Pengabdian

Kita sering menyebut Tridharma dengan bangga, tapi dalam praktiknya, pengabdian masih sering diperlakukan sebagai pelengkap. Banyak program berhenti di tataran kegiatan: pelatihan, laporan, dokumentasi, tanpa napas keberlanjutan. Padahal, di situlah seharusnya ilmu diuji, bukan di ruang seminar atau jurnal. Pengabdian adalah cara universitas membuktikan bahwa pengetahuan yang lahir di kampus bisa benar-benar mengubah hidup masyarakat, bukan hanya menambah sitasi.

Pengabdian masa kini perlu bergeser dari sekadar berbagi ilmu menjadi proses membangun nilai bersama. Ia harus menjadi living lab; ruang nyata di mana teori diuji oleh praktik, dan praktik memperkaya teori. Di sana mahasiswa belajar empati dan relevansi, dosen menemukan kembali makna keberilmuannya, dan masyarakat ikut menumbuhkan ekonomi serta martabatnya sendiri. Inilah bentuk nyata integrasi pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang hidup, saling menguatkan, dan berdampak.

Sudah saatnya pengabdian dilihat bukan sebagai kegiatan tambahan, tetapi sebagai poros dari seluruh Tridharma. Tanpa pengabdian yang bermakna, riset kehilangan valuenya dan pendidikan kehilangan jiwanya. Pengabdian sesungguhnya bukan tentang berapa banyak program dilakukan, tetapi seberapa dalam universitas menjejak di kehidupan masyarakat jadi sumber perubahan, pemberdayaan, dan pengetahuan yang benar-benar membawa masyarakat menjadi lebih baik.

Terimakasih @lppmunib Universitas Bengkulu @univterbuka

Pragmatisme

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sikap pragmatis sering dianggap tanda kecerdasan adaptif, kemampuan menyesuaikan diri dan bertindak efisien. Namun dalam Islam, pragmatisme harus berakar pada nilai moral & spiritual.

Seorang tidak hanya bertanya “apa yang berhasil?”, tetapi juga “apa yang benar?”. Inilah yang disebut hikmah amaliyah; kebijaksanaan praktis yang berpijak pada wahyu.

Rasulullah ﷺ mencontohkannya dalam Perjanjian Hudaibiyah: keputusan yang tampak merugikan justru menjadi jalan bagi kemenangan dakwah.

Pragmatisme Barat, seperti yang dikemukakan William James dan John Dewey, menilai kebenaran dari sejauh mana sesuatu “berfungsi.” Prinsip truth is what works menempatkan manusia sebagai pusat nilai; menganggap benar apa pun yang berhasil.

Islam menolak pandangan ini karena kebenaran (al-haqq) bersifat tetap & bersumber dari Allah, sedangkan keberhasilan (al-falah) tidak hanya diukur dari capaian duniawi, tetapi juga dari kesesuaian dengan nilai Ilahi. Keberhasilan sejati, bukan sekadar hasil cepat, tetapi kemajuan yang berpijak pada keimanan, kesabaran & integritas.

Refleksi ini mengajak kita menata ulang makna “pragmatis.” Islam tidak menolak efisiensi atau strategi, tetapi menegaskan bahwa semua harus dijalankan dalam kerangka keadilan dan keberkahan. Tindakan benar adalah yang membawa manfaat tanpa melanggar prinsip moral.

Menjadi pragmatis yang beriman berarti membaca kenyataan dengan cerdas tanpa kehilangan arah. Sebab kecepatan tanpa nilai bukanlah kemajuan, dan efisiensi tanpa kebenaran bukanlah keberhasilan.

Dalam pandangan tauhid, keberhasilan sejati adalah ketika manfaat dunia berpadu dengan ridha Allah, hasil yang tidak hanya berguna, tetapi juga mendatangkan keberkahan.

Keberhasilan demikian bukan semata diukur oleh capaian materi, tapi oleh sejauh mana hasil itu menghadirkan kebaikan bagi sesama & menumbuhkan kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta. Dalam kerangka ini, setiap usaha manusia menjadi bentuk ibadah yang bukan sekadar produktif, tetapi juga menumbuhkan nilai, keadilan & rahmat. Puncak keberhasilan bukan pada apa yang dimiliki, tapi pada apa yang dibagikan & seberapa tulus ikhtiar itu mengundang ridha-Nya.

Subang Ngabret BP4D Naik Kelas

“Subang Ngabret BP4D Naik Kelas – Wujudkan Perencanaan Berkualitas” tertulis pada spanduk acara hari ini, setiap kata saya coba cermati, dan ternyata ini keren!

Di ketinggian Gunung Papandayan sore ini, kami berkumpul menguatkan tekad, menyatukan langkah para perencana pembangunan Subang. Di udara sejuk dan sunyi yang menenangkan, kami belajar kembali arti bergerak bersama: bahwa perencanaan bukan sekadar menyusun dokumen, tetapi menata masa depan. Bukan sekadar memenuhi target, tapi memastikan setiap rencana benar-benar membawa manfaat bagi banyak orang.

Ngabret berarti bergerak eksponensial, melipatgandakan dampak melalui semangat, arah, dan kolaborasi. Kecepatan sejati tidak lahir dari tekanan, tapi dari kesadaran bersama akan tujuan yang sama. Ketika setiap orang memahami perannya, energi itu menyatu, menjadi kekuatan kolektif yang mendorong perubahan.

Naik kelas adalah keberanian untuk berpindah kuadran dalam matrix inovasi, dari memperbaiki sistem lama menuju menciptakan nilai baru. Di titik ini, perencanaan bukan lagi sekadar pekerjaan, melainkan ruang tumbuh bersama. BP4D yang naik kelas bukan hanya lebih cepat, tapi juga lebih relevan, adaptif, dan berdampak.

Dan berkualitas bukan hanya tentang hasil yang rapi atau sesuai standar, tapi tentang manfaat yang nyata. Kualitas sesungguhnya terasa ketika rencana menjelma perubahan, data menjadi arah, dan keputusan membawa kebaikan. Itulah perjalanan dari output ke outcome, dan akhirnya menuju impact, dampak yang mengubah kehidupan masyarakat.

Semua itu berawal dari perubahan cara berpikir. Dari compliance menuju co-creation, dari bekerja sendiri menuju co-innovation. Ketika kolaborasi lahir dari empati dan dijalankan dengan integritas, maka network effect terbentuk; menguatkan sistem dari dalam. Sebab tujuan akhir dari setiap ikhtiar bukan hanya keberhasilan, tetapi kebermanfaatan. Dan bila semua dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan, maka hadir keberkahan; koefisien beta yang melipatgandakan setiap usaha menjadi kebaikan yang meluas dan bermakna.

Selamat meluaskan dampak @bp4dsubangofficial

PLN Nusantara Power Services

Coaching berbulan-bulan, berulang-ulang, akhirnya berbuah manis. Tujuh tim berhasil mendapatkan golden ticket dan tiga di antaranya keluar sebagai juara. Sebuah kebanggaan mendampingi para inovator luar biasa ini, bukan hanya karena hasilnya, tetapi karena prosesnya. Setiap sesi adalah perjalanan panjang membentuk cara berpikir, mengasah empati terhadap pengguna, dan memupuk keberanian untuk mencoba lagi setiap kali gagal.

Sejak awal, tujuan utamanya bukan hanya memenangkan kompetisi, tapi menanamkan mindset bahwa inovasi sejati selalu berangkat dari kebutuhan pengguna. Inovasi yang berorientasi pada pengguna akan terus hidup, beregenerasi, dan menciptakan dampak jangka panjang. Karena itu, proses coaching difokuskan pada penguasaan kerangka berpikir inovatif dan kemampuan replikasi, agar inovasi tidak berhenti di satu proyek, tapi terus menular dan berkembang.

Selamat kepada seluruh tim PLN Nusantara Power Services yang telah membuktikan bahwa keberhasilan bukanlah garis akhir, melainkan awal dari perjalanan inovasi yang lebih besar. Inovasi bukan hanya tentang produk, tapi juga model bisnis dan ekosistem yang membuatnya tumbuh eksponensial. Semoga kemenangan ini menjadi titik awal untuk menyalakan lebih banyak nyala inovasi di seluruh Indonesia.

Selamat melanjutkan karya nyatanya @pln_npservices

Kepemimpinan

Banyak orang memandang pemimpin sebagai sosok yang harus memberikan manfaat langsung kepada mereka, memberi posisi, fasilitas, dan perlindungan. Cara pandang seperti ini menjadikan anggota organisasi sebagai penerima pasif, bukan pelaku aktif.

Padahal, Al-Qur’an menggambarkan umat terbaik bukan sebagai mereka yang paling banyak menerima manfaat, tetapi sebagai mereka yang “dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” (QS. Ali ‘Imran: 110). Ini menunjukkan bahwa kemuliaan bukan berada pada posisi penerima, tetapi pada kesediaan menjadi sumber manfaat bagi banyak orang.

Kepemimpinan sejati bukan tentang memusatkan manfaat pada satu figur, melainkan menggerakkan seluruh anggota organisasi agar menjadi penghasil manfaat. Dalam QS. Al-Maidah ayat 2, Allah memerintahkan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” Ayat ini memberi penegasan bahwa fungsi utama kepemimpinan adalah membangun ekosistem kebaikan, tempat setiap individu terdorong untuk berkontribusi, bukan bergantung. Pemimpin bukan pusat pelayanan, tetapi katalis yang membangkitkan kesadaran kolektif untuk bersama-sama melahirkan kebermanfaatan yang lebih luas.

Organisasi yang produktif dan berpengaruh tidak bertumpu pada kehebatan satu pemimpin, melainkan pada kesadaran setiap anggotanya untuk menjadi bagian dari solusi. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Hadis ini bukan hanya perintah moral, tetapi fondasi peradaban: kebermanfaatan bukan status, melainkan fungsi, dan fungsi itu bersifat kolektif, bukan individual.

Karena itu, memilih pemimpin bukan soal siapa yang mampu memberi kita keuntungan pribadi, tetapi siapa yang mampu menggerakkan kita untuk menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pemimpin transformatif mengajak kita keluar dari mentalitas sebagai objek yang menunggu pelayanan, menuju posisi subjek yang aktif melayani dan membangun. Inilah kepemimpinan yang sesuai dengan nilai Qur’ani, karena ia tidak hanya membawa manfaat untuk individu, tetapi menghidupkan kembali fungsi organisasi sebagai rahmat bagi sesama💙

Impact Innovation

Transformasi unit-unit bisnis universitas membutuhkan pergeseran paradigma dari orientasi transaksi menuju penciptaan nilai publik berbasis ilmu pengetahuan. Selama ini, banyak unit usaha universitas berjalan dengan logika korporasi murni, sehingga revenue dijadikan tujuan akhir.

Paradigma ini berbahaya karena berpotensi menjauhkan universitas dari mandat utama sebagai pencipta solusi dan penggerak kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, revenue harus ditempatkan sebagai indikator kesehatan dan keberlanjutan ekosistem inovasi, bukan sebagai tujuan inti. Tujuan sesungguhnya adalah menghadirkan kebermanfaatan nyata melalui riset yang terpakai, layanan pengetahuan yang dapat diakses publik, serta penguatan reputasi universitas sebagai institusi pencetak dampak.

Namun, transformasi ini tidak dapat terjadi hanya melalui penciptaan produk baru, melainkan melalui pembaruan model bisnis berbasis ekosistem. Monetisasi harus didesain secara strategis agar tidak membebani masyarakat sebagai pembeli utama, tetapi mengoptimalkan sumber pendapatan melalui kemitraan industri, lisensi teknologi, dana filantropi, impact investment, atau skema subsidi silang.

Dengan pendekatan ini, masyarakat tetap menikmati manfaat tanpa hambatan akses, sementara unit bisnis memperoleh sumber pendanaan berkelanjutan. Ini menuntut universitas membangun kapabilitas orkestrasi, bukan sekadar produksi, kapabilitas untuk menghubungkan riset, pasar, regulasi, dan jejaring pemangku kepentingan.

Workshop ini hadir sebagai titik awal untuk mengonsolidasikan perubahan tersebut. Bukan sekadar forum pelatihan, tetapi sebagai langkah awal membangun tata kelola inovasi berbasis dampak, membentuk mekanisme hilirisasi riset, dan menciptakan prototipe model bisnis yang siap diuji dalam ekosistem riil.

Keberhasilan workshop tidak diukur dari jumlah produk yang dihasilkan, melainkan dari sejauh mana unit-unit bisnis universitas mampu memasuki logika impact innovation, yaitu menghasilkan nilai sosial yang terukur, memperkuat reputasi akademik, dan secara kreatif membangun keberlanjutan finansial tanpa melepaskan jati diri universitas sebagai institusi ilmu pengetahuan.

Eksekutor Vs Orkestrator

Eksekutor Vs Orkestrator

Menjadi eksekutor memang senantiasa memberi kesan produktif, target tercapai, aktivitas berjalan, hasil terlihat. Namun, seperti diingatkan Peter Drucker (1967), “There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all.” Efisiensi tanpa objective hanyalah kesibukan yang banyak tipuannya. Banyak organisasi terjebak dalam ilusi kemajuan: tampak sibuk, padahal kehilangan kompas strategisnya. Energi terkuras untuk hal mendesak, bukan hal penting. Inilah paradoks eksekusi, semakin cepat bergerak, justru semakin kabur tujuannya.

Untuk keluar dari jebakan itu, pemimpin perlu membangun disiplin refleksi strategis. Mintzberg (1994) menekankan bahwa strategi bukan rencana di atas kertas, melainkan pola keputusan yang sadar. Maka, jeda untuk berpikir bukanlah kemewahan, tetapi bagian dari kerja. Refleksi memungkinkan kita meninjau apakah tindakan harian masih sejalan dengan tujuan jangka panjang. Orkestrator tahu kapan harus turun ke lapangan dan kapan naik ke “menara pandang” untuk membaca lanskap secara utuh. Tanpa itu, organisasi mudah menjadi busy but blind🙏

Kepemimpinan orkestratif menuntut kemampuan sensemaking (Weick, 1995): membaca pemaknaan di balik tiap tindakannya, bukan sekadar menghitung hasilnya. Delegasi dalam konteks ini berarti membagi tanggung jawab sekaligus kesadaran. Saat setiap individu memahami mengapa di balik pekerjaannya, lahir distributed ownership, rasa kepemilikan kolektif yang mendorong sinergi. Energi organisasi pun bertransformasi dari menjalankan perintah menjadi menciptakan nilai bersama 🚌

Sebagaimana dikemukakan Heifetz (1994), kepemimpinan sejati adalah kemampuan “to get on the balcony”, melihat gambaran besar tanpa larut dalam keramaian panggung. Orkestrasi bukan sekadar mengatur ritme kerja, melainkan menjaga jalannya perubahan. Eksekusi menggerakkan roda, tetapi orkestrasi memastikan pergerakannya menuju tujuan. Di sanalah organisasi menemukan kualitas geraknya: tidak sekadar cepat, tetapi selaras, adaptif, dan mengawalnya hingga berdampak.

Kerja Keras

Dalam banyak organisasi, “kerja keras” sering dipuja sebagai simbol dedikasi, padahal tanpa arah yang jelas sering berubah menjadi kelelahan yang dilembagakan. Drucker (1967) membedakan antara efficiency, melakukan sesuatu dengan benar; dan effectiveness, melakukan hal yang benar. Produktivitas baru bermakna bila berpadu dengan tujuan dan integritas. Kerja keras memberi tenaga, kerja cerdas memberi arah, dan integritas memberi jiwa. Ketiganya memberi manfaat melampaui kepentingan pribadi maupun institusional.

Namun, banyak organisasi terjebak pada penyembahan indikator. Sistem seperti Objectives and Key Results (OKR) dan Key Performance Indicators (KPI) sering diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Doerr (2018) menegaskan, OKR seharusnya menghubungkan angka dengan makna; Kaplan dan Norton (1996) menambahkan, indikator hanya berguna jika mencerminkan penciptaan nilai nyata bagi pengguna. Ketika fokus bergeser dari makna ke metrik, organisasi tampak bergerak, tetapi kehilangan arah moral dan emosionalnya.

Untuk mengembalikan makna itu, Theory of Change (Weiss, 1995; Vogel, 2012) mengingatkan bahwa keberhasilan bukan diukur dari output yang dihasilkan, melainkan outcomes dan impact; perubahan perilaku, kepuasan, dan keberdayaan penerima manfaat. Sejalan dengan Service-Dominant Logic (Vargo & Lusch, 2004), nilai sejati lahir dari interaksi antara organisasi dan pengguna. Dengan demikian, tujuan strategis bukan sekadar memenuhi target internal, melainkan memastikan kebermanfaatan yang dirasakan nyata oleh pihak yang dilayani.

Di titik inilah kepemimpinan transformatif (Burns, 1978; Bass & Riggio, 2006) menjadi relevan. Pemimpin tidak hanya mengatur kerja, tetapi menumbuhkan kesadaran kolektif untuk berkarya dengan tujuan. Ia menggeser orientasi organisasi dari output-driven menjadi outcome-driven, dari mengejar hasil menuju menumbuhkan keberkahan. Keberkahan adalah beyond-efficiency effect, hasil nonmaterial berupa kepercayaan, kolaborasi, dan loyalitas yang memperpanjang dampak positif organisasi. Karena itu, ukuran keberhasilan sejati bukan seberapa tinggi seseorang mendaki, tetapi seberapa banyak orang yang ikut tumbuh bersamanya💙

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ketika merenungi hakikat penciptaan manusia, kita diingatkan bahwa asal kita begitu sederhana, dari tanah, lalu dari setetes air yang lemah, hingga Allah tumbuhkan menjadi kehidupan yang sempurna. Dari proses yang terlihat kecil dan rapuh itu, justru lahir kemuliaan, sebab Allah meniupkan ruh-Nya dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang diberi amanah. Kehadiran putri kedua kami menjadi pengingat nyata, bahwa setiap anak adalah karunia dan bukti kasih sayang Allah yang begitu teliti dan penuh hikmah.

Perjalanan hidup ini adalah rangkaian yang Allah tetapkan: dari bayi yang mungil, tumbuh menjadi dewasa, lalu melemah, dan akhirnya kembali kepada-Nya. Maka kelahiran bukan hanya kabar gembira, melainkan juga awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan berakhir di hadapan Sang Pencipta. Aqiqah hari ini kami maknai sebagai penanda rasa syukur, bahwa Allah berkenan menambahkan amanah baru dalam keluarga kami.

Di sisi lain, Allah pun mengingatkan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan yang luhur, yakni beribadah, bersyukur, dan menjadi khalifah yang membawa kebaikan. Maka setiap anak adalah titipan yang harus dibimbing agar mengenal Tuhannya dan tumbuh dengan akhlak yang mulia. Doa kami, semoga putri ini tumbuh dalam cinta dan ketaatan, menjadi cahaya kebaikan bagi keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

Dan kami sadar, manusia penuh kelemahan, mudah gelisah, lalai, bahkan lupa bersyukur. Karena itu, kelahiran ini juga menjadi cermin bagi kami sebagai orang tua, bahwa amanah membesarkan anak tidak ringan, dan hanya dengan pertolongan Allah kami bisa menjalaninya. Semoga aqiqah ini menjadi saksi syukur kami, serta tekad untuk menjaga titipan Allah dengan sabar, ikhlas, dan penuh pengabdian.

Catatan kajian Ustadz @jafarsidiq175 ḥafiẓahullāh.

Ngga semua harus jadi startup;)

Ngga semua harus jadi startup;)

Membangun usaha berbasis purpose memang tidak mudah, terutama di tengah ekosistem bisnis yang masih sangat terikat pada logika profit maximization. Budaya startup sering kali identik dengan cash burning dan obsesi valuasi, sehingga keberhasilan diukur semata-mata dari pertumbuhan finansial jangka pendek. Padahal, konteks global menunjukkan tren baru menuju hybrid business model yang menyeimbangkan keuntungan dengan keberlanjutan. Di Indonesia sendiri, urgensi itu semakin nyata: krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kebutuhan akan keberlanjutan menuntut hadirnya model bisnis yang melampaui sekadar profit.

Dalam lanskap ini, social startup muncul sebagai pilihan strategis. Alih-alih mengejar pertumbuhan dengan segala cara, model ini menempatkan purpose, visi sosial, ekologis, atau pendidikan sebagai inti gerakan. Kita bisa melihat contohnya pada Jejak.in yang memanfaatkan teknologi untuk reboisasi, atau Kitabisa yang menjadi platform gotong royong digital. Dampak yang mereka hasilkan tidak selalu terukur dalam valuasi finansial, tetapi dirasakan nyata oleh masyarakat. Social startup dengan demikian bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan bagian dari transformasi sosial yang menjawab tantangan zaman.

Namun, jalur kewirausahaan tidak berhenti pada pilihan mendirikan startup. Banyak individu memilih menjadi problem solver independen, bekerja lintas komunitas tanpa harus memiliki struktur formal. Dengan entrepreneurial mindset dan kemampuan merancang solusi, mereka tetap terhubung dalam ekosistem yang lebih luas. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan effectuation: berangkat dari sumber daya yang ada, berani bereksperimen, dan berkolaborasi untuk menghadirkan solusi nyata. Pada akhirnya, baik melalui startup profit, social startup, maupun problem solver independen seperti pada ekosistem @youngimpactgenerator , kuncinya sama: menyeimbangkan profit dengan purpose, agar usaha yang dibangun tidak sekadar hidup sebentar, tetapi memberi keberlanjutan dan kebermanfaatan nyata bagi masyarakat❤️