Leader Ngga Punya Midsheet Design Thinking Nih

Dalam banyak sesi pelatihan Design Thinking, sering kali muncul pernyataan seperti, “Harusnya pimpinan saya yang ikut, karena beliau yang punya kewenangan!” Pernyataan ini mencerminkan anggapan bahwa kepemimpinan hanya terkait dengan jabatan tertentu. Padahal, kepemimpinan bukan sekadar soal hierarki, melainkan tentang bagaimana setiap individu mampu mengambil inisiatif, berempati, dan menggerakkan perubahan—itulah mengapa setiap orang adalah pemimpin.

Design Thinking bukan hanya alat inovasi, tetapi juga pendekatan kepemimpinan. Dengan prinsip dasarnya yang berfokus pada empati, kolaborasi, dan eksperimen, Design Thinking membentuk pemimpin yang lebih terbuka, adaptif, dan berorientasi pada solusi yang berdampak. Kepemimpinan dalam konteks ini tidak ditentukan oleh posisi, tetapi oleh cara seseorang berpikir, bertindak, dan mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.

Bagi mereka yang saat ini berada dalam tim, kepemimpinan berarti memiliki kemampuan menerjemahkan kebijakan pimpinan ke dalam implementasi yang lebih relevan dan efektif. Dengan memahami prinsip Design Thinking, anggota tim tidak hanya menunggu arahan dari atas, tetapi juga proaktif dalam menjembatani visi strategis dengan realitas di lapangan. Mereka memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya dieksekusi, tetapi juga diperkaya dengan pendekatan yang berpusat pada kebutuhan pengguna atau pelanggan.

Pendekatan ini membentuk budaya everyday leaders—orang-orang yang tidak menunggu gelar atau jabatan untuk memimpin, tetapi berani mengambil peran dalam menciptakan perubahan, sekecil apa pun kontribusinya. Ketika pola pikir ini berkembang di seluruh organisasi, inovasi tidak lagi bergantung pada individu di puncak hierarki, melainkan menjadi energi kolektif yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan.

Maka, pertanyaan yang lebih relevan bukanlah, “Siapa yang seharusnya mengikuti pelatihan ini?” melainkan, “Bagaimana setiap individu dapat menerapkan pendekatan ini untuk memimpin perubahan dari posisinya masing-masing?”

Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang jabatan, tetapi tentang keberanian bertindak dan menciptakan dampak.

Sarnoff’s Law Vs Metcalve’s Law

Pernah ngga kamu ngalamin bimbingan sama Dosen yang isinya cuma nunggu giliran buat dapet jawaban dari dosen?

Udah datang, duduk, diem, terus nanya ke dosen aja dan nggak ada interaksi sama temen lain. Nah, jika semua orang cuma ngandalin satu sumber, ya wajar aja prosesnya jadi jadi lama dan nggak maksimal. Ini kayak Sarnoff’s Law, di mana nilai jaringan cuma sebanding dengan jumlah orang yang terhubung langsung ke satu pusat (dosen). Hasilnya? Belajar jadi antrian panjang yang bikin frustrasi. Dosennya juga jadi mumet (Curcol)

Padahal, kalau kita bisa memulai budaya untuk saling cerita, saling belajar, dan saling bantu, efeknya bisa jauh lebih besar! Bayangkan kalau mahasiswa bisa diskusi bareng, nyari solusi bareng, dan ngasih perspektif baru satu sama lain. Walau berbeda topik penelitian, berperilaku divergen dalam memperbaikinya. Hasil dari proses ini nggak lagi linear, tapi eksponensial (Metcalfe’s Law). Makin banyak yang aktif berkontribusi, makin kaya juga pembelajarannya, ya tiap orang jadi ikut pinter!

Dalam kasus ini, Dosen nggak perlu jadi satu-satunya sumber jawaban. Peran dosen berubah jadi orkestra yang mengarahkan, bukan jadi Google yang kasih jawaban instan. Mahasiswa bisa eksplorasi lebih luas, dapet lebih banyak sudut pandang, dan belajar dengan cara yang lebih seru.

Jadi, kenapa masih stuck di sistem ngantri bimbingan kalau bisa belajar dengan cara yang lebih powerful? Saatnya ubah pola pikir, bangun network effect, dan bikin pembelajaran bisa narik insight jauh lebih banyak!

Mengapa Pemilik Warung Lebih Layak Dibantu Daripada Warungnya

Simak deh ungkapan ini:
Saya mau bantu Warung Tegal memisahkan sampah,” lalu membawa 2 tempat sampah kuning & hijau. Tapi, masalah pemilahan sampah tetap tidak terselesaikan🥲

Membantu Warung Tegal adalah kesalahan dalam Design Thinking karena Warung Tegal adalah benda mati—tempat, fisik, atau sistem. Design Thinking berfokus pada manusia di balik masalah. Kalimat yang tepat adalah: “Saya mau bantu pemilik Warung Tegal.”

Dengan fokus ini, langkah berikutnya adalah berempati pada pemilik warung, individu yang menjalani rutinitas, menghadapi tantangan, dan memiliki kebiasaan tertentu. Mungkin pemilik merasa pemilahan sampah memakan waktu, merepotkan di tengah kesibukan, atau tidak memahami pentingnya pemilahan. Bisa jadi ada kendala lain, seperti tidak ada sistem pengangkutan sampah terpilah atau keterbatasan ruang yang membuat tempat sampah tambahan mempersempit area kerja.

Dengan berfokus pada pemilik warung, solusi tidak hanya sebatas menyediakan tempat sampah, tetapi juga memahami perilaku, motivasi, dan hambatan mereka. Solusinya bisa berupa edukasi, perubahan proses kerja yang lebih praktis, atau kemitraan dengan pengelola sampah terpilah.

Kalimat “Mau bantu siapa?” mencerminkan pola pikir Design Thinker sejati karena fokusnya pada orang yang dibantu. Ini selaras dengan prinsip User Centricity, di mana inovasi dimulai dari pemahaman mendalam tentang siapa pengguna atau orang yang menghadapi masalah. Pendekatan ini menempatkan empati di depan, mendorong pemahaman tentang kebutuhan, keinginan, dan tantangan pengguna sebelum mencari solusi.

Sebaliknya, pertanyaan “Mau dibantu apa?” menggeser fokus ke solusi yang mungkin tidak relevan dengan kebutuhan sebenarnya. Ini menunjukkan pendekatan reaktif dan solusi-sentris, bukan user-centric. Dengan langsung menanyakan “apa”, ada kecenderungan mengasumsikan masalah sudah jelas, padahal sering kali yang terlihat bukanlah akar masalah.

Inti Design Thinking adalah memahami bahwa inovasi bukan tentang menciptakan solusi canggih, tetapi membantu orang dengan cara yang bermakna dan relevan. Empati adalah langkah pertama yang krusial—tanpanya, solusi terasa dangkal dan tidak relevan, meskipun secara teknis benar🎉

Retrospective Canvas

Akuntabilitas vs Transparansi:
Mana yang Lebih Penting?

Dalam organisasi yang agile, transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting yang mendukung kelincahan dan efektivitas kerja. Keduanya saling melengkapi, tapi akuntabilitas menjadi faktor penentu keberhasilannya.

Agile bukan cuma tentang bekerja cepat dan fleksibel, tetapi juga memastikan setiap individu bertanggung jawab dengan perannya.

Agile juga memberikan kebebasan buat tim untuk bikin keputusan cepat dan menyesuaikan strategi sesuai kebutuhan. Tapi, kebebasan tanpa akuntabilitas bisa banget segalanya jadi tidak teratur. Tanpa rasa tanggung jawab, kerja sama jadi tidak efektif, prioritas mudah berubah tanpa arah, dan tujuan sulit tercapai. Akuntabilitas memastikan setiap individu memahami perannya, berkomitmen terhadap hasil, dan tidak sekadar menjalankan proses tanpa tanggung jawab.

Transparansi tetap penting dalam mendukung keberhasilan. Keterbukaan informasi memungkinkan tim bekerja lebih efektif, menghindari silo, dan mendorong komunikasi terbuka. Praktik seperti daily stand-up meetings, retrospective sessions, dan open backlog membantu menciptakan transparansi ini. Namun, transparansi tanpa akuntabilitas hanya menjadi formalitas. Informasi yang terbuka tidak berarti apa-apa jika tidak ada yang bertindak berdasarkan informasi tersebut.

Akhirnya, akuntabilitas jadi pondasi utama yang memastikan kebebasan dalam agile tetap terkendali dan berdampak nyata. Transparansi mendukung proses ini, tetapi tanpa akuntabilitas, keterbukaan hanya akan menjadi laporan tanpa eksekusi. Oleh karena itu, membangun budaya akuntabilitas perlu menjadi prioritas utama bagi organisasi yang ingin menerapkan agile secara efektif. Dengan akuntabilitas yang kuat, organisasi dapat bergerak lebih cepat, adaptif, dan tetap bertanggung jawab atas hasil yang dicapai🎉

Design Thinking Pintu Masuk Inovasi, Kenapa?

Design Thinking sering disalahpahami sebagai sekadar metode kreatif yang identik dengan penggunaan post-it atau hanya sebatas proses desain visual. Padahal, Design Thinking adalah pendekatan holistik yang melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan solusi yang tidak hanya berfungsi dengan baik, tetapi juga memberikan nilai bagi manusia dan menghasilkan keuntungan bagi bisnis🥳

Inti dari Design Thinking adalah menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap proses inovasi. Produk yang baik tidak cukup hanya berfungsi secara teknis; produk tersebut harus mampu menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi pengguna. Ketika sebuah produk memberikan nilai yang bermakna bagi manusia, hal ini akan mendorong keinginan untuk menggunakan atau memilikinya. Nilai inilah yang kemudian menjadi jembatan untuk menciptakan pendapatan bagi bisnis🤩

Namun, Design Thinking bukan berarti mengesampingkan aspek bisnis atau teknologi. Sebaliknya, pendekatan ini mengintegrasikan kebutuhan manusia dengan kelayakan teknis dan keberlanjutan bisnis. Produk yang hanya mengutamakan fungsi teknis tanpa mempertimbangkan pengalaman pengguna cenderung gagal di pasar. Di sisi lain, produk yang menarik secara estetika tetapi tidak fungsional juga tidak akan bertahan lama🧐

Design Thinking muncul sebagai respons terhadap dominasi pendekatan berbasis bisnis dan teknologi dalam pengembangan produk. Pendekatan ini tidak berusaha menggantikan logika bisnis atau teknologi, melainkan memperkaya proses inovasi dengan pemahaman mendalam tentang manusia sebagai pengguna. Dengan memahami konteks dan kebutuhan manusia secara menyeluruh, Design Thinking membantu menentukan masalah yang tepat untuk dipecahkan, metrik keberhasilan yang relevan, dan peluang bisnis yang muncul dari solusi tersebut😎

Dengan pemahaman yang benar, Design Thinking bukan hanya alat kreatif, tetapi juga strategi penting untuk menciptakan inovasi yang berdampak, relevan, dan berkelanjutan dalam jangka panjang🎉🎉

Design Thingking Untuk Apa?

Design Thinking bukan sekadar metode dengan tahapan sistematis—Empathize, Define, Ideate, Prototype, dan Test. Lebih dari itu, ia adalah cara berpikir yang menekankan eksplorasi dan empati. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya mencari solusi teknis, tetapi juga memahami tantangan dengan lebih kreatif dan manusiawi.

Mindset ini mengajarkan bahwa inovasi bukan cuma tentang menciptakan produk baru, tetapi juga bagaimana kita melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas. Empati menjadi landasan utama, memungkinkan kita memahami kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar. Ketidakpastian bukan hambatan, melainkan bagian dari proses menuju inovasi yang lebih baik. Berpikir non-linear juga penting, karena solusi terbaik sering kali muncul dari pendekatan yang tidak terduga.

🎯 Inovasi yang Berakar pada Purpose
Banyak inovasi gagal karena terlalu fokus pada teknologi atau keuntungan tanpa memahami esensi masalah. Design Thinking menekankan pentingnya memahami “mengapa” sebelum mencari solusi, sehingga inovasi memiliki dampak nyata dan relevan. Dalam pendidikan, misalnya, inovasi bukan sekadar menciptakan aplikasi canggih, tetapi juga memastikan metode yang lebih inklusif dan efektif.

⭐️ Visi sebagai Bahan Bakar Inovasi
Perubahan besar selalu dimulai dari mimpi dan imajinasi. Design Thinking mengajarkan bahwa mimpi adalah energi yang mendorong eksplorasi solusi baru. Para inovator seperti Elon Musk dan Steve Jobs tidak hanya mengandalkan keahlian teknis, tetapi juga keberanian untuk bermimpi besar dan menantang batasan.

⏰ Fleksibilitas dalam Menghadapi Perubahan
Banyak orang takut akan perubahan, tetapi dalam Design Thinking, perubahan adalah peluang. Eksperimen dan kegagalan adalah bagian dari inovasi. Dengan terus beradaptasi dan beriterasi berdasarkan umpan balik, solusi yang lebih baik dapat tercipta. Kolaborasi juga penting, karena perspektif yang beragam menghasilkan inovasi yang lebih kaya dan efektif.

Innovation is not just about creating something new, but about understanding, adapting, and daring to dream for meaningful change.🎉

Business As Usual

Pengen hal dan terobosan baru, tapi kerap terjebak dengan rutinitas?

Di tengah kesibukan organisasi, sering kali fokus pada tujuan utama terabaikan. Program yang berjalan, rapat yang bertumpuk, dan rutinitas harian bikin kita terjebak dalam whirlwind—pusaran aktivitas mendesak yang sering kali tidak penting. Di sinilah 4 Disciplines of Execution (4DX) hadir untuk membantu organisasi tetap bergerak menuju Wildly Important Goals (WIG)nya.

4DX adalah sistem yang dirancang untuk menyelaraskan energi tim pada tujuan yang paling penting. Mulai dari Fokus pada yang sangat penting, memilih 1-2 tujuan krusial, hingga Bergerak pada Lead Measures, memastikan indikator utama mendorong kemajuan. Disiplin ketiga, Keep a Compelling Scoreboard, menciptakan papan skor yang transparan dan memotivasi, sementara Create a Cadence of Accountability membangun budaya evaluasi rutin untuk menjaga komitmen tim.

Tidak cuma itu, 4DX juga sangat relevan untuk melengkapi metode OKR (Objectives and Key Results) serta Agile Project Management.

Gunakan OKR membantu organisasi menetapkan tujuan besar yang terukur, dan Agile Framework bakal bantu kita buat fokus pada fleksibilitas serta respons cepat terhadap perubahan. Kalo kamu pake 4DX untuk menyeimbangkannya, ini bakal memberikan kamu fondasi eksekusi yang solid.

Dengan mengintegrasikan ketiganya, organisasi bisa mencapai keseimbangan antara perencanaan strategis, eksekusi yang disiplin, dan kemampuan adaptasi.

4DX bukan hanya alat eksekusi, tetapi juga pengubah budaya kerja. Di tengah kesibukan, ia membawa organisasi kembali pada tujuan utama, menjadikan setiap individu terlibat dan bertanggung jawab. Tidak peduli seberapa sibuknya, dengan 4DX, tujuan besar menjadi lebih terarah, terukur, dan mungkin dicapai.

The Three Horizons Of Growth

Guys! Ati2 terjebak teknis, nanti lupa berpikir strategis”
Kalimat yang kerap terucap, mengingatkan tim untuk menyeimbangkannya adalah sebuah peer, meski ada seperangkat tools untuk menjaganya, tapi masih sering tergoda juga untuk meladeni monentum tapi membutakan pada goals yang sesungguhnya.

Beberapa saat lalu juga pernah menuliskan tentang organisasi bertangan dua, atau yang biasa disebut sebagai Organisasi Ambidextery.

Organisasi Ambidextery adalah organisasi bertangan dua kala Ia perlu menghadapi tantangan untuk memberikan inovasi yang cepat namun disaat yang sama Ia juga perlu memelihara perbaikannya yang berkelanjutan dengan menata birokrasi organisasinya.

Nah, kali ini kita bahas bukan yang bertangan dua, tapi organisasi dengan tiga Horison.

McKinsey and IFF* menerbitkan model horison pertumbuhan, memang makin memantang menyeimbangkan inovasi. Hingga bisa jadi sebuah organisasi yang inovatif memang perlu banyak belajar adaptif, aplagi perubahannya dilakukan diatas perubahan.

Yuk kita kenalan sama “The Three Horizons of Growth’ (Horizon model):

Horizon 1 = ‘Keeping the lights on‘ ─ driven by optimization and sustaining innovation (change).
Organisasi dijalankan dengan mengoptimalkan serta menjaga kebetlanjutan inovasi.

Horizon 2 = ‘Building future ventures‘ ─ driven by disruptive innovation, operating in known markets.
Membangun masa depan, yang didorong oleh inovasi disruptif, menjalankannya di pasar yang sudah diketahui.

Horizon 3 = ‘Imagining the future‘ ─ driven by disruptive innovation, entering uncharted waters.
Horison ini adalah horison yang sangat penting, membayangkqn masa depan, dipandu oleh inovasi disruptif, mengeksplorasi beragam kebaruan yang tak pernah ditemukan sebelumnya.

Selamat bereksplorasi!

Era AI; Apa Yang Perlu Dilatih Untuk Bergeser Mindsetnya?

Menghindari ketergantungan pada AI dalam Design Thinking sebagai mindset dapat dimengerti karena esensinya yang sangat manusia-sentris. Design Thinking punya fokus pada empati, kreativitas, dan kolaborasi untuk menciptakan solusi inovatif yang relevan dan bermakna. Kenapa pada tahap tertentu lebih baik tidak terlalu bergantung pada AI? ✨

1. Empati Sebagai Fondasi✨
Design Thinking dimulai dengan empati, yaitu memahami emosi, kebutuhan, dan masalah nyata pengguna melalui interaksi langsung, observasi, dan percakapan mendalam. AI mungkin dapat menganalisis data, tetapi tidak dapat menggantikan koneksi emosional atau intuisi yang diperoleh dari interaksi manusia langsung.

2. Kreativitas dan Ideasi Tanpa Batas✨
AI bekerja berdasarkan data historis, sedangkan Design Thinking mendorong solusi inovatif yang sering kali tidak terduga. Ketergantungan pada AI berisiko membatasi kreativitas dengan berfokus pada pola yang sudah ada.

3. Iterasi dan Pembelajaran Reflektif✨
Iterasi melalui prototipe adalah bagian penting dari Design Thinking. Proses ini melibatkan keberanian untuk gagal dan belajar dari kesalahan. AI mungkin memberikan jawaban cepat, tetapi tidak menyediakan ruang untuk eksplorasi dan refleksi yang memperkaya wawasan.

4. Kolaborasi dan Pemahaman Kolektif✨
Proses kolaboratif dalam Design Thinking melibatkan diskusi dan pemikiran bersama yang dinamis.. AI tidak dapat menggantikan dinamika manusia yang berbasis empati dan perspektif beragam.

5. Menghindari Bias Kognitif dalam AI✨
AI sering kali membawa bias tersembunyi yang berasal dari data atau algoritma. Manusia memiliki kemampuan unik untuk menilai konteks dan memastikan solusi yang inklusif.

6. Mindset Lebih Penting daripada Alat✨
Design Thinking adalah pola pikir kreatif dan inklusif yang menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Terlalu bergantung pada AI dapat mengaburkan nilai inti ini.✨

Jadi, AI bisa banget jadi alat pendukung untuk analisis data dan efisiensi, tetapi inovasi sejati tetap berakar pada empati, kreativitas, dan kolaborasi manusia. Pada akhirnya, inovasi terbaik adalah yang berdampak besar bagi kemanusiaan.✨

Ditempat Kamu Bekerja, Kamu Dibayar Karena Apa?

Hari ini saya berdiskusi dengan beberapa kolega dan mengajukan pertanyaan penting: “Apakah ada kesempatan untuk belajar dalam keseharian Anda bekerja?” Pertanyaan ini ditujukan kepada institusi yang sering menuntut karyawan bekerja 100% tanpa memberi ruang untuk pengembangan diri.

Pola kerja seperti ini tidak hanya menciptakan tekanan tinggi, tetapi juga melemahkan potensi individu dan organisasi dalam jangka panjang.

Dalam dunia kerja saat ini, bekerja seharusnya mencakup dua hal utama: bekerja dan belajar. Tanpa kesempatan belajar, tim kehilangan peluang untuk meningkatkan kompetensi, memperluas wawasan, dan merespons tantangan dengan inovasi. Akibatnya, individu menjadi stagnan, sementara perusahaan kehilangan daya saing karena sumber daya manusianya tidak berkembang.

Menurut Self-Determination Theory (Deci & Ryan), individu membutuhkan tiga elemen psikologis utama untuk berkembang optimal: autonomy, competence, dan relatedness. Kesempatan belajar di tempat kerja memenuhi ketiga elemen ini.

Autonomy tercapai ketika tim diberi ruang untuk belajar sesuai minatnya. Competence meningkat melalui tantangan yang mendorong keterampilan baru. Relatedness tumbuh dari kolaborasi dan interaksi selama proses belajar, menciptakan keterhubungan yang kuat dengan rekan kerja dan organisasi.

Tanpa ruang belajar, tim kehilangan relevansi, inovasi terhenti, dan organisasi gagal menyiapkan talenta masa depan. Sebaliknya, dengan mendukung pembelajaran, organisasi tidak hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek, tetapi juga membangun keberlanjutan, daya saing, dan inovasi untuk masa depan. Memberi ruang belajar berarti berinvestasi pada aset terpenting: manusia✨