
Perubahan jarang datang dari atas. Ia lahir dari orang-orang yang memilih bergerak di level paling dekat dengan realita, anak-anak muda yang sadar bahwa kontribusi tidak harus menunggu jabatan. Mereka belajar memahami konteks, membangun kepercayaan, dan menjadi jembatan antara harapan dan aksi nyata. Di The Local Enablers, mereka disebut enablers: bukan tokoh utama, tapi kunci yang menyambungkan sistem dengan masyarakat (Leadbeater, 2008; Westley et al., 2013).
Mencetak enablers butuh proses, bukan hanya pelatihan. Dibutuhkan ruang aman untuk salah, komunitas yang saling dorong, dan sistem pendampingan yang membumi. Wenger (1998) menyebutnya sebagai communities of practice—tempat di mana orang belajar bukan hanya dari materi, tapi dari perjumpaan dan kolaborasi. Ini sejalan dengan prinsip experiential learning (Kolb, 1984), di mana kapasitas dibentuk lewat siklus mencoba, merefleksi, dan memperbaiki secara terus-menerus.
Tantangannya bukan sekadar membuat mereka aktif, tapi memastikan mereka punya kapasitas untuk berdampak. Enablers masa kini harus bisa memetakan masalah, merancang solusi yang relevan, dan mengelola perubahan dengan cara yang inklusif. Heifetz dan Linsky (2002) menyebut ini sebagai bentuk adaptive leadership; memimpin tanpa otoritas formal, tapi punya pengaruh karena kredibilitas, empati, dan konsistensi.
Proses ini tidak sedang membentuk bintang, tapi ekosistem. Karena perubahan besar sering kali dimulai dari sekelompok kecil yang bekerja dengan hati, bukan sorotan. Dan kalau hari ini kita terus mencetak enablers, maka esok kita tak hanya punya program yang berjalan, kita punya generasi yang terus menyalakan dampak.
Jangan Lelah Berproses @thelocalenablers
Apreciate to the all co-supervisors
@nizzahnaf co supervised by @gitanoor
@alyahst co supervised by @mangroisz
@anggitameliaaa co supervised by @yulistyne
No comment yet, add your voice below!