Kepemimpinan

Banyak orang memandang pemimpin sebagai sosok yang harus memberikan manfaat langsung kepada mereka, memberi posisi, fasilitas, dan perlindungan. Cara pandang seperti ini menjadikan anggota organisasi sebagai penerima pasif, bukan pelaku aktif.

Padahal, Al-Qur’an menggambarkan umat terbaik bukan sebagai mereka yang paling banyak menerima manfaat, tetapi sebagai mereka yang “dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” (QS. Ali ‘Imran: 110). Ini menunjukkan bahwa kemuliaan bukan berada pada posisi penerima, tetapi pada kesediaan menjadi sumber manfaat bagi banyak orang.

Kepemimpinan sejati bukan tentang memusatkan manfaat pada satu figur, melainkan menggerakkan seluruh anggota organisasi agar menjadi penghasil manfaat. Dalam QS. Al-Maidah ayat 2, Allah memerintahkan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” Ayat ini memberi penegasan bahwa fungsi utama kepemimpinan adalah membangun ekosistem kebaikan, tempat setiap individu terdorong untuk berkontribusi, bukan bergantung. Pemimpin bukan pusat pelayanan, tetapi katalis yang membangkitkan kesadaran kolektif untuk bersama-sama melahirkan kebermanfaatan yang lebih luas.

Organisasi yang produktif dan berpengaruh tidak bertumpu pada kehebatan satu pemimpin, melainkan pada kesadaran setiap anggotanya untuk menjadi bagian dari solusi. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Hadis ini bukan hanya perintah moral, tetapi fondasi peradaban: kebermanfaatan bukan status, melainkan fungsi, dan fungsi itu bersifat kolektif, bukan individual.

Karena itu, memilih pemimpin bukan soal siapa yang mampu memberi kita keuntungan pribadi, tetapi siapa yang mampu menggerakkan kita untuk menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pemimpin transformatif mengajak kita keluar dari mentalitas sebagai objek yang menunggu pelayanan, menuju posisi subjek yang aktif melayani dan membangun. Inilah kepemimpinan yang sesuai dengan nilai Qur’ani, karena ia tidak hanya membawa manfaat untuk individu, tetapi menghidupkan kembali fungsi organisasi sebagai rahmat bagi sesama💙

Impact Innovation

Transformasi unit-unit bisnis universitas membutuhkan pergeseran paradigma dari orientasi transaksi menuju penciptaan nilai publik berbasis ilmu pengetahuan. Selama ini, banyak unit usaha universitas berjalan dengan logika korporasi murni, sehingga revenue dijadikan tujuan akhir.

Paradigma ini berbahaya karena berpotensi menjauhkan universitas dari mandat utama sebagai pencipta solusi dan penggerak kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, revenue harus ditempatkan sebagai indikator kesehatan dan keberlanjutan ekosistem inovasi, bukan sebagai tujuan inti. Tujuan sesungguhnya adalah menghadirkan kebermanfaatan nyata melalui riset yang terpakai, layanan pengetahuan yang dapat diakses publik, serta penguatan reputasi universitas sebagai institusi pencetak dampak.

Namun, transformasi ini tidak dapat terjadi hanya melalui penciptaan produk baru, melainkan melalui pembaruan model bisnis berbasis ekosistem. Monetisasi harus didesain secara strategis agar tidak membebani masyarakat sebagai pembeli utama, tetapi mengoptimalkan sumber pendapatan melalui kemitraan industri, lisensi teknologi, dana filantropi, impact investment, atau skema subsidi silang.

Dengan pendekatan ini, masyarakat tetap menikmati manfaat tanpa hambatan akses, sementara unit bisnis memperoleh sumber pendanaan berkelanjutan. Ini menuntut universitas membangun kapabilitas orkestrasi, bukan sekadar produksi, kapabilitas untuk menghubungkan riset, pasar, regulasi, dan jejaring pemangku kepentingan.

Workshop ini hadir sebagai titik awal untuk mengonsolidasikan perubahan tersebut. Bukan sekadar forum pelatihan, tetapi sebagai langkah awal membangun tata kelola inovasi berbasis dampak, membentuk mekanisme hilirisasi riset, dan menciptakan prototipe model bisnis yang siap diuji dalam ekosistem riil.

Keberhasilan workshop tidak diukur dari jumlah produk yang dihasilkan, melainkan dari sejauh mana unit-unit bisnis universitas mampu memasuki logika impact innovation, yaitu menghasilkan nilai sosial yang terukur, memperkuat reputasi akademik, dan secara kreatif membangun keberlanjutan finansial tanpa melepaskan jati diri universitas sebagai institusi ilmu pengetahuan.

Eksekutor Vs Orkestrator

Eksekutor Vs Orkestrator

Menjadi eksekutor memang senantiasa memberi kesan produktif, target tercapai, aktivitas berjalan, hasil terlihat. Namun, seperti diingatkan Peter Drucker (1967), “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Efisiensi tanpa objective hanyalah kesibukan yang banyak tipuannya. Banyak organisasi terjebak dalam ilusi kemajuan: tampak sibuk, padahal kehilangan kompas strategisnya. Energi terkuras untuk hal mendesak, bukan hal penting. Inilah paradoks eksekusi, semakin cepat bergerak, justru semakin kabur tujuannya.

Untuk keluar dari jebakan itu, pemimpin perlu membangun disiplin refleksi strategis. Mintzberg (1994) menekankan bahwa strategi bukan rencana di atas kertas, melainkan pola keputusan yang sadar. Maka, jeda untuk berpikir bukanlah kemewahan, tetapi bagian dari kerja. Refleksi memungkinkan kita meninjau apakah tindakan harian masih sejalan dengan tujuan jangka panjang. Orkestrator tahu kapan harus turun ke lapangan dan kapan naik ke “menara pandang” untuk membaca lanskap secara utuh. Tanpa itu, organisasi mudah menjadi busy but blind🙏

Kepemimpinan orkestratif menuntut kemampuan sensemaking (Weick, 1995): membaca pemaknaan di balik tiap tindakannya, bukan sekadar menghitung hasilnya. Delegasi dalam konteks ini berarti membagi tanggung jawab sekaligus kesadaran. Saat setiap individu memahami mengapa di balik pekerjaannya, lahir distributed ownership, rasa kepemilikan kolektif yang mendorong sinergi. Energi organisasi pun bertransformasi dari menjalankan perintah menjadi menciptakan nilai bersama 🚌

Sebagaimana dikemukakan Heifetz (1994), kepemimpinan sejati adalah kemampuan “to get on the balcony”, melihat gambaran besar tanpa larut dalam keramaian panggung. Orkestrasi bukan sekadar mengatur ritme kerja, melainkan menjaga jalannya perubahan. Eksekusi menggerakkan roda, tetapi orkestrasi memastikan pergerakannya menuju tujuan. Di sanalah organisasi menemukan kualitas geraknya: tidak sekadar cepat, tetapi selaras, adaptif, dan mengawalnya hingga berdampak.

Kerja Keras

Dalam banyak organisasi, “kerja keras” sering dipuja sebagai simbol dedikasi, padahal tanpa arah yang jelas sering berubah menjadi kelelahan yang dilembagakan. Drucker (1967) membedakan antara efficiency, melakukan sesuatu dengan benar; dan effectiveness, melakukan hal yang benar. Produktivitas baru bermakna bila berpadu dengan tujuan dan integritas. Kerja keras memberi tenaga, kerja cerdas memberi arah, dan integritas memberi jiwa. Ketiganya memberi manfaat melampaui kepentingan pribadi maupun institusional.

Namun, banyak organisasi terjebak pada penyembahan indikator. Sistem seperti Objectives and Key Results (OKR) dan Key Performance Indicators (KPI) sering diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Doerr (2018) menegaskan, OKR seharusnya menghubungkan angka dengan makna; Kaplan dan Norton (1996) menambahkan, indikator hanya berguna jika mencerminkan penciptaan nilai nyata bagi pengguna. Ketika fokus bergeser dari makna ke metrik, organisasi tampak bergerak, tetapi kehilangan arah moral dan emosionalnya.

Untuk mengembalikan makna itu, Theory of Change (Weiss, 1995; Vogel, 2012) mengingatkan bahwa keberhasilan bukan diukur dari output yang dihasilkan, melainkan outcomes dan impact; perubahan perilaku, kepuasan, dan keberdayaan penerima manfaat. Sejalan dengan Service-Dominant Logic (Vargo & Lusch, 2004), nilai sejati lahir dari interaksi antara organisasi dan pengguna. Dengan demikian, tujuan strategis bukan sekadar memenuhi target internal, melainkan memastikan kebermanfaatan yang dirasakan nyata oleh pihak yang dilayani.

Di titik inilah kepemimpinan transformatif (Burns, 1978; Bass & Riggio, 2006) menjadi relevan. Pemimpin tidak hanya mengatur kerja, tetapi menumbuhkan kesadaran kolektif untuk berkarya dengan tujuan. Ia menggeser orientasi organisasi dari output-driven menjadi outcome-driven, dari mengejar hasil menuju menumbuhkan keberkahan. Keberkahan adalah beyond-efficiency effect, hasil nonmaterial berupa kepercayaan, kolaborasi, dan loyalitas yang memperpanjang dampak positif organisasi. Karena itu, ukuran keberhasilan sejati bukan seberapa tinggi seseorang mendaki, tetapi seberapa banyak orang yang ikut tumbuh bersamanya💙

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ketika merenungi hakikat penciptaan manusia, kita diingatkan bahwa asal kita begitu sederhana, dari tanah, lalu dari setetes air yang lemah, hingga Allah tumbuhkan menjadi kehidupan yang sempurna. Dari proses yang terlihat kecil dan rapuh itu, justru lahir kemuliaan, sebab Allah meniupkan ruh-Nya dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang diberi amanah. Kehadiran putri kedua kami menjadi pengingat nyata, bahwa setiap anak adalah karunia dan bukti kasih sayang Allah yang begitu teliti dan penuh hikmah.

Perjalanan hidup ini adalah rangkaian yang Allah tetapkan: dari bayi yang mungil, tumbuh menjadi dewasa, lalu melemah, dan akhirnya kembali kepada-Nya. Maka kelahiran bukan hanya kabar gembira, melainkan juga awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan berakhir di hadapan Sang Pencipta. Aqiqah hari ini kami maknai sebagai penanda rasa syukur, bahwa Allah berkenan menambahkan amanah baru dalam keluarga kami.

Di sisi lain, Allah pun mengingatkan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan yang luhur, yakni beribadah, bersyukur, dan menjadi khalifah yang membawa kebaikan. Maka setiap anak adalah titipan yang harus dibimbing agar mengenal Tuhannya dan tumbuh dengan akhlak yang mulia. Doa kami, semoga putri ini tumbuh dalam cinta dan ketaatan, menjadi cahaya kebaikan bagi keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

Dan kami sadar, manusia penuh kelemahan, mudah gelisah, lalai, bahkan lupa bersyukur. Karena itu, kelahiran ini juga menjadi cermin bagi kami sebagai orang tua, bahwa amanah membesarkan anak tidak ringan, dan hanya dengan pertolongan Allah kami bisa menjalaninya. Semoga aqiqah ini menjadi saksi syukur kami, serta tekad untuk menjaga titipan Allah dengan sabar, ikhlas, dan penuh pengabdian.

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ngga semua harus jadi startup;)

Ngga semua harus jadi startup;)

Membangun usaha berbasis purpose memang tidak mudah, terutama di tengah ekosistem bisnis yang masih sangat terikat pada logika profit maximization. Budaya startup sering kali identik dengan cash burning dan obsesi valuasi, sehingga keberhasilan diukur semata-mata dari pertumbuhan finansial jangka pendek. Padahal, konteks global menunjukkan tren baru menuju hybrid business model yang menyeimbangkan keuntungan dengan keberlanjutan. Di Indonesia sendiri, urgensi itu semakin nyata: krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kebutuhan akan keberlanjutan menuntut hadirnya model bisnis yang melampaui sekadar profit.

Dalam lanskap ini, social startup muncul sebagai pilihan strategis. Alih-alih mengejar pertumbuhan dengan segala cara, model ini menempatkan purpose, visi sosial, ekologis, atau pendidikan sebagai inti gerakan. Kita bisa melihat contohnya pada Jejak.in yang memanfaatkan teknologi untuk reboisasi, atau Kitabisa yang menjadi platform gotong royong digital. Dampak yang mereka hasilkan tidak selalu terukur dalam valuasi finansial, tetapi dirasakan nyata oleh masyarakat. Social startup dengan demikian bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan bagian dari transformasi sosial yang menjawab tantangan zaman.

Namun, jalur kewirausahaan tidak berhenti pada pilihan mendirikan startup. Banyak individu memilih menjadi problem solver independen, bekerja lintas komunitas tanpa harus memiliki struktur formal. Dengan entrepreneurial mindset dan kemampuan merancang solusi, mereka tetap terhubung dalam ekosistem yang lebih luas. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan effectuation: berangkat dari sumber daya yang ada, berani bereksperimen, dan berkolaborasi untuk menghadirkan solusi nyata. Pada akhirnya, baik melalui startup profit, social startup, maupun problem solver independen seperti pada ekosistem @youngimpactgenerator , kuncinya sama: menyeimbangkan profit dengan purpose, agar usaha yang dibangun tidak sekadar hidup sebentar, tetapi memberi keberlanjutan dan kebermanfaatan nyata bagi masyarakat❤️

Langit dan Lintang

Allah menitipkan kepada kami dua amanah terindah. Yang pertama, kami menamainya Langit Kalyanatara Amara, sebuah pengingat tauhid, bahwa Allah Maha Tinggi, berada di atas Ar-Rasy, mengatur seluruh semesta tanpa pernah lengah. Dari Langit, kami belajar tentang keluasan doa, kelapangan harapan, dan keagungan Sang Pencipta yang setiap hari mengajarkan kami untuk selalu menengadah kepada-Nya.

Lalu, Allah menyempurnakan kisah itu dengan menghadirkan Lintang Kinanthi Hanania, gugusan bintang sebagaimana disebut dalam Surah Al-Burūj. Bintang-bintang yang bertaburan bukan sekadar hiasan malam, melainkan tanda kebesaran Allah, penuntun arah, dan cahaya yang menenangkan. Lintang adalah simbol petunjuk, pengingat bahwa dalam gelap sekalipun Allah selalu memberikan sinar.

Kini, di rumah kecil kami bersemayam dua cahaya: Langit dan Lintang. Keduanya adalah pelita hati, penguat doa, dan jalan untuk semakin dekat dengan kasih sayang Allah. Semoga Langit tumbuh setegar cakrawala dan Lintang bercahaya seterang bintang, bersama-sama menebar kebaikan, menjaga iman, dan menjadi perempuan shalihah yang kelak mengantarkan kami menuju ridha-Nya.

Seperti keluasan langit dan cahaya bintang, semoga keduanya selalu terjaga dalam rahmat Allah, tumbuh dengan iman, dan bersinar sebagai penebar kebaikan di bumi. Aamiin Ya Rabbalalamiin.

Mengapa Inovator Sering Kalah Suara?

Mengapa Inovator Sering Kalah Suara?

Menjadi inovator dalam organisasi berarti siap menanggung risiko yang sering tidak terlihat. Rogers (2003) menegaskan inovator adalah minoritas berani, tetapi dalam organisasi mereka kerap dianggap “bikin ribet.” Hasil yang belum pasti membuat atasan dan kolega memilih cara lama yang terasa aman. Heidenreich & Spieth (2013) menyebutnya innovation resistance: penolakan ide baru hanya karena dianggap mengganggu kenyamanan kerja.

Lebih tajam lagi, inovasi sering bertabrakan dengan struktur kekuasaan. Bourdieu (1993) melihat organisasi sebagai arena perebutan modal sosial dan politik. Gagasan baru memicu resistensi dari mereka yang sudah nyaman dengan status quo. Realitanya jelas terlihat di birokrasi: anak muda yang menawarkan sistem baru ditolak senior dengan alasan “cara lama sudah cukup.” Kegagalan inovasi di sini bukan soal kualitas ide, tetapi soal benturan kepentingan.

Risiko lain adalah psikologis. Edmondson (2019) menekankan pentingnya psychological safety, namun banyak organisasi justru menciptakan kultur takut. Inovator dicemooh sebagai idealis atau pembangkang, hingga memilih diam. Banyak ide mati bukan karena tidak relevan, tetapi karena organisasi menutup ruang keberanian untuk mencoba.

Terakhir, ada risiko innovation misfit: ide muncul lebih cepat daripada kesiapan organisasi. Christensen (1997) menyebut kegagalan sering terjadi bukan karena ide salah, melainkan karena timing buruk. Contohnya, seseorang yang mengusulkan cara kerja lebih lincah, misalnya, sering dianggap “tidak paham prosedur” sehingga terintimidasi untuk kembali mengikuti pola lama. Ide benar bisa mati jika konteks, kesiapan, dan koalisi tidak dibangun sejak awal. Inilah tamparan terkeras bagi organisasi: kebenaran gagasan tidak ada artinya tanpa kesiapan sistem.

Masih semangat kan bawa perubahan?🎉

Jangan cuma jadi kreatif, Tapi tularkan juga cara jadi kreatifnya🎉

Jangan cuma jadi kreatif,
Tapi tularkan juga cara jadi kreatifnya🎉

Seorang pemimpin sering kali dinilai dari kemampuan melahirkan ide-ide brilian atau solusi yang inovatif. Padahal, ukuran kepemimpinan sejati bukan hanya pada hasil terobosannya, tapi pada kemampuannya menularkan cara berpikir. Bass (1990) lewat teori transformational leadership menekankan bahwa pemimpin yang kuat adalah mereka yang mampu menginspirasi, menanamkan nilai, lalu mengubah pola pikir itu menjadi perilaku kolektif. Dengan begitu, kreativitas tidak berhenti pada sosok pemimpin, tapi hidup dalam organisasi.

Kita bisa melihat banyak contoh organisasi yang terlalu bergantung pada satu figur. Selama ia ada, inovasi berjalan, tapi ketika ia pergi, semuanya berhenti. Edgar Schein (2010) sudah lama mengingatkan bahwa budaya hanya terbentuk jika nilai dan mindset pemimpin ditransfer ke dalam sistem dan perilaku sehari-hari. Kalau tidak, semua inovasi akan lenyap bersama kepergian pemimpinnya.

Itulah mengapa peran pemimpin bukan hanya sebagai problem solver, tapi juga sebagai mindset shaper. Argyris dan Schön (1996) menyebutnya sebagai organizational learning, proses ketika pola pikir reflektif dan adaptif menjadi kebiasaan seluruh anggota, bukan hanya pemimpinnya. Jika hal ini tercapai, organisasi akan tetap kreatif, adaptif, dan mampu berinovasi bahkan tanpa kehadiran sang pemimpin di garis depan.

Akhirnya, warisan terbesar seorang pemimpin bukan sekadar daftar solusi atau inovasi yang pernah ia buat. Lebih dari itu, warisan sejati adalah pola pikir kreatif yang menular, budaya inovatif yang tertanam, dan organisasi yang terus bertumbuh dengan daya hidupnya sendiri. Dengan cara inilah kepemimpinan meninggalkan jejak yang berkelanjutan, mandiri, berdaya, dan siap menjawab tantangan zaman.

Jangan kerja teruuuus. Sisakan ruang berinovasi

Di dalam organisasi yang ingin berkembang lewat inovasi, masalah sering kali bukan hanya soal banyaknya pekerjaan, tetapi cara setiap orang mengelola dirinya. Banyak yang akhirnya tenggelam dalam beban kerja berlebih karena tidak pandai memilah prioritas atau enggan berkata tidak pada tugas tambahan. Padahal, energi yang mestinya bisa dipakai untuk eksplorasi dan berpikir kreatif justru habis untuk menyelesaikan rutinitas. Seperti kata Drucker, inti profesionalisme bukan sekadar rajin bekerja, tapi tahu apa yang paling penting untuk difokuskan.

Akibatnya, organisasi tampak sibuk dari luar: rapat padat, laporan menumpuk, dan proyek berjalan. Namun, jika dilihat lebih dalam, inovasi sering macet. Fenomena ini mirip dengan yang disebut Peter Senge sebagai activity trap, terjebak dalam kesibukan tanpa ada pembaruan berarti. Dalam skala organisasi, jebakan ini membuat energi kolektif hanya berputar pada rutinitas, bukan pada penciptaan nilai baru.

Untuk keluar dari jebakan itu, organisasi butuh memberi ruang. Inovasi hanya lahir ketika ada kelonggaran waktu, kapasitas mental, dan keberanian mencoba. Nohria dan Gulati menyebutnya slack resources, ruang longgar yang justru menjadi bahan bakar kreativitas. Praktiknya bisa berupa memberi keleluasaan untuk proyek lintas fungsi, eksperimen kecil, atau forum reflektif yang menantang pola lama. Dengan cara ini, energi kerja tidak habis tersedot rutinitas semata, tapi berubah menjadi peluang pembelajaran dan penciptaan hal baru.

Karena itu, menerima semua pekerjaan tanpa batas bukanlah tanda loyalitas, melainkan kelemahan dalam budaya organisasi. Organisasi yang benar-benar ingin inovatif harus membangun sikap berani memilih, berani menolak yang tidak relevan, dan bijak menjaga ruang eksplorasi. Bila hal ini menjadi kebiasaan bersama, kesibukan tidak lagi berhenti pada lelah, tapi berubah menjadi energi pertumbuhan yang membuat organisasi bukan hanya efisien, melainkan juga adaptif dan inovatif.

Jangan kerja teruuuus. Sisakan ruang berinovasi🎉