
Bersua mahasiswa yang kesulitan menentukan judul penelitian bukan karena kehabisan masalah, tapi karena kehilangan kepekaan. Hidup mereka cukup, aman, dan terlepas dari realitas yang getir. Kemiskinan, ketimpangan, atau ketidakadilan tak terasa sebagai luka, karena tidak pernah benar-benar disentuh. Seperti kata Martha Nussbaum (2010), pendidikan tanpa empati hanya akan mencetak teknokrat tanpa nurani. Ketika mahasiswa tidak merasa terganggu oleh ketimpangan di sekitarnya, berpikir kritis pun kehilangan arah: ia jadi rutinitas akademik, bukan alat perubahan.
Yang lebih menyedihkan, kampus justru sering ikut melumpuhkan kepekaan itu. Mahasiswa diajak menghafal teori sosial, tapi tidak pernah diajak menyapa dunia nyata. Paulo Freire (1970) menyebut ini sebagai culture of silence, ketika sistem pendidikan meninabobokan nalar & menghapus kegelisahan. Mahasiswa sibuk menyusun proposal, tapi jarang bertemu warga yang menjadi subjek penderitaan. Mereka bicara soal ketimpangan dari balik layar laptop, tanpa pernah berjalan di gang sempit, pasar becek, atau desa yang terpinggirkan. Kampus jadi ruang simulasi berpikir, tapi kehilangan keberanian untuk merasa.
Padahal, judul yang bermakna lahir dari kegelisahan, bukan sekadar literature gap. Seperti diingatkan Judith Butler (2009), empati adalah fondasi dari dorongan moral untuk bertindak. Jika mahasiswa tak pernah terusik oleh anak putus sekolah, oleh petani yang kalah di pasar, atau oleh warga yang kehilangan akses layanan dasar, maka riset yang mereka buat akan kosong dari keberpihakan. Mereka menulis karena disuruh, bukan karena tergugah. Skripsi pun menjadi laporan, bukan langkah awal untuk memperbaiki keadaan.
Indonesia tak butuh lebih banyak lulusan yang sekadar cerdas. Kita butuh lebih banyak mahasiswa yang gelisah, yang pikirannya tajam & hatinya terhubung. Yang tak bisa tidur saat melihat ketidakadilan. Bell hooks (1994) menulis; pendidikan yang membebaskan adalah yang mampu mengguncang kenyamanan. Jika kampus hanya mencetak mahasiswa yang mengejar nilai, tapi tak tahu harus peduli pada siapa, maka kita sedang gagal. Gagal mencetak manusia yang utuh. Dan itu bukan sekadar kegagalan akademik, tapi moral💔
No comment yet, add your voice below!