Bencana Ekologis Sekaligus Institusional

Banjir bandang & longsor yang menelan ratusan korban jiwa dan menghancurkan ribuan rumah, kembali menunjukkan bahwa yang kita hadapi bukan semata “bencana alam”. Ini adalah bencana ekologis sekaligus institusional. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan bukan muncul dalam semalam; semuanya adalah hasil dari rangkaian keputusan yang diambil tanpa empati terhadap manusia & lingkungan. Ketika empati hilang dari meja kebijakan, negara tidak lagi membaca risiko, tidak mendengar peringatan alam, dan tidak menangkap kegelisahan warga di hulu sungai.

Masalahnya lebih dalam dari sekadar cuaca ekstrem. Banyak lembaga publik terjebak pada budaya mengejar output: program yang selesai, laporan yang rapi, anggaran terserap. Namun semua itu sering tidak berkorelasi dengan keselamatan warga. Tanpa empati, orientasi output berubah menjadi ketidakpekaan sistematis. Prosedur mengalahkan akal sehat, proyek mengalahkan kehati-hatian, dan angka mengalahkan manusia. Bencana ini memperlihatkan dengan jelas akibat dari institusi yang bekerja secara mekanistik tetapi lupa mendengarkan realitas ekologis & sosial yang melingkupinya.

Tragedi ini juga membuka fakta pahit: kegagalan negara sering tidak lahir dari satu keputusan besar, tetapi dari ratusan kelalaian kecil yang dianggap “wajar”. Izin yang dikeluarkan tanpa kajian ekologis, pengawasan yang longgar, kebijakan yang tone-deaf terhadap situasi masyarakat. Semua keputusan kecil itu mengendap menjadi bom waktu, dan di Sumatra, bom itu meledak. Saat desa-desa terisolasi, bantuan tersendat, habitat satwa liar terfragmentasi, dan keluarga kehilangan tempat tinggal, kita melihat jelas akibat dari institusi yang kehilangan kepekaan.

Empati tidak lagi dapat diperlakukan sebagai nilai moral personal; ia harus menjadi kompetensi struktural. Empati adalah kemampuan institusi untuk membaca risiko, memahami keterhubungan ekologi, & menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan. Tanpanya, kita akan terus mengulangi tragedi di mana pun ekosistem ditekan melampaui batas. Pertanyaannya: apakah kita siap membangun institusi yang kembali mampu merasakan, atau terus menunggu bencana berikutnya untuk menyadarkan kita?

Ilmu

Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tidak dipandang sebagai kumpulan informasi, melainkan sebagai fondasi moral yang menuntut transformasi diri. Ilmu hanya memperoleh legitimasi ketika melahirkan perubahan nyata dalam sikap, perilaku, dan cara seseorang mengambil keputusan. Karena itu, keikhlasan, kesungguhan belajar, dan pengamalan yang konsisten menjadi tiga pilar utama yang menentukan apakah sebuah ilmu benar-benar berfungsi sebagai hidayah atau berhenti sebagai pengetahuan yang kosong dari nilai.

Ali bin Abi Thalib r.a. memberikan kerangka evaluatif yang sangat kuat mengenai bagaimana manusia memposisikan ilmu. Ia mengkritik empat kecenderungan yang merusak integritas keilmuan:
– ketidakamanahan terhadap ilmu,
– mengikuti tanpa verifikasi (taklid),
– kemalasan yang menghindari proses, serta
– orientasi hidup yang menempatkan harta di atas ilmu.

Kecenderungan-kecenderungan ini membuat seseorang mampu mendengar kebenaran tanpa pernah hidup di dalam kebenaran tersebut. Dengan demikian, nasihat Ali bukan sekadar catatan historis, tetapi sebuah alat untuk menilai konsistensi diri dalam membangun karakter ilmiah yang jujur.

Pada akhirnya, ilmu tidak pernah tumbuh subur dalam kesantaian atau pola hidup yang serba mudah. Disiplin mujāhadah dan riyāḍah menegaskan bahwa kedalaman ilmu hanya dapat dicapai melalui kesediaan menghadapi ketidaknyamanan, mengendalikan hawa nafsu, dan melatih diri secara berkesinambungan. Ilmu menjadi cahaya ketika ia hadir dalam keputusan moral, ketahanan emosi, dan akhlak sehari-hari. Dari sini, jelas bahwa ilmu bukan penghias identitas, melainkan mekanisme pembentukan pribadi yang menuntun seseorang berjalan di atas jalan kebenaran.

Empati, Data, dan Masa Depan Pendidikan

Catatan Dua Hari di @binusuniversityofficial
Empati, Data, dan Masa Depan Pendidikan

Key Lesson, disampaikan Wakil Rektor Binus Prof. Yohannes, mengingatkan lagi bahwa bahwa empati bukan sekadar kompetensi yang diajarkan, tetapi struktur berpikir yang menentukan bagaimana sebuah universitas melihat dirinya di tengah perubahan dunia. Ketika beliau menekankan bahwa;

🔆 Empathy Sustains, jadi langsung teringat pada banyak ruang pendidikan kita yang justru kehilangan empati, sibuk mengejar akreditasi, ranking, dan KPI, tetapi lupa membaca denyut hidup mahasiswa dan masyarakat. Apa yang beliau sampaikan membuat saya menilai ulang: tanpa empati, pendidikan mungkin tetap berjalan, tetapi tidak akan pernah menumbuhkan manusia.

🔆 Data Matters, but Humanity Matters More
Pesannya terkait antara data dan kemanusiaan juga menggugah. Beliau tidak menolak data; beliau mengingatkan bahwa data tanpa moralitas hanya menghasilkan efisiensi yang dingin. Ini relevan sekali dengan kerja-kerja yang saya lihat di banyak ekosistem, kita sering terjebak pada dashboard dan angka, sampai lupa untuk bertanya “siapa yang terdampak?” atau “nilai apa yang sedang kita tegakkan?”. Catatan itu seperti menepuk pundak saya: inovasi tak boleh menjauh dari manusia, karena manusia adalah tujuan, bukan variabel.

🔆 Learning to Knowing
Yang paling menempel adalah konsep learning → knowing. Banyak universitas sibuk mengajarkan konten, padahal yang kita butuhkan adalah kebijaksanaan. Knowing bukan soal menambah informasi, tetapi kemampuan membacanya dalam konteks yang tidak pasti, memahami tensi sosialnya, dan mengeksekusinya dengan keberanian.

Pembelajaran ini mengajak kita untuk collaborate fearlessly & design for sustainability, tentu ini adalah ilmu yang mahal, membuat kita bisa melihat jelas arah baru pendidikan: bukan sekadar menyiapkan lulusan untuk dunia kerja, tetapi menyiapkan mereka menjadi penjaga masa depan. Dan bagi saya pribadi, ini adalah pengingat bahwa misi pendidikan adalah merawat manusia dan merancang masa depan, secara bersamaan.

“A university’s greatest achievement is not producing brilliance, but raising humans who protect the future.”

Great event mas @arimgn 🙌🙌

Self-Organized Team… Tapi Masih Nanya ‘Next Apa, Pak?’

Self-Organized Team… Tapi Masih Nanya ‘Next Apa, Pak?’

Sering kali pimpinan sudah bilang, “Silakan ambil keputusan,” tapi tim tetap menunggu. Masalahnya bukan sekadar kurang berani, mereka terbentuk oleh pola kerja lama. Dulu setiap inisiatif dikoreksi, keputusan selalu balik ke pimpinan, dan kesalahan kecil bisa jadi panjang. Jadi ketika ruang otonomi dibuka, tim nggak langsung percaya. Mereka masih pakai logika lama: “Kalau salah, ujung-ujungnya saya juga yang kena.” Wajar kalau mereka pilih aman. Memberi ruang itu gampang; membongkar pola lama yang sudah tertanam bertahun-tahun, itu kerja berat😂

Masalah berikutnya: ruang otonomi sering diberikan tanpa kejelasan. Tim bingung apa batas wewenangnya, apa prioritasnya, dan data apa yang boleh dipakai. Jadi meski diberi ruang, mereka seperti disuruh maju tanpa peta.

Dalam kerangka Self-Organized Team (SOT) otonomi baru jalan kalau empat hal ada sekaligus: arahnya jelas, informasinya terbuka, kapasitasnya dibangun, dan tim merasa punya “hak sekaligus tanggung jawab” atas hasilnya. Kalau salah satu hilang, ya tim balik ke pola lama: nunggu. Karena lebih aman menunggu daripada salah langkah tanpa dukungan🙏

Dan satu faktor yang paling menentukan adalah budaya. Tim nggak akan berani memanfaatkan ruang kalau setiap kesalahan dibesar-besarkan, kalau keputusan yang sudah didelegasikan masih ditarik kembali, atau kalau pimpinan kirim sinyal “silakan ambil keputusan” tapi tetap mengontrol detail.

Sinyal itu kontradiktif, dan tim bisa membaca itu dengan cepat. SOT hanya bisa tumbuh jika pimpinan konsisten: kasih kejelasan, kasih informasi, kasih ruang coba, dan yang paling penting; nggak mengambil alih lagi keputusan yang sudah diserahkan. Kalau konsistensinya kuat, barulah tim berani bergerak, bukan karena disuruh, tapi karena mereka tahu ruangnya nyata dan aman.

Jadi, seberapa self-organized nih kah tim kamu?

Trofan;Human-Centered Safety & Risk Analyst

Trofan;
Human-Centered Safety & Risk Analyst

Skripsi Trofan adalah perjalanan yang tidak bisa disederhanakan hanya sebagai penelitian akademik. Dalam proses empati, ia sengaja menembus batas kenyamanan dan turun langsung ke dunia yang sering dianggap rendah, kehidupan para pengelola sampah rumah tangga. Ia bekerja bersama mereka, memanggul sampah yang berat, merasakan bau yang menusuk, menyentuh sisa-sisa yang ditinggalkan orang lain, dan menyaksikan beban sosial yang mereka tanggung setiap hari. Dari kedalaman pengalaman itu, Trofan menemukan sesuatu yang mengubah dirinya: ia jatuh cinta pada profesi yang selama ini diremehkan. Sebab ia melihat bahwa “tukang sampah” bukan sekadar pekerja kasar, merekalah penjaga pertama keberlanjutan kota dan martabat lingkungan kita.

Transformasi Trofan terjadi bukan di meja skripsi, tetapi di lapangan. Ia datang dengan niat menyelesaikan penelitian tentang risiko K3, namun ia pulang dengan pemahaman baru tentang manusia. Ia belajar bahwa keselamatan kerja bukan hanya standar dan regulasi, tetapi bentuk penghormatan kepada orang-orang yang bekerja dalam kondisi keras yang jarang kita pikirkan. Ketika ia menyusun analisis HIRA dan merancang solusi melalui pendekatan Design Thinking, ia melakukannya bukan sebagai kewajiban metodologis, tetapi sebagai komitmen moral untuk melindungi mereka yang selama ini tidak pernah dilindungi.

Inilah yang membuat skripsi Trofan berbeda. Karyanya bukan hanya tentang mencegah bahaya, tetapi tentang keberpihakan, bahwa pekerjaan memungut sampah adalah profesi yang bermartabat, bahwa para pekerjanya adalah garda terdepan peradaban, dan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya hadir untuk menegakkan martabat itu. Saya yakin masa depan Trofan akan dipenuhi kontribusi yang nyata dan manusiawi, karena ia telah menemukan inti dari sebuah pendidikan: bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang membuat kita peduli, berpihak, dan berani memperjuangkan yang sering kali tidak diperjuangkan.

Selamat melanjutkan proses eksplorasi tanpa batas @trofanafa

Dibimbing bersama Dr @kokoiwanagus dan Dr @dharmawan.dedy

Costumer Connect

Ada satu isu yang sering dianggap teknis padahal sangat menentukan jalannya organisasi: struktur peran. Logika lama masih umum digunakan, biasanya menilai kontribusi dari nama jabatan, bukan dari nilai strategis yang dihasilkannya.

Dalam konteks kerja modern yang penuh ketidakpastian dan tekanan efisiensi, pendekatan seperti ini tidak lagi memadai. Value-based roles, secara sederhana, adalah cara menilai dan mendesain peran berdasarkan nilai, risiko, dan dampak yang mereka ciptakan. Ketika struktur kerja tidak dibangun dari nilai, organisasi tampak sibuk, tetapi tidak benar-benar bergerak.

Keterjebakan terbesar muncul ketika peran direduksi menjadi aktivitas. Kepemimpinan dipahami sebagai koordinasi, padahal inti kepemimpinan adalah kemampuan mengambil risiko dan menghasilkan keputusan strategis. Analisis dianggap sekadar mengolah data, padahal insight-lah yang menentukan arah organisasi.

Proses bisnis disalahpahami sebagai administrasi, padahal sistem yang buruk menguras energi juga biaya. Bahkan fungsi keuangan, marketing, dan selling sering dipandang teknis, padahal merekalah yang menjaga integritas, pencipta persepsi, dan bergeraknya pendapatan. Masalahnya bukan pada kurangnya kerja keras, tetapi ketidakjelasan nilai dari setiap peran. Aktivitas bukan nilai. Dan organisasi yang gagal membedakannya akan kehilangan daya tumbuhnya.

Implikasinya jelas: kompensasi yang diberikan berdasarkan jabatan cenderung membayar energi, bukan dampak. Struktur seperti ini menghasilkan fixed cost tinggi tanpa kontribusi yang sepadan. Sebaliknya, pendekatan kompensasi berbasis nilai, misalnya skema 60% fixed dan 40% variable memaksa setiap peran menunjukkan dampak nyata: kepemimpinan menghasilkan arah kemajuan, analisis menghasilkan keputusan, proses menghasilkan efisiensi, dan peran pencipta nilai betul-betul menciptakan nilai. Pada akhirnya, refleksi kritisnya sederhana tapi tajam: apakah organisasi berani menata ulang perannya berdasarkan nilai yang dihasilkan, bukan berdasarkan jabatan?

Di organisasi modern, tugas hanya relevan sejauh ia menghasilkan kontribusi. Selamat berkarya!

MEET OUR MENTORS

MEET OUR MENTORS

Di balik program perubahan yang kuat, hadir para mentor yang siap menjadi sparring partner strategis bagi tim inovasi.

Melalui The Change Catalyst and Innovation Program 2025, Innovation Coaching Session difasilitasi oleh mentor ahli di bidang inovasi, bisnis, dan pengembangan organisasi.

Para mentor ini akan mengampu sesi coaching inovasi dan mendampingi tim dalam menajamkan insight dan kebutuhan pengguna, menyelaraskan solusi dengan strategi korporasi, serta memperkuat kesiapan implementasi di lingkungan kerja.

Dengan dukungan mereka, setiap inisiatif inovasi SPTP diharapkan semakin terarah, terukur, dan memberikan nilai tambah nyata bagi perusahaan dan pelanggan.

Catatan kaki dari Melolo

Catatan kaki dari Melolo

Dalam kerangka pembangunan modern, visual seperti ini kerap dibaca sebagai tanda “keterbatasan material.” Namun penilaian itu lebih mencerminkan bias perkotaan daripada realitas Sumba. Jika dilihat dengan lensa filosofis, angsa, ayam, bebek, babi, dan sapi yang berkeliaran adalah living capital—aset ekologis dan sosial yang menopang kemandirian. Kain tenun yang digantung adalah modal budaya, dan tanaman di pekarangan adalah bentuk ketahanan pangan. Kesejahteraan di sini bukan tentang akumulasi, tetapi tentang harmoni antara manusia, alam, dan tradisi.

Secara akademik, ini menantang apa yang disebut context-insensitive measurement: penggunaan indikator kesejahteraan yang tidak mempertimbangkan logika lokal. Kerangka capability approach Amartya Sen lebih tepat untuk membaca konteks ini; kesejahteraan ditentukan oleh kapasitas menjalani hidup yang bernilai, bukan oleh jumlah pendapatan. Ternak yang hidup berdampingan dengan manusia, pangan dari tanah sendiri, serta jaringan sosial yang kuat menunjukkan adanya functional capabilities yang tidak tercermin dalam statistik konvensional.

Karena itu, Sumba mengingatkan kita bahwa indikator ekonomi tidak selalu mampu menangkap makna kesejahteraan substantif. Bila pembangunan memaksakan standar homogen, risiko utamanya adalah hilangnya akar budaya dan ekologi yang justru menopang kehidupan. Dalam konteks seperti Sumba, di mana angsa, ayam, bebek, kuda, babi, dan sapi menjadi bagian integral dari ritme hidup, kita melihat model kesejahteraan yang lebih utuh, di mana nilai tidak hanya diukur, tetapi dijalani.

Terimakasih Sumba tempat kami belajar 💙
Dan teman-teman @transmigrasihub.melolo@pket.kementrans@kementrans.ri

Nasihat kang @kangmaman1965

Nasihat kang @kangmaman1965

Pengetahuan bukanlah puncak untuk ditaklukkan, melainkan jembatan yang membantu manusia menyeberang menuju makna yang lebih dalam. Gelar, prestasi, dan usia bukan indikator utama; semuanya hanyalah logistik dalam perjalanan panjang belajar. Generasi muda hari ini hidup di dunia tanpa guru tunggal, setiap percakapan bisa menjadi kelas, setiap halaman buku bisa menjadi dunia baru, dan setiap ruang kecil bisa melahirkan visi besar. Yang menentukan arah bukan asal tempat atau posisi, tetapi keberanian memilih kebenaran daripada kenyamanan, dan integritas ketika berdiri di persimpangan yang sulit.

Dalam kesadaran itulah pengetahuan menjadi bekal untuk hidup, bukan sekadar hiasan untuk dipamerkan. Bangsa ini merumuskan cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” karena mereka yang membangun Indonesia dulu memahami bahwa kehancuran tidak berakar dari kejahatan semata, melainkan dari kebodohan. Maka membaca bukan lagi aktivitas untuk tahu, tetapi untuk menjadi lebih manusiawi, lebih tegar, lebih berguna, dan lebih menyelamatkan. Optimisme pun tumbuh dari skeptisisme yang sehat, dari kesediaan mempertanyakan, sekaligus keyakinan bahwa perubahan adalah mungkin.

Negara tetap harus hadir sebagai penghasil ruang—memberikan insentif bagi inovasi, bukan sekadar mengatur dari jauh. Dan setiap anak muda, siapa pun mereka, bisa meninggalkan nama yang harum seperti Mohammad Hatta: menulis perjalanan hidupnya dengan tinta emas berupa kecerdasan yang bermakna, mastery yang rendah hati, dan integritas yang tak tergoyahkan. Jika seseorang benar, baik, dan bermanfaat, maka keberadaannya akan terus menginspirasi jauh melampaui usia atau gelarnya. Dengan cara itulah optimisme tentang Indonesia dapat terus menyala, pelan, pasti, dan penuh harapan.