
Kita sering diajak berinovasi,
tapi jarang diajak bersiap berubah.
Inilah ironi yang membekap banyak organisasi besar. Ide-ide segar terus digaungkan, jargon inovasi terpampang dalam roadmap dan strategi. Namun saat masuk ke eksekusi, semuanya mentok di dinding tak kasatmata: resistensi manusia, prosedur yang kaku, dan budaya yang diam-diam menolak gangguan. Sebagus apa pun inovasinya, jika sistem tidak memberi ruang, ia akan layu sebelum sempat tumbuh.

Secara esensial, manajemen inovasi adalah tentang menciptakan hal-hal baru yang relevan, seperti produk, proses, layanan, atau model bisnis. Namun mencipta saja tidak cukup. Manajemen perubahan-lah yang memastikan organisasi siap menerima, mampu menjalankan, dan mau mempertahankan hal baru itu. Keduanya bukan dua tahap berurutan, melainkan dua napas yang harus beriringan. Seperti dijelaskan oleh Teece et al. (1997) dalam konsep dynamic capabilities, organisasi hanya akan bertahan jika mampu berinovasi dan bertransformasi secara simultan, seiring perubahan lingkungan dan kekuatannya sendiri.

Tantangannya bukan sekadar melahirkan ide baru, tapi mengguncang kenyamanan cara lama. Budaya kerja yang menstabilkan, insentif yang mengutamakan kepatuhan, serta SOP yang melanggengkan status quo adalah jebakan sistemik yang meredam nyali inovasi. Christensen (1997) menyebutnya the innovator’s dilemma, organisasi paling sukses seringkali justru yang paling sulit bergerak karena terlalu nyaman dengan kemenangan masa lalu.

Maka, pertanyaan strategis kita bukan lagi, “mana duluan, perubahan atau inovasi?” Melainkan, “apakah organisasi kita cukup luwes untuk menjalankan keduanya secara berkelindan?” Sebab inovasi tanpa perubahan hanya jadi wacana, dan perubahan tanpa inovasi hanya jadi kosmetik organisasi. Dalam dunia yang terus bergerak, hanya organisasi yang mampu mencipta sambil berubah yang akan bertahan dan tetap relevan.

No comment yet, add your voice below!