Dipakai Sekali, Disimpen Seumur Hidup

Dipakai Sekali,
Disimpen Seumur Hidup.

Di balik logika sederhana “lebih murah beli alat cuci mobil daripada bolak-balik ke carwash,” tersimpan ironi yang menggambarkan kegagalan memahami alasan sebenarnya mengapa orang memilih jasa cuci mobil. Pada permukaan, argumen ini masuk akal: sekali cuci di carwash seharga 50 ribu, maka tiga kali saja sudah menyamai harga satu set alat cuci mobil komplit seharga 150 ribu. Maka, beli alat cuci sendiri terlihat seperti keputusan finansial yang lebih bijak.

Namun, di sinilah kesalahan berpikirnya—dan sekaligus pelajaran penting dari Jobs to Be Done. Sebab, ketika seseorang pergi ke carwash, mereka sebenarnya tidak sedang “membeli kebersihan mobil” semata. Mereka sedang “menyelesaikan pekerjaan” yang lebih kompleks: menghemat waktu, menghindari kerepotan, menghindari basah dan kotor, bahkan kadang sambil menikmati waktu santai atau interaksi sosial saat menunggu. Itulah “job” yang sesungguhnya mereka sewa dari layanan carwash.

Alat cuci mobil mungkin bisa menggantikan fungsi teknis—yakni membuat mobil bersih. Tapi alat itu tidak menyelesaikan seluruh “pekerjaan” yang diharapkan oleh penggunanya. Karena itulah, meskipun sudah dibeli, alat itu hanya digunakan sekali. Hari berikutnya, si bapak kembali ke carwash, karena sebenarnya bukan alatnya yang mereka butuhkan, tapi penyelesaian menyeluruh dari “pekerjaan” yang tidak ingin mereka lakukan sendiri.

Contoh ini dengan sangat sederhana tetapi tajam menunjukkan bahwa inovasi atau solusi yang hanya fokus pada fitur dan harga bisa gagal digunakan bila tidak memahami konteks utuh kebutuhan manusia. Di situlah Jobs to Be Done dalam Value Proposition dengan pendekatan Design Thiniking memberi pelajaran penting: bukan produknya yang salah, tapi pekerjaannya yang tidak terselesaikan.

Inspired by curhatan Bapak-bapak @hendipratama ✨

Design Thinking For Social Change

Setiap tahun, organisasi mahasiswa sibuk menyusun program. Proposal dirancang, kalender dipenuhi, kegiatan dilaksanakan. Tapi satu pertanyaan jarang diajukan: siapa yang benar-benar terbantu? Jika semua hanya berputar di antara mahasiswa sendiri, menghibur yang sudah nyaman, meriah di dalam tapi kosong ke luar, organisasi hanya jadi ruang aman, bukan ruang tumbuh. Kampus bukan tempat istirahat, melainkan titik awal untuk memberi dampak.

Hari ini di Sekolah Vokasi Unpad, saya sampaikan ke BEM dan HIMA: hentikan menjadikan mahasiswa sebagai objek program. Lihat keluar. Banyak masyarakat yang butuh disentuh, didengar, dan dibantu. Rancang program yang user-centric—berangkat dari kebutuhan mereka, bukan asumsi kita. Mahasiswa bukan sekadar pelaksana acara, tapi calon pemimpin yang harus belajar dari realitas, bukan dari kenyamanan.

Pendekatan ini selaras dengan experiential learning (Kolb, 1984); belajar lewat pengalaman langsung. Dan design thinking (Brown, 2009), mulai dari empati, bukan asumsi. Ketika mahasiswa memetakan masalah nyata, merancang solusi berbasis konteks, dan mengeksekusi dengan hormat dan relevan, saat itulah mereka bertumbuh—sebagai pembelajar, pemimpin, dan manusia.

Sebuah tim mahasiswa akuntansi misalnya, membantu UMKM membuat pencatatan keuangan sederhana. Bagi mereka, itu tugas kecil. Tapi bagi si pemilik warung, itu pertama kalinya bisnisnya terasa nyata. Dari situ mahasiswa belajar tentang kesederhanaan, komunikasi, dan makna kontribusi. Kegiatan seperti ini membentuk kapasitas jauh lebih komprehensif dan kontekstual .

Maka sebelum menyusun program, ajukan satu pertanyaan jujur: siapa yang akan benar-benar terbantu? Jika jawabannya hanya “kita sendiri”, mungkin kita sedang bermain aman di kolam kecil. Padahal dunia menanti kita menyelam ke samudra. Di sanalah dampak sesungguhnya dilahirkan, bukan dari sibuknya kegiatan, tapi dari beraninya memberi makna.

This is going to be awesome

Proses kreatif sering dimulai dengan semangat tinggi. Kita punya ide segar, membayangkan hasil yang luar biasa, dan merasa sangat optimis. “This is going to be awesome!” Pada tahap ini, semuanya terasa mungkin. Ini sejalan dengan fase Preparation dalam model Wallas, di mana kita terbuka terhadap berbagai kemungkinan dan ide berkembang liar. Tapi semangat awal ini tak bertahan lama ketika kita mulai masuk ke realita eksekusi.

Saat mulai bekerja, kita segera dihadapkan pada tantangan. Ide yang sebelumnya terasa sederhana, kini tampak rumit. Hambatan muncul, arah mulai kabur, dan kita mulai berpikir, “This is hard.” Inilah fase eksplorasi dan penyempitan dalam Double Diamond Framework, yang menuntut kita untuk tahan dalam ketidakpastian. Banyak dari kita mulai goyah, karena ternyata mewujudkan ide jauh lebih berat daripada membayangkannya.

Ketika kesulitan terus bertambah, kita masuk ke fase emosional yang lebih dalam. “This is terrible,” lalu berubah menjadi, “I am terrible.” Kita bukan cuma meragukan karya, tapi juga diri sendiri. Ini adalah bagian dari the messy middle yang digambarkan Scott Belsky; fase krusial yang sering membuat orang menyerah. Namun, justru di titik terendah ini, pembelajaran terbesar terjadi. Kita mulai belajar menerima ketidaksempurnaan dan memperkuat daya tahan mental.

Jika kita memilih bertahan, pelan-pelan mulai ada perubahan. Kita mulai melihat celah harapan, dan berkata, “Hey, that was not bad.” Ide yang sempat kacau kini mulai menemukan bentuk. Inilah fase Verification, ketika kita mulai menguji ulang dan menyempurnakan dengan lebih jernih. Kita belajar bahwa kreativitas bukan tentang hasil yang langsung jadi, tapi tentang bagaimana kita menyusun ulang, belajar ulang, dan terus memperbaiki.

Hingga akhirnya, kita sampai di titik refleksi dan kepuasan. “Hey, that was awesome!” bukan karena semuanya berjalan mulus, tapi karena kita berhasil melewati prosesnya. Csikszentmihalyi menyebut ini sebagai momen flow, ketika kita tenggelam penuh dalam proses yang bermakna. Di titik ini, kita bukan hanya menghasilkan karya, tapi juga keluar sebagai pribadi yang lebih matang dan tangguh. Dan mungkin, itulah makna sejati dari proses kreatif🎉

Design Thinking

Ketertarikan awal terhadap Design Thinking muncul karena suasananya yang seru, penuh ide, kolaboratif & bebas. Tapi seiring waktu, metode ini ga hanya menyenangkan, tetapi membentuk ulang cara berpikir dan merasakan. Seperti dikemukakan Brown (2009) dalam Change by Design, Design Thinking bukan hanya tentang kreativitas, tetapi tentang pendekatan sistemik terhadap pemecahan masalah kompleks.

Ia mengubah makna kreativitas dari sekadar orisinalitas menjadi keterhubungan. Kreativitas yang efektif bukan muncul dari ruang kosong, tapi dari pemahaman mendalam terhadap konteks & manusia (Cross, 2011). Design Thinking melatih kemampuan untuk bisa hadir penuh saat mendengarkan, & mengambil keputusan dengan empati, seperti yang ditulis dalam The Design of Everyday Things oleh Norman (2013), bahwa keputusan terbaik lahir dari empati terhadap pengguna.

Hal yang paling dalem adalah orientasinya pada kebermanfaatan. Dalam kerangka Human-Centered Design, solusi yang baik bukan yang paling canggih, tapi yang paling relevan dan berguna (IDEO). Inilah esensi etika dalam inovasi, mencipta bukan untuk mengesankan, tapi untuk menjawab kebutuhan nyata. Produk yang bermanfaat secara sosial cenderung berkelanjutan (Mulgan, 2014), baik di pasar maupun di ruang publik.

Seiring waktu, pandangan terhadap sumber daya pun bergeser. Dari uang sebagai pusat, menuju pada resourcefulness, kemampuan mengakses potensi yang ada melalui kemitraan, kepercayaan, dan kolaborasi (Liedtka & Ogilvie, 2011).

Design Thinking bikin makin yakin pentingnya berproses punya key partnerships yang memperluas akses & memperkuat daya. Hal ini selaras dengan pendekatan ekosistem dalam inovasi sosial yang menekankan pentingnya jaringan & interdependensi (Westley, Zimmerman & Patton, 2006).

Pada akhirnya, Design Thinking mengajarkan makna eksplorasi sebagai perjalanan memahami orang lain. Dalam prosesnya, bukan cuma solusi yang terbentuk, tetapi manusia yang lebih utuh, lebih sadar, lebih peduli & punya orientasi pada kebermanfaatan. Seperti yang ditekankan Buchanan (1992), Design Thinking adalah a new liberal art, sarana untuk memahami kompleksitas manusia demi menciptakan masa depan yang lebih baik✨

Menulis Kalimat Perencanaan Yang Menggerakan Perubahan

Udah yakin bisa bikin kalimat kebijakan dan program? Karena dampaknya akan sangat besar!

Di balik setiap kebijakan publik yang berhasil, selalu ada perumusan strategi yang jernih, tepat sasaran, dan menyentuh akar persoalan. Bukan cuma soal seberapa besar anggaran yang dikelola, tapi bagaimana kebijakan itu ditulis dan dimaknai. 🔆

Sebagai pemangku kebijakan, kemampuan menuliskan arah kebijakan dan program pembangunan adalah keterampilan esensial—karena dari sanalah visi perubahan diterjemahkan ke dalam aksi nyata yang bisa dipahami, diukur, dan dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

Bukan cuma perlu terampil mengelola anggaran, tapi justru sebelumnya dimulai dari hal yang paling mendasar: cara menyusun kalimat kebijakan dan program yang benar. ✨

Kesalahan menulis arah kebijakan bisa berdampak fatal—baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembangunan.

Kalimat yang kabur, tidak fokus, atau sekadar menyebutkan rutinitas tanpa orientasi hasil, membuat program kehilangan arah dan hanya menjadi formalitas. Padahal, arah kebijakan harus mampu menjawab “apa yang berubah” dan “siapa yang terdampak,” bukan hanya “apa yang dilakukan.”✨

Menulis kebijakan dan program bukan sekadar mengisi dokumen perencanaan. Itu adalah proses artikulasi visi pembangunan ke dalam bentuk yang strategis, operasional, dan kolaboratif. ✨

Kalimat kebijakan harus bisa mengintegrasikan tujuan pembangunan jangka panjang, merespons isu-isu strategis, dan menyinergikan berbagai pemangku kepentingan. ✨

Di sinilah pentingnya pendekatan teknokratik yang disandingkan dengan sensitivitas sosial—agar arah kebijakan tidak hanya kuat secara logika, tetapi juga menyentuh kebutuhan warga.✨

Sudah saatnya kita naik kelas dalam perencanaan: dari sekadar menyusun program ke arah membangun ekosistem perubahan. Perlu ada kesadaran bahwa setiap kata yang tertulis dalam arah kebijakan adalah kompas perubahan. Maka, mari kita perkuat kapasitas ini—agar kita tidak hanya menjadi pengelola anggaran yang andal, tapi juga pemimpin perubahan yang mampu merumuskan masa depan kota dan warganya secara tajam, inklusif, dan berdaya.🎉

Teori Perubahan atau Theory of Change

“Apa yang salah ya? Kenapa perubahan yang diharapkan tidak terlihat?” 😓

Jika Anda sering mengalami hal ini, saatnya UBAH STRATEGI dengan Theory of Change!

📘 E-Book Theory of Change ini akan membantu Anda:
✅ Memetakan perubahan yang ingin dicapai dengan lebih jelas
✅ Menyusun program yang fokus, relevan, dan berdampak jangka panjang
✅ Menghindari aktivitas yang sekadar ramai tapi tak berujung hasil
✅ Mengelola risiko & hambatan dengan lebih sistematis

🔥 Jangan biarkan program Anda hanya menjadi angka di laporan.
Bangun perubahan yang benar-benar NYATA dan TERUKUR.

📌 Download eBook-nya sekarang di:
ebook.designthinkingacademy.id
atau
cek tautannya di bio kami

INTIMATE CLASS WITH DIP – TRANSFORMATIVE INSIGHTS

INTIMATE CLASS WITH DIP – TRANSFORMATIVE INSIGHTS

7 Topik Kunci | 4 Kota | Kelas Eksklusif | Kuota Terbatas

Siap membangun bisnis yang lebih kuat, tim yang lebih agile, dan strategi pendidikan yang lebih inovatif? Intimate Class with DIP menghadirkan Transformative Insights, kelas intensif yang memberikan wawasan strategis, pendekatan praktis, dan solusi langsung yang bisa diterapkan di dunia bisnis dan pendidikan.

📅 Jadwal & Topik Kelas:
📍 Bandung | 12 April 2025 – Business Ecosystem
📍 Jakarta | 26 April 2025 – Change Management
📍 Surabaya | 10 Mei 2025 – Outcome Based Education
📍 Jakarta | 24 Mei 2025 – Agile Teams
📍 Yogyakarta | 21 Juni 2025 – Transformative Education
📍 Jakarta | 5 Juli 2025 – Sustainability Management
📍 Jakarta | 19 Juli 2025 – Innovation & Agility in Education

Kenapa Harus Ikut?
✅ Kelas terbatas untuk pengalaman belajar yang lebih eksklusif dan intensif
✅ Topik yang dirancang khusus untuk menghadapi tantangan bisnis dan pendidikan saat ini
✅ Belajar langsung dengan DIP melalui diskusi interaktif dan studi kasus nyata
✅ Metode inovatif berbasis Design Thinking & Agile Strategy untuk hasil yang lebih efektif

Hanya tersedia untuk peserta terbatas. Daftar sekarang sebelum kuota habis.

s.id/DIPClass
atau
Klik tautannya di bio kami.

📞 +62 811 2232 004

ADKAR

Mengelola Perubahan Itu Tidak Mudah

Banyak organisasi terjebak dalam perubahan yang hanya bersifat sementara.
❌ Strategi diterapkan, tapi gagal bertahan.
❌ Resistensi muncul di setiap lini.
❌ Perubahan tidak memberikan dampak jangka panjang.

Apa yang Salah?
Seringkali, kegagalan bukan karena ide atau tujuan yang lemah, tapi karena strategi perubahan yang tidak terstruktur dan tidak berorientasi pada manusia.

Framework ADKAR hadir sebagai pendekatan strategis untuk memastikan perubahan:
✅ Lebih Mudah Diterima dan Dijalankan di seluruh organisasi.
✅ Mengurangi Resistensi dan meningkatkan keterlibatan tim.
✅ Berlangsung Lebih Lama dan menciptakan dampak yang berkelanjutan.

🔗 Pelajari lebih lanjut dalam eBook ADKAR dari The Local Enablers dan mulai bangun transformasi yang bertahan lama di organisasi Anda.

📥 Download sekarang melalui:
ebook.designthinkingacademy.id
atau
klik tautannya di bio kami!

Design Thinking Mencakup Apa Aja?

Pernah nggak merasa bahwa Design Thinking sering kali diajarkan sebagai proses tahap demi tahap yang kaku? Padahal, bukankah inovasi di dunia nyata justru penuh dengan eksperimen, iterasi, dan sering kali messy?

Kalo gitu, apakah kita perlu melihat Design Thinking bukan hanya sebagai framework, tapi sebagai mindset yang lebih adaptif dan kontekstual?

Kritik terhadap pendekatan linear dalam Design Thinking memang relevan, terutama ketika banyak orang hanya mengenal framework-nya sebagai proses tahap demi tahap yang kaku. Padahal, inti dari Design Thinking bukan hanya pada tahapan eksplisit seperti Empathize, Define, Ideate, Prototype, Test, tetapi lebih pada mindset yang adaptif, iteratif, dan berbasis eksplorasi.

Pendekatan yang biasa kami lakukan di @thelocalenablers ketimbang frameworknya justru lebih menekankan pemahaman akan non-linearity yang akan sangat menarik karena lebih sesuai dengan realitas inovasi. Proses inovasi memang sering kali tidak berjalan rapi atau mengikuti urutan tertentu. Justru, keberhasilan inovasi lebih banyak terjadi dalam lingkungan yang dinamis, penuh eksperimen, dan sering kali “messy.”

Poin tentang outcomes dan impact juga penting. Terlalu banyak yang fokus pada bagaimana menerapkan framework tanpa benar-benar memahami bagaimana ia menciptakan budaya inovasi. Padahal, yang lebih esensial adalah bagaimana mindset inovatif itu bisa diterapkan dalam berbagai konteks, mendorong agility, serta menghasilkan dampak nyata bagi organisasi atau ekosistem.

Kalau ada rencana untuk mendalami atau mendokumentasikan pendekatan ini lebih lanjut—mungkin dalam bentuk tulisan, workshop, atau konten digital—itu bisa jadi kontribusi penting dalam diskursus inovasi, terutama dalam mengedukasi bahwa Design Thinking bukan sekadar framework, tapi a way of thinking and doing innovation.🎉✨

Sertifikasi Design Thinking

🚀 Ciptakan Kebijakan Publik yang Lebih Inovatif, Kolaboratif, dan Berpusat pada Masyarakat! 🌍✨”

Apakah kebijakan publik saat ini sudah benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat? 🤔 Dengan Design Thinking, kita bisa merancang kebijakan yang lebih human-centered, berbasis data, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk solusi yang lebih inovatif dan berkelanjutan!

📍 Makassar | 19-20 Maret 2025
🎯 Untuk akademisi, pembuat kebijakan, birokrat, serta aktivis & LSM yang ingin menghadirkan perubahan nyata!

🔥 Daftar sekarang dan jadi bagian dari transformasi kebijakan publik! 🚀