Jangan kerja teruuuus. Sisakan ruang berinovasi

Di dalam organisasi yang ingin berkembang lewat inovasi, masalah sering kali bukan hanya soal banyaknya pekerjaan, tetapi cara setiap orang mengelola dirinya. Banyak yang akhirnya tenggelam dalam beban kerja berlebih karena tidak pandai memilah prioritas atau enggan berkata tidak pada tugas tambahan. Padahal, energi yang mestinya bisa dipakai untuk eksplorasi dan berpikir kreatif justru habis untuk menyelesaikan rutinitas. Seperti kata Drucker, inti profesionalisme bukan sekadar rajin bekerja, tapi tahu apa yang paling penting untuk difokuskan.

Akibatnya, organisasi tampak sibuk dari luar: rapat padat, laporan menumpuk, dan proyek berjalan. Namun, jika dilihat lebih dalam, inovasi sering macet. Fenomena ini mirip dengan yang disebut Peter Senge sebagai activity trap, terjebak dalam kesibukan tanpa ada pembaruan berarti. Dalam skala organisasi, jebakan ini membuat energi kolektif hanya berputar pada rutinitas, bukan pada penciptaan nilai baru.

Untuk keluar dari jebakan itu, organisasi butuh memberi ruang. Inovasi hanya lahir ketika ada kelonggaran waktu, kapasitas mental, dan keberanian mencoba. Nohria dan Gulati menyebutnya slack resources, ruang longgar yang justru menjadi bahan bakar kreativitas. Praktiknya bisa berupa memberi keleluasaan untuk proyek lintas fungsi, eksperimen kecil, atau forum reflektif yang menantang pola lama. Dengan cara ini, energi kerja tidak habis tersedot rutinitas semata, tapi berubah menjadi peluang pembelajaran dan penciptaan hal baru.

Karena itu, menerima semua pekerjaan tanpa batas bukanlah tanda loyalitas, melainkan kelemahan dalam budaya organisasi. Organisasi yang benar-benar ingin inovatif harus membangun sikap berani memilih, berani menolak yang tidak relevan, dan bijak menjaga ruang eksplorasi. Bila hal ini menjadi kebiasaan bersama, kesibukan tidak lagi berhenti pada lelah, tapi berubah menjadi energi pertumbuhan yang membuat organisasi bukan hanya efisien, melainkan juga adaptif dan inovatif.

Jangan kerja teruuuus. Sisakan ruang berinovasi🎉

For The Next 20 Years

For The Next 20 Years;

Di balik setiap institusi pendidikan yang unggul, ada ekosistem yang tumbuh bukan hanya dari prestasi individu, tetapi dari kolaborasi lintas generasi, dari keberanian untuk bermimpi lebih jauh, dan dari kesediaan untuk saling menumbuhkan. Inilah semangat utama yang mendorong kami merancang rangkaian program dies kali ini bukanlah sekadar perayaan, tetapi sebuah ikhtiar kolektif untuk membuka ruang-ruang inklusif bagi setiap lapisan sivitas akademika, dosen muda, dosen senior, mahasiswa, alumni, hingga mitra, agar bisa bergerak bersama menyongsong 20 tahun ke depan dengan arah yang lebih jelas, berdampak, dan manusiawi.

Program ini lahir dari keyakinan bahwa semua orang memiliki potensi untuk menjadi penggerak perubahan, asalkan diberi ruang yang aman dan kesempatan yang setara. “20 Next Professors” kami rancang bukan hanya untuk mengejar jabatan akademik, tetapi untuk menciptakan ekosistem saling dukung menuju kemajuan bersama. “20 Dosen Berdampak” dan “20 Gagasan Dosen Muda” hadir untuk membuktikan bahwa ide, keberpihakan, dan kontribusi sosial harus berjalan beriringan. Sementara “20 Under 20” dan “Student Impact Projects” menjadi wujud investasi kami pada benih-benih perubahan: para pemuda yang tidak hanya cerdas, tetapi juga peduli dan siap mengambil peran.

Kami memilih merancang program ini secara inklusif karena percaya bahwa perubahan sejati tidak bisa dibangun oleh segelintir orang di ruang tertutup. Ia lahir dari gotong royong lintas batas, usia, jabatan, disiplin ilmu, bahkan latar sosial. Melalui “20 Alumni Berdampak”, “Collaboration & Impact Gallery”, hingga “Cross-Generation Projects”, kami ingin menjahit kembali jejaring antar generasi dan membangun panggung bersama, bukan podium tunggal.

Inilah cara kami menghidupkan nilai-nilai Universitas Padjadjaran: unggul, inklusif, dan berdampak. Sebab pendidikan yang hanya merayakan prestasi, tanpa memberi ruang untuk berbagi mimpi dan bertumbuh bersama, hanyalah monumen kaku berujung pada semakin menjulangnya menara gading. 20 tahun semakin bermanfaat.

Konsistensi Lebih Penting Daripada Kerja Keras Sesaat

Banyak organisasi tampak sibuk, padahal hanya menunda kemundurannya. Rapat demi rapat, proyek demi proyek, target jangka pendek dikejar dengan nafas tersengal. Tanpa mindset yang benar dan kebiasaan kecil yang konsisten, semua itu hanyalah fatamorgana produktivitas. Organisasi bisa tampak hidup, padahal sekarat pelan-pelan, diperbudak rutinitas tanpa arah jangka panjang.

Drucker (1963) sudah mengingatkan: “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Sibuk bukanlah tanda kemajuan. Lebih parah lagi, budaya komunikasi sering jadi racun. Tim hanya bicara saat masalah meledak, selebihnya memilih diam. Padahal diam membunuh ide sebelum lahir.

Edmondson (1999) menyebut psychological safety sebagai syarat dasar inovasi, namun mayoritas organisasi masih terjebak pola pikir pendek. Akibatnya, tumbuh melebar tapi rapuh, mudah runtuh ketika diguncang. Collins (2001) menegaskan: organisasi besar bertahan bukan karena ekspansi cepat, melainkan karena disiplin membangun fondasi.

Titik buta lain adalah keuangan dan rekrutmen. Banyak organisasi mati bukan karena ide buruk, melainkan karena uang habis tanpa ada yang sadar. Literasi kas dianggap urusan segelintir orang, padahal harus jadi tanggung jawab kolektif. Kaplan & Norton (1996) mengingatkan, keputusan strategis wajib berbasis data, bukan intuisi. Begitu juga rekrutmen: merekrut dari lingkaran sendiri memang nyaman, tapi itu candu yang membunuh regenerasi. Barney (1991) menegaskan, keunggulan hanya bertahan bila organisasi berani memperbarui talenta, bukan mengulang pola yang sama.

Kesimpulannya: konsistensi lebih penting daripada kerja keras sesaat. Organisasi ngga butuh pahlawan serba bisa, melainkan tim yang tumbuh bersama.

Jika gagal menyeimbangkan jangka pendek dan panjang, serta menutup diri pada regenerasi, kita hanya akan jadi catatan kaki sejarah. Namun bila berani membangun ekosistem lintas generasi, barulah kita layak bicara tentang warisan.

Senge (1990) mengingatkan: hanya organisasi yang belajar bersama yang mampu bertahan menghadapi zaman. Jadi, pilihannya tegas, mau jadi eksekutor proyek yang habis pakai, atau pencetak peradaban yang bertahan lama?✨

Subang Innovation Challenge 2025

Subang Innovation Challenge 2025 membuka mata kita bahwa inovasi tak harus lahir dari laboratorium atau teknologi canggih.
Banyak gagasan terbaik justru muncul dari keresahan sehari-hari: antrean layanan publik, harga panen petani, sampah di lingkungan, hingga tantangan literasi.

Dari perjalanan ini, ada beberapa pelajaran berharga:
🌱 Inovasi yang berangkat dari keresahan nyata selalu lebih relevan.
🤝 Modal sosial terbukti jadi fondasi kuat, bahkan lebih berharga daripada sekadar teknologi.
📱 Teknologi sederhana bisa menjadi solusi nyata bila digunakan tepat sasaran.
📝 Banyak ide brilian, tapi sering berhenti di kertas—menunjukkan pentingnya pendampingan, prototyping, dan validasi.

Sebagaimana dikatakan Mulgan et al. (2007), “Inovasi sosial sering kali muncul ketika solusi yang ada gagal menjawab permasalahan sehari-hari secara efektif, dan masyarakat kemudian menciptakan cara baru dalam mengorganisasi serta berkolaborasi.”

Dalam konteks teknologi, Schumacher (1973) mengingatkan melalui konsep appropriate technology bahwa “Yang terpenting bukanlah seberapa maju sebuah teknologi, melainkan seberapa baik teknologi itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”

SIC 2025 membuktikan bahwa teknologi sederhana dan media sosial bisa lebih berdampak daripada teknologi canggih yang tidak terjangkau.

Akhirnya, kita sampai pada satu kesimpulan besar:
✨ Inovasi tidak harus canggih, tapi harus sesuai konteks.
Yang dibutuhkan adalah empati, keberanian mempertanyakan cara lama, serta konsistensi melangkah kecil demi perubahan besar.
Itulah kunci kemenangan para inovator Subang.

“Menurut kamu, inovasi apa yang paling dibutuhkan di daerahmu?”

Universitas Padjadjaran

Enam puluh delapan tahun bukan sekadar bilangan, melainkan perjalanan panjang pengabdian. Sejak awal berdirinya, Universitas Padjadjaran tidak hanya hadir untuk mencetak lulusan, tetapi untuk melahirkan manusia paripurna, yang ilmunya kokoh, nuraninya peka, dan pengabdiannya tulus.

Sebab kita percaya, pendidikan tanpa empati hanya akan melahirkan kepandaian tanpa keberpihakan. Kenyamanan sering membuat kita jauh dari luka sosial, padahal kampus sejatinya adalah ruang untuk menumbuhkan kepekaan.

Di usia ke-68, masih jadi perjalanan panjang meneguhkan diri sebagai rumah besar yang membangunkan nalar kritis sekaligus mengasah kepedulian.

Dari ruang kuliah hingga pelosok negeri, dari riset hingga pengabdian, perjuangan untuk tetap hadir untuk menyapa kenyataan: kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan, bukan untuk dihindari, tetapi untuk diperjuangkan bersama.

Melalui kapal ini, kami percaya, Indonesia tidak cukup hanya dengan lulusan yang cerdas. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang peduli, intelektual yang gelisah terhadap ketidakadilan, dan warga yang berani terlibat dalam perubahan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengguncang kenyamanan, menyalakan empati, dan menggerakkan langkah nyata.

Hari, jadi momentum refleksi penting untuk bertanya apakah kami masih setia dengan misinya: menjadi pusat ilmu yang inklusif, mercusuar pengabdian, dan ruang lahirnya pemimpin masa depan. Mari kita rawat rumah ini dengan mimpi, keberanian, dan karya, agar terus menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat dan cahaya bagi Indonesia.

Selamat Dies Natalis ke-68 @universitaspadjadjaran

Ilusi Produktivitas

Banyak organisasi & tim kreatif terjebak dalam ilusi produktivitas. Mereka tampak sibuk berdiskusi, mengulas ide, bahkan mengadakan pertemuan demi pertemuan, tetapi sebenarnya hanya berputar di tempat. Alih-alih mempercepat eksekusi, diskusi yang berlebihan justru menambah keraguan. Fenomena ini dikenal sebagai paralysis by analysis: kita semakin pintar mengomentari, tetapi semakin takut melangkah. Peter Drucker pernah mengingatkan, “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Sibuk berdiskusi tanpa validasi hanyalah aktivitas sia-sia yang membungkus stagnasi.

Padahal, tujuan utama diskusi adalah memperjelas risiko dan menyiapkan mitigasi, bukan menciptakan ketakutan baru. Setiap masukan seharusnya menjadi daftar antisipasi, bukan alasan untuk menunda langkah. Dalam inovasi, kecepatan menguji ide jauh lebih penting daripada kesempurnaan rencana. Thomas Edison menegaskan, “The value of an idea lies in the using of it.” Artinya, ide tidak akan bernilai tanpa uji nyata di pasar. MVP (Minimum Viable Product) yang sederhana sekalipun bisa memberi data dan pelajaran berharga, sementara diskusi tanpa akhir hanya melahirkan asumsi.

Peran teman diskusi sangat menentukan dalam proses ini. Rekan yang baik bukan sekadar kritikus, tetapi mitra yang mendorong keberanian untuk mencoba. Kritik sehat adalah yang memperkuat kesiapan, bukan yang mematikan nyali. Karena itu, pilihlah lingkungan diskusi yang suportif, yang membantu memetakan risiko namun tetap menyalakan api eksekusi. Dan lebih penting lagi, jadilah orang yang menumbuhkan energi maju, bukan penunda. Diskusi yang sejati bukanlah arena untuk mempertahankan keraguan, melainkan batu loncatan menuju validasi.

Pada akhirnya, kita harus berani melepaskan kebiasaan memelihara asumsi. Berpikir panjang tanpa bertindak hanyalah bentuk lain dari ketakutan. Edison kembali menekankan, “Vision without execution is hallucination.” Maka simpulannya jelas: diskusi hanya bermanfaat bila mengarah pada tindakan nyata. Ide terbaik bukanlah yang paling cemerlang di ruang rapat, melainkan yang berani diuji, divalidasi, lalu diperbaiki dari pengalaman pasar.✨

Tidak sekedar menghentikan tunjangan yang besar

Tidak sekedar menghentikan tunjangan yang besar;

Sesungguhnya, yang paling berbahaya bukanlah besaran gaji atau fasilitas yang melekat pada jabatan, melainkan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan adalah ruang yang rawan karena di sana ada peluang untuk mengatur, menentukan, dan bahkan memonopoli hidup banyak orang. Bila tidak dikendalikan oleh moralitas, integritas, dan empati, maka kekuasaan bisa berubah menjadi alat penindasan.

Lord Acton pernah mengingatkan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kutipan ini menunjukkan bahwa tanpa mekanisme kontrol; baik dari hati nurani, hukum, maupun masyarakat, kekuasaan mudah berubah menjadi bencana bagi rakyat.

Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an memberikan peringatan keras bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan titipan yang harus dipertanggungjawabkan dengan adil. Nabi Muhammad ď·ş juga bersabda:

“Kepemimpinan itu amanah. Dan pada hari kiamat nanti, ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang menunaikan amanahnya dengan benar dan menunaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.”
(HR. Muslim)

Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat akan runtuh karena hanya bertumpu pada paksaan. Pemimpin bijak mestinya sederhana dan menggunakan kekuasaan untuk kebermanfaatan, sebab tanpa empati ia menjadi penindasan, namun dengan moral dan kasih sayang ia menjadi rahmat bagi rakyat.

Culture of Silence

Bersua mahasiswa yang kesulitan menentukan judul penelitian bukan karena kehabisan masalah, tapi karena kehilangan kepekaan. Hidup mereka cukup, aman, dan terlepas dari realitas yang getir. Kemiskinan, ketimpangan, atau ketidakadilan tak terasa sebagai luka, karena tidak pernah benar-benar disentuh. Seperti kata Martha Nussbaum (2010), pendidikan tanpa empati hanya akan mencetak teknokrat tanpa nurani. Ketika mahasiswa tidak merasa terganggu oleh ketimpangan di sekitarnya, berpikir kritis pun kehilangan arah: ia jadi rutinitas akademik, bukan alat perubahan.

Yang lebih menyedihkan, kampus justru sering ikut melumpuhkan kepekaan itu. Mahasiswa diajak menghafal teori sosial, tapi tidak pernah diajak menyapa dunia nyata. Paulo Freire (1970) menyebut ini sebagai culture of silence, ketika sistem pendidikan meninabobokan nalar & menghapus kegelisahan. Mahasiswa sibuk menyusun proposal, tapi jarang bertemu warga yang menjadi subjek penderitaan. Mereka bicara soal ketimpangan dari balik layar laptop, tanpa pernah berjalan di gang sempit, pasar becek, atau desa yang terpinggirkan. Kampus jadi ruang simulasi berpikir, tapi kehilangan keberanian untuk merasa.

Padahal, judul yang bermakna lahir dari kegelisahan, bukan sekadar literature gap. Seperti diingatkan Judith Butler (2009), empati adalah fondasi dari dorongan moral untuk bertindak. Jika mahasiswa tak pernah terusik oleh anak putus sekolah, oleh petani yang kalah di pasar, atau oleh warga yang kehilangan akses layanan dasar, maka riset yang mereka buat akan kosong dari keberpihakan. Mereka menulis karena disuruh, bukan karena tergugah. Skripsi pun menjadi laporan, bukan langkah awal untuk memperbaiki keadaan.

Indonesia tak butuh lebih banyak lulusan yang sekadar cerdas. Kita butuh lebih banyak mahasiswa yang gelisah, yang pikirannya tajam & hatinya terhubung. Yang tak bisa tidur saat melihat ketidakadilan. Bell hooks (1994) menulis; pendidikan yang membebaskan adalah yang mampu mengguncang kenyamanan. Jika kampus hanya mencetak mahasiswa yang mengejar nilai, tapi tak tahu harus peduli pada siapa, maka kita sedang gagal. Gagal mencetak manusia yang utuh. Dan itu bukan sekadar kegagalan akademik, tapi moralđź’”

Kalau Program Itu untuk Warga, Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Kalau Program Itu untuk Warga,
Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Coba kita jujur sebentar: berapa banyak program yang kita jalankan, tapi tak pernah benar-benar hidup di masyarakat? Poster kegiatan ditempel. Undangan rapat dibagikan. Tapi warga datang hanya karena diminta RT, bukan karena merasa butuh. Bahkan tak sedikit program selesai sesuai jadwal, laporan rapi, dana terserap, tapi setelah itu? Sepi. Tak ada yang berubah. Seolah-olah semuanya hanya rutinitas administratif, bukan upaya membangun kehidupan yang lebih baik.

Masalahnya sederhana tapi sering diabaikan: kita terlalu sering merancang program tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Kita menebak-nebak. Kita kira mereka butuh pelatihan, padahal mereka sedang sibuk bertahan hidup. Kita kira mereka kurang pengetahuan, padahal mereka sedang kehilangan rasa percaya. Kita membuat program atas nama mereka, tapi jarang bersama mereka. Inilah mengapa banyak program jadi “asing” di tengah rumah sendiri.

Program yang berpihak pada pengguna, user-centric, berarti kita memulai bukan dari asumsi, tapi dari mendengar. Dari duduk bersama warga, bertanya apa yang sebenarnya menyulitkan, dan apa yang membuat mereka tetap bertahan. Baru setelah itu kita bicara solusi. Mungkin solusinya bukan pelatihan, tapi ruang aman. Bukan sosialisasi, tapi teman bicara. Bukan bantuan, tapi akses dan kepercayaan. Saat kita mau mendengarkan, kita akan menyadari bahwa warga bukan “sasaran program,” tapi justru pemilik persoalan dan potensi.

Karena pada akhirnya, program bukan soal berapa banyak kegiatan yang kita laksanakan. Tapi apakah hidup seseorang menjadi sedikit lebih tenang, sedikit lebih kuat, sedikit lebih punya harapan. Kalau kita tak merancang dari situ, untuk siapa sebenarnya program ini dibuat?

Liberating Structures

Apakah Liberating Structures (LS), yang biasa dipakai para Agilist untuk memfasilitasi kolaborasi, bisa juga diterapkan di ruang kelas? Untuk apa LS hadir di pendidikan tinggi? Pertanyaan ini penting, karena mahasiswa sering tampak hadir dan mencatat, tetapi tidak sungguh belajar. Jika proses belajar tidak mengubah cara berpikir dan bertindak mahasiswa, maka Outcome-Based Education (OBE) kehilangan maknanya sebagai kerangka capaian kompetensi.

Hari ini kami memandu dosen-dosen Teknik Industri dalam sesi terkait OBE dan delivery method. Pertanyaan dasarnya: apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi, atau hanya sekadar lulus ujian? Banyak CPL tertulis rapi di RPS, tetapi di kelas mahasiswa tetap pasif. Kelas terlihat tertib, namun apakah ketertiban itu berarti belajar? Jika demikian, OBE hanya berhenti di dokumen.

Untuk menjembatani kesenjangan itu, kami memperkenalkan LS sebagai teknik fasilitasi dalam delivery method. Ada 33 cara yang kaya dan mudah untuk menghidupkan kelas. Nine Whys membantu menajamkan masalah produksi, 1-2-4-All memastikan semua mahasiswa menyumbang ide, dan What, So What, Now What menuntun refleksi setelah simulasi. LS sederhana, tidak membutuhkan sumber daya besar, tetapi mampu mengubah dinamika: mahasiswa yang biasanya diam ikut terlibat, dan CPL tidak hanya tertulis, tetapi dialami.

LS juga menuntut transformasi dosen. Kita terbiasa menjadi pusat jawaban, padahal mahasiswa belajar lebih dalam ketika diberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan menemukan solusi. Seperti fasilitator Agile yang memandu tim, dosen perlu bergeser dari instruktur tunggal menjadi fasilitator proses belajar. Integrasi OBE dan LS menegaskan: hasil belajar tidak cukup berupa nilai, tetapi harus nyata dalam kompetensi dan perubahan pola pikir. Pertanyaannya: apakah kita puas dengan kelas yang tenang tapi kosong, atau berani membangun kelas yang riuh, penuh ide, dan transformatif?