Employee Experience

Urgensinya hari ini tidak bisa ditunda lagi: organisasi tidak lagi dapat mengelola Employee Experience (EX) secara biasa-biasa saja. Perubahan lingkungan bisnis, percepatan teknologi, dan munculnya inovasi disruptif menuntut karyawan yang tidak hanya patuh pada sistem, tetapi mampu berpikir kreatif, adaptif, dan berani bereksperimen. Penelitian menunjukkan bahwa inovasi sangat dipengaruhi oleh konteks kerja yang memungkinkan otonomi, rasa aman psikologis, dan pembelajaran berkelanjutan, bukan oleh kontrol berlebihan dan prosedur kaku (Amabile, 1996; Edmondson, 1999).

Dalam konteks tersebut, Employee Experience menjadi fondasi strategis bagi inovasi, bukan sekadar agenda HR atau fasilitas kerja. Proses inovasi, mulai dari eksplorasi ide, validasi dengan kebutuhan pengguna, hingga pengembangan solusi yang berkelanjutan, membutuhkan lingkungan kerja yang mendukung kreativitas, kolaborasi lintas fungsi, dan keberanian untuk mencoba serta gagal secara terkelola. Studi tentang organisasi inovatif menunjukkan bahwa EX yang dirancang dengan baik meningkatkan engagement, kualitas ide, dan kecepatan pembelajaran organisasi (Deloitte, 2017; Schaufeli, 2017).

Karena itu, kebutuhan akan ruang untuk bermain di kantor harus dipahami sebagai bagian integral dari desain EX. Ruang bermain bukan simbol relaksasi semata, melainkan ruang eksperimentasi, tempat karyawan dapat menguji gagasan, berdialog tanpa hierarki, dan membangun solusi secara iteratif. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip design thinking dan innovation culture, di mana kreativitas tumbuh ketika organisasi secara sadar menyediakan ruang aman untuk eksplorasi dan kolaborasi (Brown, 2009; Lewrick et al., 2020). Di titik inilah EX berfungsi sebagai pengungkit utama agar kreativitas benar-benar bermuara pada inovasi yang relevan dan berdampak.

Innovation grows where employees feel safe to try, safe to fail, and encouraged to learn.

The Leadership Blindspot

The Leadership Blindspot

Banyak organisasi tampak berkembang secara struktural, unit bertambah, aktivitas administratif meningkat, dan program diperluas, namun tidak disertai peningkatan relevansi. Kondisi ini sering muncul ketika posisi kepemimpinan ditentukan oleh kedekatan atau kenyamanan, bukan kapasitas adaptif. Mintzberg (2009) mengingatkan bahwa struktur yang terlalu stabil justru melemahkan fungsi strategis karena organisasi berhenti menantang dirinya. Ketika proses seleksi menjadi seremonial dan homogen, kemampuan organisasi membaca perubahan lingkungan perlahan menurun.

Masalah ini semakin jelas terlihat ketika individu dengan perspektif berbeda justru diperlakukan sebagai gangguan, bukan sumber pembelajaran. Heifetz dan Linsky (2002) menyebut kelompok ini sebagai pembawa adaptive pressure, yakni sinyal bahwa asumsi lama perlu diperiksa ulang. Namun banyak organisasi memilih meredam tekanan tersebut demi menjaga harmoni internal. Akibatnya, psychological safety melemah (Edmondson, 2019), dan kritik substantif sulit muncul. Situasi ini menempatkan organisasi dalam single-loop learning, di mana perbaikan hanya terjadi di level prosedur. Padahal Argyris dan Schön (1978) menunjukkan bahwa perubahan yang bermakna membutuhkan double-loop learning, kemampuan meninjau ulang pola pikir yang mendasari keputusan.

Ketika kondisi tersebut berlangsung lama, dampaknya menjadi struktural. Rekrutmen dan promosi yang tidak berbasis kompetensi menghasilkan organisasi yang sulit beradaptasi dan terjebak pada pola kerja statis (Laloux, 2014). Karena itu, memperkuat meritokrasi dan menata ulang proses seleksi bukan sekadar langkah administratif, tetapi fondasi kapasitas adaptif organisasi. Prinsip organisasi pembelajar dari Senge (1990) relevan di sini: ketahanan organisasi tidak ditentukan oleh banyaknya aktivitas, tetapi oleh kemampuan melihat realitas secara jernih dan memperbaiki sistem yang keliru. Dengan begitu, organisasi dapat keluar dari blind spot-nya sendiri dan kembali berorientasi pada misi yang seharusnya🙌

Ketika Key Partner Menjadi Kompetitor : Ujian Nyata Purpose dan Kejernihan Strategi.

Ketika Key Partner Menjadi Kompetitor : Ujian Nyata Purpose dan Kejernihan Strategi.

Dalam ekosistem bisnis, partner yang awalnya berkomitmen namun kemudian berubah menjadi kompetitor bukan sekadar persoalan moral atau etika; ini adalah gejala struktural yang muncul ketika insentif antar-aktor tidak selaras, batas co-creation terlalu longgar, atau governance ekosistem belum matang. Konsekuensinya bisa serius: kebocoran pengetahuan, terganggunya rantai nilai, hilangnya akses pasar, atau rusaknya reputasi. Karena itu, kita perlu memahami bahwa dinamika ini bukan “kecelakaan bisnis”, tetapi risiko yang dapat diprediksi dan dikendalikan, melalui desain sistem yang lebih cermat.

Namun ketika pengkhianatan itu tetap terjadi, respons terbaik bukanlah panik atau menghabiskan energi untuk membalas kompetisi, melainkan kembali menata desain ekosistem sambil menjaga visi berdasarkan purpose organisasi. Purpose tidak otomatis menjamin kemenangan, tetapi ia memberi kompas mental dan moral agar organisasi tidak terseret arus drama kompetisi. Yang membuat organisasi bertahan bukan sekadar niat baik, melainkan kombinasi dari purpose-led clarity, kapasitas operasional, dan kemampuan mendesain ekosistem yang aman tetapi tetap kolaboratif. Dengan cara ini, organisasi tidak kehilangan fokus nilai meskipun lingkungan berubah.

Pelajaran penting bagi kita adalah bahwa berhadapan dengan partner oportunistik bukan hanya urusan “sabar dan ikhlas”, melainkan kesempatan untuk memperkuat desain sistem. Tanyakan pada diri sendiri: proses mana yang harus dilindungi? Insentif apa yang harus diselaraskan? Data apa yang boleh dibagi atau tidak? Cara berpikir seperti inilah yang membentuk kemampuan strategis dalam ekosistem.

Kompetitor boleh datang dan pergi, tetapi organisasi yang mampu membaca risiko, merancang aturan main, dan tetap setia pada tujuan kebermanfaatan akan lebih mungkin bertahan dan menciptakan nilai jangka panjang🚀

Why Impact Outgrows Money

Why Impact Outgrows Money

Pertumbuhan ekonomi modern semakin didorong oleh value creation, bukan oleh akumulasi aset fisik semata. Dalam kerangka intangible economy, nilai ekonomi dibentuk oleh 4 komponen utama: kepercayaan, inovasi, relasi & kapabilitas. 4 komponen ini tidak bersumber dari modal finansial, tetapi dari dampak yang dirasakan pengguna, masyarakat & pemangku kepentingan. Dengan kata lain, value, sebagai dasar pertumbuhan ekonomi, merupakan turunan langsung dari real-world impact. Tanpa dampak yang bisa diobservasi, nilai tidak terbentuk secara berkelanjutan.

Dalam model ecosystem value creation (Jacobides, 2018), dampak berperan sebagai pemicu utama koordinasi lintas-aktor di dalam ekosistem. Aktor hanya berpartisipasi ketika dampak yang mereka terima lebih besar dari biaya koordinasi. Mekanisme ini menjelaskan mengapa dampak menjadi prasyarat nilai: dampak mengubah incentive structure, meningkatkan network participation & menurunkan transaction cost. Ketika dampak meningkat, nilai tumbuh melalui perluasan jejaring, peningkatan utilitas bersama & penguatan complementarity antar-aktor. Pada tahap inilah ekonomi mulai bergerak secara eksponensial.

Dari perspektif teori shared value (Porter & Kramer), dampak juga merupakan dasar keberlanjutan nilai. Nilai ekonomi yang tidak dibangun dari dampak cenderung mengikis legitimasi sosial (erosion of social license to operate). Sebaliknya, organisasi yang menghasilkan dampak memperkuat preferensi pelanggan, meningkatkan retensi & menciptakan positive externalities yang menstimulasi pasar baru. Dampak berfungsi sebagai leading indicator untuk nilai, sedang nilai menjadi leading indicator bagi pertumbuhan ekonomi.

Hubungan kausalnya kira-kira seperti ini:
Impact → Behavior Change.
Behavior Change → Value Formation
Value Formation → Economic Growth

Nilai menciptakan pertumbuhan melalui produktivitas, inovasi & ekspansi pasar.

Konsisten dengan Theory of Change, ekonomi kelembagaan (North) & logika ekonomi digital yang menempatkan dampak sebagai unit of value creation. Ekonomi tumbuh ketika nilai terbentuk & nilai hanya terbentuk ketika dampak dihasilkan secara nyata, terukur & nyata dirasakan lintas-aktor.

Sebelum Mengatur Cost,Pahami Dulu Realitasnya.

Sebelum Mengatur Cost,
Pahami Dulu Realitasnya.

Di era VUCA–BANI yang penuh ketidakpastian, banyak bisnis dan organisasi masih terjebak dalam keyakinan lama: bahwa ketelitian ekonomi manajerial cukup untuk membuat mereka bertahan. Padahal, realitas hari ini menunjukkan sebaliknya, perhitungan yang teliti tidak banyak membantu jika dilakukan di atas model bisnis yang salah baca konteks. Kita sering langsung menghitung biaya, menyusun proyeksi pendapatan, atau menetapkan target penjualan, sementara lingkungan kita berubah lebih cepat daripada rumus-rumus yang kita anggap aman. Ketika pasar bergeser, perilaku konsumen berubah, dan kompetitor bermunculan tanpa pola, maka angka bukan lagi titik awal, melainkan konsekuensi dari keputusan yang kontekstual.

Banyak organisasi masih mengira kegagalan mereka berasal dari ketidaktelitian menghitung cost dan revenue. Padahal, akar masalahnya lebih dalam: mereka tak memahami konteks strategis tempat mereka beroperasi.

Apakah pasar mereka sedang mengalami disrupsi?
Apakah perilaku pelanggan bergeser?
Apakah struktur industrinya berubah?
Apakah ada teknologi baru yang memecah aturan lama?

Tanpa memahami ini semua, perhitungan finansial justru menjadi ilusi kepastian, seolah-olah kita sedang memegang peta lama untuk membaca kota yang sudah berubah total.

Karena itu, di era ini, ekonomi manajerial harus dimulai dari pemahaman konteks: memahami lanskap, memetakan risiko, membaca arah angin industri, dan menyusun model bisnis yang benar-benar relevan. Barulah angka-angka finansial memiliki arti yang kongkret. Jika konteksnya keliru, seluruh hitungan runtuh seperti kartu-kartu domino. Pesannya menampar: bukan perhitungannya yang salah, melainkan titik awal berpikirnya. Bisnis dan organisasi harus belajar membaca realitas sebelum membaca Excel, memahami dunia sebelum mengeksekusi strategi, dan merancang model bisnis sebelum sibuk mengutak-atik laporan keuangan.

“You cannot fix the numbers if you misunderstand the reality they are meant to describe.”

Model Bisnis Vs Business Acumen

Model Bisnis Vs Business Acumen

Bayangkan kita tengah melakukan perjalanan menuju masa depan yang lebih besar dari sekadar angka keuntungan, sebuah tujuan yang menghadirkan makna, pengaruh, dan jejak kebaikan. Perjalanan ini membutuhkan kendaraan yang tepat, dan itulah peran model bisnis. 🚗🚙🚕🚘🚕

Seperti mobil yang kita pilih untuk menembus berbagai medan, model bisnis menentukan bagaimana energi dikelola, seberapa cepat kita bergerak, dan sejauh mana kita mampu menjangkau peluang yang belum tersentuh. Kendaraan ini bukan hanya alat transportasi, tetapi pernyataan tentang visi dan keberanian kita menentukan arah.

Namun kendaraan tidak akan pernah mencapai tujuan jika manusia di dalamnya berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah organisasi menjadi jiwa yang menggerakkan perjalanan. Organisasi bukan sekadar susunan struktur, tetapi ruang hidup yang menyatukan hati, pikiran, dan kontribusi. Ia mengubah sekumpulan individu menjadi kru perjalanan, yang bukan hanya duduk sebagai penumpang, tetapi mengambil peran aktif memastikan kendaraan tetap stabil, semua terhubung dengan tujuan, dan tidak ada satu pun yang merasa tertinggal🚀

Dan yang membuat perjalanan ini benar-benar bermakna adalah kesadaran kolektif atau business acumen. Ia adalah cahaya di dalam diri setiap orang yang membuat mereka peka terhadap arah angin, curah hujan perubahan, dan setiap titik kritis dalam perjalanan. Business acumen menjadikan setiap orang bukan sekadar pengikut, tetapi penjaga masa depan bersama. Ketika semua memiliki kesadaran ini, kendaraan bisnis tidak hanya melaju cepat—tetapi melaju dengan keyakinan, kebijaksanaan, dan keberkahan menuju tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar tiba: yaitu meninggalkan jejak yang memajukan kehidupan banyak orang.

Pada akhirnya, keberhasilan bisnis ditentukan bukan oleh seberapa cepat kita bergerak, tetapi oleh apakah seluruh tim terlibat aktif menjaga arah dan memastikan perjalanan ini benar-benar sampai pada tujuan strategis yang kita sepakati🎉

Injourney Airports

Hari ini saya merasakan atmosfer inovasi yang sangat kuat ketika bersua dengan para inovator terpilih dari Injourney Airports, mereka yang memahami bahwa inovasi bukan lagi proyek pelengkap, melainkan fondasi utama keberlanjutan industri kebandarudaraan nasional.

Tekanan global untuk menciptakan seamless travel experience, peningkatan standar keamanan internasional, dan kompetisi ketat antarbandara dunia menuntut organisasi untuk melampaui sekadar efisiensi operasional. Kehadiran 15 tim inovasi ini menjadi sinyal bahwa kesiapan bergerak dari zona nyaman menuju zona percepatan strategis berbasis kebutuhan pengguna dan potensi ekosistem tidak bisa ditawar lagi.

Untuk memastikan inovasi tidak berhenti sebagai ide tetapi benar-benar menciptakan nilai, diperlukan tiga kekuatan utama: co-creation, co-innovation, dan co-creative.

✈️ Co-creation menghadirkan pelanggan sebagai mitra strategis yang memberikan insight dan arah bagi inovasi.

✈️ Co-innovation mempercepat transformasi ide menjadi solusi bernilai tinggi melalui kolaborasi dengan key partners yang memperkuat model bisnis dan menurunkan biaya operasional.

✈️ Co-creative membangun kekuatan internal tim, menyatukan perspektif operasional, digital, komersial, dan pelayanan, untuk bergerak lebih cepat dan adaptif terhadap dinamika industri.

Ketiga elemen ini membentuk fondasi radical collaboration, yakni kolaborasi lintas batas yang tidak hanya menyatukan sumber daya, tetapi menciptakan lompatan nilai eksponensial.

Tanpa pendekatan ini, inovasi berisiko berhenti pada tahap pilot project. Namun dengan radical collaboration, setiap inisiatif memiliki potensi menjadi transformasi sistemik yang memperkuat daya saing global bandara Indonesia, meningkatkan kesejahteraan internal, dan memberikan pengalaman pelanggan yang jauh melampaui ekspektasi🚀

Model Bisnis Bukan Soal Menang Sendiri, Tapi Menang Bersama Pelanggan

Dalam dunia bisnis yang kian kompetitif & terhubung, kita tak bisa lagi berpikir linier bahwa kualitas tinggi harus dibayar dengan harga tinggi, atau bahwa satu-satunya sumber keuntungan adalah dari transaksi langsung pelanggan. Justru tantangan zaman ini adalah: bagaimana menciptakan produk sebaik mungkin, dengan harga semurah mungkin, & tetap menghasilkan keuntungan setinggi mungkin. Inilah esensi dari non-linear business model thinking. Pendekatan ini menantang logika lama dan mendorong kita berpikir ulang: bagaimana value diciptakan, dibagikan, dan ditangkap secara cerdas? (Osterwalder & Pigneur, 2010)

Berpikir non-linear berarti tidak terpaku pada satu jalur nilai antara produk dan pelanggan. Kita bisa merancang model bisnis yang memungkinkan harga tetap terjangkau tanpa memiskinkan organisasi. Contohnya, banyak model freemium memungkinkan pengguna mendapatkan layanan gratis, sementara fitur lanjutan dijual ke segmen premium. Model cross-subsidy memungkinkan pelanggan membayar murah karena sebagian biaya ditanggung sponsor, mitra, atau segmen lain. Platform seperti Gojek atau Tokopedia juga tidak hanya mengandalkan margin transaksi, tapi memonetisasi lewat data, iklan, hingga layanan keuangan (Zengler & Bogers, 2021). Jadi bukan sekadar menjual produk, tapi merancang ekosistem nilai yang berlapis.

Di sinilah pentingnya evaluasi menyeluruh atas proses dan model bisnis. Jangan cuma fokus “jualan-jualan-jualan”, tapi refleksikan: apakah sistem kita masih relevan dan revenue-nya optimal? Seperti disoroti Johnson dkk. (2008), inovasi model bisnis sering lebih berdampak daripada sekadar inovasi produk. Tanpa riset pasar, umpan balik pelanggan, & simulasi model pendapatan, organisasi bisa stagnan, bukan karena produknya buruk, tapi karena modelnya tak lagi cocok dengan zamannya.

Ekosistem bukan sekadar jaringan, tapi mekanisme keberlanjutan bersama. Kolaborasi lintas aktor—mitra, komunitas, pemerintah, hingga sponsor, harus jadi bagian dari desain nilai. Sejalan dengan purpose-driven business (Mackey & Sisodia, 2013), organisasi bisa tetap bermisi sosial tanpa mengorbankan finansial. Prinsipnya: untung karena berpikir cerdas, bukan karena membebani pelanggan.

Mindset, Proses, dan Sistem: Pilar Inovasi Masa Kini

Ketika bicara soal perubahan sosial, banyak orang masih terjebak pada bayangan individu hebat yang “berjuang sendirian” di garis depan. Prof. Alex Nicholls mengajak kita melihat lebih luas. Ia memetakan lintasan perkembangan inovasi sosial mulai dari level mikro, di mana social entrepreneur tampil sebagai pahlawan tunggal, menuju pendekatan yang lebih terstruktur lewat organisasi sosial (social enterprise), hingga akhirnya menembus pada level sistemik yang kita kenal sebagai social innovation. Perjalanan ini bukan sekadar soal siapa yang bertindak, tapi bagaimana cara kita memahami dan merancang perubahan secara lebih utuh dan berkelanjutan.

Di tahap social enterprise, isu keberlanjutan mulai ditekankan. Organisasi sosial tidak cukup hanya punya niat baik, mereka harus bisa bermain di dua dunia: misi sosial dan logika pasar. Di sinilah muncul kebutuhan untuk membangun sistem internal yang kuat, agar dampak bisa diperluas tanpa tergantung pada figur sentral. Tapi lebih jauh lagi, pendekatan inovasi sosial mendorong kita untuk berpikir lintas batas. Perubahan tidak bisa hanya terjadi dalam satu organisasi atau komunitas. Harus ada pemahaman sistemik, pemetaan aktor, dan kolaborasi lintas sektor agar perubahan bisa bertahan.

Inovasi sosial terdiri dari tiga dimensi penting: mindset, proses, dan outcomes. Mindset berarti kita mulai mengakui bahwa perubahan itu kompleks—bukan linier, dan tidak bisa diselesaikan satu aktor saja. Prosesnya menuntut kita untuk memetakan sistem, mendiagnosis akar persoalan, dan menyusun tujuan strategis bersama. Di titik ini, kolaborasi menjadi kunci. Namun, harus diakui juga bahwa hasil dari inovasi sosial seringkali bersifat parsial dan temporer. Karena sistem terus bergerak, maka inovasi pun harus bersifat adaptif dan terus belajar dari konteks yang berubah.

Prof. Nicholls menggambarkan inovasi sosial seperti pesawat terbang: butuh penumpang (stakeholder), navigasi (arah riset), bahan bakar (modal), badan pesawat (jejaring kolaboratif), dan sayap (insentif dan tata kelola). Intinya, perubahan sosial bukan kerja individu, tapi hasil kerja kolektif yang terbang karena semua elemen bergerak selaras✨

Network Effect

Pernah ngga lihat bapak-bapak kerjaannya sarungan, ngopi-ngopi sana sini, ngobrol-ngobrol sana sini, kayak ngga punya kerjaan, tapi kaya banget? Nah, ini contoh dari network effect versi akar rumput.

Mereka kelihatannya hanya duduk santai di warung kopi atau pos ronda, tapi sesungguhnya sedang membangun dan merawat jejaring sosial yang sangat vital bagi ketahanan sosial dan ekonomi komunitas. Aktivitas mereka mencerminkan apa yang Granovetter (1973) sebut sebagai “the strength of weak ties”, di mana hubungan-hubungan sosial yang tampak tidak formal dan longgar justru menjadi sumber penting informasi, peluang, dan solidaritas. Dalam konteks ini, warung kopi bukan hanya tempat ngopi, tapi node dalam social network informal.

Obrolan ringan itu adalah arus data tak kasat mata. Mereka berbicara tentang siapa yang butuh tukang, siapa yang mau jual motor, siapa yang butuh pinjaman, atau bahkan kabar penting tentang tetangga. Di sinilah konsep network effect bekerja secara sosial: semakin banyak orang yang terhubung dalam jaringan tersebut, semakin besar nilai dan manfaat yang didapat setiap anggotanya (Shapiro & Varian, 1999). Masing-masing individu memperkuat kapasitas kolektif jaringan—mirip seperti apa yang terjadi dalam platform digital modern, tapi ini berbasis warung dan trust, bukan algoritma.

Selain itu, keberadaan ruang interaksi sosial seperti ini membentuk apa yang disebut oleh Putnam (2000) sebagai social capital, yaitu kepercayaan dan norma timbal balik yang memfasilitasi koordinasi & kerjasama untuk kepentingan bersama. Bahkan James Scott (1998) dalam Seeing Like a State menekankan pentingnya “infra-politik” atau struktur sosial tak terlihat yang justru menentukan bagaimana komunitas bertahan dalam sistem formal yang sering kali tidak adaptif.

Jadi, jangan meremehkan obrolan santai itu. Di balik sarung dan cangkir kopi, ada sistem ekosistem sosial yang bekerja. Ini adalah network effect dalam bentuk yang sangat lokal dan manusiawi, bukan dibangun lewat kecanggihan teknologi, tapi lewat kehadiran rutin, saling percaya & komitmen sosial. Justru inilah jenis ekosistem yang semakin langka di tengah masyarakat yang makin individualistik & transaksional✨