pengabdian masih sering diperlakukan sebagai pelengkap. Banyak program berhenti di tataran kegiatan: pelatihan, laporan, dokumentasi, tanpa napas keberlanjutan. Padahal, di situlah seharusnya ilmu diuji, bukan di ruang seminar atau jurnal. Pengabdian adalah cara universitas membuktikan bahwa pengetahuan yang lahir di kampus bisa benar-benar mengubah hidup masyarakat, bukan hanya menambah sitasi.

Pengabdian masa kini perlu bergeser dari sekadar berbagi ilmu menjadi proses membangun nilai bersama. Ia harus menjadi living lab; ruang nyata di mana teori diuji oleh praktik, dan praktik memperkaya teori. Di sana mahasiswa belajar empati dan relevansi, dosen menemukan kembali makna keberilmuannya, dan masyarakat ikut menumbuhkan ekonomi serta martabatnya sendiri. Inilah bentuk nyata integrasi pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang hidup, saling menguatkan, dan berdampak.

Sudah saatnya pengabdian dilihat bukan sebagai kegiatan tambahan, tetapi sebagai poros dari seluruh Tridharma. Tanpa pengabdian yang bermakna, riset kehilangan valuenya dan pendidikan kehilangan jiwanya. Pengabdian sesungguhnya bukan tentang berapa banyak program dilakukan, tetapi seberapa dalam universitas menjejak di kehidupan masyarakat jadi sumber perubahan, pemberdayaan, dan pengetahuan yang benar-benar membawa masyarakat menjadi lebih baik.

Terimakasih @lppmunib Universitas Bengkulu @univterbuka

Inovasi bukan soal seberapa cepat kamu membangun, tapi seberapa cepat kamu belajar

Inovasi bukan soal seberapa cepat kamu membangun, tapi seberapa cepat kamu belajar.

Banyak tim terjebak ingin hasil sempurna, padahal yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menguji, mengamati, dan mengulang hingga memahami apa yang benar-benar pengguna butuhkan.

Mulailah dengan prototype sederhana, amati bagaimana orang berinteraksi, dan terus lakukan iterasi dari temuan kecil. Dari iterasi kita bisa menemukan kelemahan, memperbaiki asumsi, dan menangkap peluang baru yang muncul dari proses iterasi sehingga inovasi lebih relevan dan efektif.

🔗Pelajari selengkapnya di
ebook.designthinkingacademy.id