Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ketika merenungi hakikat penciptaan manusia, kita diingatkan bahwa asal kita begitu sederhana, dari tanah, lalu dari setetes air yang lemah, hingga Allah tumbuhkan menjadi kehidupan yang sempurna. Dari proses yang terlihat kecil dan rapuh itu, justru lahir kemuliaan, sebab Allah meniupkan ruh-Nya dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang diberi amanah. Kehadiran putri kedua kami menjadi pengingat nyata, bahwa setiap anak adalah karunia dan bukti kasih sayang Allah yang begitu teliti dan penuh hikmah.

Perjalanan hidup ini adalah rangkaian yang Allah tetapkan: dari bayi yang mungil, tumbuh menjadi dewasa, lalu melemah, dan akhirnya kembali kepada-Nya. Maka kelahiran bukan hanya kabar gembira, melainkan juga awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan berakhir di hadapan Sang Pencipta. Aqiqah hari ini kami maknai sebagai penanda rasa syukur, bahwa Allah berkenan menambahkan amanah baru dalam keluarga kami.

Di sisi lain, Allah pun mengingatkan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan yang luhur, yakni beribadah, bersyukur, dan menjadi khalifah yang membawa kebaikan. Maka setiap anak adalah titipan yang harus dibimbing agar mengenal Tuhannya dan tumbuh dengan akhlak yang mulia. Doa kami, semoga putri ini tumbuh dalam cinta dan ketaatan, menjadi cahaya kebaikan bagi keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

Dan kami sadar, manusia penuh kelemahan, mudah gelisah, lalai, bahkan lupa bersyukur. Karena itu, kelahiran ini juga menjadi cermin bagi kami sebagai orang tua, bahwa amanah membesarkan anak tidak ringan, dan hanya dengan pertolongan Allah kami bisa menjalaninya. Semoga aqiqah ini menjadi saksi syukur kami, serta tekad untuk menjaga titipan Allah dengan sabar, ikhlas, dan penuh pengabdian.

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ngga semua harus jadi startup;)

Ngga semua harus jadi startup;)

Membangun usaha berbasis purpose memang tidak mudah, terutama di tengah ekosistem bisnis yang masih sangat terikat pada logika profit maximization. Budaya startup sering kali identik dengan cash burning dan obsesi valuasi, sehingga keberhasilan diukur semata-mata dari pertumbuhan finansial jangka pendek. Padahal, konteks global menunjukkan tren baru menuju hybrid business model yang menyeimbangkan keuntungan dengan keberlanjutan. Di Indonesia sendiri, urgensi itu semakin nyata: krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kebutuhan akan keberlanjutan menuntut hadirnya model bisnis yang melampaui sekadar profit.

Dalam lanskap ini, social startup muncul sebagai pilihan strategis. Alih-alih mengejar pertumbuhan dengan segala cara, model ini menempatkan purpose, visi sosial, ekologis, atau pendidikan sebagai inti gerakan. Kita bisa melihat contohnya pada Jejak.in yang memanfaatkan teknologi untuk reboisasi, atau Kitabisa yang menjadi platform gotong royong digital. Dampak yang mereka hasilkan tidak selalu terukur dalam valuasi finansial, tetapi dirasakan nyata oleh masyarakat. Social startup dengan demikian bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan bagian dari transformasi sosial yang menjawab tantangan zaman.

Namun, jalur kewirausahaan tidak berhenti pada pilihan mendirikan startup. Banyak individu memilih menjadi problem solver independen, bekerja lintas komunitas tanpa harus memiliki struktur formal. Dengan entrepreneurial mindset dan kemampuan merancang solusi, mereka tetap terhubung dalam ekosistem yang lebih luas. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan effectuation: berangkat dari sumber daya yang ada, berani bereksperimen, dan berkolaborasi untuk menghadirkan solusi nyata. Pada akhirnya, baik melalui startup profit, social startup, maupun problem solver independen seperti pada ekosistem @youngimpactgenerator , kuncinya sama: menyeimbangkan profit dengan purpose, agar usaha yang dibangun tidak sekadar hidup sebentar, tetapi memberi keberlanjutan dan kebermanfaatan nyata bagi masyarakat❤️

Langit dan Lintang

Allah menitipkan kepada kami dua amanah terindah. Yang pertama, kami menamainya Langit Kalyanatara Amara, sebuah pengingat tauhid, bahwa Allah Maha Tinggi, berada di atas Ar-Rasy, mengatur seluruh semesta tanpa pernah lengah. Dari Langit, kami belajar tentang keluasan doa, kelapangan harapan, dan keagungan Sang Pencipta yang setiap hari mengajarkan kami untuk selalu menengadah kepada-Nya.

Lalu, Allah menyempurnakan kisah itu dengan menghadirkan Lintang Kinanthi Hanania, gugusan bintang sebagaimana disebut dalam Surah Al-Burūj. Bintang-bintang yang bertaburan bukan sekadar hiasan malam, melainkan tanda kebesaran Allah, penuntun arah, dan cahaya yang menenangkan. Lintang adalah simbol petunjuk, pengingat bahwa dalam gelap sekalipun Allah selalu memberikan sinar.

Kini, di rumah kecil kami bersemayam dua cahaya: Langit dan Lintang. Keduanya adalah pelita hati, penguat doa, dan jalan untuk semakin dekat dengan kasih sayang Allah. Semoga Langit tumbuh setegar cakrawala dan Lintang bercahaya seterang bintang, bersama-sama menebar kebaikan, menjaga iman, dan menjadi perempuan shalihah yang kelak mengantarkan kami menuju ridha-Nya.

Seperti keluasan langit dan cahaya bintang, semoga keduanya selalu terjaga dalam rahmat Allah, tumbuh dengan iman, dan bersinar sebagai penebar kebaikan di bumi. Aamiin Ya Rabbalalamiin.

Mengapa Inovator Sering Kalah Suara?

Mengapa Inovator Sering Kalah Suara?

Menjadi inovator dalam organisasi berarti siap menanggung risiko yang sering tidak terlihat. Rogers (2003) menegaskan inovator adalah minoritas berani, tetapi dalam organisasi mereka kerap dianggap “bikin ribet.” Hasil yang belum pasti membuat atasan dan kolega memilih cara lama yang terasa aman. Heidenreich & Spieth (2013) menyebutnya innovation resistance: penolakan ide baru hanya karena dianggap mengganggu kenyamanan kerja.

Lebih tajam lagi, inovasi sering bertabrakan dengan struktur kekuasaan. Bourdieu (1993) melihat organisasi sebagai arena perebutan modal sosial dan politik. Gagasan baru memicu resistensi dari mereka yang sudah nyaman dengan status quo. Realitanya jelas terlihat di birokrasi: anak muda yang menawarkan sistem baru ditolak senior dengan alasan “cara lama sudah cukup.” Kegagalan inovasi di sini bukan soal kualitas ide, tetapi soal benturan kepentingan.

Risiko lain adalah psikologis. Edmondson (2019) menekankan pentingnya psychological safety, namun banyak organisasi justru menciptakan kultur takut. Inovator dicemooh sebagai idealis atau pembangkang, hingga memilih diam. Banyak ide mati bukan karena tidak relevan, tetapi karena organisasi menutup ruang keberanian untuk mencoba.

Terakhir, ada risiko innovation misfit: ide muncul lebih cepat daripada kesiapan organisasi. Christensen (1997) menyebut kegagalan sering terjadi bukan karena ide salah, melainkan karena timing buruk. Contohnya, seseorang yang mengusulkan cara kerja lebih lincah, misalnya, sering dianggap “tidak paham prosedur” sehingga terintimidasi untuk kembali mengikuti pola lama. Ide benar bisa mati jika konteks, kesiapan, dan koalisi tidak dibangun sejak awal. Inilah tamparan terkeras bagi organisasi: kebenaran gagasan tidak ada artinya tanpa kesiapan sistem.

Masih semangat kan bawa perubahan?🎉

Jangan cuma jadi kreatif, Tapi tularkan juga cara jadi kreatifnya🎉

Jangan cuma jadi kreatif,
Tapi tularkan juga cara jadi kreatifnya🎉

Seorang pemimpin sering kali dinilai dari kemampuan melahirkan ide-ide brilian atau solusi yang inovatif. Padahal, ukuran kepemimpinan sejati bukan hanya pada hasil terobosannya, tapi pada kemampuannya menularkan cara berpikir. Bass (1990) lewat teori transformational leadership menekankan bahwa pemimpin yang kuat adalah mereka yang mampu menginspirasi, menanamkan nilai, lalu mengubah pola pikir itu menjadi perilaku kolektif. Dengan begitu, kreativitas tidak berhenti pada sosok pemimpin, tapi hidup dalam organisasi.

Kita bisa melihat banyak contoh organisasi yang terlalu bergantung pada satu figur. Selama ia ada, inovasi berjalan, tapi ketika ia pergi, semuanya berhenti. Edgar Schein (2010) sudah lama mengingatkan bahwa budaya hanya terbentuk jika nilai dan mindset pemimpin ditransfer ke dalam sistem dan perilaku sehari-hari. Kalau tidak, semua inovasi akan lenyap bersama kepergian pemimpinnya.

Itulah mengapa peran pemimpin bukan hanya sebagai problem solver, tapi juga sebagai mindset shaper. Argyris dan Schön (1996) menyebutnya sebagai organizational learning, proses ketika pola pikir reflektif dan adaptif menjadi kebiasaan seluruh anggota, bukan hanya pemimpinnya. Jika hal ini tercapai, organisasi akan tetap kreatif, adaptif, dan mampu berinovasi bahkan tanpa kehadiran sang pemimpin di garis depan.

Akhirnya, warisan terbesar seorang pemimpin bukan sekadar daftar solusi atau inovasi yang pernah ia buat. Lebih dari itu, warisan sejati adalah pola pikir kreatif yang menular, budaya inovatif yang tertanam, dan organisasi yang terus bertumbuh dengan daya hidupnya sendiri. Dengan cara inilah kepemimpinan meninggalkan jejak yang berkelanjutan, mandiri, berdaya, dan siap menjawab tantangan zaman.

Jangan kerja teruuuus. Sisakan ruang berinovasi

Di dalam organisasi yang ingin berkembang lewat inovasi, masalah sering kali bukan hanya soal banyaknya pekerjaan, tetapi cara setiap orang mengelola dirinya. Banyak yang akhirnya tenggelam dalam beban kerja berlebih karena tidak pandai memilah prioritas atau enggan berkata tidak pada tugas tambahan. Padahal, energi yang mestinya bisa dipakai untuk eksplorasi dan berpikir kreatif justru habis untuk menyelesaikan rutinitas. Seperti kata Drucker, inti profesionalisme bukan sekadar rajin bekerja, tapi tahu apa yang paling penting untuk difokuskan.

Akibatnya, organisasi tampak sibuk dari luar: rapat padat, laporan menumpuk, dan proyek berjalan. Namun, jika dilihat lebih dalam, inovasi sering macet. Fenomena ini mirip dengan yang disebut Peter Senge sebagai activity trap, terjebak dalam kesibukan tanpa ada pembaruan berarti. Dalam skala organisasi, jebakan ini membuat energi kolektif hanya berputar pada rutinitas, bukan pada penciptaan nilai baru.

Untuk keluar dari jebakan itu, organisasi butuh memberi ruang. Inovasi hanya lahir ketika ada kelonggaran waktu, kapasitas mental, dan keberanian mencoba. Nohria dan Gulati menyebutnya slack resources, ruang longgar yang justru menjadi bahan bakar kreativitas. Praktiknya bisa berupa memberi keleluasaan untuk proyek lintas fungsi, eksperimen kecil, atau forum reflektif yang menantang pola lama. Dengan cara ini, energi kerja tidak habis tersedot rutinitas semata, tapi berubah menjadi peluang pembelajaran dan penciptaan hal baru.

Karena itu, menerima semua pekerjaan tanpa batas bukanlah tanda loyalitas, melainkan kelemahan dalam budaya organisasi. Organisasi yang benar-benar ingin inovatif harus membangun sikap berani memilih, berani menolak yang tidak relevan, dan bijak menjaga ruang eksplorasi. Bila hal ini menjadi kebiasaan bersama, kesibukan tidak lagi berhenti pada lelah, tapi berubah menjadi energi pertumbuhan yang membuat organisasi bukan hanya efisien, melainkan juga adaptif dan inovatif.

Jangan kerja teruuuus. Sisakan ruang berinovasi🎉

For The Next 20 Years

For The Next 20 Years;

Di balik setiap institusi pendidikan yang unggul, ada ekosistem yang tumbuh bukan hanya dari prestasi individu, tetapi dari kolaborasi lintas generasi, dari keberanian untuk bermimpi lebih jauh, dan dari kesediaan untuk saling menumbuhkan. Inilah semangat utama yang mendorong kami merancang rangkaian program dies kali ini bukanlah sekadar perayaan, tetapi sebuah ikhtiar kolektif untuk membuka ruang-ruang inklusif bagi setiap lapisan sivitas akademika, dosen muda, dosen senior, mahasiswa, alumni, hingga mitra, agar bisa bergerak bersama menyongsong 20 tahun ke depan dengan arah yang lebih jelas, berdampak, dan manusiawi.

Program ini lahir dari keyakinan bahwa semua orang memiliki potensi untuk menjadi penggerak perubahan, asalkan diberi ruang yang aman dan kesempatan yang setara. “20 Next Professors” kami rancang bukan hanya untuk mengejar jabatan akademik, tetapi untuk menciptakan ekosistem saling dukung menuju kemajuan bersama. “20 Dosen Berdampak” dan “20 Gagasan Dosen Muda” hadir untuk membuktikan bahwa ide, keberpihakan, dan kontribusi sosial harus berjalan beriringan. Sementara “20 Under 20” dan “Student Impact Projects” menjadi wujud investasi kami pada benih-benih perubahan: para pemuda yang tidak hanya cerdas, tetapi juga peduli dan siap mengambil peran.

Kami memilih merancang program ini secara inklusif karena percaya bahwa perubahan sejati tidak bisa dibangun oleh segelintir orang di ruang tertutup. Ia lahir dari gotong royong lintas batas, usia, jabatan, disiplin ilmu, bahkan latar sosial. Melalui “20 Alumni Berdampak”, “Collaboration & Impact Gallery”, hingga “Cross-Generation Projects”, kami ingin menjahit kembali jejaring antar generasi dan membangun panggung bersama, bukan podium tunggal.

Inilah cara kami menghidupkan nilai-nilai Universitas Padjadjaran: unggul, inklusif, dan berdampak. Sebab pendidikan yang hanya merayakan prestasi, tanpa memberi ruang untuk berbagi mimpi dan bertumbuh bersama, hanyalah monumen kaku berujung pada semakin menjulangnya menara gading. 20 tahun semakin bermanfaat.

Konsistensi Lebih Penting Daripada Kerja Keras Sesaat

Banyak organisasi tampak sibuk, padahal hanya menunda kemundurannya. Rapat demi rapat, proyek demi proyek, target jangka pendek dikejar dengan nafas tersengal. Tanpa mindset yang benar dan kebiasaan kecil yang konsisten, semua itu hanyalah fatamorgana produktivitas. Organisasi bisa tampak hidup, padahal sekarat pelan-pelan, diperbudak rutinitas tanpa arah jangka panjang.

Drucker (1963) sudah mengingatkan: “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Sibuk bukanlah tanda kemajuan. Lebih parah lagi, budaya komunikasi sering jadi racun. Tim hanya bicara saat masalah meledak, selebihnya memilih diam. Padahal diam membunuh ide sebelum lahir.

Edmondson (1999) menyebut psychological safety sebagai syarat dasar inovasi, namun mayoritas organisasi masih terjebak pola pikir pendek. Akibatnya, tumbuh melebar tapi rapuh, mudah runtuh ketika diguncang. Collins (2001) menegaskan: organisasi besar bertahan bukan karena ekspansi cepat, melainkan karena disiplin membangun fondasi.

Titik buta lain adalah keuangan dan rekrutmen. Banyak organisasi mati bukan karena ide buruk, melainkan karena uang habis tanpa ada yang sadar. Literasi kas dianggap urusan segelintir orang, padahal harus jadi tanggung jawab kolektif. Kaplan & Norton (1996) mengingatkan, keputusan strategis wajib berbasis data, bukan intuisi. Begitu juga rekrutmen: merekrut dari lingkaran sendiri memang nyaman, tapi itu candu yang membunuh regenerasi. Barney (1991) menegaskan, keunggulan hanya bertahan bila organisasi berani memperbarui talenta, bukan mengulang pola yang sama.

Kesimpulannya: konsistensi lebih penting daripada kerja keras sesaat. Organisasi ngga butuh pahlawan serba bisa, melainkan tim yang tumbuh bersama.

Jika gagal menyeimbangkan jangka pendek dan panjang, serta menutup diri pada regenerasi, kita hanya akan jadi catatan kaki sejarah. Namun bila berani membangun ekosistem lintas generasi, barulah kita layak bicara tentang warisan.

Senge (1990) mengingatkan: hanya organisasi yang belajar bersama yang mampu bertahan menghadapi zaman. Jadi, pilihannya tegas, mau jadi eksekutor proyek yang habis pakai, atau pencetak peradaban yang bertahan lama?✨

Universitas Padjadjaran

Enam puluh delapan tahun bukan sekadar bilangan, melainkan perjalanan panjang pengabdian. Sejak awal berdirinya, Universitas Padjadjaran tidak hanya hadir untuk mencetak lulusan, tetapi untuk melahirkan manusia paripurna, yang ilmunya kokoh, nuraninya peka, dan pengabdiannya tulus.

Sebab kita percaya, pendidikan tanpa empati hanya akan melahirkan kepandaian tanpa keberpihakan. Kenyamanan sering membuat kita jauh dari luka sosial, padahal kampus sejatinya adalah ruang untuk menumbuhkan kepekaan.

Di usia ke-68, masih jadi perjalanan panjang meneguhkan diri sebagai rumah besar yang membangunkan nalar kritis sekaligus mengasah kepedulian.

Dari ruang kuliah hingga pelosok negeri, dari riset hingga pengabdian, perjuangan untuk tetap hadir untuk menyapa kenyataan: kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan, bukan untuk dihindari, tetapi untuk diperjuangkan bersama.

Melalui kapal ini, kami percaya, Indonesia tidak cukup hanya dengan lulusan yang cerdas. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang peduli, intelektual yang gelisah terhadap ketidakadilan, dan warga yang berani terlibat dalam perubahan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengguncang kenyamanan, menyalakan empati, dan menggerakkan langkah nyata.

Hari, jadi momentum refleksi penting untuk bertanya apakah kami masih setia dengan misinya: menjadi pusat ilmu yang inklusif, mercusuar pengabdian, dan ruang lahirnya pemimpin masa depan. Mari kita rawat rumah ini dengan mimpi, keberanian, dan karya, agar terus menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat dan cahaya bagi Indonesia.

Selamat Dies Natalis ke-68 @universitaspadjadjaran

Ilusi Produktivitas

Banyak organisasi & tim kreatif terjebak dalam ilusi produktivitas. Mereka tampak sibuk berdiskusi, mengulas ide, bahkan mengadakan pertemuan demi pertemuan, tetapi sebenarnya hanya berputar di tempat. Alih-alih mempercepat eksekusi, diskusi yang berlebihan justru menambah keraguan. Fenomena ini dikenal sebagai paralysis by analysis: kita semakin pintar mengomentari, tetapi semakin takut melangkah. Peter Drucker pernah mengingatkan, “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Sibuk berdiskusi tanpa validasi hanyalah aktivitas sia-sia yang membungkus stagnasi.

Padahal, tujuan utama diskusi adalah memperjelas risiko dan menyiapkan mitigasi, bukan menciptakan ketakutan baru. Setiap masukan seharusnya menjadi daftar antisipasi, bukan alasan untuk menunda langkah. Dalam inovasi, kecepatan menguji ide jauh lebih penting daripada kesempurnaan rencana. Thomas Edison menegaskan, “The value of an idea lies in the using of it.” Artinya, ide tidak akan bernilai tanpa uji nyata di pasar. MVP (Minimum Viable Product) yang sederhana sekalipun bisa memberi data dan pelajaran berharga, sementara diskusi tanpa akhir hanya melahirkan asumsi.

Peran teman diskusi sangat menentukan dalam proses ini. Rekan yang baik bukan sekadar kritikus, tetapi mitra yang mendorong keberanian untuk mencoba. Kritik sehat adalah yang memperkuat kesiapan, bukan yang mematikan nyali. Karena itu, pilihlah lingkungan diskusi yang suportif, yang membantu memetakan risiko namun tetap menyalakan api eksekusi. Dan lebih penting lagi, jadilah orang yang menumbuhkan energi maju, bukan penunda. Diskusi yang sejati bukanlah arena untuk mempertahankan keraguan, melainkan batu loncatan menuju validasi.

Pada akhirnya, kita harus berani melepaskan kebiasaan memelihara asumsi. Berpikir panjang tanpa bertindak hanyalah bentuk lain dari ketakutan. Edison kembali menekankan, “Vision without execution is hallucination.” Maka simpulannya jelas: diskusi hanya bermanfaat bila mengarah pada tindakan nyata. Ide terbaik bukanlah yang paling cemerlang di ruang rapat, melainkan yang berani diuji, divalidasi, lalu diperbaiki dari pengalaman pasar.✨