Dari Human-Centered ke Humanity-Centered HCD+

Dari Human-Centered ke Humanity-Centered HCD+

Kita pada dasarnya tidak kekurangan pengetahuan maupun solusi. Banyak persoalan yang kita hadapi, mulai dari isu lingkungan hingga layanan publik, telah dipahami dengan cukup mendalam, dan berbagai alternatif penyelesaiannya pun sudah sering diusulkan🙏

Namun dalam praktiknya, solusi-solusi tersebut kerap berhenti di ruang diskusi karena tidak sepenuhnya terhubung dengan realitas kehidupan orang yang akan menjalankannya. Tantangan utama kita bukanlah kurangnya ide, melainkan memastikan bahwa ide tersebut relevan, dapat diterapkan, dan sesuai dengan konteks komunitas yang menjadi penerimanya🌹

Human-Centered Design membantu kita memahami kebutuhan pengguna, tetapi kompleksitas dunia saat ini menuntut pendekatan yang lebih luas. Setiap teknologi, kebijakan, dan produk membawa konsekuensi yang menjangkau keluarga, komunitas, dan lingkungan. Oleh karena itu, kita perlu bergerak menuju Humanity-Centered Design, suatu cara berpikir yang tidak hanya mempertimbangkan “apa yang dibutuhkan pengguna”, tetapi juga “siapa saja yang terdampak” dan “bagaimana dampaknya terhadap kehidupan bersama.” Dengan perspektif ini, desain tidak semata-mata berorientasi pada kemudahan penggunaan, melainkan juga pada keberlanjutan dan tanggung jawab jangka panjang🌎

Ketika bekerja bersama komunitas, kita perlu mengakui bahwa mereka adalah pihak yang paling memahami kondisi dan dinamika kehidupan mereka sendiri. Para ahli dapat memberikan analisis teknis, tetapi masyarakat memiliki pengetahuan kontekstual yang menentukan apakah sebuah solusi realistis dan dapat bertahan🙌

Peran kita bukan untuk menentukan arah atas nama mereka, tetapi untuk hadir ketika diperlukan, mendengarkan secara tulus, memfasilitasi proses belajar, dan menguatkan kapasitas mereka dalam merancang masa depan. Perubahan yang baik lahir dari dalam komunitas, dan tugas kita adalah memastikan bahwa mereka memperoleh dukungan yang memungkinkan hal tersebut terjadi🔆

“The world doesn’t need more ideas. It needs people willing to apply good ideas together with the communities they affect.” – Don Norman

Human-Centered Design

Bertemu dengan Don Norman, sosok penting di balik lahirnya Human-Centered Design, menjadi momen reflektif bagi perjalanan berpikir kami 🙌

Pembelajaran hari ini menegaskan bahwa inovasi yang relevan tidak cukup hanya berangkat dari kreativitas, tetapi membutuhkan cara berpikir yang lebih luas seperti HCD+. Lima lensanya, systems thinking, wellbeing, bioinspiration, circularity, dan social equity, mengarahkan kita untuk melihat bahwa setiap solusi harus mempertimbangkan manusia, lingkungan, dan keberlanjutan secara bersamaan. Pendekatan ini membantu kita berpindah dari penyelesaian masalah jangka pendek menuju desain yang berdampak jangka panjang.

Kelima pilar HCD+ ini saling memperkuat:
🔆 systems thinking membantu kita membaca pola dan keterhubungan;

🔆 holistic wellbeing memastikan solusi meningkatkan kualitas hidup;

🔆 bioinspiration & regenerasi mengajak kita belajar dari cara alam memecahkan masalah secara berkelanjutan;

🔆 circularity menuntun kita merancang sistem yang minim limbah; dan

🔆 social equity memastikan setiap inovasi berpihak pada akses yang adil bagi semua. Inilah fondasi berpikir yang menempatkan manusia dan bumi sebagai satu kesatuan ekosistem yang harus dijaga bersama.

Terima kasih undangannya mas @arimgn 🙌🙌

Humanity-Centred Design

Humanity-Centred Design

Selama dua dekade, Human-Centered Design menjadi paradigma dominan dalam inovasi. Namun dunia kini memperlihatkan sisi gelap dari pendekatan yang terlalu berfokus pada user. Kita menciptakan aplikasi yang memudahkan hidup, tetapi mendorong eksploitasi pekerja gig economy; kita mendesain layanan cepat, tetapi memperburuk sampah digital dan e-waste; kita membangun kenyamanan individu, tetapi mengorbankan kepentingan kolektif. Escobar (2018) dan Manzini (2015) mengingatkan bahwa inovasi yang hanya berpihak pada pengguna sering gagal melihat jaringan kehidupan yang lebih luas. Inilah tension besar abad ini: inovasi bisa “benar” bagi user, tetapi “keliru” bagi kemanusiaan.

Karena itu, muncul pendekatan Humanity-Centered Design—sebuah koreksi moral yang menggeser fokus dari keinginan pengguna menuju tanggung jawab terhadap masyarakat, lingkungan, dan generasi mendatang. Pendekatan ini menuntut expanded empathy: memikirkan pekerja di balik rantai produksi, komunitas terdampak, kelompok rentan, hingga keberlanjutan ekologis. Ini sejalan dengan gagasan Design Justice (Constanza-Chock, 2020) yang mempertanyakan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, serta Systemic Design (Jones, 2014) yang menegaskan bahwa setiap desain memiliki konsekuensi yang merambat dalam sistem sosial. Norman (2023) menambahkan bahwa inovasi masa depan harus memikul intergenerational responsibility, bukan hanya memecahkan masalah hari ini, tetapi menjaga kehidupan esok.

Pada akhirnya, keberhasilan inovasi tidak lagi cukup dinilai dari seberapa “usable”, “desirable”, atau “viable” sebuah solusi. Inovasi yang matang adalah inovasi yang ethical, equitable, dan sustainable—yang memperbaiki tanpa merusak, memajukan tanpa mengorbankan, dan mencipta tanpa meninggalkan luka. Humanity-Centered Design mengingatkan kita bahwa setiap keputusan desain adalah keputusan moral: apakah ia merawat atau mengabaikan? Apakah ia memperkuat martabat atau meniadakannya? Dan pertanyaan terpenting yang harus kita jawab sebagai desainer, pemimpin, dan pembuat kebijakan adalah:
“Masa depan seperti apa yang sedang kita bentuk melalui desain kita?”

Strength-Based Design Thinking

Bersua @lilinimam memandu kelas bersama. Hari ini kami memadukan Design Thinking dengan pendekatan Strength-Based. Pertanyaannya sederhana: bagaimana jika inovasi tidak dimulai dari masalah, tetapi dari kekuatan manusia yang sudah kita miliki?

Banyak organisasi merasa sudah berinovasi, padahal hanya memperbaiki sistem lama agar terlihat lebih modern. Design Thinking sering dijalankan sebagai ritual mencari masalah dan menambal kekurangan demi efisiensi. Hasilnya, organisasi tampak bergerak, tetapi sebenarnya kehilangan arah, kehilangan energi, dan perlahan kehilangan relevansi. Fokus pada masalah hanya melahirkan inovasi berbasis ketakutan, bukan kekuatan.

Padahal aset terbesar organisasi bukan teknologi atau anggaran, tetapi manusia, dengan empati, imajinasi, nilai, dan jejaring sosial yang hidup di dalamnya. Inilah kekuatan yang tak bisa ditiru pesaing. Strength-Based Design Thinking mengubah manusia dari objek yang harus dibenahi menjadi sumber energi yang siap diperbesar. Inovasi tidak muncul karena keadaan mendesak, tetapi karena kekuatan yang ingin diberdayakan dan dikapitalisasi.

Organisasi yang mengadopsi pendekatan ini tidak lagi bertanya, “Bagaimana mengejar ketertinggalan?” tetapi “Kekuatan apa yang hanya kita miliki, dan bagaimana menjadikannya pemimpin masa depan?” Masa depan bukan milik organisasi yang paling efisien, tetapi yang paling berani mengorkestrasi kekuatan manusianya menjadi gerakan inovasi yang tak terbendung.

Dan di sinilah perjalanan baru dimulai: berinovasi bukan karena terpaksa, tetapi karena kita berdaya. 🚀

-Human potential is the real exponential force; technology only multiplies what the human spirit dares to envision-Telah disunting · 2 ming

More Vs Less

Tidak semua kerja keras menghasilkan dampak besar. Dalam banyak kasus, seseorang bisa sibuk sepanjang hari namun tidak benar-benar menciptakan perubahan yang signifikan. Prinsip Pareto mengajarkan bahwa 30% usaha yang tepat dapat menghasilkan 70% dampak. Ini bukan tentang bekerja lebih banyak, melainkan tentang bekerja pada hal yang paling strategis. Orang yang tidak belajar, tidak mengevaluasi, dan tidak memperluas perspektif cenderung terjebak dalam rutinitas yang produktif secara kuantitas, tapi minim makna. Maka, belajar, baik melalui interaksi, forum, atau eksplorasi di luar, bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi untuk menemukan titik ungkit.

Namun bahkan usaha yang tepat sekalipun punya batas jika hanya mengandalkan hitungan teknis. Di sinilah konsep koefisien beta menjadi relevan, sebagai metafora untuk keberkahan yang memperbesar hasil dari usaha yang kecil. Dalam konteks spiritual, beta adalah pengali yang datang dari niat yang lurus, kerja yang jujur, dan izin dari Allah. Sebuah langkah kecil bisa melahirkan lompatan besar jika dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan kecermatan. Maka, tak cukup hanya cerdas dan rajin, kita juga perlu menyadari bahwa dampak sejati seringkali lahir dari perpaduan antara strategi dan keberkahan.

Jangan lupa minta koefisien betanya, semoga kita semua bisa mengawali minggu ini dengan penuh manfaat! Selamat beraktivitas!✨

Trainer Design Thinking

Hari ini menjadi kesempatan penting untuk menegaskan bahwa hakikat Design Thinking bukan sekadar menciptakan solusi kreatif, melainkan membangun kebermanfaatan yang nyata dan berdampak. Kepada para trainer @bpvp.bandungbarat , penting ditekankan bahwa inovasi sejati bukan hanya tentang apa yang baru, tapi tentang apa yang benar-benar dibutuhkan dan memberi nilai bagi kehidupan manusia. Filosofi dasar Design Thinking adalah berpihak pada manusia, membaca kebutuhan terdalam, menyentuh harapan mereka, dan menjadikannya pusat dari setiap proses penciptaan.

Sebagai trainer, peran utama bukan hanya mengajarkan metode, tetapi menanamkan keberanian untuk bertanya: Apakah solusi ini membawa manfaat jangka panjang? Apakah ini akan membuat hidup orang lebih baik secara berkelanjutan? Design Thinking tidak berhenti pada ide yang menarik, tapi menuntut tanggung jawab etis untuk menghasilkan dampak. Inilah sebabnya empati menjadi fondasi, bukan sekadar tahap awal, karena hanya dengan empati yang tulus, kita dapat merancang perubahan yang benar-benar relevan dan bermakna.

Perlu diingat juga untuk para trainer Design Thinking bahwa kita perlu membimbing peserta untuk berpikir melampaui proyek. Bukan hanya menyelesaikan tugas, tapi mengubah cara pandang terhadap problem sosial dan ekonomi secara lebih utuh. Pelatihan Design Thinking yang kuat akan menanamkan kesadaran bahwa setiap intervensi harus berkelanjutan, tidak sekadar menyelesaikan gejala, tapi merawat akar persoalan dan memberdayakan pihak-pihak terkait untuk terus berkembang bersama.

Dengan cara itu, trainer menjadi bagian dari ekosistem perubahan yang bukan hanya mendesain solusi, tapi juga menumbuhkan mindset transformatif. Design Thinking bukan alat teknis belaka, melainkan filosofi kerja yang menuntun kita untuk mencipta dengan hati, merancang dengan nurani, dan menumbuhkan dampak yang bertahan jauh melampaui ruang pelatihan.

@thelocalenablers@tle_agilyst

RE-INVENTING BMC

Kita ingin bisnis terus berkembang.

Tapi kadang, justru strategi yang dulu terasa solid mulai terasa kaku. Pelanggan berubah, pasar bergerak cepat, sementara model bisnis kita masih sama seperti dulu.

Masalahnya, kita seringkali hanya mengisi Business Model Canvas (BMC) sekali, lalu disimpan seperti pajangan. Padahal BMC itu bukan arsip, tapi kompas yang harus terus disesuaikan.

Lewat eBook RE-INVENTING BMC,
@dwiindrapurnomo mengajak kita meninjau ulang model bisnis dari tiga sisi penting:

🎯 Frontstage
bagaimana pelanggan merasakan bisnis kita

🔧 Backstage
bagaimana tim kita bekerja dan menciptakan Value

📈 Profit Formula
bagaimana kita bisa tetap untung tanpa membebani operasional

Bukan berarti harus mulai dari nol, tapi kita perlu tahu bagian mana yang harus diubah, disesuaikan, atau ditinggalkan. Kalau kita merasa bisnis mulai melambat, mungkin ini waktunya reinvent.

📥 Unduh eBook-nya sekarang melalui tautan di bio.

Siapa tahu, perubahan kecil di strate

User-Centric, Bukan Monetisasi Terselubung!

User-Centric, Bukan Monetisasi Terselubung!

“Produk ini sangat membantu kami, tapi terlalu mahal untuk dipakai terus-menerus.”

Kalimat ini sering terdengar, terutama dari mereka yang paling membutuhkan solusi namun justru tak mampu menjangkaunya. Masalahnya bukan pada kualitas produk, tapi pada logika bisnis yang menjadikan kebermanfaatan sebagai alasan untuk menaikkan harga. Di balik jargon inovasi, tersembunyi praktik monetisasi yang tak selalu berpihak.

Padahal, Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010) dirancang untuk menyeimbangkan tiga dimensi utama: desirability (apakah pengguna menginginkan), feasibility (apakah organisasi mampu menciptakan), dan viability (apakah bisa berkelanjutan). Namun dalam praktiknya, keberhasilan menciptakan value proposition sering disalahartikan sebagai izin moral untuk mematok harga setinggi mungkin.

Liedtka et al. (2017) mengingatkan bahwa inovasi harus berangkat dari empati. User-centricity berarti menyelami kenyataan hidup pengguna—bukan hanya apa yang mereka inginkan, tapi juga apa yang mampu mereka jangkau. Solusi yang benar-benar berpihak tidak hanya hadir dalam bentuk produk yang baik, tapi juga dalam akses yang adil.
Di sinilah kreativitas model bisnis diuji. Bukan dengan menaikkan harga, tapi dengan merancang ulang blok kiri BMC; Key Activities, Key Resources, dan Key Partners, untuk menciptakan efisiensi, menjalin kolaborasi, dan mendistribusikan biaya tanpa membebani pengguna. Banyak organisasi gagal di titik ini: mereka punya misi mulia, tapi model bisnisnya justru menciptakan ketimpangan akses.

Seperti dijelaskan oleh Hurst (2014) dalam The Purpose Economy, organisasi masa depan adalah mereka yang menjaga nyala misi tanpa membakar daya jangkau penggunanya. Menjadi purpose-led berarti menempatkan pengguna sebagai mitra perubahan, bukan target profit. Dan menjadi user-centric berarti berani mengatur ulang logika bisnis agar nilai yang diciptakan bisa dinikmati oleh yang membutuhkan, bukan hanya yang mampu membayar✨

The Pitch Canvas

Kebahagiaan itu muncul tat kala melihat jelas bagaimana peserta bertransformasi secara mendalam, bukan hanya dalam cara membuat presentasi, tapi juga dalam memahami esensi inovasi itu sendiri. Di awal, sebagian besar masih berpikir bahwa membuat aplikasi atau alat berarti sudah berinovasi. Namun, seiring berjalan, mereka mulai menyadari bahwa inovasi yang bermakna justru lahir dari pemahaman akan kesulitan pengguna di lapangan, dari proses yang berbelit, dari titik-titik friksi yang nyata. Di sinilah pendekatan user-centric mulai mengambil alih, menggantikan logika lama yang hanya berpusat pada produk.

Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam isi, tapi juga dalam cara mereka menyampaikan. Jika sebelumnya mereka bergantung pada slide dan penjelasan teknis yang kaku, kini mereka mampu membawakan kisah inovasi dengan alur yang runtut, humanis, dan menyentuh. Mereka mulai bercerita, bukan hanya memaparkan. Visual-visual proses bisnis, simulasi kerugian waktu dan biaya, hingga potensi dampak nasional mulai tampil dengan jelas. Bahkan, dalam waktu hanya lima menit, mereka bisa membuat pendengar memahami urgensi, solusi, dan manfaat dari inovasi yang dibawanya.

Satu hal penting lainnya adalah munculnya kesadaran akan perbedaan antara invensi dan inovasi. Mereka mulai paham bahwa membuat hal baru saja tidak cukup. Inovasi adalah ketika hal itu dipakai, menyelesaikan masalah nyata, dan berdampak pada efisiensi, keselamatan, atau pelayanan pelanggan. Beberapa tim bahkan mulai menghitung: berapa menit waktu yang bisa dihemat, berapa rupiah potensi kerugian yang bisa ditekan, dan apa implikasinya jika solusi ini direplikasi secara nasional. Ini adalah lompatan berpikir yang sangat berarti.

Namun agar transformasi ini tidak berhenti di ruang lomba, perlu langkah yang sistemik. Rekomendasinya adalah membangun ekosistem inovasi internal yang memungkinkan gagasan terus tumbuh, diuji, dibagikan, dan disempurnakan. Sebuah platform yang bukan hanya mendokumentasikan solusi, tapi juga memfasilitasi kolaborasi, pendampingan, dan replikasi lintas unit. Dengan itu, inovasi bukan lagi acara musiman, tapi budaya kerja yang hidup & berkembang di setiap lini, terimakasih @pln_jabar🎉

Dipakai Sekali, Disimpen Seumur Hidup

Dipakai Sekali,
Disimpen Seumur Hidup.

Di balik logika sederhana “lebih murah beli alat cuci mobil daripada bolak-balik ke carwash,” tersimpan ironi yang menggambarkan kegagalan memahami alasan sebenarnya mengapa orang memilih jasa cuci mobil. Pada permukaan, argumen ini masuk akal: sekali cuci di carwash seharga 50 ribu, maka tiga kali saja sudah menyamai harga satu set alat cuci mobil komplit seharga 150 ribu. Maka, beli alat cuci sendiri terlihat seperti keputusan finansial yang lebih bijak.

Namun, di sinilah kesalahan berpikirnya—dan sekaligus pelajaran penting dari Jobs to Be Done. Sebab, ketika seseorang pergi ke carwash, mereka sebenarnya tidak sedang “membeli kebersihan mobil” semata. Mereka sedang “menyelesaikan pekerjaan” yang lebih kompleks: menghemat waktu, menghindari kerepotan, menghindari basah dan kotor, bahkan kadang sambil menikmati waktu santai atau interaksi sosial saat menunggu. Itulah “job” yang sesungguhnya mereka sewa dari layanan carwash.

Alat cuci mobil mungkin bisa menggantikan fungsi teknis—yakni membuat mobil bersih. Tapi alat itu tidak menyelesaikan seluruh “pekerjaan” yang diharapkan oleh penggunanya. Karena itulah, meskipun sudah dibeli, alat itu hanya digunakan sekali. Hari berikutnya, si bapak kembali ke carwash, karena sebenarnya bukan alatnya yang mereka butuhkan, tapi penyelesaian menyeluruh dari “pekerjaan” yang tidak ingin mereka lakukan sendiri.

Contoh ini dengan sangat sederhana tetapi tajam menunjukkan bahwa inovasi atau solusi yang hanya fokus pada fitur dan harga bisa gagal digunakan bila tidak memahami konteks utuh kebutuhan manusia. Di situlah Jobs to Be Done dalam Value Proposition dengan pendekatan Design Thiniking memberi pelajaran penting: bukan produknya yang salah, tapi pekerjaannya yang tidak terselesaikan.

Inspired by curhatan Bapak-bapak @hendipratama ✨