Skripsi Nizzah Nailul Fathiyyah Bukan Sekadar Tugas Akhir

Skripsi Nizzah Nailul Fathiyyah bukan sekadar tugas akhir, melainkan manifesto generasi muda yang peduli, kreatif, & solutif. Ia tak hanya menyelesaikan studi dengan IPK nyaris sempurna, tetapi juga menghadirkan karya yang menjawab persoalan nyata: bagaimana mendorong masyarakat agar memilih produk ramah lingkungan yang masih kurang diminati, seperti vegan leather dari limbah kopi. Di tengah duka karena kepergian sang Ayah, Nizzah justru melahirkan skripsi yang tak hanya kuat secara akademik, tapi juga punya nyawa.

Keistimewaan skripsi ini terletak pada keberanian menyatukan pendekatan ilmiah dan keberpihakan sosial. Nizzah menggunakan metode mixed methods yang memadukan wawasan para ahli & lima tingkat kedewasaan konsumen ramah lingkungan. Ia menerapkan Henry Garrett Ranking untuk menganalisis faktor-faktor keputusan pembelian secara objektif, lalu mengaitkannya dengan kerangka Sustainable Consumption Behavior (SCB). Ini bukan sekadar metode canggih, tapi cara berpikir yang menunjukkan kedalaman, ketepatan, dan sensitivitas terhadap konteks sosial–ekologis.

Yang membuat skripsi ini lebih dari luar biasa adalah keberanian kreatifnya dalam menawarkan solusi nyata. Nizzah tidak hanya menjelaskan masalah, ia menawarkannya jalan keluar: ide promosi DIY Your Own Wallet Workshop dan komunitas KOPI BERI Indonesia yang mengajak masyarakat belajar, berbagi, dan berinovasi bersama. Rekomendasi ini bukan wacana kosong. Ia lahir dari pemahaman mendalam akan konsumen masa kini, yang tidak hanya mencari produk, tapi juga makna, pengalaman, & keterlibatan sosial.

Melalui skripsinya, Nizzah membuktikan bahwa akademik bisa bersanding dengan keberpihakan, dan penelitian bisa menjelma menjadi gerakan. Ia membawa suara petani kopi, isu limbah industri, dan tren fast fashion ke dalam satu benang merah: bahwa keberlanjutan harus dijembatani dengan empati dan strategi yang membumi. Ia menulis bukan demi nilai, tapi demi nilai-nilai. Di tengah kehilangan, ia memilih tetap memberi. Dan dari ruang riset yang ia bangun, lahirlah harapan bahwa masa depan bisa lebih baik, asal ada yang berani merintisnya dengan hati & nalar yang bekerja bersama✨

Bersama pembimbing dua @gitanoor

Skripsi Bisa Jadi Lebih Dari Sekadar Dokumen Kelulusan

Skripsi ini lahir dari kegelisahan, bukan sekadar tugas akhir. Anggita, melihat desanya, Cibiru Wetan, dikenal secara nasional karena prestasi pemerintahan digital, tapi perlu mengenalkan wajah desa berkelanjutannya. Program wisata edukasi yang ada hanya menawarkan aktivitas menanam padi, kegiatan yang ternyata gagal menarik minat pengunjung, dengan nilai kepuasan hanya 20%. Di tengah ketidakpastian itu, Ia memilih untuk tidak menunggu solusi dari luar. Ia turun tangan, membangun dari nol & memutuskan: desa ini harus menjadi ruang belajar yang hidup & bermakna.

Anggita tidak bekerja sendiri, & tidak mengandalkan intuisi belaka. Ia menerapkan pendekatan Design Thinking secara menyeluruh, menggali kebutuhan riil dari pengguna utama: guru TK, SD, dan SMP. Ia menyusun Empathy Map, Customer Journey, hingga Jobs to Be Done. Dari proses empati itu, ia sadar: yang dibutuhkan bukan sekadar wisata, tapi pengalaman utuh, interaktif, aplikatif & terhubung dengan budaya lokal. Anak-anak butuh ruang untuk bermain sambil belajar; guru butuh program yang sejalan dengan kurikulum; dan warga butuh peran dalam menjalankannya.

Lahirlah program “Ngabolang di Sawah”, wisata edukasi berbasis pertanian, budaya, dan eksplorasi. Ia tak berhenti di desain. Ia mengujinya secara nyata, mengevaluasinya dengan metode Net Promoter Score, dan mencatat lonjakan kepuasan ke level Excellent (52,38%). Ia juga menyusun Business Model serta strategi implementasi 12 bulan, bukan hanya agar program ini berjalan, tapi agar ia bisa ditinggal dan tetap tumbuh. Yang ia bangun bukan sekadar produk wisata, tapi ekosistem pembelajaran dan pemberdayaan berbasis komunitas.

Skripsi bisa jadi lebih dari sekadar dokumen kelulusan. Ia menjadikannya alat perubahan, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk desanya. Di era ketika banyak orang mengejar validasi digital, Ia membuktikan bahwa kontribusi paling nyata justru lahir dari keberanian membangun yang tak terlihat kamera: desa yang berdaya, warga yang terlibat, & masa depan yang ditanam dari akar sendiri. Inilah wajah baru mahasiswa kontribusional, tak hanya ingin lulus, tapi juga meluluskan lingkungannya dari ketertinggalan.

Dibimbing bersama Dr @yulistyne

Personalized Coffee Blend

Reyhan, mahasiswa kami yang memilih untuk tidak menjadikan skripsinya sebagai rutinitas akademik biasa. Ia melihat peluang riset di tengah tantangan konkret yang dihadapi oleh pemilik coffee shop di Jakarta Selatan: tingginya persaingan pasar, tidak konsistennya kualitas rasa, serta ketergantungan pada supplier yang tidak fleksibel. Melalui pendekatan Design Thinking, Reyhan mengangkat isu tersebut menjadi studi lapangan yang menghasilkan prototipe model bisnis berbasis personalized coffee blend.

Dengan menggunakan mixed methods, Ia memadukan wawancara mendalam dengan 12 pemilik coffee shop dan survei terhadap preferensi pengguna kopi espresso-based. Ia mengidentifikasi tiga kebutuhan utama: konsistensi rasa, efisiensi harga, dan fleksibilitas dalam penyediaan bahan baku. Dari temuan ini, Ia mengembangkan empat varian blend kopi yang kemudian diuji melalui metode cupping pada 21 coffee shop sebagai bentuk validasi pasar. Salah satu varian, komposisi 30% Arabika dan 70% Robusta, terbukti paling disukai, terutama untuk menu berbasis susu seperti cappuccino & latte.

Yang membedakan karyanya adalah keberhasilannya memadukan proses desain berpusat pada pengguna dengan strategi bisnis berbasis data lapangan. Ia tidak hanya menghasilkan produk, tetapi juga merumuskan strategi bisnis yang relevan: mulai dari sistem langganan, komunikasi produk yang disesuaikan dengan pengambil keputusan (owner dan barista utama), hingga rekomendasi penguatan layanan edukatif dari pihak roastery. Proses iteratif yang dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif dalam riset mahasiswa dapat berkontribusi langsung pada penguatan daya saing UMKM di sektor kopi.

Studi ini menjadi contoh konkret bagaimana penelitian tingkat sarjana dapat memberikan kontribusi aplikatif bagi pelaku industri lokal. Reyhan menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya mampu mengidentifikasi masalah riil, tetapi juga merancang solusi berbasis data yang dapat diuji dan diterapkan. Ini adalah bentuk riset yang relevan, kontekstual, dan berdampak, yang menjadikan proses akademik lebih dari sekadar formalitas, melainkan sebagai intervensi nyata dalam ekosistem kewirausahaan lokal🎉

Dibimbing bersama @irfnrs ✨

Khutbah Ustadz @jafarsidiq175

Khutbah Ustadz @jafarsidiq175

Khairun katsīr, kebaikan yang sangat melimpah, bukan terletak pada harta atau jabatan, tetapi pada nikmat iman, hidayah, dan kedekatan dengan Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Q.S. Yunus: 58 agar kita berbahagia karena karunia dan rahmat-Nya, karena itu lebih baik dari apa pun yang dikumpulkan manusia. Maka setiap saat kita berada dalam keimanan, amal saleh, dan taat kepada Allah, sesungguhnya kita sedang hidup dalam keberlimpahan nikmat sejati.

Rasulullah ﷺ menerima Al-Kawthar, karunia agung berupa umat yang banyak dan keberkahan yang luas. Melalui dakwah beliau dan para pewarisnya, hidayah sampai kepada kita. Pertanyaannya kini: apakah hidayah itu berhenti di kita, atau terus kita wariskan? Tugas kita bukan hanya menjaga hidayah itu, tapi juga menyampaikannya, kepada keluarga, tetangga, dan seluruh umat manusia.

Hidup seorang mukmin adalah lirabbika, untuk Rabb-nya. Segala yang dimiliki, dari waktu hingga harta, diarahkan untuk mendekat kepada Allah. Inilah makna dari fasalli lirabbika wanhar: shalat sebagai bentuk ketundukan total, dan berkorban sebagai wujud cinta yang tulus. Saat hidup kita dipersembahkan untuk Allah, saat itulah kita benar-benar hidup dalam keberkahan dan makna.

Contoh paling nyata adalah G*Z* Pa*lest**e. Meski tanah mereka hancur, iman mereka tetap kokoh. Mereka mungkin kehilangan dunia, tetapi tetap bersama Al-Qur’an dan ridha Allah. Inilah kemenangan sejati. Siapa pun yang menjaga hidayah dalam kondisi apa pun, selama hidupnya lirabbika, maka ia telah memperoleh khairun katsīr dan layak berharap minum dari telaga Kawtsar di akhirat kelak.

Selamat Hari Raya Idul Adha!

Kepemimpinan Administratif; Aman di Laporan Mandek di Lapangan

Di era perubahan cepat, menjadi lambat bukan sekadar tertinggal, tapi tersingkir. Namun banyak institusi kita, terutama kampus dan lembaga publik, masih bertumpu pada kepemimpinan administratif. Selama prosedur dijalankan, dokumen lengkap, dan tak menimbulkan masalah, maka dianggap berhasil. Padahal, dunia di luar terus bergerak, bicara AI, ekosistem, dan kolaborasi, sementara kita masih sibuk dengan formulir manual dan tanda tangan.

Kepemimpinan administratif menjaga keteraturan, tapi tak cukup untuk menghadapi masa depan (Weber, 1947; Heifetz et al., 2009).

Ironisnya, sistem justru terus memperkuat pola ini. Bukan karena niat buruk, tapi karena insentifnya salah arah.

Gagasan baru dianggap ancaman, kritik dinilai pembangkangan. Budaya takut salah tumbuh, menggantikan semangat belajar. Padahal, seperti diingatkan Senge (1990), yang bertahan bukan yang paling patuh, tapi yang paling adaptif. Kita terlalu sibuk membuat segalanya terlihat benar, hingga lupa bertanya apakah semuanya masih bermakna.

Transisi menuju kepemimpinan transformatif dan adaptif bukan soal gaya, tapi kebutuhan hidup organisasi. Bukan untuk meniadakan yang administratif, tapi melampauinya. Organisasi butuh ruang untuk mencoba, gagal, dan belajar.

Pemimpin hari ini bukan yang paling hafal aturan, tapi yang paling mampu menciptakan ruang aman untuk tumbuh. Di tengah birokrasi yang beku, satu langkah kecil yang jujur bisa membuka harapan besar.

Sampai kapan kita puas dengan sekadar “baik-baik saja”? Dunia tak menunggu. Seperti ditegaskan Laloux (2014), organisasi masa depan dibangun bukan dari kontrol, tapi dari makna dan kesadaran bersama. Jika terus bersembunyi di balik rutinitas, kita pelan-pelan kehilangan relevansi.

Pertanyaannya kini sederhana namun penting: apakah kita masih menjaga sistem agar tetap hidup, atau mulai menghidupkan kembali sistem itu dengan keberanian dan harapan?

Contribution Is the New Career

Contribution Is the New Career

Di tengah minimnya lapangan pekerjaan dan banyaknya lulusan yang tidak terserap industri, kita menghadapi krisis orientasi pendidikan. Sekolah dan kuliah masih dianggap sebagai jalur untuk mendapat pekerjaan, bukan sebagai proses untuk membentuk manusia yang siap berkontribusi. Padahal, banyak jenis industri telah berubah atau bahkan hilang. Jika pendidikan terus dijalankan untuk mengejar “kerja”, bukan “kontribusi”, maka kita sedang membangun harapan yang salah.

Pemikiran Amartya Sen lewat Capability Approach menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah soal memperluas kemampuan seseorang untuk menjalani hidup yang ia anggap bermakna. Pendidikan seharusnya membekali kemampuan itu, bukan sekadar menjadikan lulusan “layak kerja”, tetapi mampu menciptakan dampak. Lulusan yang punya orientasi kontribusi akan lebih tahan terhadap perubahan, karena mereka bukan sekadar menunggu peluang, tapi menciptakannya.

Dalam Self-Determination Theory (Deci & Ryan), manusia tumbuh sehat ketika merasa punya otonomi, kompetensi, dan koneksi. Kontribusi memenuhi ketiganya, kita memilihnya secara sadar, merasa mampu saat melakukannya, dan merasa terhubung dengan orang lain. Berbeda dengan sekadar mengejar kerja, kontribusi melahirkan healthy urgency, dorongan yang tumbuh dari niat untuk memberi manfaat, bukan tekanan untuk bertahan hidup.

Inilah arah baru pendidikan, sebagaimana tercermin dalam Purpose Economy dan kerangka 21st Century Skills. Fokusnya bukan sekadar kecakapan kerja, tapi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Tugas pendidik kini adalah membentuk mindset kontribusi sejak awal, melalui kurikulum, asesmen, dan interaksi harian, agar siswa tidak hanya siap bekerja tetapi siap memberi dampak. Karena pendidikan sejati bukan mencetak pekerja, tapi membentuk manusia yang bermanfaat❤️

Inframe ; @alyahst salah satu mahasiswa dengan Detail Proses Design Thinking terbaik!

Memahami Batas Relasi: Antara Koneksi dan Kapasitas

Memahami Batas Relasi: Antara Koneksi dan Kapasitas

Kita tidak bisa memelihara semua hubungan dengan kualitas yang sama.

Banyak orang berpikir bahwa semakin banyak kenalan, semakin besar peluang yang dimiliki. Itu tidak salah, tapi tidak sepenuhnya tepat. Penelitian Dunbar menunjukkan bahwa otak manusia hanya bisa mengelola sekitar 150 hubungan sosial aktif dengan kualitas yang bermakna. Itu bukan soal kemampuan teknologi, tapi kapasitas mental dan emosional kita untuk benar-benar hadir dalam hubungan.

Masalahnya bukan pada jumlah orang yang kita kenal, tapi pada berapa banyak hubungan antar mereka yang juga harus kita pahami dan kelola. Jika kamu punya 10 teman dan mereka semua saling kenal, maka kamu tidak hanya mengurus 10 relasi, tapi puluhan dinamika antar mereka. Kompleksitas ini tumbuh secara kuadratik, artinya bertambah jauh lebih cepat dari jumlah orangnya.

Di sinilah banyak komunitas, tim, dan organisasi gagal. Mereka mengira dengan membesarkan jaringan, kualitas akan ikut tumbuh. Padahal tanpa struktur, prioritas, dan kesadaran batas, hubungan yang terlalu banyak justru melemahkan koordinasi, memperbesar potensi konflik, dan menguras energi sosial.

Kesimpulannya sederhana: jangan kejar banyaknya relasi, tapi kelola yang penting dan bangun yang bermakna. Dalam dunia yang terus menambahkan koneksi, kita justru harus semakin sadar memilih mana yang harus dirawat, mana yang cukup dikenali, dan mana yang tak perlu dipaksakan. Karena kapasitas kita terbatas, dan setiap hubungan butuh energi nyata🎉

Catatan untuk Bandung

Catatan untuk Bandung.

Bandung terlalu lama disibukkan oleh sampah. Dari media, forum warga, hingga rapat birokrasi, isu ini terus muncul sebagai pusat perhatian. Padahal yang terjadi bukan sekadar masalah lingkungan, tapi cara kota ini melihat urgensi. Sampah telah menjadi unhealthy urgency, memaksa kita terus bereaksi, tanpa ruang berpikir ulang arah. Krisis mendorong respons teknis, tapi tidak mengubah sistem dan budaya hidup warganya.

Kota yang hidup bukan kota yang selalu menyelesaikan masalah, tapi kota yang tahu apa yang layak dikejar bersama. Kreativitas seharusnya menjadi healthy urgency Bandung, sebuah dorongan yang lahir dari visi, bukan desakan. Saat warga diajak mencipta, bukan hanya diawasi; saat budaya hadir di ruang publik, bukan sekadar di panggung festival; maka kota bergerak dari dalam. Warga bukan sekadar objek, tapi pelaku transformasi.

Dalam ekosistem seperti itu, sampah bukan lagi isu utama. Ia tetap ada, tapi tak lagi mendominasi. Karena ketika gaya hidup warga berubah, dari konsumtif ke kreatif, dari pasif ke kolaboratif, masalah seperti sampah akan didekati dengan cara baru. Inovasi lahir bukan dari ketakutan, tapi dari kebiasaan dan kebanggaan. Bahkan pemulung dan pelaku ekonomi informal pun bisa masuk dalam ekosistem kreatif yang produktif dan bermartabat.

Kota kreatif bukan soal mural, festival, atau slogan. Tapi soal bagaimana kebijakan, ruang, dan anggaran diarahkan untuk menghidupkan daya cipta warga. Kreativitas harus menjadi strategi utama, bukan dekorasi. Ini bukan sekadar pembaruan program, tapi pembaruan cara berpikir tentang siapa yang membangun kota, dan bagaimana mereka dilibatkan.

Jika Bandung ingin keluar dari siklus darurat yang berulang, maka yang dibutuhkan bukan hanya solusi atas sampah. Tapi keberanian untuk menggeser arah. Menjadikan kreativitas sebagai pusat perhatian. Karena ketika kota hidup dari semangat warganya, maka persoalan seperti sampah tak perlu dihadapi dengan panik, cukup dengan perubahan cara hidup yang diciptakan bersama❤️

From corporate hierarchies to living organisms;

From corporate hierarchies to living organisms;

Dalam ekosistem yang sehat, setiap individu sadar bahwa dirinya bagian dari sistem yang saling terhubung. Peter Senge dalam The Fifth Discipline menyebut ini sebagai system thinking, kesadaran bahwa setiap tindakan membawa dampak sistemik. Ketika pemahaman ini tumbuh, tanggung jawab terhadap keberlangsungan ekosistem muncul bukan karena instruksi, melainkan karena kesadaran bersama.

Namun, kesadaran semacam itu tidak hadir seketika. Ia lahir dari relasi yang bermakna dan ruang dialog yang terbuka. Margaret Wheatley dalam Leadership and the New Science menegaskan bahwa keteraturan dalam sistem hidup bukan hasil kontrol, melainkan hubungan yang saling menghidupkan. Tanpa ruang ini, individu mudah terjebak dalam posisi pasif: hadir dan menikmati hasil ekosistem tanpa merasa perlu turut menjaga atau memperjuangkannya.

Jika dibiarkan, pola ini melahirkan ilusi keteraturan. Frederic Laloux dalam Reinventing Organizations menyebut banyak organisasi tampak stabil, padahal hanya sebagian kecil yang memikul beban perubahan. Ketika individu berhenti bertanya “apa kontribusiku?” dan hanya fokus pada “apa yang kudapat?”, maka organisasi bergerak tanpa arah kolektif. Yang tersisa hanyalah keteraturan administratif tanpa ruh kebersamaan.

Maka diperlukan lebih dari sekadar pengarahan, dibutuhkan ruang refleksi bersama. Otto Scharmer lewat Theory U menawarkan konsep presencing, sebuah proses menyelami ulang niat dan arah kolektif. Dialog yang jujur menjadi jalan keluar dari keterasingan sistemik, membuka kesadaran baru bahwa ekosistem harus terus dibangun secara sadar, bukan hanya dijalankan secara teknis.

Di sinilah peran pemimpin berubah: bukan sebagai pengontrol, melainkan fasilitator kesadaran. Ron Heifetz dalam Adaptive Leadership menegaskan bahwa perubahan hanya mungkin jika tanggung jawab dibagikan. Ekosistem yang tangguh dibangun oleh banyak tangan yang sadar arah. Ketika semua merasa memiliki, perjuangan menjadi milik bersama, dan keberlangsungan tak lagi bergantung pada satu figur.

In frame @sabilgn – ecosystem designer

Artificial Integrity

Di era AI yang makin canggih, kesempurnaan teknis kerap dianggap sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Kita terpukau oleh kecepatan, kerapihan, dan ketepatan hasil, lupa bahwa AI hanya bisa menghasilkan output, bukan menanamkan niat, nilai, atau integritas. Ia bisa memahami konteks, tapi tak memiliki nurani (Jordan Imutan, 2024). AI bisa menjawab, tapi tak bisa memikul bertanggung jawab.

Kemajuan ini menciptakan ilusi kesetaraan: semua bisa tampak cerdas dan produktif. Namun, perbedaan sejati bukan pada hasil akhirnya, melainkan pada niat dan proses di baliknya. World Economic Forum (2024) menekankan pentingnya AI value alignment, bahwa teknologi harus diarahkan oleh nilai kemanusiaan. Dua karya bisa tampak sama bagusnya, tapi hanya satu yang lahir dari empati dan tanggung jawab moral.

Dalam dunia serba instan, godaan meninggalkan nilai makin besar. Jalan pintas sering tampak efisien, tapi tak selalu etis. Harvard Business Review (2024) menegaskan: etika bukan pelengkap, melainkan fondasi penggunaan teknologi. Nilai adalah benteng yang menjaga manusia untuk tetap lurus, bahkan saat tak ada yang melihat. Integritas diuji bukan dalam kesulitan, tapi dalam peluang menyimpang yang tak terdeteksi.

Maka pertanyaan terpenting di era ini bukan sekadar “apa hasilnya?”, tapi “nilai apa yang kamu jaga saat berkarya?”. AI akan terus berkembang, bahkan melampaui manusia dalam banyak hal. Tapi hanya manusia yang mampu menjaga keberkahan, karena seperti diingatkan Duke Corporate Education (2024), masa depan tak hanya soal Artificial Intelligence, tapi juga Artificial Integrity, dan di situlah manusia tetap memegang peran utamanya✨