
Apakah Liberating Structures (LS), yang biasa dipakai para Agilist untuk memfasilitasi kolaborasi, bisa juga diterapkan di ruang kelas? Untuk apa LS hadir di pendidikan tinggi? Pertanyaan ini penting, karena mahasiswa sering tampak hadir dan mencatat, tetapi tidak sungguh belajar. Jika proses belajar tidak mengubah cara berpikir dan bertindak mahasiswa, maka Outcome-Based Education (OBE) kehilangan maknanya sebagai kerangka capaian kompetensi.

Hari ini kami memandu dosen-dosen Teknik Industri dalam sesi terkait OBE dan delivery method. Pertanyaan dasarnya: apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi, atau hanya sekadar lulus ujian? Banyak CPL tertulis rapi di RPS, tetapi di kelas mahasiswa tetap pasif. Kelas terlihat tertib, namun apakah ketertiban itu berarti belajar? Jika demikian, OBE hanya berhenti di dokumen.

Untuk menjembatani kesenjangan itu, kami memperkenalkan LS sebagai teknik fasilitasi dalam delivery method. Ada 33 cara yang kaya dan mudah untuk menghidupkan kelas. Nine Whys membantu menajamkan masalah produksi, 1-2-4-All memastikan semua mahasiswa menyumbang ide, dan What, So What, Now What menuntun refleksi setelah simulasi. LS sederhana, tidak membutuhkan sumber daya besar, tetapi mampu mengubah dinamika: mahasiswa yang biasanya diam ikut terlibat, dan CPL tidak hanya tertulis, tetapi dialami.

LS juga menuntut transformasi dosen. Kita terbiasa menjadi pusat jawaban, padahal mahasiswa belajar lebih dalam ketika diberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan menemukan solusi. Seperti fasilitator Agile yang memandu tim, dosen perlu bergeser dari instruktur tunggal menjadi fasilitator proses belajar. Integrasi OBE dan LS menegaskan: hasil belajar tidak cukup berupa nilai, tetapi harus nyata dalam kompetensi dan perubahan pola pikir. Pertanyaannya: apakah kita puas dengan kelas yang tenang tapi kosong, atau berani membangun kelas yang riuh, penuh ide, dan transformatif?






No comment yet, add your voice below!