Ekosistem Perubahan

Ada pergeseran yang signifikan peranan pemimpin masa kini dan masa lalu. Pemimpin punya urgensi penting untuk berperan sebagai sponsor bagi perubahan itu sendiri, perubahan yang didorong oleh peluang.

Ada kalanya pemimpin & ekosistem yang dipimpinnya terjebak paradigma masa lalu dimana Ia adalah si paling inovatif, si paling bisa dengan segala kehandalannya. Bahkan, jika bisa Ia menjadi sumber inovasi dari segala pergerakan barunya. Hal ini yang kemudian membawa angin ketergantungan anggota tim pada pemimpinnya.

Paradigma saat ini tentu beda, karena inovasi diberikan keleluasaan untuk tumbuh dari bawah. Setiap individu yang terlibat diberikan ruang untuk inovasi. Pemimpin hanya perlu memastikan bahwa Ia benar-benar punya imajinasi yang kuat akan masa depan yang dituangkannya dalam narasi & arah yang jelas, melakukannya dengan compasiion & caring serta jadi role model atas agilitasnya. Walk the Talk.

Pemimpin saat ini adalah pemimpin yang terbuka atas gagasan-gagasan yang tumbuh dari bawah, sehingga setiap anggotanya bisa menjadi penggerak perubahan. Pemimpin dan ekosistem membantu menemukan simpul perubahannya hingga dapat terinternalisasi dalam setiap anggota sebagai pelaku perubahannya.

Organisasi menjadi motor penggerakannya, pemimpin berperan mengorkestrasi arah, kecepatan dan memastikan kondisi kendaraannya tetap sehat. Menjaga agar inovasi yang terwujud tidak terluka, memfasilitasi penyelarasan dan akselerasinya agar tetap fokus pada tujuan, setiap prosesnya dipastikan setia pada cita-cita. Memastikan organisasinya tidak melenceng atau bahkan menjadi “Follow The Money Organization”, pastikan organisasi kita masih jadi organisasi yang “Follow The Dreams”

Hindari juga munculnya beragam inovator yang terluka, yakni individu-individu yang sempat berkarya baik, semangatnya tinggi namun tempatnya berkarya jadi tempat yang tak lagi ideal dalam bereksplorasi & atau tak bisa mewadahi mimpinya hingga meski rindu terpaksa Ia memilih berpetualang diluar.

Menjadi pemimpin yang terbuka, menjalankan manajemennya dengan penuh kesadaran situasional, berkelanjutan membuka peluang inisiatif, menghadirkan otonomi & fleksibilitas, bertanggung jawab dan percaya.

Mana yang kamu banget The Dip, Kuldesak & Cliff?

Beberapa hari ini law attraction saya selalu tertuju pada individu / organisasi yang sedang berada pada titik terendah dalam fase hidupnya, mengingatkan konsep The Dip dari Seth Godin atau fase jurang kematian dalam proses kreatif. Fase belajar terberat dalam bagian hidupnya. Jika berhasil akan menjadikannya naik kelas. Saya lebih senang menyebut fase ini sebagai titik mula (kembali) menuju perubahan yang lebih baik, fase belajar banyak yang diuji dengan menyelami keadaan sulit & ditantang menghasilkan beragam keberhasilan dengan cara-cara baru serta konsistensinya.

The Dip adalah salah satu kurva yang menggmbarkan proses pembelajaran dalam hidup, bisnis atau jenis usaha lainnya, namun ini bukan satu-satunya kurva. Kita perlu lihat kurva lainnya dan belajar mengambil keputusan keputusan mana yang terbaik, kapan kita perlu berhenti & atau kapan kita perlu pecepat larinya. Coba lihat kurva permasalahan kamu dalam tiga tipe kurva berbeda, Mana yang kamu banget The Dip, Kuldesak & Cliff?

1. The Dip, keadaan terendah yang direspon dengan kerja extra miles keluar dari beragam tantangan menuju untuk masa depan lebih baik dengan kosistensi, pandai mengurai energi, kesabaran.
2. Kuldesak, jika kamu melihat bahwa prosesnya “gini-gini aja” maka kamu perlu memutuskan berhenti & segera tentukan waktunya.
3. The Cliff. Jika kamu lihat trennya menukik bakal jadi jalan buntu, maka penting untuk diketahui kita memang harus berhenti. Kondisi di awal terlihat punya potensi baik namun berikutnya menunjukkan penurunan terus menerus, jika diteruskan maka akan jatuh.

Orang-orang yang sukses justru adalah orang yang tau kapan Ia harus berhenti, kapan harus bekerja keras & kematangan pengambilan keputusan. Tapi, jika berbicara boleh berhenti, bukan berati kamu boleh jadi Serial Quiter, yakni orang yang berhenti dan berganti-ganti wadah belajarnya. Jika kamu lakukan ini maka kita tak akan kemana-mana. Bisa melakukan banyak hal tapi tak ada hasil yang berarti. Kamu perlu istiqomah, bukan jadi Serial Quitter.

Coba analisa kekuatan sumberdaya, ilmu, tujuan, dampak jangka pendek-panjangnya & kesiapannya sebelum ambil keputusan. Jadi mau mengarungi Dip kamu?

Ada lima tipe seru menurut Cheryl Strauss Einhorn. founder & CEO of Decisive

Setiap orang punya karakter dalam pengambilan keputusan, berdasarkan kemampuan, pengalaman serta kapabilitasnya. Jika kita pernah bahas tentang enam topi berpikir, sekarang ada 5 persona pengambil keputusan coba, kira-kira kamu yang mana? Ada lima tipe seru menurut Cheryl Strauss Einhorn. founder & CEO of Decisive;

1. Petualang. si paling cepat & percaya atas keberaniannya. Jika dihadapkan pada tantangan besar atau kecil maka Ia akan memutuskan yang dirasakan benar daripada menghabiskan banyak waktu memikirkan banyak pilihan. Tipe ini juga dibilang sebagai si pantang takut! Cuma ada hal yang bias dengan tipe ini, sering kali Ia punya Optimism Bias & jika keterusan bisa membuatnya berbahaya!

2. Detektif. Kamu adalah tipe yang menghargai informasi, selalu meminta data & fakta, tak memutuskan basis perasaan. selalu merujuk pada kenyataan. Pecaya bahwa semakin Ia belajar makin semakin baiklah dia. Kurangnya tipe ini adalah Frame Blindness, yakni kurang punya pemahaman Big Picture, atau bahkan berlebih informasi. Kurangnya tipe ini adalah authority bias, suka bertentangan dengan inner voice dirinya.

3. Pendengar. Tipe ini paling dicintai penduduk bumi 🙂 Kala dihadapkan pada situasi kompleks, kita akan menyandarkan diri pada orang tipe ini & meminta pendapat & opini. Akan merasa nyaman bahwa kita tak perlu memutuskannya sendirian. Tapi tipe ini biasanya loss aversion, memilih jalan aman!

4. Pemikir. Banyak pertimbangan, menolak memutuskan cepat. Menimbang opsi, mempertimbangkan positif & negatifnya. Tak perlu banyak data, tapi perlu waktu &ruang berpikir & rasionalisasi mengapa ini perlu dilakukan. Cepat bukanlah tujuannya, tapi proseslah yang utama.

5. Visioner; Ia tak ingin yang biasa-biasa, lebih suka dengan caranya sendiri. Jika dihadapkan pada opsi yang jelas, Ia lebih suka memilih yang beda, yang belum pernah terjadi. Going Extra Miles! sering mengagetkan sekeliling dengan keputusannya! Tipe ini kekurangannya saliency bias, tendensi untuk fokus pada faktor paling mudah dikenalinya.

Ngga ada yang “sempurna” sih, tapi perlu keterampilan untuk menggabung-gabungkannya & membawa pada pemahaman yang lebih holistik & meramu kelima karakter diatas.

Pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya

Sehari-hari saya bersama mahasiswa, kebetulan mereka penikmat micin, sering kami menemukannya kesulitan menikmati makanan enak berbumbu alam asli. Anak-anak ini sepanjang pendidikannya memang mengenal mengunyah itu 30x, tapi sering kali makan dengan cepat (?).

Mengunyah lama memungkinkan tubuh mengekstrak nutrisi dalam jumlah paling besar dari makanan yang dilahap, itu isi materinya. Namun, dalam proses belajarnya tak mengajarkan cara menikmati 30x mengunyah intens, hingga Ia bisa tau beragam rasanya, menikmati bumbu & tekstur berbagai indera perasa & pengecapnya. Hal inilah yang jadi sebab mengapa mereka kehilangan mindfulnessnya dalam ritual makan.

Hal diatas adalah sebuah analogi, terkait mengapa kita perlu sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan yang orientasinya untuk membersamai pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya lengkap dengan cara pandang yang tepat dengan nilai-nilainya. Sering kali dunia pendidikan kita memang tersesat dengan ritual, entah itu dinamakan pembiasaan atau kewajiban-kewajiban formalistik yang diperkenalkan tanpa makna hingga kehilangan arti & nilainya.

Aktivitas belajar yang semestinya membawa pembelajar mencintai proses belajar justru terjebak pada aktivitas tanpa makna. Bisa jadi karena kita banyak belajar substansi tanpa konteks, membuat siswa kehilangan daya kritis & kemampuan adaptasi dengan keadaan yang berbeda hingga cukup menantang baginya untuk bisa tetap relevan.

Perlu kita renungkan apakah lembaga pendidikan kita kini tak lagi berani bicara lantang tentang substansi yang kontekstual di mimbar-mimbar akademiknya & kemudian terbawa pada ruang-ruang belajar? Jadi teringat sebuah grup WA akademisi yang lebih sering muncul adalah ucapan selamat dari pada berbicara gagasan atau substansi, jika muncul substansi malah tak terbahas lugas.

Mendampingi belajar cara menikmati & menginternalisasinya memang perlu proses, waktu & kesabaran (Kurikulum), beda dengan mewajibkannya ritualnya saja yang cepat. Tugas pendidikan justru bukan untuk semata-mata tahu & mengerjakan ritualnya, tapi justru menginternalisasi maknanya yang mendorongnya secara sukarela Ia melakukan aktivitasnya.

“Creating the Best Workplace on Earth”

Baca lagi artikelnya Rob Gofee & Gareth Jones, tentang “Creating the Best Workplace on Earth” ada satu ungkapan menarik bahwa ruang karya adalah ruang dimana individu-individunya diakmodasi oleh perusahaanya dengan beragam keanekaragamannya, mereka sering terjebak pada membatasi diri pada kategori keragaman tradisional seperti gender, ras, usia, etnis & sejenisnya.


Namun saat ini justu yang paling didamba adalah bagaimana ruang karya bisa mengakomodir perbedaan perspektif, kebiasaan berpikir & asumsi. Organisasinya jadi wadah dinamis menghasilkan banyak inovasi baru karena kaya gagasan.


“Let People Be Themselves”
Organisasi yang kaya gagasan berbeda & membiasakan diri menyatukannya akan berlari lebih kencang, dan ini lazim pada organisasi yang inovatif. Ruang karyanya memperkenankan beragam inisiatif berbeda namun dipastikan mereka mengarah pada hasil.

Organisasi bisa kita bentuk menjadi tempat dimana setiap orang menjadi dirinya sendiri & berbaur -Let People Be Themselves- , kegembiraan itu akan hadir, pemimpinnya pun akan membawa timnya untuk fokus pada kekuatan individunya, bergerak karena melihat aset yang dimiliki, bukan “deficit focused”.

Magnify People’s Strengths
Keleluasaan berkarya bisa jadi karena prinsip organisasi yang dianut adalah bagaimana melakukan upaya “Magnify People’s Strengths”, membuat karyawan terbaiknya menjadi lebih baik, paling tidak lebih baik dari yang pernah mereka bayangkan. Tiap orang tumbuh bersama.

Stand for More Than Shareholder Value.
Memberikan ruang agar individu didalamnya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, mendekati pada sesuatu yang dapat mereka percayai adalah perjalanan proses yang bermakna.

Sudah menjadi hal yang biasa untuk menegaskan bahwa organisasi membutuhkan makna bersama “shared meaning”, Tapi shared meaning ini lebih dari sekadar memenuhi keinginan individu/organisasinya, ini tentang bagaimana menempa & memelihara hubungan yang kuat antara nilai-nilai pribadi & organisasinya bersamaan.

Shared meaning is about more than fulfilling your mission statement—it’s about forging powerful connections between personal and organizational values – Gofee

KOMINFO memblokir beragam platform yang digunakan para pelaku peranan masa depan

Kominfo memblokir beragam platform yang digunakan para pelaku peranan masa depan. Eranya sudah maju tapi tampaknya pemerintah masih juga tergagap-gagap memahami era digital.

Dunia digital menghadirkan peranan baru, pekerjaan baru. Tumbuh banyak para Gig Economy – Contingent Workers yang memberikan banyak fleksibilitas. Pekerjaan ini bisa berupa independent contractors, freelancers, konsultan bahkan gamers!

Bekerja dengan cara-cara baru yang kerap kali tak pernah dibayangkan. Punya keleluasaan eksplorasi beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan & melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak. Gig menawarkan fleksibilitas yang begitu maksimal baik bagi perusahaan ataupun bagi pekerjanya. Selain itu juga menawarkan efisiensi yang sangat menarik bagi para pelakunya hingga dapat memastikan akselerasi yang baik.

Kegagalan paham kerap terjadi karena tak juga mampu melihat secara holistik, juga sistematika kerjanya yang silo kerap kali menimbulkan korban di masyarakat terutama terkait potensi tumbuhnya teknologi baru yang melahirkan ekonomi baru dengan cara-cara baru dianggap melanggar, aturan dijadikan senjata, “unintended consequences”nya tidak banyak dipikirkan

Kebijakan yang tidak pro digital ini memang diakibatkan kesenjangan digital yang masif, tertinggal paham bagaimana proses bisnis berjalan sekarang. Coba lihat dari generasi mana pengambil kebijakan vs siapa pelaku ekonominya. Alih-alih harus lapor, kebijakan ini malah menghancurkan industri secara menyeluruh juga ekositemnya. Walau misal PayPal dibuka lagi sementara, karena tekanan publik & memberikan kesempatan publik untuk pindahkan saldo (?) lalu bagaimana kepastian jangka panjangnya?

Ruang digital yang aman & kondusif itu dipahami dengan kerangka pikir yang tepat, pahami dulu proses bisnisnya, tarik garis waktu penyelesain elaboratifnya. Perusahaan-perusahaan digital yang jadi tempat para Gig ini bekerja umumnya adalah perusahaan global yang reputasi & kegunaanya jelas. Pendekatan-pendekatan merangkul ekosistem inovatif seringkali kontradiksi dengan inovasi. Inilah yang perlu jadi pembelajaran lebih lanjut, agar kita tak terjebak cara-cara lama di era yang baru.

Tipe organisasi bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Perbincangan menarik dengan sahabat saya malam ini, teman yang sering kali jadi lawan bicara terkait mimpi masa depan. Mungkin mimpi kita memang kadang kala ngga muat dengan organisasi yang kita diami saat ini.

Wadah yang seperti apa sebenarnya yang membuat kita bisa begitu energik dalam melakukan setiap langkah karya kita dengan bahagia? Dimana kita bisa sebebas mungkin membawa mimpi & membumikannya. Tipe organisasi ini bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Difference – “I want to work in a place where I can be myself.” Ketika tempat bekerja kita menjadi tempat yang mewadahi diri kita apa adanya. Bisa menjadi diri sendiri dan saling melengkapi dengan kawan lain.

Radical honesty – “I want to know what’s really going on.” Jujur, tak banyak drama hingga segala sesuatu tentang proses berkarya menjadi terang benderang, kejujuran ini sering kali menghilang atas nama menghormati pimpinan atau rasa segan sesama tim.

Extra value – “I want to work in an organization that makes me more valuable.” Tempat bekerja bukanlah hanya sekedarnya jadi tempat biasanya bekerja, tapi justru menjadi wadah yang membuat setiap individunya menjadi lebih bernilai.

Authenticity – “I want to work in an organization that truly stands for something.” Tempat bekerja yang otentik adalah tempat dimana kita memang bekerja karena kesungguhan mencapai tujuan, fokus dengan goalsnya, teguh karena purposenya.

Meaning – “I want my day-to-day work to be meaningful.” Setiap harinya memberikan banyak pembelajaran, menumbuhkan nilai yang berarti & memberikan semangat yang meletup karena banyak makna baru hadir.

Simple rules – “I do not want to be hindered by stupid rules.” Poin terkakhir ini banyak terjadi di beragam organisasi, kala banyak aturan mengekang. Saat ini, justru nilai-nilai dan integritaslah yang menjadi dasar segala eksperimen inovatif yang diperlukan untuk melompatkan inovasi jauh diatas harapan. Nilai ditumbuhkan dengan membangun budayanya.

Buat kamu yang punya tempat kerja belum ideal mewadahi mimpi kamu, yang sabar yaa! Ada kalanya memang seorang agen perubahan menjalani mimpinya terlebih dahulu dari pada yang lainnya, proses petualangannya akan seru dan menantang!

Bagaimana proses transformasi organisasi kamu?

Melihat penggusuran beragam Aset PT. KAI membuat ingatan kembali ke tahun 2009 kala Kereta Api Indonesia memulai transformasinya dibawah tokoh transformatif Ignatius Jonan. Juga teringat konsep “Innovator’s Dillema”, yang besar akan kalah meski Ia merasa berinovasi, kalah dari mereka yang melakukan inovasi disruptif.

Sebagai penduduk di

Kota tempat PT.KAI berpusat, kami melihat langsung perubahannya, yang sangat terasa diawal adalah perubahan mindset orang-orangnya, jelas bergerak dari product oriented jadi customer oriented. Bisnisnya berkembang pesat setelah menjadi sebuah User Centric Company.

Sebelumnya KAI bekerja berdasarkan produk yang dimiliki & tidak memikirkan apa yang dibutuhkan pelanggan. Perubahan mindset adalah proses panjang, bukan sulap yang bisa dikerjakan dalam semalam. Dirawat dalam kesehariannya, & dikerjakan tiap hari, maka perubahan lain yang terlihat adalah kumpulan action setiap hari.
Melahirkan outcomes!

Lanjutnya adalah konsistensi, upaya paling memantang sambil menemukan ramuan model bisnis yang menyeimbangkan Desirability – Feasibility – Reability yang pas menjadi perjalanan perbaikan panjang melahirkan keberhasilan transformasinya.

Hal menarik juga adalah Agile Leadership yang diterapkan, Action speaks louder than words, tidak boleh ada kepentingan pribadi dalam tugas. Leader langsung tampil di lapangan, turun ke lapangan & merasakan persoalan yang ada & memberi contoh.

Jika merujuk pada proses difusi inovasi, contoh KAI persis sama yakni terdiri dari tiga kelompok besar pegawainya 1) Enggan berubah, 2) Bingung, dan 3) Ingin berubah.

Transformasi diurai dalam roadmap perubahan selama lima tahun, dan konsistensinya membuahkan 95% jadi pegawai mau berubah.

Kepemimpinan adalah tentang memberi contoh, merasakan pada setiap aspek teknis yang bermasalah, hingga dibungkus menjadi kebijakan. Hal yang lebih menarik sebenernya adalah keberhasilannya memastikan keberlanjutan, melahirkan legacy organisasi yang tidak tergantung pada pihak lain & kaderisasi profesional. Jadi ketika perlahan asset-asset KAI menjadi jauh lebih baik, ini adalah buah kerja keras transformasinya.

Bagaimana proses transformasi organisasi kamu?

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Bincang bersama @daarut.tauhiid@smkdaaruttauhiid tentang pendidikan yang transformatif, mengemukakan lagi betapa pentingnya kita menyegerakan proses pendidikan yang kontekstual dengan jaman, yang relevan dengan perkembangan teknologi namun tetap dengan benang merah nilai-nilai luhur yang menjadi landasan setiap insan untuk menggali beragam kreatifitasnya menghadirkan dampak positif bagi sekelilingnya.

Tantangan jaman yang berbeda, perubahan yang cepat memiliki problematika yang berbeda pula. Begitu pula dengan cara-cara memahami permasalahan, cara berpikir kritis. Ditambahkan dengan cara-cara baru bersolusi, creative thinking. Solusi yang benar-benar membawa dampak baik karena benar-benar paham terkait masalah yang dihadapi.

Pendidikan kewirausahaan, sering kali jadi jargon banyak sekolah, tujuannnya jadi pebisnis. Padahal kewirausahaan itu sebenarnya adalah wadah belajarnya saja. Justru yang dituju adalah jiwa, keterampilan dan nilainya yang penting untuk diambil. Kemampuannya berpikir kritis, kreatif dalam bersolusi dan menjaga dirinya untuk tetap konsisten mencapai tujuannya hingga Ia mendatangkan kebermanfaatan.

Dalam menggiring seseorang dalam proses pendidikan, bentuk kewirausahaan itu dapat diaktualisasikan dalam minimum tiga peran;

1. Berwirausaha; Jika Ia Ingin berwirausaha, mengembangkan usaha mandiri, inovatif berdampak bagi lingkungan sekitar

2. Intrapreneur; Jika Ia ingin memiliki profesi sesuai dengan kompetensinya, memiliki leadership dan Business Acumen yang baik bagi organisasi tempatnya bekerja.

3. Gig, Contingent workers, jika Ia ingin memiliki keleluasaan untuk mengeksplorasi dengan beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan dan melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak

Ujung dari pendidikan adalah manusia bermanfaat. Untuk itu menjadi tugas bersama jadi ekositem yang saling sinergi memastikan proses pendidikan melahirkan manusia bermanfaat yang terencana, hingga memperbesar peluang keberhasilan mewujudkannya. Tantangan saat ini tentu sangat besar, mengubah paradigma, membawa paradigma yang lebih relevan & mencipta solusi-solusi yang lebih baik.

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Satu hari saya kesulitan menghubungkan bluetooth saya hingga imusic tak kunjung menyala di kendaraan, akhirnya menyerah. Kemudian ditelusurilah saluran radio yang sudah lama sekali tak disentuh ketika berkendara.

Kebetulan seorang kawan radio yang lama tak jumpa, menghubungi melalui Whatsapp berkabar tentang nomor barunya, kemudian Ia bercerita tentang sebuah stasiun radio yang tempat Ia bekerja saat ini. Ternyata radio itu adalah saluran yang saya sering kali saya setel tak sengaja & jadi ketagihan.

Dari pembicaraan itu kemudian lihat webnya, ada kalimat menarik terkait purpose radio itu hadir, di halaman pertamanya dituliskan “Menyajikan musik yang memberikan perasaan senang, sehingga memberikan pendengarnya energi/vibe positif” terus terang saya kaget! Mengapa, karena jarang sekali sebuah usaha menuliskan konsep “The Jobs To Be Done” dengan lengkap dan tepat!

Jika dalam penetapan segmen konsumennya bukan mengarah pada genre lagu, atau usia dan gender apa, tapi lebih ke outcomes customer. Di radio ini didefinisikan sebagai “perasaan & mood pendengarnya setelah mendengar lagu di radio ini”. Lebih nyentrik lagi karena ungkapan “gak perlu jadi radio nomor 1….yang penting kalo bosen sama radio nomor 1 di channel kamu, bisa kali dengerin Voks!” keren!

Dibalik kalimat ini saya duga ada model bisnis menarik, karena biasanya usaha menggunakan TJBD yang baik berasal dari ide & organisasi yang inovatif. Nama radio ini VOKS!  salah satu inovasi bagaimana menghidupkan lagi radio dan me-relatekannya di era digital.

Pas dilihat, dari sudut pandang model dan proses bisnis ternyata unik banget! Model bisnisnya sebagai corong Kutus-kutus, sebuah produk Minyak Balur. makanya namanya VOKS, Voice of Kutus-Kutus! Dibuat sebagai radio jaringan untuk mendistribusikan Kutus-kutus.. jadi biaya iklan rupanya berputar jadi corong marketing inovatif pada jejaringnya sendiri, keren!

VOKS Radio jika di Jogja masih terdengar baru ini sebenarnya sudah dulu bernama Rakosa yang kemudian diakuisisi oleh pemilik PT. Kutus Kutus Herbal yakni Bambang Pranoto. Sekarang ada dibanyak kota! Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!