Kalau Program Itu untuk Warga,
Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Coba kita jujur sebentar: berapa banyak program yang kita jalankan, tapi tak pernah benar-benar hidup di masyarakat? Poster kegiatan ditempel. Undangan rapat dibagikan. Tapi warga datang hanya karena diminta RT, bukan karena merasa butuh. Bahkan tak sedikit program selesai sesuai jadwal, laporan rapi, dana terserap, tapi setelah itu? Sepi. Tak ada yang berubah. Seolah-olah semuanya hanya rutinitas administratif, bukan upaya membangun kehidupan yang lebih baik.

Masalahnya sederhana tapi sering diabaikan: kita terlalu sering merancang program tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Kita menebak-nebak. Kita kira mereka butuh pelatihan, padahal mereka sedang sibuk bertahan hidup. Kita kira mereka kurang pengetahuan, padahal mereka sedang kehilangan rasa percaya. Kita membuat program atas nama mereka, tapi jarang bersama mereka. Inilah mengapa banyak program jadi “asing” di tengah rumah sendiri.

Program yang berpihak pada pengguna, user-centric, berarti kita memulai bukan dari asumsi, tapi dari mendengar. Dari duduk bersama warga, bertanya apa yang sebenarnya menyulitkan, dan apa yang membuat mereka tetap bertahan. Baru setelah itu kita bicara solusi. Mungkin solusinya bukan pelatihan, tapi ruang aman. Bukan sosialisasi, tapi teman bicara. Bukan bantuan, tapi akses dan kepercayaan. Saat kita mau mendengarkan, kita akan menyadari bahwa warga bukan “sasaran program,” tapi justru pemilik persoalan dan potensi.

Karena pada akhirnya, program bukan soal berapa banyak kegiatan yang kita laksanakan. Tapi apakah hidup seseorang menjadi sedikit lebih tenang, sedikit lebih kuat, sedikit lebih punya harapan. Kalau kita tak merancang dari situ, untuk siapa sebenarnya program ini dibuat?

Recommended Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *