
Ketimpangan kekayaan yang mencolok di Indonesia hari ini bukanlah anomali, melainkan cermin dari cara negara mendefinisikan kesuksesan. Masyarakat kecil terus didorong menjadi wirausaha tangguh, berjuang dari nol, dipuji sebagai pahlawan ekonomi rakyat, sementara pada saat yang sama, kekayaan ekstrem justru terkonsentrasi pada segelintir aktor yang menguasai sumber daya alam melalui konsesi tambang dan sawit. Ini bukan semata dinamika pasar, tetapi hasil dari struktur kebijakan yang timpang.

Masalahnya menjadi lebih serius ketika kekayaan yang lahir dari ekstraksi besar-besaran itu dipromosikan sebagai teladan entrepreneurship. Padahal, banyak di antaranya tidak dibangun melalui inovasi produktif atau penciptaan nilai yang luas, melainkan melalui akses istimewa terhadap izin dan keberpihakan politik. Negara pun secara tidak langsung melegitimasi perusakan lingkungan sebagai jalan sah menuju kemakmuran, sementara risiko sosial dan ekologis ditanggung oleh masyarakat luas.

Dampak dari pilihan ini bersifat jangka panjang dan antargenerasi. Hutan Indonesia, yang dulu diagungkan sebagai zamrud khatulistiwa, terus menyusut, menyisakan krisis ekologis yang tidak dapat dipulihkan dalam satu generasi. Anak cucu kita berpotensi mewarisi tanah rusak, konflik lahan, dan bencana ekologis, bukan kemakmuran. Ketika kebijakan gagal melindungi alam, sesungguhnya yang dikorbankan adalah masa depan bangsa.

Karena itu, persoalan ini bukan sekadar perdebatan antara pembangunan dan lingkungan, melainkan soal keadilan dan integritas kebijakan. Selama negara terus merayakan kekayaan hasil perusakan, sambil meminta rakyat kecil berjuang sendiri atas nama kemandirian, ketimpangan dan kehancuran akan terus direproduksi. Sudah saatnya definisi kesuksesan ekonomi dibenahi, bukan demi hari ini, tetapi demi generasi yang akan datang.
What destroys shared resources cannot be called entrepreneurship.






No comment yet, add your voice below!