Business Acumen

Kemarin bersama tim membahas terkait Business Acumen. Bercerita bahwa idealnya seseorang dibayar bukan karena haknya saja telah menyelesaikan pekerjaanya, namun menjadi penting juga Ia juga didorong bersama-sama berkontribusi menemani proses membangun mimpi kedepan bersama organisasinya. Dilibatkan & terlibat membumikan visi bersama tim.

Dibayar sesuai dengan pekerjaannya. Kalimat ini sering muncul hingga jadi kerap terjadi beberapa bagian individu enggan “going to the extra miles” bertindak beyond, apalagi menemani organisasi mengakselerasi visinya masa depannya.

Mengelola tim untuk ikut berlari dan tidak sekedar bekerja menunaikan hal rutin adalah keterampilan yang perlu dikuasai leaders. Bagaimana membuat setiap anggotanya meletupkan energinya & bergerak maju bergerak karena purpose, juga bahagia karenanya.

Bukan sekedar bergerak karena kebutuhan survival atau kebutuhan dasar. Atau sekedar bergerak karena dipancing adanya reward & punishment semata. Mendorong tim untuk memiliki motivasi level 3 memerlukan ekosistem kerja berupa organisasi pembelajar. Dialog-dialog berkualitas menjadi syarat penting kala pekerjaan berlangsung, ketimbang sekedar menyelesaikan pekerjaan.

Mendorong tim untuk bergerak karena purpose menjadi skill wajib pada leaders. Menggerakkannya menuju imajinasi (visi) yang terinternalisasi serta dirasakan bersama kepemilikannya. Menjadi kebutuhan yang tak lepas dari semangat setiap individu dalam tim. Proses transisi ini dinamakan sebagai proses perubahan, jangan lupa ada waktu yang jadi perantara perubahan.

Jika digambarkan dalam garis lurus, ada dua bagian yakni bagian yang menggambarkan apa yang telah Ia kerjakan, dan bagian lainnya adalah apa yang Ia kontribusikan dan perjuangkan kedepan untuk visi bersama bisnisnya.

Bagi leaders, menjadi coach yang baik bagi timnya dengan memberikan ruang belajar dan ruang tumbuh untuk meningkatkan motivasi, keterampilan dan konsistensi pengembangan kapabilitas kontribusinya adalah hal yang tak bisa lagi dihindari.

Business acumen knowledge is far more than just financial acumen and is crucial for the workforce because it helps your team understand the impacts of their roles – Bill Hall

Business Ethics

Beberapa dekade terakhir Business Leaders banyak fokus pada hal finansial. Tapi ini adalah jaman dimana etika bisnis benar-benar diuji proses revolusinya. Era digital mendorong banyak pihak berkolaborasi bersinergi, bersinggungan dijaga untuk tidak menimbulkan ketersinggungan. #tleecosociopreneur

Akan banyak pertemuan, kesepakatan & proses panjang elaborasi, mengadopsi pendekatan multi-pemangku kepentingan yang berjalan bersama mencapai tujuan bersama baik tujuan sosial, investor / lainnya.

Individu memang tidak memasuki lapangan pekerjaan dengan nilai & karakter yang sama, tapi tiap individu & tim bisa menumbuhkan, bahkan mengabaikannya disepanjang waktu. Business ethic memang kerap dirasa sulit menghantarkannya untuk dipahami seluruh tim. Tapi perlu diingat bahwa hal ini perlu disampaikan dengan cara yang menyenangkan, repetitif dalam jangka panjang.

Pengembangan nilai & karakter memang jadi perjalanan panjang, terutama dari sudut pandang individunya. Melelahkan karena nilai-nilainya kerap bertentangan dengan pengalaman masa lalunya. Reward & punisment juga tak serta merta membuat perubahan seketika.

Organisasi pembelajar menampilkan pemimpinnya sebagai contoh rujukan, “Lead by Example” perlu tegas ditunjukkan. para CEO perlu kompak menunjukkan kemampuan leadership & integritasnya. Tumbuhkan dialog berkualitas, ketimbang sekedar menyelesaikan kewajiban pekerjaannya. Tunjukkan konsekwensinya & cara bagaimana melaporkannya jika terjadi pelanggarannya.

Setiap usaha memiliki nilai-niilai sendiri, kembangkan kode etik sesuai DNA-nya, turunkan dari visi & nilai yang diinginkan, institusionalisasikan dalam ritual-ritual bermakna setiap harinya, bukan hanya ditempelkan di dinding / berkas-berkas kesepakatan.

Integritas bisa jadi pisau bermata dua. Bisa menimbulkan pergolakan tim, komplain atau pemeriksaan berwajib.Tapi jika menanganinya dengan baik integritas bisa jadi superpower yang menginspirasi pekerjanya & berhubungan dengan era values-minded consumers hari ini.

“Integrity is contagious. Create an environment in which it is openly embraced by leadership and woven into the fabric of your culture, and it will be a powerful asset.” -Robert Chesnut-

The Johari Window

Mendampingi beragam ekosistem untuk memiliki kultur kolaboratif & melompatkanya pada inovasi yang berkelanjutan adalah hal menantang!

Membangun budaya inovasi, prosesnya dibangun dengan konsisten, melakukan transformasi yang diarahkan untuk jadi ekosistem yang inovatif. Memastikan setiap tim & anggotanya mau berinteraksi, bersinergi satu sama lainnya serta menggerakkannya pada kemajuan. Meyakinkannya berjalan beriringan juga sebuah hal yang menantang.

Salah satu hal yang bisa mendorong ekosistem mengakselerasi proses inovasinya adalah dengan memumbuhkan keberanian untuk membuka wahana-wahana baru, mengeksplorasi dunia yang belum dikenalinya.

Mengupas lagi Jendela Johari, mengkotekstualisasinya kedalam ekosistem organisasi yang ingin lebih inovatif ternyata sangat bisa. Dalam kultur konvesional, kenyataannya kita lebih banyak dihadang dengan area-area ketidaktahuan. Bahkan lebih kompleks, karena bisa jadi ketidaktahuan ini sama-sama tidak terungkap oleh orang lain dalam tim.

Membiasakan setiap individu mendapatkan ruang aman, bebas dan terdorong untuk dapat berinteraksi akan membawa probabilitas lebih besar pada terwujudnya inovasi alih-alih Ia terjebak pada paradoks kreatif.

Inovasi selalu memerlukan umpan balik atas setiap gagasan atau temuannya. Mencipta kebiasaan untuk berani & mau meminta umpan balik adalah hal yang penting dimulai. Keterbukaan juga akan lebih akseleratif jika setiap orang mau berterusterang tentang dirinya – Self Disclosure, memudahkan sekelilingnya menjadi paham. Nah gimana agar bisa berani dong?

Secara tim, sebuah ekosistem akan menjadi Resourceful jika didalamnya dibiasakan untuk mau saling berbagi temuan (Shared-Discovery) hingga membukanya pada hal-hal yang belum diketahui bersama. Hal ini akan menembus kuadran yang paling inovatif, tentunya akan lebih cepat dengan mendorongnya bahwa setiap orang perlu punya semangat berani berpetualang, menemukan hal-hal baru membawa banyak kebaruan dan energi-energi baru yang meletup secara terus-menerus.

Jadi ekosistem yang terbuka, dimana banyak Radical Honesty terjadi memberanikan dirinya bereksplorasi dan menemukan peluang-peluang baru yang jadi energi buat bergerak maju dan adaptif.

Beyond Function

Percakapan bersama para bimbingan, membahas perubahan perilaku & pola konsumen di era digital. Membahas sebuah produk minuman teh X Vs teh Y. Salah satu kalimat yang paling diingat dari salah satu teh tersebut adalah slogannya yang menyebutkan apapun makanannya, maka teh X-lah minumannya.

Kemudian saya jelaskan konsep “The Jobs To Be Done” sebuah konsep bagaimana sebuah produk dikonsumsi dan dinikmati pelanggannya. Kalimat “dinikmati” disini menjadi penting karena berupa “experince yang dialami & outcomes yang konsumen ingin-dapatkan setelah Ia mengkonsumsinya”. Bukan semata-mata aspek fungsional, tapi bisa juga tentang dimensi personal, dimensi sosial dan relasi sosial.

Secara mudahnya konsep TJTBD ini adalah hal yang merujuk pada hal-hal yang “Beyond Functions”. Lebih mudah lagi dengan contoh Teh X dan Teh Y, dengan mengajukan pertanyaan ini; “Seberapa lama kamu mengkonsumsi teh X, bandingkan dengan teh Y” Teh X dipromosikan sebagai minuman yang enak dikonsumsi sehabis makan, biasanya semenit juga habis. Enak!

Namun jika dibandingkan dengan kompetitormya teh Y, teh ini bisa dikonsumsi sedikit-sedikit, bahkan lama konsumsinya bisa 1 sd 2 jam. Nikmat!

Enak Vs Nikmat. Perbedaannya ada di waktu konsumsi sudah pasti, outcomesnya juga beda. Teh X hanya menyegarkan selepas makan, dan Teh Y bisa membuat segala aktivitas jadi “mood banget”. Hal ini sesuai dengan kebutuhan produk saat ini yakni memberikan “experience” hal ini mengapa produk perlu hadir “beyond function” karena yang dituju adalah outcomes berupa “Ketika menggunakan dan seusai menggunakannya, konsumen bisa & jadi apa?” Biasanya konsumennya jadi merasa upgrade!

Istilah terkini dalam membuat produk, pastikan produk yang dibuat dan proses marketing merujuk pada konsepsi ini “Upgrade your user, not your product. Don’t build better product”

Teh X kali ini jauh merosot penjualannya, karena perilaku konsumen yang berubah tak bisa Ia tangkap, meski Ia adalah legenda yang iklan-iklannya hanya muncul pada saat bulan Ramadhan, kalah telak dengan produk-produk yang diimajikan dapat mengupgrade konsumennya, karena ia tak sekedar memberikan fungsi, tapi pengalaman menyenangkannya.

Gimana dengan produk kamu?

Saatnya Shifting!

Dalam sesi para calon pemimpin BNI kemarin, beberapa hal yang perlu dipahami terkait paradigma yang relevan sangat berbeda dengan era lalu. Beberapa hal yang shifting misalnya berada pada istilah-istilah berikut ;

Ada -> Connected👋
Ini muncul karena era ini adalah era dimana kita perlu merasa connected, banyak terjadi, meski ada kita tak connected, jadi zombie. Secara fisik ada, hati dan pikiran dialam lain.

Jauh -> TerhubungđŸ«¶
Tidak semua yang jauh perlu didekatkan, apalagi jika menimbulkan banyak kebutuhan sumberdaya baru. Pastikan terkoneksi, era digital membuat kita bisa terhubung dengan konsumen seolah-olah kita melayaninya personal

Lama -> Dipastikan👌
Jika dulu istilah lama obatnya cepet, tapi tidak lagi dengan saat ini. Konsumen tidak melulu minta cepat, tapi minta kepastian. Memastikan kapan datang, kapan selesai, seberapa lama menunggu atau seberala cepat tuntas.

Lelah -> Eksplorasi👐
Gladly report 2019 mengungkapkan “Experience Matter More Than Channel” orang justru senang berlelah-lelah, berkeringat demi sesuatu. Orang tak melulu mencari santai, dekat / mudah, Produk yang membawanya bereksplorasi justru membawanya bersedia membayar lebih mahal karena membawanya pada banyak value & insight baru👏

Selain hal di atas, banyak sekali redefinisi baru hasil reevaluasi perjalanan konsumen di era digital yang merubah beragam perilaku hidupnya. Redefinisi ini juga diungkap banyak tokoh bisnis dunia seperti;

🍧Data yang bernilai adalah data yang dimonetisasi (MIT IDE 2018 Platform Strategy Summit);

🍧Jangan habiskan waktumu ditempat dimana informasi yang kamu dapat dikontrol oleh algoritma (Ian Myers, CEO, NewsPicks)

🍧Inovasi adalah hasil dari arsitektur & organisasi yang mengamplifikasi kekuatan mekanisme & budaya. (Dirk Didascalou, Amazon)

🍧Walau bisa kita jualan via telpon, chart, email / sekedar bersua sesaat. Ada konteks fisik, mental-emosional yang dibentuk dimata client yang menentukan kita berhasil atau tidaknya.
(Megan Burns, Experience Enterprises)

🍧Pastikan connected! Keterhubungan antara kreator & konsumen. Keterlibatan antar komunitas konsumen & kreator yang kemudian berdampak pada bisnis & societynya (Kotler-Sarkar, 2019)👌

Pastikan Redefinisinya Valid Ya!

Era Digital, era dimana banyak miskonsepsi karena semua tiba-tiba menjadi “Si Paling Aplikasi” atau beragam pertanyaan terkait bagaimana “mengakselerasi ads melalui proses marketing online?”

Sesungguhnya, ngga sesederhana itu, ada hal fundamental penting dipahami bahwa adalah bahwa:
1. Bagaimana sesungguhnya proses bisnis barunya?
2. Realita kondisi di lapangan bagaimana simpul-simpulnya terkoneksi?
3. Perubahan apa yang terjadi pada perilaku konsumennya?
4. Definisikan ulang kebutuhan konsumen yang relevan dengan jamannya.

Perubahan era akan berdampak pada perubahan banyak hal, apalagi era digital segala sesuatunya jadi terhubung. Bahkan banyak hal berbeda parameter keterhubungannya. Seperti contohnya
1. Jika dahulu “jauh” solusinya “didekatkan”, saat ini jadi “terhubung”.
2. Jika dahulu “lama” solusinya “dipercepat” , jadi “dipastikan”.
3. Jika dahulu “lelah” solusinya berikan waktu, saat ini dijawab dengan “eksplorasi”
4. Jika dahulu “bertemu, saat ini “connected”

Banyak hal perlu didefinisikan, era berubah dibersamai dengan perilaku yang juga berbeda, karena keterhubungan menjadikan segala sesuatu perlu dimaknai dengan cara barunya.

Perbicangan kemarin dengan @mashakmal Program Director di @thelocalenablers Bercerita tentang Cloud Kitchen pertama di Indonesia. Pizza Hut Delivery (PHD).

Mengapa Pizza Hut bertransformasi menjadi PHD bahkan jauh sebelum pandemik terjadi? Karena PHD berhasil meredefinisikan kebutuhan pelanggan saat ini, “Bahwa Pizza bukan lagi makanan yang enak dinikmati dengan cara Dine-in di restoran, tetapi Pizza adalah makanan teman kumpul-kumpul bersama keluarga atau teman, menemaminya nonton bersama di rumah atau acara-acara yang menitikberatkan bagaimana meningkatkan mood, kebahagiaan & kebersamaan pada pertemuan-pertemuan tsb”

Keberhasilan PHD dalam memahami perubahan konsumen inilah yang membuat mereka bisa melesat dengan proses transformasinya & berhasil merajai pasar Pizza dengan perubahan perilaku konsumennya.

Yang lebih penting saat ini adalah paham dulu bagaimana konsumen melakukan shiftingnya, lalu pastikan hadir dengan inovasi proses bisnsnya, baru lakukan digitalisasinya.

Pastikan redefinisinya valid ya!

Slow, but Sure!

Jika saja kita merasakan beberapa gejala seperti 1) Kulit gatal, 2) Mata merah 3) Kepala sakit sekiranya bolehkah kita memberikan obatnya satu-satu seperti salep kulit untuk gatal, salep mata untuk mata & obat pereda nyeri sakit kepala?

Inilah gambaran sederhana mengapa kita perlu mensintesa gejala-gejala tersebut hingga mendapatkan masalahnya. Kemudian kitapun tak bisa mendiagnosa sendiri karena memang bukan ahlinya, sang dokterlah kemudian yang akan mengolah gejala ini untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya kamu sakit apa?

Inilah yang kerap terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada entrepreneur dalam menghasilkan solusi bagi pelanggannya.

Dalam pendekatan Design Thinking, proses discovery di tahapan awal dilakukan untuk medapatkan gambaran gejala-gejala apa yang tampak dipermukaan dari para calon pelanggan. Gejala-gejala itu tampak secara visual, yang kemudian tugas kitalah sebagai problem solver menganalisa sejatinya apa masalah mendasar yang terjadi pada konsumen kita.

Kesalahan utama dalam proses menggagas solusi, biasanya terjadi karena;

1)Tak paham & tak berupaya memvalidasi persona konsumennya, masalah apa sesungguhnya?
2)Bedakan gejala dengan akar masalah
3)Masalah yang diidentifikasi biasanya adalah yang terjadi saat ini, sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menarik garis waktu ke depan & menggambarkan kondisi masa depan yang diinginkan sang konsumen.
4)Apakah solusi yang ditawarkan merupakan peluang dimasa datang yang menjadikannya seseorang menjadi lebih baik atau bukan?
5)Awas! kerap terjadi Creative Paradox dalam bersolusi. Andai-andai jadi kreatif justru malah kebalikannya.

Mengambil simpulan dari gejala-gejala tak bisa satu-satu solusinya secara parsial, perlu slow thinking, mengundang juga beberapa orang dengan latar belakang berbeda untuk melihat perspektifnya. Jangan lupa menarik garis imajinernya antar gejala & lingkungannya, apa yang terjadi dengan relasionalnya & berakibat apa. Hingga kemudian bisa mengambil simpulan sebenarnya apa masalahnya?

Kenali dulu masalahnya, baru bergagasan cari solusinya. Agak lama sih, namanya juga slow thinking, tapi cara ini sangat efektif menghasilkan solusi-solusi kreatif.

Ekplorasi Pembuka Inovasi

“Pak kami harus ngapain?” Pertanyaan yang sering muncul dalam tiap permulaan proses. Dalam Design Thinking, kita mengenal istilah eksplorasi di tahap pertama. Tujuannya berempati memahami keadaan.

Dilakukan dengan mencari tahu & menemukan beragam bentuk temuan di lapangan. Keterampilan utama yang diperlukan adalah mendengar hingga bisa menangkap beragam sudut pandangnya dari proses experiencenya. Pengalaman akan membawa pada kepekaan untuk mendengar keberagaman sudut pandang user, sekaligus cara pandang orang lain, kemudian melakukan proses sintesa temuannya.

DT akan berhasil jika dilakukan bukan dengan memaksa, tapi dilakukan & dimiliki oleh seluruh aktor dalam organisasi. Semua aktor berperan sebagai Desainer sebagai sebuah cara berpikir, bukan peranan, dalam perjalanannya Ia tak akan berhenti belajar dari interaksi langsungnya bersama konsumen & lingkungannya.

Sesungguhnya sangat menarik menjadikan pendekatan ini untuk menguatkan kemampuan tim berinovasi. Tiap individu adalah perancang yang diberi tanggung jawab & hak untuk mensintesis semua simpul koneksi yang ditemuinya.

Neri Oxman menyebutkan bahwa “The role of Design is to convert utility into behavior” Ia mendetailkan penjelasan yang memilah antara peranan ilmu, keteknikan, desain dan seni seperti ini;

1)Science
The role of Science is to explain & predict the world around us; it ‘converts’ information into knowledge.

2)Engineering
The role of Engineering is to apply scientific knowledge to the development of solutions for empirical problems; it ‘converts’ knowledge into utility.

3)Design
The role of Design is to produce embodiments of solutions that maximize function and augment human experience; it ‘converts’ utility into behavior.

4)Art
The role of Art is to question human behavior and create awareness of the world around us; it ‘converts’ behavior into new perceptions of information.

Kembali ke ekplorasi, empati & mendengar. Inovasi hadir jika tau persis masalah, validitasnya tergantung kemampuan menangkap kenyataan & sintesanya. Maka sebelum berbicara solusi, maka eksplorasi akan membawa kita paham dengan baik kemudian menentukan titik mula gagasan jadi solusi jitu.

Cara Berpikir Sistem

Salah satu mata kuliah yang dulu paling mengesalkan adalah System Thinking yang kemudian berangsur menjadi paling menyenangkan. Cara berpikir ini membuat banyak hal tak terlihat menjadi variable penting dalam menentukan apakah pengambilan keputusan ini menjadi baik atau tidak.

Dalam berpikir sistem kita diperkenalkan pada garis-garis imaginer keterhubungan antar pihak, dimana dikehidupan nyata sering kali terjebak pada hal-hal visual dipermukaan.

Dalam pertemuan dengan Bappenas kemarin, saya menggambarkannya secara sederhana ketika sebuah event keseharian terjadi yakni kejadian bertemunya Ibu Ketua RT, Ibu Rumah Tangga, Mang Acep sang Tukang Sayur & Asisten Rumah Tangga bahkan Motor sang Tukang Sayur serta seekor kucing. Yang dilihat secara visual adalah terdapat 4 orang berkumpul mengelilingi muatan sayur milik Mang Acep.

Dalam sistem thinking, kita tak saja melihat adanya 4 orang tersebut saja, namun kita menarik garis imajiner diantara keterhubungannya. Bagaimana hubungan antarpersonalnya? negatif atau positif? memberikan hubungan timbal balik atau tidak dalam keterhubungannya? mana simpul yang paling kuat dalam kelompok tersebut? bagaimana mengintervensinya?

Jay Forrester dari MIT, bapaknya System Thinking mengemukakan bahwa “Secara intuitif, orang-orang mengetahui letak leverage point (simpul perubahan) & namun ternyata banyak organisasi bergerak pada arah yang salah karena tak melihat dari perspektif sistem, maka beragam kebijakannya mengakibatkan sistemnya bergerak pada arah yang salah!”

Dengan cara berpikir sistem, dari visual kejadian yang terlihat kita dibawa melihat tren & pola yang lebih dalam dari kejadian tersebut. Kemudian melihat sistem yang terbentuk, struktur & mental modelnya. Sehingga dari garis imaginer yang menggambarkan keterhubungan tsb, kita mensintesa sifat sistemnya, kualitas keterhubungan & arah tujuan sistem tersebut akan berakhir dikemudian hari.

Berpikir sistem mengacu pada perspektif atau cara berpikir yang berbeda, berfokus pada interaksi sistem daripada penjelasan linier, hingga melahirkan pemikiran yang non linier yang pada akhirnya mendapatkan beragam opsi pilihan yang objektif. Kapan kita belajar lagi System Thinking?

High – Level Social Business Maturity Model

17 September 2022, 8 tahun @thelocalenablers diinisiasi. Sebelumnya, komunitas ini bernama Jatinangor Creative Forum yang dalam pergerakannya ternyata makin membesar. 8 tahun lalu kemudian kami memantapkan diri untuk menggesernya menjadi Social Enteprise. Sesuai Maturity Model, tahapan perkembangannya ternyata sesuai dengan teorinya;

Tahap 1 Ad Hoc
Pergerakan bisnis sosial menuju tingkat kematangannya yang lebih baik memang biasanya bermula dari tim-tim sukarela dan sementara. Biasanya dibuat untuk kepentingan sebuah acara atau program. Pada tingkat ini biasanya berbentuk tim Ad Hoc, dimana tak ada manajemen khusus, tanpa anggaran, tanpa struktur dan sumberdaya serta banyak eksperimen dilakukan.

Tahap 2 Engaged
Pada tahap ini muncul kesadaran untuk mensistemasi, merangkul anggota, merancang piloting program hingga merekrut sukarelawan atau sumberdaya paruh waktu. Fase ini dijalankan dengan penuh kesadaran bahwa melalui proses ini untuk menumbuhkan peluang-peluang baru masa depan.

Tahap 3 Structured
Fase ini, kematangan mulai tumbuh, mencari bentuk-bentuk organisasi yang tepat. Tahap ini mulai mengalokasikan anggaran, kepengurusan manajemen yang profesional dan peran-peran formalnya diberlakukan.

Tahap 4 Managed
Semakin matang oraganisasi Bisnis Sosial, kala komunitas sudah bergeser pada usaha profesional dengan manjemen harian, program yang terstruktur & pengelolaan yang terencana dan terukur.

Tahap 5. Optimized
Tahap inilah tahap dimana sebuah komunitas bertransformasi menjadi usaha yang memiliki fokus pada strategi jangka panjang, memiliki inisiatif multi channel hingga memiliki unit-unit dalam memastikan visi sosialnya terwujud.

Proses panjang menggeser komunitas jadi ekosistem tangkas, menjaga kemandiriannya, setia dengan tujuan & relevan dengan jaman. Pilar bisnis sosial jadi penting dalam memastikan keberlanjutannya, memastikan organisasi memperbarui struktur & proses bukan berdasarkan apa yang dilakukan saat ini hingga mencegahnya bergerak ke masa depan, Memastikan komitmen sebagai organisasi pembelajar untuk bergerak karena peluang di masa depan.

Sewindu The Local Enablers.
Creating Value Accelerating Impact.
17 September 2014
17 September 2022