Collective Leadership

Perbincangan menarik di sebuah tim yang membandingkan tim lain terkait leadershipnya. Ia berkata “Tim disana leadershipnya kuat, anggota timnya punya petunjuk & menurutinya, timmnya selalu tertib & berjalan sesuai kehendak pemimpinnya” Kemudian saya menjawab, “jika kamu berada di tim tsb, apakah kira-kira kamu berkenan mengikuti arahan leadernya hingga detail?”

Perbincangan ini mengarah pada pertanyaan, mana yang lebih baik? Keduanya baik, kita tak bisa memaksakan kultur yang sama pada organisasi yang beda, terlebih sejarah & kulturnya beda. Yang terbaik adalah dimana organisasi berjalan bahagia menuju visinya. Disinilah kita bisa memaknai mana organisasi yang memang baik menggunakan Traditional Leadership atau Collective Leadership.

Collective Leadership, ketika sekelompok individu bekerja bersama & berbagi tujuan. Anggota di dalamnya secara internal & eksternal termotivasi bekerja bersama menuju visi bersama dalam sebuah kelompok menggunakan talenta-talenta uniknya dengan beragam keterampilannya untuk saling berkontribusi bagi kesuksesannya. Kepempimpinan kolektif merekognisi bahwa kesuksesan yang langgeng tidak mungkin terjadi tanpa perspektif & kontribusi yang beragam.

Sebuah proses yang tergantung pada keterhubungan antarbagian yang saling bekerja sama.Bagaimana kelompok bisa bekerja bersama dengan keunikan tiap oranglah yang membedakannya dari kepemimpinan tradisional.

Ada pembagian tanggung jawab, pengambilan keputusan, akuntabilitas & ikatan otentik. Semua dilibatkan dalam mencipta visi & berkomitmen bekerja untuk mencapai visinya. Asumsinya bahwa tiap orang dapat & perlu memimpin. Hanya saja, jika kamu memilih tipe ini maka perlu kondisi khusus untuk memastikan keberhasilan secara keseluruhan, yakni membangun kepercayaan, shared power, komunikasi transparan, efektif, akuntabilitas & pembelajaran bersama. Hal ini didasarkan pada pengakuan bahwa tanpa karunia, bakat, perspektif & upaya banyak pihak, perubahan berkelanjutan akan sulit dicapai.

-A key aspect of collective leadership is that the success depends on the leadership within the entire group rather than the skills of one person- -Follett-

Mana yang kamu banget The Dip, Kuldesak & Cliff?

Beberapa hari ini law attraction saya selalu tertuju pada individu / organisasi yang sedang berada pada titik terendah dalam fase hidupnya, mengingatkan konsep The Dip dari Seth Godin atau fase jurang kematian dalam proses kreatif. Fase belajar terberat dalam bagian hidupnya. Jika berhasil akan menjadikannya naik kelas. Saya lebih senang menyebut fase ini sebagai titik mula (kembali) menuju perubahan yang lebih baik, fase belajar banyak yang diuji dengan menyelami keadaan sulit & ditantang menghasilkan beragam keberhasilan dengan cara-cara baru serta konsistensinya.

The Dip adalah salah satu kurva yang menggmbarkan proses pembelajaran dalam hidup, bisnis atau jenis usaha lainnya, namun ini bukan satu-satunya kurva. Kita perlu lihat kurva lainnya dan belajar mengambil keputusan keputusan mana yang terbaik, kapan kita perlu berhenti & atau kapan kita perlu pecepat larinya. Coba lihat kurva permasalahan kamu dalam tiga tipe kurva berbeda, Mana yang kamu banget The Dip, Kuldesak & Cliff?

1. The Dip, keadaan terendah yang direspon dengan kerja extra miles keluar dari beragam tantangan menuju untuk masa depan lebih baik dengan kosistensi, pandai mengurai energi, kesabaran.
2. Kuldesak, jika kamu melihat bahwa prosesnya “gini-gini aja” maka kamu perlu memutuskan berhenti & segera tentukan waktunya.
3. The Cliff. Jika kamu lihat trennya menukik bakal jadi jalan buntu, maka penting untuk diketahui kita memang harus berhenti. Kondisi di awal terlihat punya potensi baik namun berikutnya menunjukkan penurunan terus menerus, jika diteruskan maka akan jatuh.

Orang-orang yang sukses justru adalah orang yang tau kapan Ia harus berhenti, kapan harus bekerja keras & kematangan pengambilan keputusan. Tapi, jika berbicara boleh berhenti, bukan berati kamu boleh jadi Serial Quiter, yakni orang yang berhenti dan berganti-ganti wadah belajarnya. Jika kamu lakukan ini maka kita tak akan kemana-mana. Bisa melakukan banyak hal tapi tak ada hasil yang berarti. Kamu perlu istiqomah, bukan jadi Serial Quitter.

Coba analisa kekuatan sumberdaya, ilmu, tujuan, dampak jangka pendek-panjangnya & kesiapannya sebelum ambil keputusan. Jadi mau mengarungi Dip kamu?

Pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya

Sehari-hari saya bersama mahasiswa, kebetulan mereka penikmat micin, sering kami menemukannya kesulitan menikmati makanan enak berbumbu alam asli. Anak-anak ini sepanjang pendidikannya memang mengenal mengunyah itu 30x, tapi sering kali makan dengan cepat (?).

Mengunyah lama memungkinkan tubuh mengekstrak nutrisi dalam jumlah paling besar dari makanan yang dilahap, itu isi materinya. Namun, dalam proses belajarnya tak mengajarkan cara menikmati 30x mengunyah intens, hingga Ia bisa tau beragam rasanya, menikmati bumbu & tekstur berbagai indera perasa & pengecapnya. Hal inilah yang jadi sebab mengapa mereka kehilangan mindfulnessnya dalam ritual makan.

Hal diatas adalah sebuah analogi, terkait mengapa kita perlu sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan yang orientasinya untuk membersamai pembelajar untuk tumbuh dengan karakter & integritas yang melekat kuat pada dirinya lengkap dengan cara pandang yang tepat dengan nilai-nilainya. Sering kali dunia pendidikan kita memang tersesat dengan ritual, entah itu dinamakan pembiasaan atau kewajiban-kewajiban formalistik yang diperkenalkan tanpa makna hingga kehilangan arti & nilainya.

Aktivitas belajar yang semestinya membawa pembelajar mencintai proses belajar justru terjebak pada aktivitas tanpa makna. Bisa jadi karena kita banyak belajar substansi tanpa konteks, membuat siswa kehilangan daya kritis & kemampuan adaptasi dengan keadaan yang berbeda hingga cukup menantang baginya untuk bisa tetap relevan.

Perlu kita renungkan apakah lembaga pendidikan kita kini tak lagi berani bicara lantang tentang substansi yang kontekstual di mimbar-mimbar akademiknya & kemudian terbawa pada ruang-ruang belajar? Jadi teringat sebuah grup WA akademisi yang lebih sering muncul adalah ucapan selamat dari pada berbicara gagasan atau substansi, jika muncul substansi malah tak terbahas lugas.

Mendampingi belajar cara menikmati & menginternalisasinya memang perlu proses, waktu & kesabaran (Kurikulum), beda dengan mewajibkannya ritualnya saja yang cepat. Tugas pendidikan justru bukan untuk semata-mata tahu & mengerjakan ritualnya, tapi justru menginternalisasi maknanya yang mendorongnya secara sukarela Ia melakukan aktivitasnya.

“Creating the Best Workplace on Earth”

Baca lagi artikelnya Rob Gofee & Gareth Jones, tentang “Creating the Best Workplace on Earth” ada satu ungkapan menarik bahwa ruang karya adalah ruang dimana individu-individunya diakmodasi oleh perusahaanya dengan beragam keanekaragamannya, mereka sering terjebak pada membatasi diri pada kategori keragaman tradisional seperti gender, ras, usia, etnis & sejenisnya.


Namun saat ini justu yang paling didamba adalah bagaimana ruang karya bisa mengakomodir perbedaan perspektif, kebiasaan berpikir & asumsi. Organisasinya jadi wadah dinamis menghasilkan banyak inovasi baru karena kaya gagasan.


“Let People Be Themselves”
Organisasi yang kaya gagasan berbeda & membiasakan diri menyatukannya akan berlari lebih kencang, dan ini lazim pada organisasi yang inovatif. Ruang karyanya memperkenankan beragam inisiatif berbeda namun dipastikan mereka mengarah pada hasil.

Organisasi bisa kita bentuk menjadi tempat dimana setiap orang menjadi dirinya sendiri & berbaur -Let People Be Themselves- , kegembiraan itu akan hadir, pemimpinnya pun akan membawa timnya untuk fokus pada kekuatan individunya, bergerak karena melihat aset yang dimiliki, bukan “deficit focused”.

Magnify People’s Strengths
Keleluasaan berkarya bisa jadi karena prinsip organisasi yang dianut adalah bagaimana melakukan upaya “Magnify People’s Strengths”, membuat karyawan terbaiknya menjadi lebih baik, paling tidak lebih baik dari yang pernah mereka bayangkan. Tiap orang tumbuh bersama.

Stand for More Than Shareholder Value.
Memberikan ruang agar individu didalamnya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, mendekati pada sesuatu yang dapat mereka percayai adalah perjalanan proses yang bermakna.

Sudah menjadi hal yang biasa untuk menegaskan bahwa organisasi membutuhkan makna bersama “shared meaning”, Tapi shared meaning ini lebih dari sekadar memenuhi keinginan individu/organisasinya, ini tentang bagaimana menempa & memelihara hubungan yang kuat antara nilai-nilai pribadi & organisasinya bersamaan.

Shared meaning is about more than fulfilling your mission statement—it’s about forging powerful connections between personal and organizational values – Gofee

KOMINFO memblokir beragam platform yang digunakan para pelaku peranan masa depan

Kominfo memblokir beragam platform yang digunakan para pelaku peranan masa depan. Eranya sudah maju tapi tampaknya pemerintah masih juga tergagap-gagap memahami era digital.

Dunia digital menghadirkan peranan baru, pekerjaan baru. Tumbuh banyak para Gig Economy – Contingent Workers yang memberikan banyak fleksibilitas. Pekerjaan ini bisa berupa independent contractors, freelancers, konsultan bahkan gamers!

Bekerja dengan cara-cara baru yang kerap kali tak pernah dibayangkan. Punya keleluasaan eksplorasi beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan & melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak. Gig menawarkan fleksibilitas yang begitu maksimal baik bagi perusahaan ataupun bagi pekerjanya. Selain itu juga menawarkan efisiensi yang sangat menarik bagi para pelakunya hingga dapat memastikan akselerasi yang baik.

Kegagalan paham kerap terjadi karena tak juga mampu melihat secara holistik, juga sistematika kerjanya yang silo kerap kali menimbulkan korban di masyarakat terutama terkait potensi tumbuhnya teknologi baru yang melahirkan ekonomi baru dengan cara-cara baru dianggap melanggar, aturan dijadikan senjata, “unintended consequences”nya tidak banyak dipikirkan

Kebijakan yang tidak pro digital ini memang diakibatkan kesenjangan digital yang masif, tertinggal paham bagaimana proses bisnis berjalan sekarang. Coba lihat dari generasi mana pengambil kebijakan vs siapa pelaku ekonominya. Alih-alih harus lapor, kebijakan ini malah menghancurkan industri secara menyeluruh juga ekositemnya. Walau misal PayPal dibuka lagi sementara, karena tekanan publik & memberikan kesempatan publik untuk pindahkan saldo (?) lalu bagaimana kepastian jangka panjangnya?

Ruang digital yang aman & kondusif itu dipahami dengan kerangka pikir yang tepat, pahami dulu proses bisnisnya, tarik garis waktu penyelesain elaboratifnya. Perusahaan-perusahaan digital yang jadi tempat para Gig ini bekerja umumnya adalah perusahaan global yang reputasi & kegunaanya jelas. Pendekatan-pendekatan merangkul ekosistem inovatif seringkali kontradiksi dengan inovasi. Inilah yang perlu jadi pembelajaran lebih lanjut, agar kita tak terjebak cara-cara lama di era yang baru.

Tipe organisasi bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Perbincangan menarik dengan sahabat saya malam ini, teman yang sering kali jadi lawan bicara terkait mimpi masa depan. Mungkin mimpi kita memang kadang kala ngga muat dengan organisasi yang kita diami saat ini.

Wadah yang seperti apa sebenarnya yang membuat kita bisa begitu energik dalam melakukan setiap langkah karya kita dengan bahagia? Dimana kita bisa sebebas mungkin membawa mimpi & membumikannya. Tipe organisasi ini bernama DREAMS! (Rob Goffee & Gareth Jones, HBR 2013)

Difference – “I want to work in a place where I can be myself.” Ketika tempat bekerja kita menjadi tempat yang mewadahi diri kita apa adanya. Bisa menjadi diri sendiri dan saling melengkapi dengan kawan lain.

Radical honesty – “I want to know what’s really going on.” Jujur, tak banyak drama hingga segala sesuatu tentang proses berkarya menjadi terang benderang, kejujuran ini sering kali menghilang atas nama menghormati pimpinan atau rasa segan sesama tim.

Extra value – “I want to work in an organization that makes me more valuable.” Tempat bekerja bukanlah hanya sekedarnya jadi tempat biasanya bekerja, tapi justru menjadi wadah yang membuat setiap individunya menjadi lebih bernilai.

Authenticity – “I want to work in an organization that truly stands for something.” Tempat bekerja yang otentik adalah tempat dimana kita memang bekerja karena kesungguhan mencapai tujuan, fokus dengan goalsnya, teguh karena purposenya.

Meaning – “I want my day-to-day work to be meaningful.” Setiap harinya memberikan banyak pembelajaran, menumbuhkan nilai yang berarti & memberikan semangat yang meletup karena banyak makna baru hadir.

Simple rules – “I do not want to be hindered by stupid rules.” Poin terkakhir ini banyak terjadi di beragam organisasi, kala banyak aturan mengekang. Saat ini, justru nilai-nilai dan integritaslah yang menjadi dasar segala eksperimen inovatif yang diperlukan untuk melompatkan inovasi jauh diatas harapan. Nilai ditumbuhkan dengan membangun budayanya.

Buat kamu yang punya tempat kerja belum ideal mewadahi mimpi kamu, yang sabar yaa! Ada kalanya memang seorang agen perubahan menjalani mimpinya terlebih dahulu dari pada yang lainnya, proses petualangannya akan seru dan menantang!

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Bincang bersama @daarut.tauhiid@smkdaaruttauhiid tentang pendidikan yang transformatif, mengemukakan lagi betapa pentingnya kita menyegerakan proses pendidikan yang kontekstual dengan jaman, yang relevan dengan perkembangan teknologi namun tetap dengan benang merah nilai-nilai luhur yang menjadi landasan setiap insan untuk menggali beragam kreatifitasnya menghadirkan dampak positif bagi sekelilingnya.

Tantangan jaman yang berbeda, perubahan yang cepat memiliki problematika yang berbeda pula. Begitu pula dengan cara-cara memahami permasalahan, cara berpikir kritis. Ditambahkan dengan cara-cara baru bersolusi, creative thinking. Solusi yang benar-benar membawa dampak baik karena benar-benar paham terkait masalah yang dihadapi.

Pendidikan kewirausahaan, sering kali jadi jargon banyak sekolah, tujuannnya jadi pebisnis. Padahal kewirausahaan itu sebenarnya adalah wadah belajarnya saja. Justru yang dituju adalah jiwa, keterampilan dan nilainya yang penting untuk diambil. Kemampuannya berpikir kritis, kreatif dalam bersolusi dan menjaga dirinya untuk tetap konsisten mencapai tujuannya hingga Ia mendatangkan kebermanfaatan.

Dalam menggiring seseorang dalam proses pendidikan, bentuk kewirausahaan itu dapat diaktualisasikan dalam minimum tiga peran;

1. Berwirausaha; Jika Ia Ingin berwirausaha, mengembangkan usaha mandiri, inovatif berdampak bagi lingkungan sekitar

2. Intrapreneur; Jika Ia ingin memiliki profesi sesuai dengan kompetensinya, memiliki leadership dan Business Acumen yang baik bagi organisasi tempatnya bekerja.

3. Gig, Contingent workers, jika Ia ingin memiliki keleluasaan untuk mengeksplorasi dengan beragam ekosistem yang menariknya untuk berperan dan melakukan beragam karya secara elaboratif yang berdampak

Ujung dari pendidikan adalah manusia bermanfaat. Untuk itu menjadi tugas bersama jadi ekositem yang saling sinergi memastikan proses pendidikan melahirkan manusia bermanfaat yang terencana, hingga memperbesar peluang keberhasilan mewujudkannya. Tantangan saat ini tentu sangat besar, mengubah paradigma, membawa paradigma yang lebih relevan & mencipta solusi-solusi yang lebih baik.

Dibagian mana kamu ambil bagian dalam ekosistem proses pendidikan?

Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Satu hari saya kesulitan menghubungkan bluetooth saya hingga imusic tak kunjung menyala di kendaraan, akhirnya menyerah. Kemudian ditelusurilah saluran radio yang sudah lama sekali tak disentuh ketika berkendara.

Kebetulan seorang kawan radio yang lama tak jumpa, menghubungi melalui Whatsapp berkabar tentang nomor barunya, kemudian Ia bercerita tentang sebuah stasiun radio yang tempat Ia bekerja saat ini. Ternyata radio itu adalah saluran yang saya sering kali saya setel tak sengaja & jadi ketagihan.

Dari pembicaraan itu kemudian lihat webnya, ada kalimat menarik terkait purpose radio itu hadir, di halaman pertamanya dituliskan “Menyajikan musik yang memberikan perasaan senang, sehingga memberikan pendengarnya energi/vibe positif” terus terang saya kaget! Mengapa, karena jarang sekali sebuah usaha menuliskan konsep “The Jobs To Be Done” dengan lengkap dan tepat!

Jika dalam penetapan segmen konsumennya bukan mengarah pada genre lagu, atau usia dan gender apa, tapi lebih ke outcomes customer. Di radio ini didefinisikan sebagai “perasaan & mood pendengarnya setelah mendengar lagu di radio ini”. Lebih nyentrik lagi karena ungkapan “gak perlu jadi radio nomor 1….yang penting kalo bosen sama radio nomor 1 di channel kamu, bisa kali dengerin Voks!” keren!

Dibalik kalimat ini saya duga ada model bisnis menarik, karena biasanya usaha menggunakan TJBD yang baik berasal dari ide & organisasi yang inovatif. Nama radio ini VOKS!  salah satu inovasi bagaimana menghidupkan lagi radio dan me-relatekannya di era digital.

Pas dilihat, dari sudut pandang model dan proses bisnis ternyata unik banget! Model bisnisnya sebagai corong Kutus-kutus, sebuah produk Minyak Balur. makanya namanya VOKS, Voice of Kutus-Kutus! Dibuat sebagai radio jaringan untuk mendistribusikan Kutus-kutus.. jadi biaya iklan rupanya berputar jadi corong marketing inovatif pada jejaringnya sendiri, keren!

VOKS Radio jika di Jogja masih terdengar baru ini sebenarnya sudah dulu bernama Rakosa yang kemudian diakuisisi oleh pemilik PT. Kutus Kutus Herbal yakni Bambang Pranoto. Sekarang ada dibanyak kota! Menyandingkan Radio di era digital X Minyak Balur adalah ide gila, juga dengan TJDB yang tepat!

Kemampuan Critical Thinking

Terburu-buru menilai, memutuskan & menyimpulkan. Proses ini biasanya disebut sebagai fast thinking, menyebabkan seseorang kehilangan objektifitasnya & kemampuan berpikir kritisnya seketika jadi lenyap. Hal ini juga terjadi ketika ternyata mayoritas berkata sama hingga jadi ukuran kebenaran. Apalagi orang-orang ternama juga yang juga tergesa menyimpulkan menjadi rujukan pembenaran.

Kasus Baim mendaftarkan Haki Citayam Fasion Week menjadi menarik dari kacamata critical thinking apalagi dari kacamata proses bisnis, ketika sebagian besar tokoh justru terburu-buru menghakimi seperti “Created by the poor, stolen by the rich”, “serakah!” dan atau “tak beretika”. Komen-komen ini memenuhi jagad dunia maya ketika sebuah media membawa berita berita dengan judul “ Perusahaan Baim-Paula mendaftarkan Brand Citayam Fashion Week” .

Kemampuan critical thinking kita memang diuji, ketika media-media kita sering memberitakan hal-hal yang konteksnya hilang dari judul. Menghilangkan konteks dari judul tentunya akan membawa polemik besar karena memancing keributan karena menuai perdebatan, ya mereka berhasil sih karena tujuan media tsb ya itu. Dibaca banyak orang!

Sebagai pegiat kreatif tentunya kemampuan kita membaca konteks menjadi krusial. Apalagi manganalisis kejadian, keterhubungan simpul-simpul pelaku, meninggikan cakrawala jadi penting dalam menarik kesimpulan. Sesungguhnya trending topic Baim & CFW ini menarik dibahas dari sisi kolaborasinya, terlepas dari etika ya krn CFW sudah jadi milik umum.

Baim X Bonge adalah kasus menarik, kolaborasi jika boleh dibilang, bagaimana Baim berkomunikasi dengan Bonge CS, bagaimana Baim memvaluasinya dengan membayar 500juta pada inisiatornya, bagaimana mereka menangkap momentum dan bagaimana menjadikan Hak Kekayaan Intelektual menjadi nilai ekonomi serta mendistribusikan keuntungannya secara adil dalam model bisnisnya adalah tema menarik ketimbang tergesa menyimpulkan.

Bentuk-bentuk kolaborasi yang makin gila ini tentu makin banyak orang tak paham. Selalu ada 6 topi berpikir jika menurut Edward de Bono, jangan menyimpulkan dari sisi topi hitam, karena ada 5 topi lain untuk menyimpulkan lebih luas. Kapan nih kita bahas?

Bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?

Seseorang bercerita pada saya, suatu saat Ia pernah mengemukakan kegelisahannya pada pimpinan, yang pada awal asumsinya Ia akan didukung pimpinan dalam memegang teguh prinsip manjemen perubahan. Biasanya Pimpinan akan berperan jadi sponsor dalam perubahan, dan Ia sangat percaya itu.

Namun tampaknya realita tak sesuai dengan kenyataan, membukakan matanya ketika ternyata masih jadi peer panjang berharap seorang pemimpin yang menjadi bumper perubahan ketika ada dinamika hadir dalam prosesnya.

Budaya yang suportif memang menjadi tantangan masif terutama pada organisasi-organisasi konvensional yang masih mengharap zona nyaman dalam menghadapi era perubahan.

Pemimpin yang sadar betul bahwa proses perubahan itu penting maka Ia perlu melatih dirinya dengan sungguh-sungguh menjadi “Visionary Leaders”, punya mimpi yang kuat menghadirkan gagasan baru di masa datang. Dibalik proses tranformasi, agile leaders adalah salah satu kunci penting, Agile comes from the top. Mengarahkan Ia dan timnya menjadi “Being Agile” dengan memahamkan pentingnya;

1. Urgensi
2. Koalisi
3. Visi
4. Komunikasi
5. Aksi dan Pembedayaan
6. Kemenangan-kemenangan
7. Konsolidasi
8. Institusionalisasi
Membangun kedelapan hal ini adalah proses transformasi, dibangun dan dirawat yaa, karena ini bukan sulap.

Dalam prosesnya, yang terbaik adalah menumbuhkan budaya yang suportif, ini yang kerap kali tak ditumbuhkan tapi ingin segera menghasilkan. Pimpinan mendorong dukungan atas perubahan dengan menumbuhkan Awareness, Desire, Ability, Promote & Transfer. Ingat lagi bahwa ini transformasi, bukan sulap! Lakukan inspeksi pada setiap perubahan dan adaptasi secara terus menerus.

Setelah hal ini dilakukan, maka bantulah dengan perangkat-perangkat bantuan. Melengkapi Being Agile dengan Doing Agile dengan memandu tim untuk paham bahwa proses adopsi dipastikan berawal dari 1) Problem Driven, 2) Adopsi Praktek Agile dan 3) Memastikan increment2nya terwujud.

Perubahan dilakukan diatas perubahan memang memancing dinamika, disini perlu hadir para pemimpin yang menjadi sponsor perubahannya, bagaimana dengan kamu bisa jadi sponsor perubahan?