Membangun Tim yang Adaptif

Membangun tim yang adaptif menjadi prasyarat usaha yang baik, apalagi diera digital saat ini menuntut tim bergerak cepat dan melakukan beragam trial & error untuk menemukan momentum disruptifnya kelak.

Tim yang layak, minimum memenuhi kriteria sebagai Minimum Viable Team, berikut :
1. Tujuan bersama (Common purpose )
Founders Fit & Shared Vision yang kuat. Visi bersama adalah perekat tim. Disinilah semuanya dimulai. Perlu sadar penuh Big Why, mengapa tim ini dibentuk sejak awal? Mau kemana bertujuan apa?
Tujuan-tujuan ini tidak selalu harus mudah. Bahkan lebih baik untuk membuat tujuan yang menantang, jauh & mengundang imajinasi. Tim perlu mendapatkan energi dari visi & purposenya yang BHAG! (Big Hairy Audacious Goal)

2. Peran yang Jelas (Clear roles)
Siapa yang memainkan peran apa dalam tim? Tim perlu memikirkan semua hal yang diperlukan untuk membuatnya sukses menjadi outcomes bersama. Kita bisa membagi peran menjadi Hacker (substansi teknologi), Hustler (Pemasaran) & Hipster (Kreatif) misalnya. Tetapkan tanggung jawab setiap peran sejelas mungkin.

3. Jumlah minimum karyawan
memang sebaiknya tidak kurang dari 3 anggota. Pastikan perannya terbagi dan saling mengisi. Masing-masing individu memastikan berkomunikasi dan bekerja dengan selaras bahwa setiap inisiatifnya menuju pada goals yang disepakati.

4. Kepribadian yang seimbang (Balanced personalities)
Ngga cuma tentang peranan, tapi ternyata personality individu didalamnya pun perlu keseimbangan kepribadian yang tepat. Ini juga penting untuk saling mengisi & saling melengkapi tim. Dari perbedaan ini kemudian diikat dengan Chemistry Team-nya, maka dalam timnya akan dibutuhkan personality sebagai 1) Pioneers, 2) Drivers, 3) Integrators dan 4) Guardians. ini ‘dijelaskan dalam konsep Beblin Team agar memiliki tim yang seimbang.

5. Tujuan Terukur (Measurable Objectives)
Kita memiliki tujuan dan/atau tujuan bersama. Tim perlu lengkap dan dijaga untuk mencapai tujuannya dengan cara terbaik. Jangan lupa mengukurnya, jika tak mengukurnya, satu saat akan bergerak justru menjauhi tujuan. Cara paling terkenal mengukur kesuksesan adalah menggunakan metode OKR (Objective Key Result).

Nah bagaimana tim kamu?

Aspek Culture, Capabilities dan Leadership tiga pilar inovasi dalam sebuah komunitas yang handal

Masih tentang Collective Genius. Membangun tim apalagi ekosistem memang menjadi penting untuk membinanya melalui proses yang memiliki proses yang mewadahinya bagi tempat tumbuhnya sense of purpose, shared value dan rules of engagement-nya. 

1. Purpose, mengapa kami hadir.
2.Shared Value, apa yang disepakati adalah hal penting
3.Rules of Engagement. Bagaimana kita bisa berinteraksi satu sama lainnya terkait masalah.

Seiring dengan itu, ekosistem ini akan sangat efektif dan melompat jika didorong untuk melakukan lompatan. Komunitas sangat bisa menumbuhkan kapabilitas inovasinya, bagaimana caranya? Linda Hill, mengungkapkan tiga hal penting membangun kapabilitas ekososistem Collective Genius;

1. Torehkan kreativitasnya (Creative Abrasion), kemampuan membangkitkan gagasan melalui berbagai diskursus dan perdebatannya. Apalagi jika kemudian Ia membangun kapabilitas inovasinya. Konflik ada dinamika, selesaikan dengan gagasan-gagasan gila yang sehat.

2. Tingkatkan ketangkasan kreativitasnya (Creative Agility) dimana mulai dibangun kekuatannya untuk melalukan eksperimen yang menghasilkan dengan cepat, merefleksikan kemudian memperbaikinya (Design Thinking)

3. Resolusi Kreatif. Kapabilitas untuk memiliki pengambilan keputusan yang integratif, yang menggabung-gabungkan gagasan dengan beragam cara serta memperluas perspektifnya hingga ia justru saling memperkaya.

Ketiga aspek ini penting dibangun untuk melakukan berbagai lompatan, dilakukan dengan serius dan konsisten. Jika ketiga hal ini dijalankan dengan konsisten, dengan innovative leadership yang sungguh-sungguh! Tak diragukan bahwa bersatu padu membangun kapasitas menjadi sebuah Collective Genius! 

Aspek Culture, Capabilities dan Leadership tiga pilar inovasi dalam sebuah komunitas yang handal. Culture, adalah minat yang kuat dalam melakukan upaya keras dan mengarah pada inovasi. Capabilities adalah kemampuan yang dimilikinya hingga Leadership terkait seni dan prakteknya dalam mencipta ragam inovasinya.

Selamat meracik Culture, Capabilities, Leadership di ekosistem kamu!

Melompat!

Bagaimana dengan ekosistem kamu, sudah jadi collective genius?🚀🚀

Menjalankan sebuah inovasi memerlukan sebuah ekosistem yang mau & mampu melaksanakan kerja kerasnya menuju proses inovasi. Dalam proses kerja kerasnya, kerangka inovasi ini membutuhkan tiga pilar penting, yakni:

1. Sense of Purpose, menjadi paham mengapa kita ada. Big why menjadi perlu sebagai alasan kuat dan menjadi energi terbesar pergerakan. Sense of Purpose memberi ruh dalam setiap tindakan keseharian. Tanpanya,  kita hidup layaknya seperti Zombie, yang hidup tapi tidak hidup, bisa bergerak tapi tanpa jiwa, bisa bertindak tapi tanpa rasa😥😥

2. Shared Value. Porter mengartikan shared value atau nilai bersama dengan “berfokus pada mengidentifikasi dan memperluas hubungan antara kemajuan masyarakat dan ekonomi”. Shared value dianggap konsep ideal yang melibatkan penciptaan nilai ekonomi bersamaan dengan penciptaan nilai bagi masyarakat dengan memenuhi kebutuhan dan mengatasi tantangannya. Creating shared value (CSV) adalah sebuah konsep yang memainkan peran ganda, yaitu menciptakan nilai ekonomi dan nilai sosial secara bersama-sama (shared), tanpa salah satu diutamakan atau dikesampingkan🤗🤗

3. Rules of Engagement. Hal ini juga menjadi pilar yang menantang, bagaimana menyelaraskan setiap kebutuhan dan cita-cita individu dengan organisasinya. Membangun budaya untuk saling berinteraksi dan bagaimana memiliki kesamaan perspepsi hingga cara berpikir yang bermuara pada pencapain goals bersama.

“Leaders of innovation teams are successful when they collaborate, engage in discovery-driven learning, and make integrative decisions”-:Linda Hill –  Collective Genius: The Art and Practice of Leading Innovation.

Menyeimbangkan tiga pilar budaya diatas justru menjadi pilar penting keberlanjutan, menjaganya untuk tetap memberikan ruang belajar, tumbuhnya ambisi-ambisi positif, kolaborasi, tanggung jawab dan proses tumbuhnya para pembelajar sepanjang hayat dan bertransformasi menjadi Collective Genius.

Bagaimana dengan ekosistem kamu, sudah jadi collective genius?🚀🚀

Membangun kultur adalah tantangan yang paling menarik, tak nampak tapi energinya terasa

Membangun kultur adalah tantangan yang paling menarik, tak nampak tapi energinya terasa. Bahkan hal ini kerap terlupakan karena banyak hal-hal visual menggoda lupa fundamentalnya.

Beberapa hari ini beragam komunitas datang berkunjung ke Rumah Kolaborasi kami di Bandung, bertukar pikiran bagaimana sesunggunya membangun kultur yang ideal yang bisa menjadi penopang keberlanjutan organisasi. Ketika berkunjung, kami selalu memulai dengan ucapan selamat datang kemudian bergegas untuk Room Tour. Ada total tujuh ruangan gagasan di rumah ini, setiap ruang memiliki tim dengan kulturnya masing-masing, sesuai dengan DNA setiap startup yang mengisinya. Pendekatan Design Thinking, Scrum dan Agile memang sangat terasa pada setiap bagiannya, namun dikontekstualkan dengan model bisnisnnya masing-masing hingga melahirkan beragam cara baru untuk melakukan aneka ragam pendekatan yang inovatif.

Kultur yang saling beda ini justru menghadirkan ekosistem yang saling melengkapi, menjadi fleksibel dan stabil disaat yang sama. Menyeimbangkan kebutuhan internal dan eksternal diwadah yang sama. Ekosistem ini memberikan ruang kolaboratif untuk melakukan hal-hal bersama, memadukan elemen-elemen internalnya bersinergi secara fleksibel dalam kultur Clan. Disandingkan dengan ruang yang akan banyak mencipta beragam kebaruan, memadukan fleksibilitas dengan kepentingan eksternal dengan melakukan hal-hal baru dalam Adhocracy Culture.

Meski begitu, keragaman ini justru tak menghilangkan keinginan berkompetisi, melakukan hal dengan cepat hingga punya Market Culture yang baik. Walau Clan Culture yang mendominasi rumah ini dengan organisasi yang bersifat network, bukan berarti juga menghilangkan Hierarchical Culture, kontrol untuk melakukan hal-hal dengan tepat masih ada namun lebih agile dengan beberapa pendekatan baru yang modern.

Membangun culture memiliki urgensinya tinggi. Untuk memulainya ada beragam ritual dan mekanismenya, dipetik dalam jangka panjang karena menumbuhkannya memerlukan proses. Karena keberhasilan untuk sukses bukan sekedar berhenti di titik berhasil menjual misalnya, tapi bagaimana memastikan keberlanjutannya. Kapan kita belajar membangun kultur organisasi lagi? Gas!