Pendekatan asset-based thinking

Dalam sebuah sesi di kampus, muncul pertanyaan reflektif: mengapa kita sering memulai sesuatu dengan fokus pada kekurangan? Kalimat seperti “kami belum punya pengalaman” atau “kami belum siap” terdengar biasa, tapi justru melemahkan langkah awal. Pendekatan asset-based thinking (Kretzmann & McKnight, 1993) mengajak kita mengubah sudut pandang, mulai dari kekuatan, bukan kelemahan. Bukan menghitung keterbatasan, tapi mengenali potensi yang sudah ada & bisa langsung digerakkan.

Di banyak organisasi, deficit-based thinking masih mendominasi. Fokus utamanya pada kurangnya dana, struktur yang rumit, atau sistem yang belum berjalan optimal. Padahal Appreciative Inquiry (Cooperrider & Srivastva, 1987) menunjukkan bahwa perubahan lebih kuat jika dimulai dari yang sudah berhasil. Mengganti kata “anggaran” dengan “resources” bukan soal gaya bahasa, tapi perubahan cara pandang. Kita mulai melihat waktu, jaringan, pengetahuan, & ruang sosial sebagai modal nyata yang bisa digerakkan.

Kebiasaan menunggu, entah itu momen tepat, persetujuan atasan, atau kondisi ideal, sering membuat kita pasif. Asset-based thinking mengajak kita membangun, meski dari hal kecil & sumber daya terbatas. Konsep self-efficacy (Bandura, 1986) menunjukkan keyakinan diri tumbuh saat kita fokus pada kekuatan yang ada. Membangun dari yang tersedia menumbuhkan kepercayaan diri & mendorong aksi nyata.

Ukuran keberhasilan juga bergeser. Bukan lagi tentang seberapa viral sesuatu, tapi seberapa berdampak. Prinsip evidence-based practice menekankan bahwa keberhasilan diukur dari perubahan yang nyata. Data jadi alat ukur, refleksi, & arah perbaikan. Ia bukan sekadar bukti program berjalan, tapi penanda bahwa ada perubahan yang terjadi.

Akhirnya, ini bukan cuma pendekatan, tapi cara pandang. Ia menggeser kita dari keluhan ke potensi, dari pasif ke aktif, dari menunggu ke membangun. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, pendekatan ini memberi arah: mulai dari yang ada, gerakkan yang mungkin, & percayalah, kekuatan sering tersembunyi dalam hal-hal yang sudah kita miliki. Peter Block (2008) bilang; komunitas tangguh dibentuk oleh mereka yang memilih bertindak, bukan yang terus menunggu arahan✨

Merayakan Hari Pendidikan Nasional: Membangun Ekosistem Pembelajar di Ruang Kelas

Merayakan Hari Pendidikan Nasional:
Membangun Ekosistem Pembelajar di Ruang Kelas

Hari ini, tepat di Hari Pendidikan Nasional, saya mendapati satu peristiwa sederhana namun bermakna di kelas Menggambar Teknik. Sudah memasuki pertemuan kesembilan, tapi sebagian besar mahasiswa belum benar-benar menguasai keterampilan dasar. Bukan karena kurangnya kemampuan, tapi bisa jadi karena pola belajar kita selama ini terlalu individual, terlalu diam-diam, terlalu malu untuk saling bertanya dan berbagi.

Maka saya ubah pendekatannya. Saya minta siapa pun yang belum paham untuk mengangkat tangan, meminta diajari. Dan saya minta siapa pun yang sudah lebih dulu memahami, untuk menawarkan diri membantu. Tiba-tiba kelas itu berubah: bukan lagi tempat menghindar dari kesalahan, tapi ruang untuk saling merangkul kekurangan. Bukan sekadar tempat belajar, tapi ekosistem pembelajar.

Dalam konteks teori, inilah yang disebut sebagai learning ecosystem, sebuah lingkungan di mana pembelajaran tak hanya datang dari satu sumber, melainkan tumbuh dari hubungan, kolaborasi, dan interaksi antarindividu (Siemens, 2005; Downes, 2012). Di sini, terjadi peer teaching, scaffolding alami, dan pembelajaran sosial yang mempercepat pemahaman karena konteksnya lebih dekat dengan dunia nyata.

Pengalaman hari ini mengingatkan saya bahwa pendidikan bukan hanya soal pencapaian individu, bukan pula soal nilai atau produk akhir. Pendidikan adalah tentang menciptakan ruang agar setiap orang bisa tumbuh bersama, di mana belajar dan mengajar menjadi praktik kolektif yang saling menumbuhkan. Inilah esensi dari merdeka belajar, bukan sekadar bebas memilih materi, tapi juga bebas untuk menjadi murid dan guru pada saat yang sama.

Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, pendidikan tak bisa lagi bertumpu pada model satu arah. Kita membutuhkan kelas-kelas yang menjadi ekosistem tumbuh bersama, bukan hanya mencetak juara satu, tapi menciptakan komunitas yang saling menguatkan. Dan mungkin, Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar peringatan, melainkan pengingat: bahwa tugas kita sebagai pendidik bukan hanya menyampaikan, tapi menyemai✨

Ngopi Dua Layer: Menyambungkan Strategi & Eksekusi

Ngopi Dua Layer:
Menyambungkan Strategi & Eksekusi

Dalam banyak kemitraan bisnis, hubungan CEO ke CEO sering kali sudah solid. Namun, kesepakatan di atas kertas bisa gagal total jika tidak diiringi keterhubungan antartim teknis. Yang sering terlupakan adalah membangun komunikasi horizontal, tim teknis satu pihak duduk bareng dengan tim teknis mitranya. Tanpa ini, koordinasi jadi lemah, eksekusi melenceng, bahkan bisa dimanfaatkan pihak luar yang melihat celah.

Kolaborasi ngga cukup hanya di level strategis. Jika tim teknis tak pernah ngopi bareng, kesalahpahaman mudah terjadi. Padahal, keberhasilan kemitraan justru ditentukan oleh bagaimana eksekusi di lapangan bisa menyatu dengan arah besar di atas. Tanpa penyelarasan lintas layer, kemitraan jadi rapuh meski terlihat rapi dari luar.

Strategic Alignment Model (Henderson & Venkatraman, 1993) menegaskan pentingnya keselarasan antara strategi & operasional. Visi bisnis tidak bisa berdiri sendiri, ia harus terhubung erat dengan sistem dan tim yang menjalankannya. Integrasi ini tak terjadi otomatis, perlu ruang dialog yang nyata dan setara antara dua lapis: CEO dan teknis.

Dalam kerangka Design Thinking, empati & keterlibatan lintas peran sangat krusial. Ngopi dua layer bukan sekadar basa-basi, tapi cara membangun kepercayaan dan pemahaman antaraktornya. Bukan hanya puncak yang menyatu, tapi juga akar-akar kerjanya saling terhubung. Di sanalah solusi kolaboratif benar-benar lahir.

Refleksinya jelas: kerja sama yang kuat dibangun dari atas dan bawah. Tanpa komunikasi lintas layer, kita membiarkan celah tumbuh dari dalam. Sebelum bicara tentang strategi jangka panjang, pastikan dulu semua layer bisa duduk bareng, saling paham, dan jalan dalam satu irama. Ngopi dua layer bukan opsi, tapi kebutuhan.

Dalam OKRs, ini disebut sebagai “alignment vertikal dan horizontal”, memastikan tujuan strategis di level atas terhubung langsung dengan hasil nyata di level operasional, dan antar-tim teknis pun saling sinkron. Ngopi dua layer adalah istilah sederhana tapi krusial untuk menjaga alignment ini tetap hidup dan kontekstual.

Semangat belajar!

Customer-Centric Aja Nggak Cukup,Tapi Gimana Sustainability-nya?

Customer-Centric Aja Nggak Cukup,
Tapi Gimana Sustainability-nya?

Kalau kemarin kita membahas gimana China membangun ekosistem mobil listrik, sekarang menarik untuk melirik Jepang. Saat dunia berlomba beralih ke kendaraan listrik, Jepang memilih jalur berbeda: energi hidrogen. Seperti diingatkan dalam system innovation theory (Geels, 2002), perubahan sejati bukan sekadar adopsi teknologi baru, tapi rekonstruksi seluruh ekosistem energi. Jepang bertaruh pada solusi jangka panjang, meski jalannya lebih berat & lambat.

Di Indonesia, adopsi teknologi masih didominasi oleh technology push daripada societal pull (Rogers, 2003). Kita cepat terpikat bentuk baru, seperti mobil listrik, baterai, charging station, tapi abai pada pertanyaan dasar: dari mana energi itu dihasilkan? Dengan pembangkit listrik yang 60% lebih masih bergantung batu bara (ESDM, 2023), adopsi mobil listrik tanpa reformasi energi hanya memperbesar beban ekologi, bukan menyelesaikannya.

Lebih dalam lagi, ekosistem industri kita masih sangat short-term gain oriented, sangat jangka pendek! Apa yang cepat cuan & cepat viral, itulah yang didorong, sebagaimana dikritisi Porter & Kramer (2011) dalam konsep shared value.

Sustainability masih diposisikan sebagai kosmetik branding, bukan fondasi perubahan model bisnis. Akibatnya, banyak konsumen berubah jadi consumer activist instan; membela produk dengan emosi, tanpa refleksi kritis pada rantai nilainya.

Padahal menurut transition management (Loorbach, 2010), inovasi sejati ga cumasoal teknologi, tapi perubahan sistem produksi, konsumsi & relasi dengan sumber daya. Negara lain sudah bergerak ke arah itu. Di kita, baru mulai euforia produk baru, tapi diskusi soal sumber energi, limbah & keadilan sosial belum jadi percakapan utama.

Kalau kita terus berlari tanpa membangun transformative capacity (Waddell, 2016), kita memang akan sampai di masa depan, tapi dalam kondisi lebih rapuh & lebih tergantung. Masa depan tidak butuh sekadar inovasi; ia menuntut perubahan mendasar dalam pola pikir kolektif kita tentang kemajuan & keberlanjutan✨

Kemajuan Bukan Soal Banyak,Tapi Soal Rasa Syukur

Kemajuan Bukan Soal Banyak,
Tapi Soal Rasa Syukur

JIka diperhatikan, banyak organisasi punya cukup modal untuk bergerak. Tapi, ga sedikit yang tetap merasa mandek. Masalah utamanya sering kali bukan kekurangan sumber daya, tapi cara pandang.

Saat orang-orangnya terbiasa bersyukur, fokus mereka bergeser: dari menghitung kekurangan jadi mengoptimalkan kekuatan. Dari sini Asset-Based Thinking tumbuh, bukan sekadar strategi, melainkan kebiasaan batin, membiasakan diri bertanya: “Apa yang bisa digerakkan dari apa yang ada?”

Ketika rasa syukur jadi budaya, organisasi membangun keunggulan: resourcefulness, kemampuan menemukan peluang di tengah keterbatasan. Ini sejalan dengan pendekatan Asset-Based Community Development (Kretzmann & McKnight, 1993), yang menunjukkan bahwa perubahan besar lahir dari kekuatan internal yang sering terabaikan. Organisasi seperti ini ga sibuk cari alasan; mereka memilih berkreasi. Mereka tahu dunia jarang ideal, tapi itu bukan alasan untuk berhenti.

Dari pondasi ini, lahir creative confidence (Kelley & Kelley, 2013): keyakinan bahwa solusi bisa ditemukan dari keterbatasan, bukan dari kemewahan. Organisasi dengan budaya syukur & asset-based thinking tidak menunggu kesempurnaan. Mereka percaya, keterbatasan justru menempa kreativitas. Percaya diri lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari keberanian mencipta dari apa yang ada.

Sebaliknya, organisasi yang fokus pada kekurangan mudah terjebak dalam mentalitas defisit. Meski di atas kertas terlihat kuat, energi mereka habis untuk mengeluh & mencari pembenaran. Di dunia yang bergerak cepat, keluwesan & keberanian untuk mengoptimalkan aset jauh lebih berharga daripada sekadar menumpuk sumber daya. Organisasi yang merasa cukup akan selalu lebih tangguh dibanding yang terus merasa kekurangan.

Maka, kunci pertumbuhan organisasi hari ini bukan sekadar menambah sumber daya, tapi memperdalam kesadaran terhadap apa yang sudah dimiliki. Budaya yang menghargai keberlimpahan tersembunyi, mensyukurinya & menggerakkannya ke dalam aksi nyata menjadi pondasi perubahan. Karena perubahan besar tidak datang dari dunia yang membaik, melainkan dari keberanian untuk melangkah dengan apa yang sudah ada✨

Legenda Ga Lagi Laku, Pasar Generasi Muda Butuh yang Relevan

Legenda Ga Lagi Laku,
Pasar Generasi Muda Butuh yang Relevan

Selama puluhan tahun, mobil Jepang menguasai jalanan Indonesia. Kita terbiasa percaya pada Toyota, Honda, Mitsubishi, dan Suzuki. Tapi dunia berubah. Wuling, BYD, dan merek-merek China datang bukan sekadar bersaing, mereka bawa cara main yang sama sekali baru.

Dunia otomotif kini soal ekosistem dan data, bukan lagi sekadar mesin. China paham lebih cepat, menawarkan mobil sebagai platform digital, terkoneksi, agresif, juga berbasis cloud, AI, serta big data. Sementara Jepang masih bertahan di rantai pasok lama, mobil China sudah jadi simbol mobilitas masa depan.

Perubahan ini ga lepas dari pergeseran perilaku konsumen. Generasi muda tidak terlalu peduli pada “merk legendaris”, mereka peduli pada user experience. Mereka tidak lagi memandang mobil sebagai status sosial, tapi sebagai layanan yang bisa dikustomisasi, terhubung, dan ramah lingkungan. Di sinilah Jepang mulai tertinggal, terlalu lama berada di zona nyaman inovasi bertahap (incremental innovation), sementara China berani bermain di ranah disruptif. Di pasar Indonesia, kita mulai melihat hasilnya, mobil listrik murah, fitur canggih, dan pengalaman digital yang menarik pengguna baru.

Model bisnis pun mulai bergeser. China ga cuma jualan mobil, tapi membangun ekosistem: dari pembiayaan digital, layanan aftersales berbasis aplikasi, hingga koneksi langsung ke smart city dan renewable energy.

Mereka ngga jual produk, mereka jual sistem. Ini beda jauh dari pendekatan Jepang yang masih berbasis pada efisiensi manufaktur dan loyalitas jaringan dealer. Saat Jepang sibuk menyempurnakan sistem lama, China menciptakan sistem baru yang lebih cepat, adaptif, dan berbasis software.

Era Black Ocean (Lewrick, 2023) di mana ketidakpastian adalah norma. Di tengah ketegangan geopolitik, disrupsi teknologi & tekanan terhadap transisi energi, industri otomotif ga bisa lagi andalkan kekuatan masa lalu. Di jalan baru ini, yang menang bukan yang paling lama bertahan, tapi yang paling cepat membaca ulang peta & berani memilih arah yang berbeda.

Jangan-jangan kita juga gitu, melakukan incremental innovations, sementara yang lain bersiap lompat eksponensial ⌛️

Resume Syiar Cinta

Resume Syiar Cinta
@halfdeenwedding Ust @muhammadnuzuldzikri

Kisah perjalanan keluarga Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan kita bahwa hidup bukan tentang mencari kesempurnaan, melainkan tentang kesetiaan dalam ujian. Rumah tangga yang kokoh bukan dibangun dari tiadanya masalah, tetapi dari cinta yang tahu cara bertahan, tahu cara bersujud saat badai datang, dan tahu cara tersenyum meski air mata jatuh. Jika Nabi Ibrahim a.s diuji dengan perpisahan, pengorbanan, dan luka, maka kita pun akan diuji dengan cara yang sesuai dengan kadar cinta kita kepada Allah.

Di dalam perjalanan hidup ini, kita harus belajar membaca bahasa cinta Allah. Setiap kehilangan, setiap rintangan, setiap doa yang belum dikabulkan adalah bagian dari kisah agung antara kita dan Dia. Bahasa cinta-Nya tidak selalu berwujud pelukan yang lembut; kadang Ia hadir dalam bentuk jalan sunyi yang panjang, dalam bentuk perpisahan yang perih, atau dalam bentuk ketidakpastian yang mencekam. Namun bagi hati yang peka, setiap tetes ujian adalah tetes kasih sayang.

Legacy sejati tidak dibangun dari apa yang dunia kagumi. Legacy sejati dibangun dari jejak cinta kepada Allah yang tidak pernah pudar oleh zaman. Ka’bah dan ibadah haji adalah saksi, bahwa satu keluarga yang bertahan dalam cinta sejati dapat menghidupkan rindu umat manusia sepanjang ribuan tahun. Maka, dalam rumah-rumah kecil kita, dalam keluarga-keluarga sederhana kita, jangan pernah meremehkan nilai sebuah kesetiaan kepada Allah.

Dan pada ujung perjalanan ini, kematian tidak lagi menakutkan. Ia berubah menjadi jembatan. Menjadi undangan untuk bertemu dengan Kekasih. Bagi jiwa yang telah lama memupuk cinta kepada Allah, kematian bukanlah kabar buruk; ia adalah kabar baik. Ia adalah panggilan untuk pulang, untuk menuntaskan seluruh rindu yang selama ini hanya terungkap dalam sujud dan air mata.

Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menjalani ujian kehidupan dengan keteguhan Nabi Ibrahim, untuk mencintai dengan pemahaman, untuk membangun warisan yang hidup selamanya, dan untuk wafat dengan membawa rindu, bukan beban. Karena sesungguhnya, hidup hanyalah perjalanan pulang kepada Allah, dan hanya cinta yang mampu membawa kita sampai kepada-Nya. ❤️

Meminta Dimampukan (Outcomes) Meminta Dicukupkan (Output)

Meminta Dimampukan (Outcomes)
Meminta Dicukupkan (Output)

Dalam teori Jobs To Be Done (Christensen, 2016), kebutuhan manusia bukan sekadar permintaan atas produk, tapi usaha menyelesaikan “pekerjaan” hidup tertentu. Ketika seseorang menginginkan kendaraan, yang ia cari sebenarnya adalah kemampuan bergerak & memperluas ruang hidupnya. Paradigma ini menegaskan bahwa inti permintaan bukan pada “apa” yang diminta, melainkan “mengapa” & “untuk apa” itu diperlukan. Tanpa kesadaran ini, keinginan mudah terperangkap pada kebutuhan sesaat.

Prinsip “menjadi mampu” ini beresonansi dalam human-centered design, yang menempatkan kebutuhan sebagai dasar pembangunan kapasitas. Fokusnya bukan memenuhi keinginan instan, melainkan menumbuhkan daya tahan & keberlanjutan.

Dalam keseharian, dalam doa misalnya. Permintaan paling berharga tidak berhenti pada “minta dicukupkan”, melainkan “dimampukan” diberi keluasan ilmu, keteguhan hati, rezeki yang berkah, serta daya tahan dalam menghadapi ujian, memperbesar kapasitas untuk membawa manfaat.

Nilai ini tercermin dalam doa para nabi. Nabi Ibrahim a.s., saat meninggalkan keluarganya di tanah tandus, berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Yang beliau mohon bukan tanah subur, melainkan keberkahan untuk menumbuhkan peradaban dari keterbatasan. Keyakinan bahwa yang sedikit, bila diberkahi, akan menjadi besar.

Inilah hakikat doa dalam Islam. Rasulullah ﷺ lebih sering memohon keluasan hati, kecukupan yang berkah, dan kekuatan iman, daripada limpahan dunia. Karena ukuran keberhasilan bukanlah banyaknya yang digenggam, melainkan seberapa luas manfaat yang ditebarkan. Mereka yang meminta untuk dimampukan, sejatinya sedang membentuk dirinya menjadi sungai kebaikan yang mengalir, bahkan setelah dunia ini ditinggalkan.

Semoga kita senantiasa dimampukan dimudahkan dan dikuatkan Allah SWT.

Jalan Pintas Revenue, Jalan Panjang Kehancuran

Jalan Pintas Revenue, Jalan Panjang Kehancuran

Banyak organisasi, terjebak dalam ilusi bahwa revenue adalah tujuan, bukan akibat. Kasus PTPN yang disorot Dedi Mulyadi memperlihatkan betapa fatalnya kekeliruan ini. Alih-alih memperbaiki kinerja perkebunan, usaha memilih jalan pintas, mengubah lahan menjadi kawasan wisata demi pendapatan sesaat. Padahal, seperti diingatkan Teece dan Osterwalder, revenue hanyalah cermin dari proses yang benar, bukan tujuan itu sendiri.

Revenue memang penting, tapi ia lahir dari proses organisasi yang sehat. Memaksakan pendapatan tanpa membangun kekuatan internal ibarat mengejar bayangan. Usaha perkebunan yang gagal mengelola perkebunan justru menjual lahan secara instan, menghidupkan peringatan Drucker bahwa profit hanyalah ujian, bukan tujuan. Bisnis yang sehat menciptakan nilai, bukan sekadar mengejar angka.

Ketamakan jangka pendek selalu berbuntut bencana jangka panjang. Ini adalah contoh agar sebuah usaha tak hanya kehilangan ruh, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan sosial. Meadows telah memperingatkan, sistem yang salah arah akan menghancurkan dirinya sendiri, bukan dengan ledakan besar, tetapi lewat kehancuran yang pelan dan tak terasa.

Pelajarannya sederhana tapi mendalam, revenue seharusnya menjadi indikator kesehatan organisasi, bukan kiblat utama. Seperti ditegaskan Johnson, Christensen, dan Kagermann, keberhasilan lahir dari membangun nilai baru, bukan dari obsesif mengejar angka. Fokus seharusnya pada kekuatan proses, bukan pendapatan sesaat.

Setiap pemimpin harus bertanya ulang, apa yang sedang dibangun, organisasi yang sehat atau ilusi pendapatan? Sebab tubuh yang sehat menghasilkan energi tanpa dipaksa, sebagaimana organisasi yang kokoh akan menghasilkan pendapatan alami. Kalau salah dari awal, maka hari ini mungkin tampak gemerlap, tapi esok hanya menyisakan puing-puing yang tak bisa ditebus lagi.

“Organisasi besar bukan dihancurkan dari luar, tetapi dari obsesi buta mengejar revenue tanpa membangun kekuatan dalam.”

Foto candid oleh @dudisugandi ✨

Ramai Tapi Sepi: Ketika Bali Tak Lagi Bisa Dibaca dengan Kacamata Lama

Ramai Tapi Sepi:
Ketika Bali Tak Lagi Bisa Dibaca
dengan Kacamata Lama

Bali tetap ramai. Turis memadati pura, menonton tari kecak, dan selfie di spot-spot ikonik. Tapi di balik keramaian itu, banyak pengusaha hotel mengeluh: kamar kosong, okupansi turun. Lalu muncul pertanyaan yang membingungkan, “Kalau begitu, mereka menginap di mana?” Ini bukan soal tempat tidur, tapi soal cara baru orang bepergian dan menghidupi perjalanannya. Sayangnya, banyak yang belum siap melihat perubahan itu.

Hari ini, orang berwisata sambil bekerja. Mereka tinggal lebih lama, mencari tempat yang nyaman, otentik, dan fleksibel. Bukan hotel bintang lima, tapi homestay yang ramah, vila tersembunyi, atau co-living space yang mendukung gaya hidup digital nomad. Mereka butuh ruang yang terasa seperti rumah, bukan sekadar tempat tidur. Tapi banyak pelaku pariwisata masih berpikir: “Kalau fasilitas lengkap, tamu pasti datang.” Padahal, yang dicari sudah bergeser jauh.

Di sinilah logika lama mulai gagal. Kita terbiasa pada ekosistem yang terpusat; hotel, agen wisata, restoran besar. Tapi sekarang, uang wisatawan mengalir ke tempat yang tidak tercatat: warung lokal, vila independen, kelas meditasi, atau studio yoga yang viral. Sementara pusat-pusat lama mulai kehilangan daya tarik. Dunia berubah cepat. Yang bertahan bukan yang besar, tapi yang mampu membaca ulang peta dan ikut bergerak.

Masalahnya, perubahan ini tidak selalu terlihat. Karena dulu, rumusnya sederhana: makin banyak turis, makin penuh hotel. Sekarang tidak sesederhana itu. Kita hidup di era VUCA dan BANI serba cepat, tak pasti, rumit, dan membingungkan. Jika tetap bertahan pada pola lama, kita akan terus merasa tertinggal. Padahal bukan ditinggalkan, tapi belum beradaptasi.

Mungkin pertanyaan yang lebih tepat hari ini bukan “di mana mereka menginap?”, tapi “apa peran kita di ekosistem baru ini?” Dunia pariwisata kini menuntut kita hadir dengan cara yang lebih manusiawi, lentur, dan bermakna. Bukan tentang membangun gedung tinggi, tapi membangun koneksi. Bukan soal jualan kamar, tapi tentang memahami perjalanan hidup orang lain. Dan kadang, yang perlu dibenahi bukan strategi pemasaran, tapi cara pandang kita sendiri.