Banyak organisasi hari ini tampak sukses, setidaknya menurut indikatornya sendiri. KPI individu tercapai, GPI hijau, laporan rapi, dan dashboard penuh panah ke atas. Namun justru di saat angka-angka itu membaik, organisasi kehilangan daya inovasinya. Respons terhadap perubahan melambat, keberanian bereksperimen menurun, dan ide-ide baru lebih sering lahir di luar sistem daripada di dalamnya. Organisasi terlihat bergerak, tetapi tidak berkembang. Inilah performance paradox: indikator membaik, tetapi kemampuan strategis justru menurun, sebuah gejala klasik dari organisasi yang salah mendefinisikan kemajuan (Meyer & Gupta, 1994; Van Thiel & Leeuw, 2002).

Masalahnya bukan karena organisasi kekurangan ide, talenta, atau komitmen terhadap inovasi. Masalahnya adalah sistem kinerja yang secara sistematis menghukum pembaruan. KPI dirancang untuk menjaga kepastian, efisiensi, dan kepatuhan, bukan untuk membuka kemungkinan baru. Dalam sistem seperti ini, keputusan paling rasional bagi individu adalah bermain aman: jangan bereksperimen, jangan mengambil risiko, jangan menggoyang angka yang sudah hijau. Organisasi lalu mengumumkan inovasi sebagai prioritas strategis, sambil secara bersamaan memberi insentif pada perilaku yang mempertahankan status quo. Paradoks ini sudah lama dijelaskan: ketika eksploitasi diberi imbalan lebih tinggi daripada eksplorasi, inovasi akan selalu kalah di meja evaluasi (Kaplan & Norton, 1996).

Organisasi yang benar-benar ingin berinovasi harus berani mengakui satu hal yang tidak nyaman: selama KPI dan GPI hanya mengukur kinerja hari ini, organisasi sedang menggadaikan masa depannya. Inovasi tidak akan lahir dari sistem yang hanya menilai hasil pasti dan menghukum pembelajaran dari kegagalan. Karena itu, indikator harus diperlakukan ulang, bukan sebagai alat kontrol, tetapi sebagai mekanisme pembelajaran strategis yang menilai apa yang sedang dipelajari, diuji, dan dipertaruhkan untuk masa depan. Inilah inti dari organizational ambidexterity dan double-loop learning: inovasi bukan persoalan budaya semata, melainkan konsekuensi langsung dari desain kepemimpinan & sistem kinerja yang berani mengoreksi asumsi tentang apa itu “sukses” (OECD, 2019).

Recommended Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *