Meminta Dimampukan (Outcomes) Meminta Dicukupkan (Output)

Meminta Dimampukan (Outcomes)
Meminta Dicukupkan (Output)

Dalam teori Jobs To Be Done (Christensen, 2016), kebutuhan manusia bukan sekadar permintaan atas produk, tapi usaha menyelesaikan “pekerjaan” hidup tertentu. Ketika seseorang menginginkan kendaraan, yang ia cari sebenarnya adalah kemampuan bergerak & memperluas ruang hidupnya. Paradigma ini menegaskan bahwa inti permintaan bukan pada “apa” yang diminta, melainkan “mengapa” & “untuk apa” itu diperlukan. Tanpa kesadaran ini, keinginan mudah terperangkap pada kebutuhan sesaat.

Prinsip “menjadi mampu” ini beresonansi dalam human-centered design, yang menempatkan kebutuhan sebagai dasar pembangunan kapasitas. Fokusnya bukan memenuhi keinginan instan, melainkan menumbuhkan daya tahan & keberlanjutan.

Dalam keseharian, dalam doa misalnya. Permintaan paling berharga tidak berhenti pada “minta dicukupkan”, melainkan “dimampukan” diberi keluasan ilmu, keteguhan hati, rezeki yang berkah, serta daya tahan dalam menghadapi ujian, memperbesar kapasitas untuk membawa manfaat.

Nilai ini tercermin dalam doa para nabi. Nabi Ibrahim a.s., saat meninggalkan keluarganya di tanah tandus, berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Yang beliau mohon bukan tanah subur, melainkan keberkahan untuk menumbuhkan peradaban dari keterbatasan. Keyakinan bahwa yang sedikit, bila diberkahi, akan menjadi besar.

Inilah hakikat doa dalam Islam. Rasulullah ﷺ lebih sering memohon keluasan hati, kecukupan yang berkah, dan kekuatan iman, daripada limpahan dunia. Karena ukuran keberhasilan bukanlah banyaknya yang digenggam, melainkan seberapa luas manfaat yang ditebarkan. Mereka yang meminta untuk dimampukan, sejatinya sedang membentuk dirinya menjadi sungai kebaikan yang mengalir, bahkan setelah dunia ini ditinggalkan.

Semoga kita senantiasa dimampukan dimudahkan dan dikuatkan Allah SWT.

Jalan Pintas Revenue, Jalan Panjang Kehancuran

Jalan Pintas Revenue, Jalan Panjang Kehancuran

Banyak organisasi, terjebak dalam ilusi bahwa revenue adalah tujuan, bukan akibat. Kasus PTPN yang disorot Dedi Mulyadi memperlihatkan betapa fatalnya kekeliruan ini. Alih-alih memperbaiki kinerja perkebunan, usaha memilih jalan pintas, mengubah lahan menjadi kawasan wisata demi pendapatan sesaat. Padahal, seperti diingatkan Teece dan Osterwalder, revenue hanyalah cermin dari proses yang benar, bukan tujuan itu sendiri.

Revenue memang penting, tapi ia lahir dari proses organisasi yang sehat. Memaksakan pendapatan tanpa membangun kekuatan internal ibarat mengejar bayangan. Usaha perkebunan yang gagal mengelola perkebunan justru menjual lahan secara instan, menghidupkan peringatan Drucker bahwa profit hanyalah ujian, bukan tujuan. Bisnis yang sehat menciptakan nilai, bukan sekadar mengejar angka.

Ketamakan jangka pendek selalu berbuntut bencana jangka panjang. Ini adalah contoh agar sebuah usaha tak hanya kehilangan ruh, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan sosial. Meadows telah memperingatkan, sistem yang salah arah akan menghancurkan dirinya sendiri, bukan dengan ledakan besar, tetapi lewat kehancuran yang pelan dan tak terasa.

Pelajarannya sederhana tapi mendalam, revenue seharusnya menjadi indikator kesehatan organisasi, bukan kiblat utama. Seperti ditegaskan Johnson, Christensen, dan Kagermann, keberhasilan lahir dari membangun nilai baru, bukan dari obsesif mengejar angka. Fokus seharusnya pada kekuatan proses, bukan pendapatan sesaat.

Setiap pemimpin harus bertanya ulang, apa yang sedang dibangun, organisasi yang sehat atau ilusi pendapatan? Sebab tubuh yang sehat menghasilkan energi tanpa dipaksa, sebagaimana organisasi yang kokoh akan menghasilkan pendapatan alami. Kalau salah dari awal, maka hari ini mungkin tampak gemerlap, tapi esok hanya menyisakan puing-puing yang tak bisa ditebus lagi.

“Organisasi besar bukan dihancurkan dari luar, tetapi dari obsesi buta mengejar revenue tanpa membangun kekuatan dalam.”

Foto candid oleh @dudisugandi ✨

Ramai Tapi Sepi: Ketika Bali Tak Lagi Bisa Dibaca dengan Kacamata Lama

Ramai Tapi Sepi:
Ketika Bali Tak Lagi Bisa Dibaca
dengan Kacamata Lama

Bali tetap ramai. Turis memadati pura, menonton tari kecak, dan selfie di spot-spot ikonik. Tapi di balik keramaian itu, banyak pengusaha hotel mengeluh: kamar kosong, okupansi turun. Lalu muncul pertanyaan yang membingungkan, “Kalau begitu, mereka menginap di mana?” Ini bukan soal tempat tidur, tapi soal cara baru orang bepergian dan menghidupi perjalanannya. Sayangnya, banyak yang belum siap melihat perubahan itu.

Hari ini, orang berwisata sambil bekerja. Mereka tinggal lebih lama, mencari tempat yang nyaman, otentik, dan fleksibel. Bukan hotel bintang lima, tapi homestay yang ramah, vila tersembunyi, atau co-living space yang mendukung gaya hidup digital nomad. Mereka butuh ruang yang terasa seperti rumah, bukan sekadar tempat tidur. Tapi banyak pelaku pariwisata masih berpikir: “Kalau fasilitas lengkap, tamu pasti datang.” Padahal, yang dicari sudah bergeser jauh.

Di sinilah logika lama mulai gagal. Kita terbiasa pada ekosistem yang terpusat; hotel, agen wisata, restoran besar. Tapi sekarang, uang wisatawan mengalir ke tempat yang tidak tercatat: warung lokal, vila independen, kelas meditasi, atau studio yoga yang viral. Sementara pusat-pusat lama mulai kehilangan daya tarik. Dunia berubah cepat. Yang bertahan bukan yang besar, tapi yang mampu membaca ulang peta dan ikut bergerak.

Masalahnya, perubahan ini tidak selalu terlihat. Karena dulu, rumusnya sederhana: makin banyak turis, makin penuh hotel. Sekarang tidak sesederhana itu. Kita hidup di era VUCA dan BANI serba cepat, tak pasti, rumit, dan membingungkan. Jika tetap bertahan pada pola lama, kita akan terus merasa tertinggal. Padahal bukan ditinggalkan, tapi belum beradaptasi.

Mungkin pertanyaan yang lebih tepat hari ini bukan “di mana mereka menginap?”, tapi “apa peran kita di ekosistem baru ini?” Dunia pariwisata kini menuntut kita hadir dengan cara yang lebih manusiawi, lentur, dan bermakna. Bukan tentang membangun gedung tinggi, tapi membangun koneksi. Bukan soal jualan kamar, tapi tentang memahami perjalanan hidup orang lain. Dan kadang, yang perlu dibenahi bukan strategi pemasaran, tapi cara pandang kita sendiri.

Design Thinking

Ketertarikan awal terhadap Design Thinking muncul karena suasananya yang seru, penuh ide, kolaboratif & bebas. Tapi seiring waktu, metode ini ga hanya menyenangkan, tetapi membentuk ulang cara berpikir dan merasakan. Seperti dikemukakan Brown (2009) dalam Change by Design, Design Thinking bukan hanya tentang kreativitas, tetapi tentang pendekatan sistemik terhadap pemecahan masalah kompleks.

Ia mengubah makna kreativitas dari sekadar orisinalitas menjadi keterhubungan. Kreativitas yang efektif bukan muncul dari ruang kosong, tapi dari pemahaman mendalam terhadap konteks & manusia (Cross, 2011). Design Thinking melatih kemampuan untuk bisa hadir penuh saat mendengarkan, & mengambil keputusan dengan empati, seperti yang ditulis dalam The Design of Everyday Things oleh Norman (2013), bahwa keputusan terbaik lahir dari empati terhadap pengguna.

Hal yang paling dalem adalah orientasinya pada kebermanfaatan. Dalam kerangka Human-Centered Design, solusi yang baik bukan yang paling canggih, tapi yang paling relevan dan berguna (IDEO). Inilah esensi etika dalam inovasi, mencipta bukan untuk mengesankan, tapi untuk menjawab kebutuhan nyata. Produk yang bermanfaat secara sosial cenderung berkelanjutan (Mulgan, 2014), baik di pasar maupun di ruang publik.

Seiring waktu, pandangan terhadap sumber daya pun bergeser. Dari uang sebagai pusat, menuju pada resourcefulness, kemampuan mengakses potensi yang ada melalui kemitraan, kepercayaan, dan kolaborasi (Liedtka & Ogilvie, 2011).

Design Thinking bikin makin yakin pentingnya berproses punya key partnerships yang memperluas akses & memperkuat daya. Hal ini selaras dengan pendekatan ekosistem dalam inovasi sosial yang menekankan pentingnya jaringan & interdependensi (Westley, Zimmerman & Patton, 2006).

Pada akhirnya, Design Thinking mengajarkan makna eksplorasi sebagai perjalanan memahami orang lain. Dalam prosesnya, bukan cuma solusi yang terbentuk, tetapi manusia yang lebih utuh, lebih sadar, lebih peduli & punya orientasi pada kebermanfaatan. Seperti yang ditekankan Buchanan (1992), Design Thinking adalah a new liberal art, sarana untuk memahami kompleksitas manusia demi menciptakan masa depan yang lebih baik✨

Beneran Work-life Balance?

Beneran Work-life Balance?

Jadi juga ngopi sore bareng @canunkamil , ngga sabar nulis oleh-olehnya;)

Hidup di zaman yang memuja kesibukan. Kalender padat, waktu nyaris habis, hari-hari rasanya penuh, tapi tetap hampa. Lalu muncul solusi modern: work-life balance. Terdengar ideal, kerja cukup, istirahat cukup, waktu keluarga aman. Hidup terlihat rapi dan teratur. Terus kenapa makin banyak yang merasa lelah, meski semua sudah dibagi? Kenapa hati tetap kosong, padahal jadwal tak lagi berantakan?

Work-life balance memisahkan hidup jadi dua sisi: kerja dan “hidup yang sebenarnya.” Seolah kerja adalah beban, dan hidup baru dimulai setelah jam kantor usai. Tapi hidup bukan grafik. Ia tak bisa dibagi rata tanpa tahu ke mana arahnya. Di sinilah kita sering lupa bertanya: untuk siapa semua ini dijalani? Karena tanpa arah yang jelas, bahkan waktu yang teratur pun terasa berat.

Sebuah konsep menarik, Prophetic Life Balance, konsep yang diangkat Muhammad Faris dalam The Barakah Effect, menawarkan kita pendekatan yang lebih mudah dipahami: Memahamkan hidup yang menyatu. Bukan soal membagi kerja dan ibadah, dunia dan akhirat, tapi menyadari bahwa semua bisa menjadi jalan yang sama, kalau pusatnya benar. Ini bukan soal ritme harian, tapi soal arah hidup. Bukan tentang banyaknya rehat, tapi tentang kedamaian saat menjalaninya.

Keseimbangan sejati tak lahir dari bagan, tapi dari kesadaran. Saat hidup terpusat pada yang Maha Benar, semua peran menyatu dalam misi yang sama. Tak ada waktu yang sia-sia, karena setiap detik bermakna. Tak ada peran yang saling tarik-menarik, karena semuanya mengalir dalam satu poros. Bekerja pun bukan lagi soal produktivitas, tapi soal keberkahan. Bukan soal hasil, tapi dapat ga pemaknaanya?

Prophetic Life Balance ngga sekadar mengatur waktu, tapi menyusun ulang cara kita memaknai hidup. Ia mengajak kita berhenti jadi manusia yang hanya sibuk, dan mulai jadi manusia yang sadar.

Hidup bukan sekadar berjalan, tapi punya arah. Bukan sekadar rapi, tapi punya makna. Bukan sekadar cepat, tapi penuh keberkahan. Karena yang kita cari sebenarnya bukan keseimbangan… tapi ketenangan. Dan ketenangan itu cuma hadir saat hidup kembali berpusat pada-Nya✨

Tugas Kampus; Memutus Kemiskinan

Tugas Kampus;
Memutus Kemiskinan

Di banyak keluarga, kuliah masih diyakini sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Seolah cukup jadi sarjana, hidup akan langsung membaik. Tapi realitas hari ini berkata lain. Banyak lulusan pulang dengan gelar, tapi tanpa pekerjaan, tanpa akses, tanpa arah. Kampus yang dulu dipercaya sebagai eskalator sosial, kini terasa seperti ruang tunggu panjang—tempat menunda kenyataan.

Masalahnya bukan semata soal belum bekerja. Yang lebih mendasar adalah hilangnya kesadaran akan fungsi kampus sebagai ruang pembebasan. Stephanie Moser dalam The Dark Side of Academia menyebut bagaimana institusi akademik sibuk mempercantik etalase—prestasi administratif meningkat, logo kampus hadir di forum internasional—namun jarang bertanya: siapa yang benar-benar terbantu? Mahasiswa dicetak agar terlihat “berprestasi”, tanpa dibekali keberpihakan sosial yang mendalam.

Sering kali, satu-dua kisah sukses dari latar belakang miskin dijadikan legitimasi. Padahal itu pengecualian. Yang lebih banyak terjadi justru sebaliknya: akses ke kampus sulit dijangkau, & bila berhasil masuk, perjuangan dijalani tanpa sistem pendukung yang memadai. Program sosial mahasiswa pun tak jarang hanya jadi ajang lomba proposal, bukan sarana perubahan nyata.

Kampus pun kian menyerupai korporasi. Mahasiswa diposisikan sebagai konsumen, dosen sebagai penyedia konten, & masyarakat sekadar objek proyek. Ukuran keberhasilan bergeser—dihitung dari banyaknya Publikasi, atau MoU yang diteken hingga berapa kali tampil di forum global. Sementara itu, kampung-kampung miskin di balik pagar kampus tetap luput dari perhatian. Lalu, untuk siapa semua seremoni & spanduk kolaborasi itu?

Mungkin ini saatnya berhenti bicara soal “revolusi pendidikan” hanya dari podium seminar. Saatnya kampus bertanya dengan jujur: apakah benar sudah menjadi bagian dari solusi, atau hanya sedang memperhalus ilusi? Sebab jika gagal memutus rantai ketimpangan, bisa jadi yang dilanggengkan bukan perubahan—melainkan kemiskinan dalam bentuk yang lebih terdidik✨

Inframe;
@sabilgn dengan tulisannya yang sangat menarik terkait ekositem kampus✨

OKRs; Konsisten, Lebih Dekat dengan Tujuan

Capek nggak sih kerja keras tapi arah organisasi masih terasa abu-abu?

Target banyak, kerjaan numpuk, tapi kok impact-nya nggak terasa? Itu karena kita masih mengandalkan aktivitas, bukan hasil yang terukur.

Saatnya pakai OKRs! framework strategis yang bantu kita dan tim:
✅ Fokus
✅ Transparan
✅ Terukur
✅ Konsisten

📘 Pelajari semuanya dalam e-book terbaru kami: OKRs; Konsisten, Lebih Dekat dengan Tujuan

📲 Klik link di bio atau kunjungi:
ebook.designthinkingacademy.id

Yang Relatif Tak Bisa Jadi Kompas

Yang Relatif Tak Bisa Jadi Kompas

Sebuah kasus dari dunia startup teknologi baru-baru ini menggugah banyak pihak—bukan karena skalanya, tapi karena ia menyentuh batas rapuh antara ambisi dan integritas. Saat keberhasilan diukur dari seberapa cepat angka tumbuh, bukan dari kejujuran proses, penyimpangan perlahan menjadi wajar. Yang awalnya keliru bisa tampak sah—asal hasilnya mengesankan. Dalam ekosistem yang lebih memuja narasi daripada realitas, kesan sering kali lebih diutamakan daripada kebenaran.

Albert Bandura menyebut ini moral disengagement—proses ketika seseorang memutus hubungan antara tindakan dan rasa tanggung jawab moral. Pelanggaran dibungkus dengan justifikasi: “demi target”, “demi tim.” Ethical fading (Tenbrunsel & Messick, 2004) memperkuatnya—etika memudar, diganti logika performa. Yang tersisa hanyalah angka, bukan nurani.

Dalam lingkungan startup yang serba cepat, penyimpangan kecil sering dianggap sebagai bagian dari strategi bertahan. Diane Vaughan (1996) menyebut ini normalization of deviance—penyimpangan yang diulang tanpa konsekuensi akan terasa normal. Maka saat semua mulai terbiasa melenceng, yang tetap lurus justru terlihat aneh. Ini bukan lagi soal keputusan pribadi, tapi soal budaya yang tanpa sadar ikut membentuknya.

Pertanyaannya: siapa yang akan menjaga batas antara benar dan salah, saat kebenaran terus dinegosiasikan oleh logika pasar? Ketika nilai bisa disesuaikan dengan target, maka arah pun ikut kabur. Kita butuh keberanian—bukan hanya untuk membetulkan yang salah, tapi juga untuk tetap sadar saat yang salah mulai dianggap biasa. Sebab ketika semua menjadi relatif, kerusakan pun bisa tampak seperti strategi.

Untuk itu, kita butuh pijakan yang tak tergoyahkan. Di tengah dunia yang terus berubah & narasi yang makin relatif, arah mudah kabur, batas makin samar. Seberapa sering pun kita dihadapkan pada kebenaran yang tampak logis namun menyesatkan, kita perlu terus menyandingkannya dengan yang absolut—agar langkah tetap jujur dan nurani tetap hidup. Dan semua itu hanya mungkin jika kita kembali menempatkan kompas utama kita: Qur’an & Sunnah✨

Berisik oleh Aktivitas, Sunyi oleh Pemikiran

Berisik oleh Aktivitas, Sunyi oleh Pemikiran

Dalam banyak proses pembangunan, sebuah pola mulai terlihat berulang: tenggat waktu menjadi penentu utama, format menjadi ukuran keberhasilan, dan substansi perlahan-lahan terpinggirkan. Dokumen-dokumen disusun dengan rapi, tabel-tabel dipenuhi, indikator ditetapkan—namun arah dan makna sering kali tak benar-benar dibahas.

Di tengah tuntutan untuk segera selesai, ruang untuk berpikir dan berdiskusi menyempit. Proses yang seharusnya menjadi kesempatan untuk menggali persoalan dan merumuskan jawaban yang jernih, berubah menjadi kerja administratif yang tak menyisakan ruang bagi kedalaman. Keputusan-keputusan besar diambil bukan karena telah melalui perenungan yang cukup, tapi karena halaman harus segera dikumpulkan ⏰

Di sinilah sering terjadi ketegangan antara dunia birokrasi dan dunia akademik. Yang satu berpacu dengan logika waktu dan kelengkapan, yang lain bergerak dengan logika makna dan pertanggungjawaban intelektual. Ketika dua dunia ini tak saling memahami, maka lahirlah kerja bersama yang cacat sejak dalam niat—kerja yang tampak selesai, tapi tak benar-benar berdampak🗒️

Dan di sinilah pula muncul bahaya yang lebih besar: normalisasi terhadap proses yang tidak substantif. Ketika pekerjaan dinilai cukup hanya karena lengkap secara format, maka kita sedang menciptakan kebiasaan baru—kebiasaan menyelesaikan tanpa memikirkan, mengisi tanpa memahami, menulis tanpa benar-benar merumuskan 💾

Padahal pembangunan bukan sekadar soal dokumen. Ia adalah arah hidup masyarakat. Ketika substansi digadaikan demi administrasi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kualitas laporan, tetapi masa depan orang banyak. Ilmu dan pengetahuan seharusnya menjadi penuntun jalan, bukan hanya pemanis legitimasi. Etika akademik bukan penghalang, melainkan benteng terakhir agar pembangunan tetap berpijak pada kejujuran dan tanggung jawab 🧭

Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar kerja cepat, tapi kerja yang jernih dan jujur. Bukan hanya memenuhi permintaan, tetapi mempertanyakan: untuk siapa pembangunan ini disusun? Dan apa yang sesungguhnya ingin kita ubah? ⌛️

Saat Kapal Harus Belajar Berlayar dengan Mesin, Bukan Lagi dengan Angin Kasih Sayang

“Saat Kapal Harus Belajar Berlayar dengan Mesin, Bukan Lagi dengan Angin Kasih Sayang”

“Kenapa sekarang semua harus serba terukur dan tertata? Dulu kita jalan aja—asal niatnya baik, semua lancar.” -Justru karena kita tumbuh, kita gak bisa lagi cuma andalkan niat-

Ada organisasi yang lahir dari niat baik. Ia tumbuh sebagai gerakan—organik, hangat, dan penuh kasih. Orang-orang bergabung bukan karena gaji, tapi karena kepedulian. Pemimpinnya dikenal lembut, mengayomi, dan memberi ruang. Tapi di situlah masalah bermula. Saat organisasi membesar, pola lama tetap dipertahankan: rekrutmen karena kasihan, loyalitas karena kedekatan, tanggung jawab yang tak pernah benar-benar ditanamkan.

Ketika kapal mulai oleng—karena dana makin sulit dan beban makin berat—baru disadari perlunya sistem dan profesionalisme. Orang-orang berpengalaman pun didatangkan, membawa standar dan arah kerja yang jelas. Namun, justru mereka yang ditolak. Dianggap dingin, kaku, tak punya “jiwa gerakan.” Padahal mereka bukan ancaman, melainkan penyeimbang.

Ini bukan sekadar perbedaan cara kerja, tapi benturan nilai. Organisasi yang terbiasa hidup dari rasa belum siap beralih ke cara. Ingin tetap jadi keluarga, tapi enggan diatur. Menginginkan hasil baru, tapi menolak proses baru. Ingin tumbuh, tapi alergi pada disiplin. Kenyamanan dijaga lebih ketat daripada keberlanjutan.

Literatur perubahan organisasi mencatat pola ini. Schein menyebut budaya sebagai lapisan terdalam yang paling sulit diubah. Kotter menekankan perlunya sense of urgency, tapi urgensi sering dikalahkan oleh rasa sungkan. Banyak organisasi gerakan gagal karena terlalu takut menyakiti, hingga akhirnya menyakiti dirinya sendiri. Terlalu sibuk menjaga perasaan, sampai lupa menjaga arah.

Perubahan sejati bukan soal mengganti manusia dengan mesin, tapi membangun sistem agar manusia bisa bekerja lebih bermakna. Dan itu butuh keberanian—untuk berkata bahwa cinta kerja tetap butuh batas. Peduli bukan berarti membiarkan. Profesionalisme bukan lawan dari nilai, tapi cara nilai bisa bertahan. Tanpa itu, organisasi ini mungkin terus tumbuh… sampai akhirnya tumbang💔