Model Bisnis Vs Business Acumen

Model Bisnis Vs Business Acumen

Bayangkan kita tengah melakukan perjalanan menuju masa depan yang lebih besar dari sekadar angka keuntungan, sebuah tujuan yang menghadirkan makna, pengaruh, dan jejak kebaikan. Perjalanan ini membutuhkan kendaraan yang tepat, dan itulah peran model bisnis. 🚗🚙🚕🚘🚕

Seperti mobil yang kita pilih untuk menembus berbagai medan, model bisnis menentukan bagaimana energi dikelola, seberapa cepat kita bergerak, dan sejauh mana kita mampu menjangkau peluang yang belum tersentuh. Kendaraan ini bukan hanya alat transportasi, tetapi pernyataan tentang visi dan keberanian kita menentukan arah.

Namun kendaraan tidak akan pernah mencapai tujuan jika manusia di dalamnya berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah organisasi menjadi jiwa yang menggerakkan perjalanan. Organisasi bukan sekadar susunan struktur, tetapi ruang hidup yang menyatukan hati, pikiran, dan kontribusi. Ia mengubah sekumpulan individu menjadi kru perjalanan, yang bukan hanya duduk sebagai penumpang, tetapi mengambil peran aktif memastikan kendaraan tetap stabil, semua terhubung dengan tujuan, dan tidak ada satu pun yang merasa tertinggal🚀

Dan yang membuat perjalanan ini benar-benar bermakna adalah kesadaran kolektif atau business acumen. Ia adalah cahaya di dalam diri setiap orang yang membuat mereka peka terhadap arah angin, curah hujan perubahan, dan setiap titik kritis dalam perjalanan. Business acumen menjadikan setiap orang bukan sekadar pengikut, tetapi penjaga masa depan bersama. Ketika semua memiliki kesadaran ini, kendaraan bisnis tidak hanya melaju cepat—tetapi melaju dengan keyakinan, kebijaksanaan, dan keberkahan menuju tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar tiba: yaitu meninggalkan jejak yang memajukan kehidupan banyak orang.

Pada akhirnya, keberhasilan bisnis ditentukan bukan oleh seberapa cepat kita bergerak, tetapi oleh apakah seluruh tim terlibat aktif menjaga arah dan memastikan perjalanan ini benar-benar sampai pada tujuan strategis yang kita sepakati🎉

Injourney Airports

Hari ini saya merasakan atmosfer inovasi yang sangat kuat ketika bersua dengan para inovator terpilih dari Injourney Airports, mereka yang memahami bahwa inovasi bukan lagi proyek pelengkap, melainkan fondasi utama keberlanjutan industri kebandarudaraan nasional.

Tekanan global untuk menciptakan seamless travel experience, peningkatan standar keamanan internasional, dan kompetisi ketat antarbandara dunia menuntut organisasi untuk melampaui sekadar efisiensi operasional. Kehadiran 15 tim inovasi ini menjadi sinyal bahwa kesiapan bergerak dari zona nyaman menuju zona percepatan strategis berbasis kebutuhan pengguna dan potensi ekosistem tidak bisa ditawar lagi.

Untuk memastikan inovasi tidak berhenti sebagai ide tetapi benar-benar menciptakan nilai, diperlukan tiga kekuatan utama: co-creation, co-innovation, dan co-creative.

✈️ Co-creation menghadirkan pelanggan sebagai mitra strategis yang memberikan insight dan arah bagi inovasi.

✈️ Co-innovation mempercepat transformasi ide menjadi solusi bernilai tinggi melalui kolaborasi dengan key partners yang memperkuat model bisnis dan menurunkan biaya operasional.

✈️ Co-creative membangun kekuatan internal tim, menyatukan perspektif operasional, digital, komersial, dan pelayanan, untuk bergerak lebih cepat dan adaptif terhadap dinamika industri.

Ketiga elemen ini membentuk fondasi radical collaboration, yakni kolaborasi lintas batas yang tidak hanya menyatukan sumber daya, tetapi menciptakan lompatan nilai eksponensial.

Tanpa pendekatan ini, inovasi berisiko berhenti pada tahap pilot project. Namun dengan radical collaboration, setiap inisiatif memiliki potensi menjadi transformasi sistemik yang memperkuat daya saing global bandara Indonesia, meningkatkan kesejahteraan internal, dan memberikan pengalaman pelanggan yang jauh melampaui ekspektasi🚀

Model Bisnis Bukan Soal Menang Sendiri, Tapi Menang Bersama Pelanggan

Dalam dunia bisnis yang kian kompetitif & terhubung, kita tak bisa lagi berpikir linier bahwa kualitas tinggi harus dibayar dengan harga tinggi, atau bahwa satu-satunya sumber keuntungan adalah dari transaksi langsung pelanggan. Justru tantangan zaman ini adalah: bagaimana menciptakan produk sebaik mungkin, dengan harga semurah mungkin, & tetap menghasilkan keuntungan setinggi mungkin. Inilah esensi dari non-linear business model thinking. Pendekatan ini menantang logika lama dan mendorong kita berpikir ulang: bagaimana value diciptakan, dibagikan, dan ditangkap secara cerdas? (Osterwalder & Pigneur, 2010)

Berpikir non-linear berarti tidak terpaku pada satu jalur nilai antara produk dan pelanggan. Kita bisa merancang model bisnis yang memungkinkan harga tetap terjangkau tanpa memiskinkan organisasi. Contohnya, banyak model freemium memungkinkan pengguna mendapatkan layanan gratis, sementara fitur lanjutan dijual ke segmen premium. Model cross-subsidy memungkinkan pelanggan membayar murah karena sebagian biaya ditanggung sponsor, mitra, atau segmen lain. Platform seperti Gojek atau Tokopedia juga tidak hanya mengandalkan margin transaksi, tapi memonetisasi lewat data, iklan, hingga layanan keuangan (Zengler & Bogers, 2021). Jadi bukan sekadar menjual produk, tapi merancang ekosistem nilai yang berlapis.

Di sinilah pentingnya evaluasi menyeluruh atas proses dan model bisnis. Jangan cuma fokus “jualan-jualan-jualan”, tapi refleksikan: apakah sistem kita masih relevan dan revenue-nya optimal? Seperti disoroti Johnson dkk. (2008), inovasi model bisnis sering lebih berdampak daripada sekadar inovasi produk. Tanpa riset pasar, umpan balik pelanggan, & simulasi model pendapatan, organisasi bisa stagnan, bukan karena produknya buruk, tapi karena modelnya tak lagi cocok dengan zamannya.

Ekosistem bukan sekadar jaringan, tapi mekanisme keberlanjutan bersama. Kolaborasi lintas aktor—mitra, komunitas, pemerintah, hingga sponsor, harus jadi bagian dari desain nilai. Sejalan dengan purpose-driven business (Mackey & Sisodia, 2013), organisasi bisa tetap bermisi sosial tanpa mengorbankan finansial. Prinsipnya: untung karena berpikir cerdas, bukan karena membebani pelanggan.

Mindset, Proses, dan Sistem: Pilar Inovasi Masa Kini

Ketika bicara soal perubahan sosial, banyak orang masih terjebak pada bayangan individu hebat yang “berjuang sendirian” di garis depan. Prof. Alex Nicholls mengajak kita melihat lebih luas. Ia memetakan lintasan perkembangan inovasi sosial mulai dari level mikro, di mana social entrepreneur tampil sebagai pahlawan tunggal, menuju pendekatan yang lebih terstruktur lewat organisasi sosial (social enterprise), hingga akhirnya menembus pada level sistemik yang kita kenal sebagai social innovation. Perjalanan ini bukan sekadar soal siapa yang bertindak, tapi bagaimana cara kita memahami dan merancang perubahan secara lebih utuh dan berkelanjutan.

Di tahap social enterprise, isu keberlanjutan mulai ditekankan. Organisasi sosial tidak cukup hanya punya niat baik, mereka harus bisa bermain di dua dunia: misi sosial dan logika pasar. Di sinilah muncul kebutuhan untuk membangun sistem internal yang kuat, agar dampak bisa diperluas tanpa tergantung pada figur sentral. Tapi lebih jauh lagi, pendekatan inovasi sosial mendorong kita untuk berpikir lintas batas. Perubahan tidak bisa hanya terjadi dalam satu organisasi atau komunitas. Harus ada pemahaman sistemik, pemetaan aktor, dan kolaborasi lintas sektor agar perubahan bisa bertahan.

Inovasi sosial terdiri dari tiga dimensi penting: mindset, proses, dan outcomes. Mindset berarti kita mulai mengakui bahwa perubahan itu kompleks—bukan linier, dan tidak bisa diselesaikan satu aktor saja. Prosesnya menuntut kita untuk memetakan sistem, mendiagnosis akar persoalan, dan menyusun tujuan strategis bersama. Di titik ini, kolaborasi menjadi kunci. Namun, harus diakui juga bahwa hasil dari inovasi sosial seringkali bersifat parsial dan temporer. Karena sistem terus bergerak, maka inovasi pun harus bersifat adaptif dan terus belajar dari konteks yang berubah.

Prof. Nicholls menggambarkan inovasi sosial seperti pesawat terbang: butuh penumpang (stakeholder), navigasi (arah riset), bahan bakar (modal), badan pesawat (jejaring kolaboratif), dan sayap (insentif dan tata kelola). Intinya, perubahan sosial bukan kerja individu, tapi hasil kerja kolektif yang terbang karena semua elemen bergerak selaras✨

Network Effect

Pernah ngga lihat bapak-bapak kerjaannya sarungan, ngopi-ngopi sana sini, ngobrol-ngobrol sana sini, kayak ngga punya kerjaan, tapi kaya banget? Nah, ini contoh dari network effect versi akar rumput.

Mereka kelihatannya hanya duduk santai di warung kopi atau pos ronda, tapi sesungguhnya sedang membangun dan merawat jejaring sosial yang sangat vital bagi ketahanan sosial dan ekonomi komunitas. Aktivitas mereka mencerminkan apa yang Granovetter (1973) sebut sebagai “the strength of weak ties”, di mana hubungan-hubungan sosial yang tampak tidak formal dan longgar justru menjadi sumber penting informasi, peluang, dan solidaritas. Dalam konteks ini, warung kopi bukan hanya tempat ngopi, tapi node dalam social network informal.

Obrolan ringan itu adalah arus data tak kasat mata. Mereka berbicara tentang siapa yang butuh tukang, siapa yang mau jual motor, siapa yang butuh pinjaman, atau bahkan kabar penting tentang tetangga. Di sinilah konsep network effect bekerja secara sosial: semakin banyak orang yang terhubung dalam jaringan tersebut, semakin besar nilai dan manfaat yang didapat setiap anggotanya (Shapiro & Varian, 1999). Masing-masing individu memperkuat kapasitas kolektif jaringan—mirip seperti apa yang terjadi dalam platform digital modern, tapi ini berbasis warung dan trust, bukan algoritma.

Selain itu, keberadaan ruang interaksi sosial seperti ini membentuk apa yang disebut oleh Putnam (2000) sebagai social capital, yaitu kepercayaan dan norma timbal balik yang memfasilitasi koordinasi & kerjasama untuk kepentingan bersama. Bahkan James Scott (1998) dalam Seeing Like a State menekankan pentingnya “infra-politik” atau struktur sosial tak terlihat yang justru menentukan bagaimana komunitas bertahan dalam sistem formal yang sering kali tidak adaptif.

Jadi, jangan meremehkan obrolan santai itu. Di balik sarung dan cangkir kopi, ada sistem ekosistem sosial yang bekerja. Ini adalah network effect dalam bentuk yang sangat lokal dan manusiawi, bukan dibangun lewat kecanggihan teknologi, tapi lewat kehadiran rutin, saling percaya & komitmen sosial. Justru inilah jenis ekosistem yang semakin langka di tengah masyarakat yang makin individualistik & transaksional✨

Tiga Kunci Inovasi

Kreativitas bukan sekadar menciptakan hal baru, tetapi memastikan hal yang penting benar-benar sampai pada yang membutuhkan. Dalam inovasi sosial dan bisnis berdampak, kreativitas menjadi keharusan, namun belum tentu berpihak. Banyak solusi tampak menarik namun gagal menjawab kebutuhan riil. Karena itu, penting memahami tiga level kreativitas: dari menciptakan solusi, membangun model bisnis yang adil, hingga menciptakan kolaborasi ekosistem yang berkelanjutan.

Level pertama, kreativitas solusi, fokus pada pemecahan masalah nyata pengguna. Mengacu pada pendekatan Jobs to Be Done (Christensen et al., 2016), solusi harus menyentuh aspek fungsional, emosional, dan sosial. Alat seperti Value Proposition Canvas (Osterwalder et al., 2014) membantu memahami kebutuhan pengguna, sementara co-creation (Prahalad & Ramaswamy, 2004) menempatkan mereka sebagai mitra aktif. Di sini, kreativitas lahir dari empati, bukan dari teknologi semata.

Level kedua, kreativitas model bisnis, menekankan pentingnya sistem yang efisien dan berpihak. Dengan kerangka Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010), organisasi didorong merancang struktur biaya dan pendapatan yang membuka akses, bukan membebani pengguna. Melalui strategi seperti subsidi silang dan kolaborasi lintas sektor (Yunus et al., 2010), kreativitas diarahkan untuk menciptakan kebermanfaatan yang berkelanjutan.

Level ketiga, kreativitas ekosistem, mendorong kolaborasi lintas sektor untuk pertumbuhan bersama. Kemitraan tidak hanya soal efisiensi, tapi menciptakan shared value (Porter & Kramer, 2011) melalui radical collaboration (Austin & Seitanidi, 2012). Di level ini, organisasi tak sekadar membangun produk, tetapi memperkuat sistem yang memungkinkan dampak luas dan berjangka panjang. Kreativitas tertinggi adalah tentang menyambungkan kekuatan untuk kebaikan bersama.

Business As Usual

Pengen hal dan terobosan baru, tapi kerap terjebak dengan rutinitas?

Di tengah kesibukan organisasi, sering kali fokus pada tujuan utama terabaikan. Program yang berjalan, rapat yang bertumpuk, dan rutinitas harian bikin kita terjebak dalam whirlwind—pusaran aktivitas mendesak yang sering kali tidak penting. Di sinilah 4 Disciplines of Execution (4DX) hadir untuk membantu organisasi tetap bergerak menuju Wildly Important Goals (WIG)nya.

4DX adalah sistem yang dirancang untuk menyelaraskan energi tim pada tujuan yang paling penting. Mulai dari Fokus pada yang sangat penting, memilih 1-2 tujuan krusial, hingga Bergerak pada Lead Measures, memastikan indikator utama mendorong kemajuan. Disiplin ketiga, Keep a Compelling Scoreboard, menciptakan papan skor yang transparan dan memotivasi, sementara Create a Cadence of Accountability membangun budaya evaluasi rutin untuk menjaga komitmen tim.

Tidak cuma itu, 4DX juga sangat relevan untuk melengkapi metode OKR (Objectives and Key Results) serta Agile Project Management.

Gunakan OKR membantu organisasi menetapkan tujuan besar yang terukur, dan Agile Framework bakal bantu kita buat fokus pada fleksibilitas serta respons cepat terhadap perubahan. Kalo kamu pake 4DX untuk menyeimbangkannya, ini bakal memberikan kamu fondasi eksekusi yang solid.

Dengan mengintegrasikan ketiganya, organisasi bisa mencapai keseimbangan antara perencanaan strategis, eksekusi yang disiplin, dan kemampuan adaptasi.

4DX bukan hanya alat eksekusi, tetapi juga pengubah budaya kerja. Di tengah kesibukan, ia membawa organisasi kembali pada tujuan utama, menjadikan setiap individu terlibat dan bertanggung jawab. Tidak peduli seberapa sibuknya, dengan 4DX, tujuan besar menjadi lebih terarah, terukur, dan mungkin dicapai.

The Three Horizons Of Growth

Guys! Ati2 terjebak teknis, nanti lupa berpikir strategis”
Kalimat yang kerap terucap, mengingatkan tim untuk menyeimbangkannya adalah sebuah peer, meski ada seperangkat tools untuk menjaganya, tapi masih sering tergoda juga untuk meladeni monentum tapi membutakan pada goals yang sesungguhnya.

Beberapa saat lalu juga pernah menuliskan tentang organisasi bertangan dua, atau yang biasa disebut sebagai Organisasi Ambidextery.

Organisasi Ambidextery adalah organisasi bertangan dua kala Ia perlu menghadapi tantangan untuk memberikan inovasi yang cepat namun disaat yang sama Ia juga perlu memelihara perbaikannya yang berkelanjutan dengan menata birokrasi organisasinya.

Nah, kali ini kita bahas bukan yang bertangan dua, tapi organisasi dengan tiga Horison.

McKinsey and IFF* menerbitkan model horison pertumbuhan, memang makin memantang menyeimbangkan inovasi. Hingga bisa jadi sebuah organisasi yang inovatif memang perlu banyak belajar adaptif, aplagi perubahannya dilakukan diatas perubahan.

Yuk kita kenalan sama “The Three Horizons of Growth’ (Horizon model):

Horizon 1 = ‘Keeping the lights on‘ ─ driven by optimization and sustaining innovation (change).
Organisasi dijalankan dengan mengoptimalkan serta menjaga kebetlanjutan inovasi.

Horizon 2 = ‘Building future ventures‘ ─ driven by disruptive innovation, operating in known markets.
Membangun masa depan, yang didorong oleh inovasi disruptif, menjalankannya di pasar yang sudah diketahui.

Horizon 3 = ‘Imagining the future‘ ─ driven by disruptive innovation, entering uncharted waters.
Horison ini adalah horison yang sangat penting, membayangkqn masa depan, dipandu oleh inovasi disruptif, mengeksplorasi beragam kebaruan yang tak pernah ditemukan sebelumnya.

Selamat bereksplorasi!

Siapa Costumers Anda?

“Jadi Design Thinking itu apa Pak?”
Sebuah pertanyaan kolega pagi ini. Menarik juga diulas dari POV saya;)

Design Thinking adalah pendekatan kreatif yang berfokus pada memberikan solusi nyata yang relevan bagi pelanggan, bukan sekadar menciptakan produk. Inti dari pendekatan ini adalah memahami kebutuhan individu secara mendalam, termasuk konteks, tantangan, dan harapan mereka. Dengan pemahaman ini, solusi yang dibangun akan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengguna✨

Pendekatan ini berbeda karena menekankan proses berpikir yang mendalam, terstruktur, dan iteratif. Prosesnya melibatkan eksplorasi masalah secara menyeluruh, eksperimen, dan penyempurnaan solusi melalui berbagai siklus umpan balik. Dengan kata lain, solusi tidak dihasilkan sekaligus, tetapi melalui serangkaian langkah yang terus berkembang. Proses ini memastikan bahwa solusi yang dihasilkan selalu relevan dan dapat diterima dengan baik oleh pengguna✨

Disebut sebagai slow thinking, pendekatan ini menuntut waktu untuk benar-benar memahami permasalahan dan menciptakan solusi yang terbaik. Alih-alih terburu-buru, Design Thinking mengedepankan pemikiran yang cermat, empati terhadap pengguna, dan pengujian ide secara berulang✨

Melalui Design Thinking, organisasi dan individu bisa menemukan ide-ide baru yang tidak cuma inovatif tetapi juga memberikan dampak positif yang nyata pada pengguna. Pendekatan ini ideal digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari bisnis, pendidikan, hingga pengembangan produk dan layanan🎁

Ngerapihin Proses Bisnis Yang Berantakan Mudahnya Mulai Dari Mana?

Sering merasa proses bisnis kamu berantakan dan kurang efisien? Atau mungkin, kesulitan menghubungkan setiap bagian dari operasional agar bekerja secara terstruktur? 🧐

Inilah saatnya kamu kenal pentingnya proses bisnis yang terdokumentasi dan terstruktur dengan baik. Di balik setiap bisnis yang sukses, ada proses yang dijalankan dengan konsisten, rapi, dan sesuai tujuan organisasi. Proses bisnis yang terarah membantu menjaga kualitas, efisiensi, dan kepuasan pelanggan—dan inilah kunci untuk mencapai performa yang optimal dalam bisnis🗝️

Namun, membangun proses bisnis yang efektif tidaklah mudah, apalagi untuk organisasi yang kompleks. Di sinilah The Zachman Framework berperan. Framework ini bukan sekadar alat teknis, tetapi juga strategi yang membantu memahami, merancang, dan mengelola setiap elemen penting dalam bisnis 📁

Dengan struktur dua dimensi yang menyusun perspektif mulai dari perencana hingga pengguna, serta menjawab pertanyaan kunci seperti apa, bagaimana, di mana, siapa, kapan, dan mengapa, Zachman Framework memungkinkan kamu mengidentifikasi semua komponen yang diperlukan untuk mendukung operasional dan mencapai tujuan bisnis.

Bayangkan kamu bisa melihat seluruh peta bisnis kamu—data, peran tiap tim, teknologi yang digunakan, hingga proses sehari-hari—dalam satu gambaran besar. Inilah yang dilakukan oleh Zachman Framework, memungkinkan setiap fungsi dan sistem bekerja bersama-sama secara harmonis, terstruktur, dan mudah dipantau. Dengan kerangka kerja ini, setiap bagian dalam organisasi bisa terorganisir secara logis, komunikasi antar tim menjadi lebih jelas, dan semua pihak memahami peran serta tujuan mereka🎉😂

Pendekatan ini memudahkan kamu untuk menjaga transparansi, melatih karyawan baru, serta mengoptimalkan setiap aspek bisnis agar siap beradaptasi menghadapi perubahan pasar dan teknologi. Kerangka ini bukan hanya alat bantu teknis, melainkan strategi bisnis untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi operasional yang lebih tinggi😉

Sekarang, kamu ngga perlu bingung lagi! Dengan memahami dan menerapkan Zachman Framework, kamu bisa menjalankan bisnis dengan arah yang lebih jelas dan mencapai hasil yang lebih maksimal🎉