Sudah Dekatkah dengan Tujuan?

Saat ini perkembangannya sangat luar biasa, mengarah bukan sekedar pada pengembangan produk dan jasa. Tahun 2000-2020an berkembang pesat ke arah IT, Digital Platforms, Social Engineering, kebijakan, model bisnis dan ke depan semakin diperlukan bagi pengembangan ekosistem bisnis, immersive experience AI dan automation.

Pengukurannya pun menjadi lebih menarik, karena tidak semata-mata pada keberhasilan sebuah produk diterima, tapi bagaimana DT melandasi culture sebuah organisasi dan ekosistem yang menggerakkannya pada inovasi. Ada sebuah Model yang dituliskan Lewrick tahun 2022, yang menyatakan bahwa ada empat tingkatan kematangan bahwa sebuah organisasi dalam penguasaan Design Thinking-nya yang melingkupi

1. Talenta baru / keterampilan masa depan
2. Pola pikir dan perangkat inovasi
3. Organisasi / kepemimpinan dan budaya.

Ke-tiga aspek diatas ternyata dapat dipetakan kapabilitasnya.

1. Untuk pilar talenta misalnya, Ia dipetakan kematangannya bedasarkan seberapa matang Ia memiliki penguasaan yang baik, punya team T-Shaped yang lengkap, sudahkan menjadi Team of Teams hingga sudahkan ia memiliki mindfulness dalam setiap prosesnya.
2. Untuk pilar mindset dan tools, seberapa paham Ia memahami dasar pemahaman cara kerja baru yang agile, seberapa transparan, melakukan proses DT secara konsisten, rasa kepemilikan yang tinggi, dipicu oleh hasil berupa outcomes dan diaplikasikan dalam beragam projectnya.
3. Untuk pilar organisasinya, sebera matang Ia sebagai organisasi pembelajar, strukturnya jejaring, apakah Ia sudah puya tim yang Self-organized yang berkontribusi kuat? inovatif, eksploratif dan membangkitkan rasa keingintahuan yang tinggi?

Mengukur seberapa jauh kita melangkah dan seberapa dekat lagi dengan tujuan menjadi penting. Apakah proses ini dibangun dengan sungguh-sungguh berorientasi keberlanjutan atau sesaat memastikan proses inovasinya melahirkan kemampuan adaptif, melompatkan pada kemajuan yang hakiki berkontribusi bagi peradaban.

Menemukan “Big Why”

Pernah ingat ngga ketika masa kecil, yang selalu kita utarakan adalah kalimat-kalimat tanya meminta penjelasan dengan awalan “Mengapa?” , saat beranjak dewasa bertanya mengapa kuantitasnya menjadi lebih sedikit, lebih banyak didominasi oleh asumsi.

Shosin, gabungan kata sho (bahasa Jepang: 初) yang berarti “pemula” atau “awal”, dan shin (bahasa Jepang: 心), yang berarti “pikiran”. Konsep Buddhisme Zen yang berarti “Beginers’ Mind” pikiran pemula. Mengacu pada sikap keterbukaan, keinginan. & minim prasangka ketika mempelajari suatu subjek, bahkan ketika belajar di tingkatan selanjutnya, berlaku seperti seorang pemula.

Istilah ini terutama digunakan dalam studi Buddhisme Zen dan seni bela diri Jepang, dipopulerkan di luar Jepang oleh buku tahun 1970 Shunryū Suzuki Zen Mind, Beginner’s Mind. Praktik ini adalah lawan dari keangkuhan & pemikiran tertutup yang sering dikaitkan dengan menganggap diri sendiri sebagai seorang ahli sehingga Ia bisa terjebak pada efek Einstellung, di mana seseorang menjadi begitu terbiasa dengan cara tertentu dalam melakukan sesuatu yang mereka lakukan. tidak mempertimbangkan atau mengakui ide / pendekatan baru.

Dalam Design Thinking, sangat penting mengasah kemampuan ini, memposisikan sebagai pemula selalu terdapat kemungkinan yang terbuka. Berbeda dengan asumsi, kerap menutup beragam kemungkinan yang bisa hadir membawa banyak alternatif solusi atau bahkan mimpi-mimpi baru. Proses Design Thinking memang sering bermula dari ambiguitas, disinilah kita belajar untuk mau dan mampu terbuka, bertanya mengapa berulang hingga mendalam. Memastikan ambiguitas berproses baik hingga memperoleh kejelasan (Clarity).

Shosin, akan membantu membukakan cakrawala untuk “Solving the right problem” karena Ia paham “Why-nya” lebih dalam paham akar masalahnya, kemudian kemampuan Shosinnya akan membawa para kemampuan “Solving the problem right” karena Ia membuka beragam kemungkinan gagasan baru memperoleh cara-cara kreatifnya.

Memelihara kemampuan Beginers Mind akan mempermudah mendapatkan banyak insight baru, bagian-bagian penting yang tak tersingkap karena terlalu banyak asumsi dan memungkinkan penjelasannya yang menyeluruh. Gimana dengan kamu?🤩

Team of Teams

Efek jejaring, baru saja kemarin membahas ini dengan beberapa kawan di ekosistem The Local Enablers, kali ini bersama Michael Lewrick penulis buku Design Thiking Playbook, salah satu penggunaan Design Thinking adalah memastikan proses perubahan sebuah organisasi bermuara pada sebuah ekosistem yang sehat sebagai muaranya.

Transformasi dari organisasi dengan struktur tradisional yang biasanya hierarkis-tersentralisasi menuju organisasi yang terdiri dari beberapa tim membentuk sebuah ko-kreasi, biasa disebut sebagai team of teams.

Bentuk ini melahirkan interaksi sebuah tim sebagai ekosistem yang terdiri dari tim-tim didalamnya, hanya saja ada nilai berbeda yang perlu dipahami yang sangat berbeda dengan tim hierarki tradisional yakni melakukan proses evolusi tim dengan cara;
1. Mau bekerja dengan aneka ambiguitas
2. Kolaborasi radikal dengan Design Thinking mindset
3. Pemimpin perlu menghubungkan beragam elemen organisasi

Proses ini menggerakan sebuah entitas bergerak dari struktur komando ke Team of Teams. Hal ini bermanfaat agar memiliki outcomes berupa network effects, dimana setiap elemen bergerak saling memperkaya dan menguatkan. Network effects adalah fenomena ketika suatu produk atau layanan menjadi lebih berharga ketika lebih banyak orang berinteraksi dan atau menggunakannya. Proses interaksi yang masih saling menguatkan menjadikan kondinya lebih berharga, sebuah ekosistem menjadi lebih kreatif karena tingkatan resourcefulnya menjadi tinggi.

Manfaat yang dirasakan memang signifikan untuk melakukan proses transformasi dari struktur komando tradisional jadi organisasi Team of Teams, tetapi ini tidak mudah. Hal yang mendasari bahwa pergerakan ini ditekankan karena sebuah purpose kuat daripada sekedar prosedur. Transformasi ditumbuhkan dengan cara;
1. Kesadaran bahwa ini adalah tim (Team Conciosness)
2. Menyemai rasa saling percaya,
3. Punya tujuan bersama,
4. Ikatan tim yang kuat dan komitmen untuk berbagi informasi secara real-time.
5. Setiap anggota tim harus paham sistem dari seluruh grup.

Proses ini bernama transformasi, maka tak boleh mencoba beralih langsung dari struktur komando-struktur langsung ke Team of Teams, lakukan bertahap ya!

Saatnya Shifting!

Dalam sesi para calon pemimpin BNI kemarin, beberapa hal yang perlu dipahami terkait paradigma yang relevan sangat berbeda dengan era lalu. Beberapa hal yang shifting misalnya berada pada istilah-istilah berikut ;

Ada -> Connected👋
Ini muncul karena era ini adalah era dimana kita perlu merasa connected, banyak terjadi, meski ada kita tak connected, jadi zombie. Secara fisik ada, hati dan pikiran dialam lain.

Jauh -> Terhubung🫶
Tidak semua yang jauh perlu didekatkan, apalagi jika menimbulkan banyak kebutuhan sumberdaya baru. Pastikan terkoneksi, era digital membuat kita bisa terhubung dengan konsumen seolah-olah kita melayaninya personal

Lama -> Dipastikan👌
Jika dulu istilah lama obatnya cepet, tapi tidak lagi dengan saat ini. Konsumen tidak melulu minta cepat, tapi minta kepastian. Memastikan kapan datang, kapan selesai, seberapa lama menunggu atau seberala cepat tuntas.

Lelah -> Eksplorasi👐
Gladly report 2019 mengungkapkan “Experience Matter More Than Channel” orang justru senang berlelah-lelah, berkeringat demi sesuatu. Orang tak melulu mencari santai, dekat / mudah, Produk yang membawanya bereksplorasi justru membawanya bersedia membayar lebih mahal karena membawanya pada banyak value & insight baru👏

Selain hal di atas, banyak sekali redefinisi baru hasil reevaluasi perjalanan konsumen di era digital yang merubah beragam perilaku hidupnya. Redefinisi ini juga diungkap banyak tokoh bisnis dunia seperti;

🍧Data yang bernilai adalah data yang dimonetisasi (MIT IDE 2018 Platform Strategy Summit);

🍧Jangan habiskan waktumu ditempat dimana informasi yang kamu dapat dikontrol oleh algoritma (Ian Myers, CEO, NewsPicks)

🍧Inovasi adalah hasil dari arsitektur & organisasi yang mengamplifikasi kekuatan mekanisme & budaya. (Dirk Didascalou, Amazon)

🍧Walau bisa kita jualan via telpon, chart, email / sekedar bersua sesaat. Ada konteks fisik, mental-emosional yang dibentuk dimata client yang menentukan kita berhasil atau tidaknya.
(Megan Burns, Experience Enterprises)

🍧Pastikan connected! Keterhubungan antara kreator & konsumen. Keterlibatan antar komunitas konsumen & kreator yang kemudian berdampak pada bisnis & societynya (Kotler-Sarkar, 2019)👌

Slow, but Sure!

Jika saja kita merasakan beberapa gejala seperti 1) Kulit gatal, 2) Mata merah 3) Kepala sakit sekiranya bolehkah kita memberikan obatnya satu-satu seperti salep kulit untuk gatal, salep mata untuk mata & obat pereda nyeri sakit kepala?

Inilah gambaran sederhana mengapa kita perlu mensintesa gejala-gejala tersebut hingga mendapatkan masalahnya. Kemudian kitapun tak bisa mendiagnosa sendiri karena memang bukan ahlinya, sang dokterlah kemudian yang akan mengolah gejala ini untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya kamu sakit apa?

Inilah yang kerap terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada entrepreneur dalam menghasilkan solusi bagi pelanggannya.

Dalam pendekatan Design Thinking, proses discovery di tahapan awal dilakukan untuk medapatkan gambaran gejala-gejala apa yang tampak dipermukaan dari para calon pelanggan. Gejala-gejala itu tampak secara visual, yang kemudian tugas kitalah sebagai problem solver menganalisa sejatinya apa masalah mendasar yang terjadi pada konsumen kita.

Kesalahan utama dalam proses menggagas solusi, biasanya terjadi karena;

1)Tak paham & tak berupaya memvalidasi persona konsumennya, masalah apa sesungguhnya?
2)Bedakan gejala dengan akar masalah
3)Masalah yang diidentifikasi biasanya adalah yang terjadi saat ini, sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menarik garis waktu ke depan & menggambarkan kondisi masa depan yang diinginkan sang konsumen.
4)Apakah solusi yang ditawarkan merupakan peluang dimasa datang yang menjadikannya seseorang menjadi lebih baik atau bukan?
5)Awas! kerap terjadi Creative Paradox dalam bersolusi. Andai-andai jadi kreatif justru malah kebalikannya.

Mengambil simpulan dari gejala-gejala tak bisa satu-satu solusinya secara parsial, perlu slow thinking, mengundang juga beberapa orang dengan latar belakang berbeda untuk melihat perspektifnya. Jangan lupa menarik garis imajinernya antar gejala & lingkungannya, apa yang terjadi dengan relasionalnya & berakibat apa. Hingga kemudian bisa mengambil simpulan sebenarnya apa masalahnya?

Kenali dulu masalahnya, baru bergagasan cari solusinya. Agak lama sih, namanya juga slow thinking, tapi cara ini sangat efektif menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Ekplorasi Pembuka Inovasi

“Pak kami harus ngapain?” Pertanyaan yang sering muncul dalam tiap permulaan proses. Dalam Design Thinking, kita mengenal istilah eksplorasi di tahap pertama. Tujuannya berempati memahami keadaan.

Dilakukan dengan mencari tahu & menemukan beragam bentuk temuan di lapangan. Keterampilan utama yang diperlukan adalah mendengar hingga bisa menangkap beragam sudut pandangnya dari proses experiencenya. Pengalaman akan membawa pada kepekaan untuk mendengar keberagaman sudut pandang user, sekaligus cara pandang orang lain, kemudian melakukan proses sintesa temuannya.

DT akan berhasil jika dilakukan bukan dengan memaksa, tapi dilakukan & dimiliki oleh seluruh aktor dalam organisasi. Semua aktor berperan sebagai Desainer sebagai sebuah cara berpikir, bukan peranan, dalam perjalanannya Ia tak akan berhenti belajar dari interaksi langsungnya bersama konsumen & lingkungannya.

Sesungguhnya sangat menarik menjadikan pendekatan ini untuk menguatkan kemampuan tim berinovasi. Tiap individu adalah perancang yang diberi tanggung jawab & hak untuk mensintesis semua simpul koneksi yang ditemuinya.

Neri Oxman menyebutkan bahwa “The role of Design is to convert utility into behavior” Ia mendetailkan penjelasan yang memilah antara peranan ilmu, keteknikan, desain dan seni seperti ini;

1)Science
The role of Science is to explain & predict the world around us; it ‘converts’ information into knowledge.

2)Engineering
The role of Engineering is to apply scientific knowledge to the development of solutions for empirical problems; it ‘converts’ knowledge into utility.

3)Design
The role of Design is to produce embodiments of solutions that maximize function and augment human experience; it ‘converts’ utility into behavior.

4)Art
The role of Art is to question human behavior and create awareness of the world around us; it ‘converts’ behavior into new perceptions of information.

Kembali ke ekplorasi, empati & mendengar. Inovasi hadir jika tau persis masalah, validitasnya tergantung kemampuan menangkap kenyataan & sintesanya. Maka sebelum berbicara solusi, maka eksplorasi akan membawa kita paham dengan baik kemudian menentukan titik mula gagasan jadi solusi jitu.

Mengapa Penting Memahami Design Thinking (DT) ?

Mengapa penting memahami Design Thinking (DT) ? Bagi kami framework ini membawa banyak kemajuan yang signifikan bagi cara pandang, budaya kerja & pola pikir yang membuat setiap individunya punya kapasitas kreativitas yang lebih tinggi, adaptif terhadap perubahan dan kemampuan berpikir kritsinya yang semakin baik.

Kemampuan empati yang diasah dalam kesehariannya mencipta ekosistem yang semakin matang dan membahagiakan. DT sesungguhnya bukan semata-mata framework, tapi ini adalah mindset penting yang mengawali inovasi.

Jika dikatakan mengapa penting kemudian banyak juga pihak yang masih ragu akan pentingnya memahami barang ini, coba kita lihat fakta dan data. Siapakah yang menggunakan pendekatan ini dan berhasil mencipta beragam inovasi bagi kemajuan masyarakatnya?

Singapura, contoh terkenal tentang bagaimana kepemimpinan yang kuat dan pemikiran inovatif telah mendorong pertumbuhan ekonominya. Dengan menekankan & mengadopsi pendekatan yang “citizen-centric”, pemerintahnya menerapkan pendekatan desain dalam upayanya untuk meningkatkan kehidupan masyarakatnya.

Negara yang berawal dari serba keterbatasan, sejak tahun 2008, pemerintah Singapura datang ke IDEO, perusahan konsultan inovasi yang terkenal dengan pendekatan IDEO Design Thinking untuk menjadikan negaranya dengan pemerintahan yang Human-centered.

Beragam pendekatan DT kemudian diterapkan diberbagai bidang seperti pelayanan kesehatan  yang “patient-centric” untuk menekan subsidi kesehatan dengan membuat sistem prediksi biaya kesehatan& asuransinya yang menguntungkan bagi warganya. Juga pada bidang lainnya seperti di bidang ketenagakerjaan, SDM agar orang Singapura mau memiliki anak lebih banyak, perumahan, sistem hukum, pendidikan, kebun binatang, bandara bahkan tentara yang memiliki 1000 insinyur yang memahmai Design Thinking dengan baik.

Bukan cuma pemerintah, perusahaan swasta di Singapura menggunakan Design Thinking untuk mengerjakan strategi bisnisnya & mengembangkan organisasinya dengan pesat. Jadi tak heran bahwa negara kecil ini kemudian punya Creative Confidence yang sangat besar, secara konsisten mengembangkan Creative Musclenya & membuat the Red Dot ini cepat sekali berinovasi.

Big to Small Thinking Framework

Dalam postingan terdahulu ada sebuah analogi menarik terkait Design Thinking dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.

Ungkapan ini begitu relevan & bagaimana cara menurunkannya dalam sebuah strategi teknis bagi para pelanggan kita. Jika kita kaitkan lagi dengan framework Golden Circle-nya Simon Sinek yang mengungkapkan tahapan-tahapan Why-How-What. Analogi Banfield sesungguhnya merujuk pada pentingnya kita mengemukakan Why hingga seseorang tau mengapa Ia perlu menginisiasinya atau memulai sesuatu dengan mengetahaui kenapa hingga tumbuh pula energinya.

“Detail is important, but the big picture is what counts” Menyampaikan “resepnya” ketimbang “kuenya” pada pelanggan bisa bermula dengan menjelaskan dari Big Picture & kita mau kemana? Hal ini sering terlewati karena langsung terjerembab pada What, langsung menikmati “kue”nya.

Mengapa Big Picture?
-Memungkinkan untuk melihat peluang
-Membawa Big Picture untuk dikomunikasikan pada tim
-Memperkuat alasan sebenarnya untuk aktivitas yang dilakukan sehari-hari

“Having a big-picture perspective can help you prioritize effectively, set better goals & improve time management. By developing a complete perspective of a situation, making decisions that drive long-term results, which can help you advance in achieving your goals”

Hari ini,di Unsoed Purwokerto, saya menemani kawan-kawan bergagasan mencipta kurikulum transformatif. Melahirkan proses pembelajaran yang kaya. Biasanya lokakarya semacam ini langsung pada barangnya berupa kurikulum, namun kami biasa membawa kawan-kawan membaca gambar besarnya, menggambarkan masa depan & kesenjangannya dalam mencapainya.

Mendahuluinya dengan memberikan Big Picture memungkinkan mendapatkan cakrawala lebih luas & dalam prosesnya membantu pembelajar menemukan alasan positif untuk mulai mencari dan menginisiasi. Itu mengapa memberikan resep jadi penting, karena pembelajar mampu meracik kuenya yang kontekstual pada diri & lingkungannya. Tidak dapat kue yang sama untuk semua 🙂

Coba deh Vision First – Design Thinking buat membumikan mimpi-mimpi kamu!

Ekosistem ini bagi kami adalah tempat yang menyenangkan berbicara terkait mimpi, salah satu perangkat membumikan gagasan adalah Design Thinking (DT).

Jauh sebelum mengenal DT, saya diajarkan terkait Visioning sebagai tahapan penting dalam melakukan sesuatu. Kala itu Dosen pembibing saya di Teknik Industri ITB, tahun 2004 Bapak Gatot Yudoko mengemukakan betapa pentingnya kekuatan Visi dari sebuah kebijakan yang ingin dilaksanakan.

Seiring waktu, mengenal DT yang berorientasi user & diperuntukkan bagi pengembangan produk. Sejalan dengan itu, justru saya sering kali dipertemukan dengan cita-cita masa depan yang sukar bagi orang-orang lain membayangkannya.

Vision First-Design Thinking, ternyata membantu membumikan imajinasi agar bisa masuk akal. Hal ini juga dilakukan banyak StartUp teknologi seperti iPhone yang mengenalkan cara baru berkomunikasi, Uber dengan cara baru betransportasi, atau Tesla yang menginspirasi solusi energi dari science-fiction.

Dengan memvisualisasikan mimpi masa depan kemudian memvalidasinya dengan temuan-temuan baru, sebuah tim dapat meracik sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Hal ini secara pribadi sering kali kami lakukan terutama dalam meracik kurikulum-kurikulum pendidikan atau produk bagi proses transformasi organisasi.

Sangat menarik kemudian membicarakan Vision First – Design Thinking, agak beda dengan yang biasa kita lakukan dengan pendekatan User First – Design Thinking. Kira-kira begini urutannya;

1. Petakan Big Picture-nya.
2. Petakan masalah yang menjadi kendala dalam mewujudkan mimpi tsb.
3. Cari ragam potensi solusi dengan membuka peluang secara divergen.
4. Racik gagasan dalam produk solusi dan mengujicobanya (MVP).
5. Uji berulang hingga mencapai outcomesnya
6. Validasi bersama konsumennya apa memecahkan masalahnya.
7. Pastikan struktur tim cross-functional collaboration
8. Buat peta jalan, untuk menunjukkan skala ekonominya
9. Rawat dengan umpan balik & skilus ujinya.

Tahapan ini perlu kaya dengan komunikasi & perbincangan tim dengan konsumennya. “Without those conversations, they are designing in a bubble”-Banfield, 2017.

Coba deh Vision First – Design Thinking buat membumikan mimpi-mimpi kamu!

Design Thinking : Mengapa Penting?

Design Thinking (DT) merupakan strategi berpikir kreatif,digunakan dalam proses merancang solusi. Saat ini digunakan oleh lebih banyak orang untuk menyelesaikan masalah dalam bisnis atau sosial.

Selama ini, kekhawatiran yang muncul karena DT lebih disukai teorinya ketimbang prakteknya. Makanya muncul istilah daripada “Design Thinking” mending “Design Action”! Hal ini karena sebagian besar kelompok yang melakukan DT memusatkan semua perhatian dengan “memikirkannya”, tapi sayangnya “berpikir” tak secara alamiah mengarahkan manusia ke bagian “doing”. Untuk mendapatkan hasil praktis dari DT, kita perlu menyeimbangkan proses berpikir & melakukannya.

DT digunakan di awal pekerjaan, masalahnya kemudian adalah terlalu banyak orang menggunakannya dengan harapan mendapatkan solusinya ke pasar, tetapi ternyata tidak. Padahal menghubungkan prinsip-prinsip DT dengan hasil praktis sesungguhnya sangat sederhana, tapi melibatkan proses bicara & komunikasi intensif dimana sebagian besar kesulitan melakukannya.

Pada dasarnya DT adalah perpanjangan metode ilmiah. Mengarah pada menemukan solusi dimulai pengamatan, membuat hipotesis & menguji validitasnya. Hasilnya menghasilkan teori untuk mencerminkan kenyataan yang jadi dasar untuk hampir semua penemuan ilmiah. Prosesnya tidak mengubah validasi jadi solusi praktis, justru DT meminjam dari ketelitian ilmiah tsb & memberi cara yang andal untuk beralih dari konsep yang belum terbukti ke solusi tervalidasi.

Oleh karena itu mengapa DT baik bagi pemecahan masalah. Secara organisasi pun membuat tim lebih matang, bekerja secara inklusif dalam tahapan sprint hingga akhirnya tidak hanya melahirkan artefak berupa luaran, tapi juga outcomes yang bermanfaat & memberikan pelanggannya nilai pembeda yang berharga.

DT layaknya seperti resep. Berisi panduan apa saja yang perlu dilakukan, bukan hasilnya. Resep ini berisi instruksi untuk menghasilkan outcomes & mengiterasinya. Ada analogi bagus dari Banfield (2017), “Jika seorang tamu memesan sepotong kue di toko & mereka memberikan resep pada tamu tsb, tentu tamu tsb akan keluar dengan kecewa” Tapi justru itulah yang dilakukan DT hingga dapat memberikan berupa outcomes yang berhasil.