
Sisi Lain Hustler: Sebuah Retrospective
Kondisi organisasi yang tidak punya sistem meritokrasi yang sehat, di mana peran, panggung, dan pengakuan tidak didasarkan pada kontribusi nyata, akan cenderung melahirkan figur-figur dominan yang sebenarnya miskin kedalaman. Dalam ruang seperti itu, yang fasih berbicara akan dianggap pemimpin, yang pandai membungkus kata akan disebut pakar, dan yang berani tampil akan dipersepsikan sebagai penggerak. Maka muncullah hustler, tokoh dengan kemampuan komunikasi luar biasa yang mengisi ruang kosong kepemimpinan, bukan karena substansi, tapi karena visibilitas.
Awalnya mungkin tidak tampak berbahaya. Justru banyak yang terinspirasi oleh energinya, tertarik oleh karismanya. Tapi seiring waktu, struktur organisasi mulai membengkok. Diskusi berubah jadi monolog. Proyek diklaim sepihak. Ruang kolaborasi berubah menjadi ruang dominasi. Dan yang paling fatal: suara-suara yang lebih jujur, lebih teknis, lebih berdampak, pelan-pelan hilang dari perbincangan. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena tidak diberi tempat.
Fenomena ini bukan kebetulan. Ia lahir dari kegagalan organisasi membangun keseimbangan antara narasi & kontribusi. Ketika performa komunikasi dihargai lebih tinggi daripada integritas kerja, maka yang berkembang bukanlah kepemimpinan kolektif, tapi teater personal. Komunitas menjadi panggung satu orang. & publik pun tertipu oleh ilusi keahlian. Dunning-Kruger Effect bekerja diam-diam: yang sedikit tahu merasa paling tahu & yang paling tahu memilih diam karena lelah berdebat tanpa struktur adil.
Solusinya bukan membungkam para hustler, tapi membangun sistem yang adil. Sistem yang memberi ruang untuk semua, tapi juga menuntut akuntabilitas. Panggung harus bisa dibagikan, kepakaran harus bisa diverifikasi & kolaborasi harus tumbuh dari kesalingan, bukan penguasaan. Karena organisasi yang sehat bukan yang penuh suara, tapi yang tahu bagaimana mendengarkan.
Karena sejatinya, perubahan tidak butuh aktor tunggal. Ia butuh ekosistem. Ekosistem tidak tumbuh di atas retorika, ia tumbuh di atas kepercayaan, bukti & kerendahan hati.
Saat kita diberi panggung, jangan lupa siapa yang membangun panggungnya – Anies Baswedan
No comment yet, add your voice below!