Berapa Harga Jaket Almamatermu?

Pernah lihat konten “Berapa Harga Jaket Almamatermu?

Fenomena ini hanyalah permukaan dari masalah yang lebih serius. Sebagian kampus memilih jalan pintas: menjual kursi kuliah dengan harga selangit. Seleksi akademik yang mestinya jadi pintu utama, tergeser oleh daya beli orang tua. Akibatnya, masuk universitas tidak lagi ditentukan oleh kecerdasan & kerja keras, melainkan oleh kemampuan finansial.

Dampaknya tidak berhenti pada level individu. Motivasi belajar mahasiswa baru bisa luntur karena merasa akses mereka sudah “dibeli.” Prinsip meritokrasi tergerus, reputasi akademik melemah & dalam jangka panjang kualitas SDM bangsa ikut terancam. Pendidikan tinggi yang semestinya jadi jalan mobilitas sosial justru berisiko memperlebar jurang ketidakadilan & menurunkan kepercayaan publik. Solusi tidak bisa berhenti pada diversifikasi pemasukan. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: universitas harus bertransformasi dari lembaga yang menjual kursi menjadi ekosistem pencipta nilai.

Pendapatan universitas tidak pantas lagi diperlakukan sebagai “pos pemasukan,” melainkan sebagai efek samping dari mesin pencipta nilai. Kampus yang sibuk menghitung uang pangkal. Universitas sejati justru bekerja dengan mencetak valuta pengetahuan: teknologi yang dipakai industri, solusi yang memperbaiki kota, gagasan yang menyehatkan demokrasi, hingga gerakan sosial yang mengubah wajah masyarakat. Dukungan finansial akan datang dengan sendirinya ketika ia konsisten menumbuhkan solusi, gagasan & manusia pembawa perubahan.Uang menjadi konsekuensi logis dari relevansi & kebermanfaatan, bukan tujuan utama yang dipaksa lewat harga kursi kuliah.

MIT atau NUS misalnya, memperlihatkan bahwa kekuatan mereka bukan dari uang pangkal, tapi dari inovasi & relevansi. Indonesia pun punya potensi serupa, jika berani menggeser mindset. Universitas yang visioner tidak menjadikan kursi kuliah sbg komoditas. Mereka bersaing dalam menghasilkan inovasi, pengetahuan & dampak sosial. Jaket almamater mestinya melambangkan perjuangan intelektual, bukan harga. Karena itu, komitmen baru perlu ditagih bukan hanya dari kampus, tapi juga dari pemerintah, mahasiswa, alumni & masyarakat luas.

Tag Univ kamu!

Presentasi Inovasi Yang Efektif

Kalau kita bicara tentang presentasi inovasi, banyak orang langsung membayangkan slide yang penuh angka, grafik, dan kata-kata keren. Padahal, inti dari sebuah presentasi bukanlah seberapa canggih desainnya, melainkan seberapa dalam ia bisa menyentuh pikiran dan hati audiens. Di banyak kompetisi atau forum strategis, saya melihat satu hal yang membedakan pemenang dan yang biasa-biasa saja: kemampuannya menceritakan perjalanan ide menjadi solusi, dan membuat pendengar merasa ikut “memiliki” masalah yang sedang dipecahkan.

Di banyak organisasi, inovasi bukanlah sekadar mencari solusi teknis. Kita bicara tentang bagaimana ide itu lahir dari kenyataan di lapangan, bertemu dengan kebutuhan pelanggan, lalu diolah bersama tim hingga menjadi terobosan yang nyata. Presentasi menjadi panggung untuk membuktikan bahwa ide kita tidak hanya “pantas didengar”, tapi juga “pantas didukung” dan “pantas dijalankan”. Ini adalah momen untuk menunjukkan bahwa inovasi kita punya napas, punya nyawa, dan punya arah yang jelas.

Sayangnya, sering kali presentasi berhenti di level “menjelaskan” tanpa benar-benar “mengajak”. Padahal audiens, baik itu juri, manajemen, atau mitra, tidak hanya ingin tahu apa inovasinya, tapi juga kenapa mereka harus percaya dan bagaimana mereka bisa ikut mendorongnya maju. Di titik ini, presentasi bukan lagi sekadar alat komunikasi, tapi alat untuk membangun aliansi, dukungan, dan bahkan komitmen jangka panjang terhadap inovasi yang kita usung.

Itulah kenapa kita perlu menguasainya bukan sekadar untuk mengasah kemampuan teknis membuat slide, tetapi juga untuk melatih keterampilan bercerita yang relevan, mengalir, dan berdampak. Belajar membedah presentasi inovasi sebagai perpaduan antara data, narasi, dan emosi, tiga unsur yang jika berpadu dengan tepat, akan membuat audiens tidak hanya mengerti, tapi juga percaya dan tergerak. Sebab pada akhirnya, inovasi yang hebat butuh cerita yang hebat untuk menggerakkannya.

Siapa nih yang mau belajar bikin presentasi inovasi yang efektif? belajar bareng yuk!

Dari Donor ke Kemandirian: Merayakan Lompatan Peran NGO

Dari Donor ke Kemandirian:
Merayakan Lompatan Peran NGO

Banyak NGO telah membuktikan diri sebagai penggerak perubahan sosial yang nyata, dengan dukungan para donor yang penuh kepercayaan. Hibah telah menjadi energi yang menghidupkan program, menginspirasi masyarakat, dan membawa dampak positif yang tak terhitung. Kini, kita berada di titik baru: kesempatan untuk melangkah lebih jauh, membangun kemandirian agar kiprah kita semakin kokoh dan berjangka panjang.

Kita memiliki aset yang luar biasa: jaringan yang luas, reputasi yang kuat, dan kepercayaan stakeholder yang telah dipupuk bertahun-tahun. Semua modal ini adalah landasan yang sempurna untuk menciptakan sumber pendanaan beragam, memperluas inovasi, dan memperkuat posisi kita sebagai pemimpin agenda perubahan. Kemandirian membuka ruang untuk kita mengarahkan visi tanpa batas, sambil tetap menjalin hubungan harmonis dengan para mitra donor.

Transformasi menuju kemandirian adalah perjalanan pertumbuhan. Ini bukan sekadar mengganti sumber dana, melainkan memperkaya kapasitas organisasi, membangun tim yang adaptif, menguatkan struktur, dan menumbuhkan budaya kolaborasi yang terus berkembang. Dengan langkah ini, kita tidak lagi hanya menunggu peluang, tetapi aktif menciptakannya.

Hibah akan tetap menjadi sahabat yang berharga, tetapi perannya bergeser menjadi pemicu lompatan, bukan satu-satunya penopang. Dengan model keberlanjutan yang seimbang antara misi sosial dan kekuatan finansial, kita memastikan organisasi mampu melangkah jauh ke depan. Saatnya kita merayakan peran baru: bukan hanya pelaksana, tetapi penggagas dan pengarah perubahan. Masa depan NGO yang tangguh ada di sini, dimulai dari kita, hari ini🎉

Diversity tanpa strategi = drama tanpa akhir.

Diversity tanpa strategi = drama tanpa akhir.

Kita sering mengagungkan keberagaman tim seolah itu tiket pasti menuju kinerja tinggi. Padahal, faktanya tidak sesederhana itu. Riset meta-analisis oleh Stahl, Maznevski, Jonsen, & Voigt (2009) membuktikan: keberagaman hanyalah bahan mentah, bukan jaminan hasil. Tim beragam bisa jadi sumber inovasi luar biasa, tapi bisa juga menjadi ladang drama, konflik, dan kegagalan. Ibarat dapur dengan banyak koki, kalau resepnya tidak disepakati, yang keluar bukan masakan istimewa, tapi kekacauan.

Masalahnya, banyak pemimpin terjebak euforia “punya tim beragam” tanpa sadar bahwa perbedaan yang tak dikelola akan meledak di wajah mereka. Perbedaan cara kerja, nilai, dan prioritas (deep-level diversity) bisa memicu task conflict yang sehat, tapi lebih sering berubah jadi relationship conflict yang menghancurkan kohesi (Jehn, 1995). Horwitz & Horwitz (2007) menambahkan, tanpa mekanisme kolaborasi yang jelas, keberagaman justru memperlambat kerja. Apalagi jika faktor-faktor seperti jumlah anggota yang terlalu besar, tugas yang rumit, dan durasi kebersamaan yang singkat tidak diantisipasi (Stahl et al., 2009).

Kekuatan keberagaman baru terasa ketika diarahkan untuk memecahkan masalah kompleks yang menuntut perspektif multi-disiplin (van Knippenberg, De Dreu, & Homan, 2004). Di sini, perbedaan bukan sekadar identitas di permukaan (surface-level diversity), tetapi juga cara berpikir, nilai, dan pengalaman yang saling melengkapi. Namun, semua itu sia-sia tanpa kepemimpinan inklusif (Nishii, 2013), struktur yang jelas, dan psychological safety yang membuat semua orang berani bicara, bahkan jika pendapatnya bertentangan dengan mayoritas.

Jadi, mari berhenti membanggakan “tim beragam” hanya karena foto tim terlihat penuh warna. Keberagaman yang tidak dikelola adalah liabilitas, bukan aset. Pemimpin sejati bukan hanya mengumpulkan perbedaan, tapi mengorkestrasinya menjadi kekuatan yang terukur. Pertanyaannya: apakah tim kamu benar-benar memanfaatkan keberagaman untuk menang, atau sekadar memamerkannya demi citra?

Pitching with purpose

Banyak orang mengira pitching itu soal jualan ide secepat dan sejelas mungkin. Padahal, riset menunjukkan audiens jarang mengingat detail teknis, tapi selalu ingat alasan kenapa sesuatu penting buat mereka (Heath & Heath, Made to Stick, 2007). Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana perhatian jadi komoditas langka (Davenport & Beck, 2001), pitch kita harus punya satu misi: bikin kita peduli dulu, baru paham. Kalau kita belum merasa ini urusan kita, sebaik apapun idenya, kemungkinan besar akan lewat begitu saja.

Kesalahan paling sering adalah terjebak di fitur. Produk kami punya ini, sistem kami bisa itu. Sayangnya, kita tidak membeli fitur; kita membeli solusi untuk rasa sakit kita. Eric Ries dalam The Lean Startup (2011) menekankan bahwa solusi harus divalidasi oleh masalah nyata, bukan asumsi. Pitch yang berorientasi tujuan mengubah narasi dari “Kami punya teknologi hebat” menjadi “Inilah cara kita menghapus masalah yang bikin pusing selama ini, dengan cara yang belum pernah ada.” Begitu kita merasa masalahnya disentuh, koneksi emosional mulai terbentuk, dan itu yang bikin pitch hidup.

Masalahnya, koneksi emosional saja belum cukup. Di tahap berikutnya, kita harus bicara dengan bahasa dampak. Cialdini (2016) di Pre-Suasion bilang, otak manusia lebih cepat percaya kalau ada bukti nyata dan proyeksi hasil yang bisa diukur. Artinya, jangan berhenti di klaim. Tunjukkan data: berapa jam yang dihemat, berapa biaya yang dipotong, berapa kecelakaan yang bisa dihindari, atau berapa peluang baru yang tercipta. Tanpa angka, klaim kita hanya terdengar seperti harapan; dengan angka, ia berubah jadi janji yang punya bobot.

Terakhir, jangan lupa bikin kita merasa jadi bagian dari cerita. Seth Godin (2018) dalam This Is Marketing menyebutnya people like us do things like this, membuat kita merasa terlibat, bukan cuma nonton. Penutup pitch harus jadi undangan yang spesifik, bukan sekadar “kami butuh dukungan”, tapi “dengan ikut di sini, kita akan mengubah cara kita mengelola X untuk jutaan orang”. Kalau pitch punya tujuan yang jelas dan mengajak kita untuk bergerak, bukan cuma menang di kompetisi, tapi juga menciptakan gerakan.

Pitching with purpose @plnip.ubppriok ✨

Ekosistem Yang Saling Menguatkan

Setiap langkah kecil yang dilakukan bersama dapat membuka pintu kebaikan yang tak terduga. Sering kali, perubahan besar bermula dari niat tulus dan tindakan sederhana, sebuah percakapan, pelatihan, atau kesempatan yang memberi harapan. Ketika satu pintu kebaikan terbuka hari ini, ia membawa potensi untuk mengubah arah hidup seseorang, bahkan mengangkat sebuah keluarga dari belenggu ketidakberdayaan.

Kemiskinan tidak hanya tentang kekurangan materi, tetapi juga tentang terbatasnya akses, kesempatan, dan rasa percaya diri untuk tumbuh. Maka, setiap upaya untuk menciptakan ruang belajar, memperluas jaringan, atau menumbuhkan semangat berbagi, adalah bagian penting dari memutus rantai kemiskinan yang diwariskan secara sistemik. Kebaikan yang dibangun bersama mampu menjadi penawar atas ketimpangan yang selama ini dianggap biasa.

Gerakan membuka pintu kebaikan bukanlah tugas satu orang atau satu lembaga, melainkan panggilan kolektif. Ketika individu, komunitas, dan berbagai pihak berjalan bersama dalam semangat kolaborasi, maka terbentuklah ekosistem yang saling menguatkan. Dari sinilah lahir perubahan, bukan dari kekuatan besar, tapi dari kebersamaan yang konsisten dan berakar pada niat baik.

Karena itu, percaya bahwa satu langkah kebaikan yang dilakukan hari ini, sekecil apa pun, bisa menjadi awal dari tertutupnya seribu pintu kemiskinan di masa depan. Setiap orang punya peran, setiap langkah punya arti. Kebaikan yang tumbuh hari ini adalah investasi terbaik bagi masa depan yang lebih adil dan penuh harapan.

For every step we walk together, The Local Enablers seeks to be the witness that one door of goodness opened today can shut a thousand doors of poverty tomorrow.

@thelocalenablers x @pesantrenpetik

Ruang-Ruang Pertemanan

Banyak usaha rintisan di kalangan anak muda dibangun dari ruang-ruang pertemanan. Dari tongkrongan warung kopi, komunitas kampus, hingga percakapan larut malam tentang mimpi besar, lahirlah inisiatif kolektif untuk membangun sesuatu bersama. Energinya bukan semata-mata kapital atau struktur, tetapi kepercayaan.

Dalam fase awal, rasa saling percaya seringkali menggantikan kontrak formal. Namun seiring waktu, tidak semua yang tumbuh bersama memilih bertahan bersama. Justru dalam ekosistem semacam inilah sering terjadi kasus paling menyakitkan: sahabat yang diberdayakan dalam organisasi justru menjadi aktor utama kehancurannya.

Fenomena ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai “kompetisi biasa”. Ketika seseorang memanfaatkan relasi personal untuk memperoleh akses, mengambil sumber daya internal (seperti tim, jaringan, data), dan membangun usaha tandingan dengan model yang nyaris identik, ini bukan sekadar divergensi strategi, melainkan pelanggaran terhadap integritas dan rasa keadilan kolektif.

Dalam teori pertukaran sosial (Blau, 1964), relasi yang sehat dibangun di atas asas resiprositas. Jika relasi itu berubah menjadi eksploitatif, maka mempertahankan istilah “pertemanan” justru memperpanjang distorsi moral yang seharusnya disudahi.

Secara psikologis, pengkhianatan dari orang yang dekat bukan hanya menyakitkan, ia mengguncang orientasi moral organisasi. Disonansi kognitif muncul ketika individu atau tim menyaksikan ketimpangan antara nilai yang diklaim (loyalitas, kepercayaan, solidaritas) dan tindakan yang bertolak belakang.

Etika relasional (Held, 2006) mengingatkan kita bahwa hubungan yang sehat bukan hanya tentang masa lalu bersama, tetapi tentang kesediaan untuk menjaga nilai bersama ke depan. Di titik ini, organisasi tidak boleh ragu untuk menegaskan batas: siapa yang masih satu visi, siapa yang cukup dikenang saja.

Dalam iklim kolaborasi masa kini yang cair dan penuh dinamika, profesionalisme ditunjukkan melalui keberanian untuk menjaga nilai, membangun mimpi tidak sekadar menjaga nostalgia masa lalu, memastikan melesat bersama dengan nilai yang sama🚀

Invensi dan Inovasi

Hari ini mendampingi kawan-kawan PLN Jawa Barat, para inovator yang bersiap melaju ke tingkat nasional. Dalam sesi ini, saya menekankan bahwa inovasi tidak lahir dari kebetulan semata. Memang, ide bisa muncul tiba-tiba seperti wangsit, tapi yang lebih penting adalah memiliki pola pikir yang terstruktur agar ide bisa terus dihasilkan secara berkelanjutan. Inilah bedanya antara idea popping dan idea generating. Kreativitas bukan soal hasil akhir, tapi soal cara berpikir, berawal dari pengalaman langsung (experiencing), kemudian menghasilkan insight, dan akhirnya membentuk foresight sebagai solusi.

Kita juga perlu membedakan antara invensi dan inovasi. Invensi cukup dengan hal yang baru, sedangkan inovasi menuntut validasi: apakah pengguna benar-benar merasakan manfaatnya? Inovasi yang baik harus terbukti bermanfaat dan relevan. Namun itu belum cukup. Produk yang bagus bisa menjadi mahal jika tidak didukung model bisnis yang tepat. Dalam pendekatan yang berpusat pada tujuan dan pengguna, produk yang baik seharusnya tetap terjangkau. Di sinilah pentingnya memperbaiki model bisnis agar nilai dan akses bisa berjalan beriringan.

Model bisnis yang kuat memungkinkan kita menurunkan biaya, meningkatkan nilai, dan menciptakan beragam sumber pendapatan yang menopang keberlanjutan. Tujuan utamanya bukan mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tetapi memastikan bisnis tetap bertahan dan terus memberi manfaat dalam jangka panjang. Bisnis yang baik bukan yang terkaya, tetapi yang paling bertahan dan berdampak.

Agar manfaatnya meluas secara eksponensial, model bisnis harus terbuka terhadap kolaborasi lintas sektor, bahkan dengan pihak yang berbeda arah sekalipun. Kolaborasi radikal semacam ini akan melahirkan ekosistem yang saling menguatkan, memperbesar dampak, dan mendorong keberlanjutan. Itulah semangat utama dalam sesi pendampingan hari ini: membangun inovasi yang tidak hanya brilian, tapi juga berdampak dan bertahan lama melalui model bisnis dan kolaborasi yang tepat.

Selamat melesatkan kebermanfaatan @pln_jabar 🚀

Insan Pembuka Pintu Kebaikan & Penutup Pintu Keburukan

Ada manusia yang kehadirannya membuka jalan bagi cahaya, menenangkan dalam perkataan, menguatkan dalam tindakan, dan menuntun dalam diamnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Dan di antara manusia ada pula yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan…” (HR. Ibnu Majah). Pertanyaannya bagi kita bukan sekadar “siapa mereka?”, tapi lebih dalam: “apakah hari ini aku menjadi salah satunya?”

Kebaikan tidak selalu hadir dalam bentuk besar atau dramatis. Ia bisa tampak saat kita memberi peluang kerja kepada teman yang sedang kesulitan, membela seseorang yang diperlakukan tidak adil, atau sekadar memperkenalkan dua orang yang akhirnya saling menolong. Kadang kita lupa bahwa menjadi penghubung, penguat, atau penyambung informasi pun bisa membuka jalan-jalan baru yang berdampak nyata. Kebaikan tumbuh dari kepekaan, bukan dari sorotan.

Namun, yang sering luput dari kesadaran kita adalah bahwa membiarkan keburukan berjalan juga bagian dari peran. Ketika kita tahu ada yang salah, tapi memilih diam karena tak ingin repot. Ketika kita mampu mencegah, tapi enggan melangkah karena tidak nyaman. Sikap pasif itu bukan tanpa akibat, ia bisa menjadi pupuk bagi tumbuhnya kemungkaran. Diam yang membiarkan bisa jadi lebih tajam dari kata-kata yang menyesatkan.

Maka doa paling penting hari ini mungkin bukan lagi soal rezeki atau pencapaian. Tapi: “Ya Allah, jadikan aku kunci pembuka bagi kebaikan dan penutup bagi keburukan.” Sebab pada akhirnya, keberkahan hidup tak diukur dari seberapa besar panggung yang kita pijak, tapi dari seberapa banyak pintu kebaikan yang terbuka lewat keberadaan kita, meski dalam langkah-langkah yang sunyi.

Selamat menebar kebaikan!🚀

Niat Tulus Untuk Kembali Membangun Kampung Halaman

Pagi ini, di ruang sidang kami, hadir sebuah skripsi yang tak hanya memuat teori dan metodologi, tapi juga niat tulus untuk kembali membangun kampung halaman. Mahasiswa ini tumbuh di Binongjati, kawasan yang dulu dikenal sebagai sentra rajut rumahan yang hidup dan produktif. Ia menyaksikan langsung bagaimana perubahan zaman membuat geliat ekonomi di lingkungannya perlahan meredup. Namun alih-alih berpaling, ia memilih kembali, membawa ilmu dan semangat baru untuk menghidupkan kembali potensi yang sempat terlupakan.

Lewat Be-Fair-Trade-Knit, ia merancang model bisnis sosial berbasis keperantaraan, menghubungkan para perajut lokal dengan pasar yang lebih luas dan berkeadilan. Ia percaya bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang tumbuh bersama. Produk-produk rajutan yang sebelumnya bernilai rendah di pasar lokal kini bisa memiliki harga yang lebih layak, dengan pembagian keuntungan yang adil dan transparan. Inisiatif ini bukan semata bisnis, melainkan upaya membangun ekosistem baru yang memberi ruang bagi para pelaku lokal untuk kembali berdaya.

Warga Binongjati memiliki kekuatan yang luar biasa, dalam keterampilan, semangat, dan daya tahan. Yang mereka butuhkan adalah jembatan, ruang kolaborasi, dan sistem yang berpihak. Skripsi ini menjadi salah satu upaya ke arah itu. Ia tidak datang dengan janji-janji besar, tapi dengan langkah nyata: merajut kembali koneksi antara komunitas, pasar, dan nilai-nilai keberlanjutan. Ini adalah bentuk kontribusi yang lahir dari kedekatan, bukan dari jarak. Dan justru karena itu, punya peluang untuk tumbuh kuat dari dalam.

Apa yang kami saksikan pagi ini adalah awal dari perjalanan yang menjanjikan. Ketika ilmu yang dipelajari di bangku kuliah dipadukan dengan kepedulian terhadap lingkungan asal, maka lahirlah inisiatif-inisiatif yang berdampak. Bukan sekadar untuk menyelesaikan studi, tapi untuk membuka jalan baru bagi banyak orang. Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa kembali membangun kampung bukan langkah mundur, melainkan lompatan menuju masa depan yang lebih adil dan bermakna.

Dibimbing bersama @galihsedayu