Customer-Centric Aja Nggak Cukup,Tapi Gimana Sustainability-nya?

Customer-Centric Aja Nggak Cukup,
Tapi Gimana Sustainability-nya?

Kalau kemarin kita membahas gimana China membangun ekosistem mobil listrik, sekarang menarik untuk melirik Jepang. Saat dunia berlomba beralih ke kendaraan listrik, Jepang memilih jalur berbeda: energi hidrogen. Seperti diingatkan dalam system innovation theory (Geels, 2002), perubahan sejati bukan sekadar adopsi teknologi baru, tapi rekonstruksi seluruh ekosistem energi. Jepang bertaruh pada solusi jangka panjang, meski jalannya lebih berat & lambat.

Di Indonesia, adopsi teknologi masih didominasi oleh technology push daripada societal pull (Rogers, 2003). Kita cepat terpikat bentuk baru, seperti mobil listrik, baterai, charging station, tapi abai pada pertanyaan dasar: dari mana energi itu dihasilkan? Dengan pembangkit listrik yang 60% lebih masih bergantung batu bara (ESDM, 2023), adopsi mobil listrik tanpa reformasi energi hanya memperbesar beban ekologi, bukan menyelesaikannya.

Lebih dalam lagi, ekosistem industri kita masih sangat short-term gain oriented, sangat jangka pendek! Apa yang cepat cuan & cepat viral, itulah yang didorong, sebagaimana dikritisi Porter & Kramer (2011) dalam konsep shared value.

Sustainability masih diposisikan sebagai kosmetik branding, bukan fondasi perubahan model bisnis. Akibatnya, banyak konsumen berubah jadi consumer activist instan; membela produk dengan emosi, tanpa refleksi kritis pada rantai nilainya.

Padahal menurut transition management (Loorbach, 2010), inovasi sejati ga cumasoal teknologi, tapi perubahan sistem produksi, konsumsi & relasi dengan sumber daya. Negara lain sudah bergerak ke arah itu. Di kita, baru mulai euforia produk baru, tapi diskusi soal sumber energi, limbah & keadilan sosial belum jadi percakapan utama.

Kalau kita terus berlari tanpa membangun transformative capacity (Waddell, 2016), kita memang akan sampai di masa depan, tapi dalam kondisi lebih rapuh & lebih tergantung. Masa depan tidak butuh sekadar inovasi; ia menuntut perubahan mendasar dalam pola pikir kolektif kita tentang kemajuan & keberlanjutan✨

Kemajuan Bukan Soal Banyak,Tapi Soal Rasa Syukur

Kemajuan Bukan Soal Banyak,
Tapi Soal Rasa Syukur

JIka diperhatikan, banyak organisasi punya cukup modal untuk bergerak. Tapi, ga sedikit yang tetap merasa mandek. Masalah utamanya sering kali bukan kekurangan sumber daya, tapi cara pandang.

Saat orang-orangnya terbiasa bersyukur, fokus mereka bergeser: dari menghitung kekurangan jadi mengoptimalkan kekuatan. Dari sini Asset-Based Thinking tumbuh, bukan sekadar strategi, melainkan kebiasaan batin, membiasakan diri bertanya: “Apa yang bisa digerakkan dari apa yang ada?”

Ketika rasa syukur jadi budaya, organisasi membangun keunggulan: resourcefulness, kemampuan menemukan peluang di tengah keterbatasan. Ini sejalan dengan pendekatan Asset-Based Community Development (Kretzmann & McKnight, 1993), yang menunjukkan bahwa perubahan besar lahir dari kekuatan internal yang sering terabaikan. Organisasi seperti ini ga sibuk cari alasan; mereka memilih berkreasi. Mereka tahu dunia jarang ideal, tapi itu bukan alasan untuk berhenti.

Dari pondasi ini, lahir creative confidence (Kelley & Kelley, 2013): keyakinan bahwa solusi bisa ditemukan dari keterbatasan, bukan dari kemewahan. Organisasi dengan budaya syukur & asset-based thinking tidak menunggu kesempurnaan. Mereka percaya, keterbatasan justru menempa kreativitas. Percaya diri lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari keberanian mencipta dari apa yang ada.

Sebaliknya, organisasi yang fokus pada kekurangan mudah terjebak dalam mentalitas defisit. Meski di atas kertas terlihat kuat, energi mereka habis untuk mengeluh & mencari pembenaran. Di dunia yang bergerak cepat, keluwesan & keberanian untuk mengoptimalkan aset jauh lebih berharga daripada sekadar menumpuk sumber daya. Organisasi yang merasa cukup akan selalu lebih tangguh dibanding yang terus merasa kekurangan.

Maka, kunci pertumbuhan organisasi hari ini bukan sekadar menambah sumber daya, tapi memperdalam kesadaran terhadap apa yang sudah dimiliki. Budaya yang menghargai keberlimpahan tersembunyi, mensyukurinya & menggerakkannya ke dalam aksi nyata menjadi pondasi perubahan. Karena perubahan besar tidak datang dari dunia yang membaik, melainkan dari keberanian untuk melangkah dengan apa yang sudah ada✨

Legenda Ga Lagi Laku, Pasar Generasi Muda Butuh yang Relevan

Legenda Ga Lagi Laku,
Pasar Generasi Muda Butuh yang Relevan

Selama puluhan tahun, mobil Jepang menguasai jalanan Indonesia. Kita terbiasa percaya pada Toyota, Honda, Mitsubishi, dan Suzuki. Tapi dunia berubah. Wuling, BYD, dan merek-merek China datang bukan sekadar bersaing, mereka bawa cara main yang sama sekali baru.

Dunia otomotif kini soal ekosistem dan data, bukan lagi sekadar mesin. China paham lebih cepat, menawarkan mobil sebagai platform digital, terkoneksi, agresif, juga berbasis cloud, AI, serta big data. Sementara Jepang masih bertahan di rantai pasok lama, mobil China sudah jadi simbol mobilitas masa depan.

Perubahan ini ga lepas dari pergeseran perilaku konsumen. Generasi muda tidak terlalu peduli pada “merk legendaris”, mereka peduli pada user experience. Mereka tidak lagi memandang mobil sebagai status sosial, tapi sebagai layanan yang bisa dikustomisasi, terhubung, dan ramah lingkungan. Di sinilah Jepang mulai tertinggal, terlalu lama berada di zona nyaman inovasi bertahap (incremental innovation), sementara China berani bermain di ranah disruptif. Di pasar Indonesia, kita mulai melihat hasilnya, mobil listrik murah, fitur canggih, dan pengalaman digital yang menarik pengguna baru.

Model bisnis pun mulai bergeser. China ga cuma jualan mobil, tapi membangun ekosistem: dari pembiayaan digital, layanan aftersales berbasis aplikasi, hingga koneksi langsung ke smart city dan renewable energy.

Mereka ngga jual produk, mereka jual sistem. Ini beda jauh dari pendekatan Jepang yang masih berbasis pada efisiensi manufaktur dan loyalitas jaringan dealer. Saat Jepang sibuk menyempurnakan sistem lama, China menciptakan sistem baru yang lebih cepat, adaptif, dan berbasis software.

Era Black Ocean (Lewrick, 2023) di mana ketidakpastian adalah norma. Di tengah ketegangan geopolitik, disrupsi teknologi & tekanan terhadap transisi energi, industri otomotif ga bisa lagi andalkan kekuatan masa lalu. Di jalan baru ini, yang menang bukan yang paling lama bertahan, tapi yang paling cepat membaca ulang peta & berani memilih arah yang berbeda.

Jangan-jangan kita juga gitu, melakukan incremental innovations, sementara yang lain bersiap lompat eksponensial ⌛️

Resume Syiar Cinta

Resume Syiar Cinta
@halfdeenwedding Ust @muhammadnuzuldzikri

Kisah perjalanan keluarga Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan kita bahwa hidup bukan tentang mencari kesempurnaan, melainkan tentang kesetiaan dalam ujian. Rumah tangga yang kokoh bukan dibangun dari tiadanya masalah, tetapi dari cinta yang tahu cara bertahan, tahu cara bersujud saat badai datang, dan tahu cara tersenyum meski air mata jatuh. Jika Nabi Ibrahim a.s diuji dengan perpisahan, pengorbanan, dan luka, maka kita pun akan diuji dengan cara yang sesuai dengan kadar cinta kita kepada Allah.

Di dalam perjalanan hidup ini, kita harus belajar membaca bahasa cinta Allah. Setiap kehilangan, setiap rintangan, setiap doa yang belum dikabulkan adalah bagian dari kisah agung antara kita dan Dia. Bahasa cinta-Nya tidak selalu berwujud pelukan yang lembut; kadang Ia hadir dalam bentuk jalan sunyi yang panjang, dalam bentuk perpisahan yang perih, atau dalam bentuk ketidakpastian yang mencekam. Namun bagi hati yang peka, setiap tetes ujian adalah tetes kasih sayang.

Legacy sejati tidak dibangun dari apa yang dunia kagumi. Legacy sejati dibangun dari jejak cinta kepada Allah yang tidak pernah pudar oleh zaman. Ka’bah dan ibadah haji adalah saksi, bahwa satu keluarga yang bertahan dalam cinta sejati dapat menghidupkan rindu umat manusia sepanjang ribuan tahun. Maka, dalam rumah-rumah kecil kita, dalam keluarga-keluarga sederhana kita, jangan pernah meremehkan nilai sebuah kesetiaan kepada Allah.

Dan pada ujung perjalanan ini, kematian tidak lagi menakutkan. Ia berubah menjadi jembatan. Menjadi undangan untuk bertemu dengan Kekasih. Bagi jiwa yang telah lama memupuk cinta kepada Allah, kematian bukanlah kabar buruk; ia adalah kabar baik. Ia adalah panggilan untuk pulang, untuk menuntaskan seluruh rindu yang selama ini hanya terungkap dalam sujud dan air mata.

Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menjalani ujian kehidupan dengan keteguhan Nabi Ibrahim, untuk mencintai dengan pemahaman, untuk membangun warisan yang hidup selamanya, dan untuk wafat dengan membawa rindu, bukan beban. Karena sesungguhnya, hidup hanyalah perjalanan pulang kepada Allah, dan hanya cinta yang mampu membawa kita sampai kepada-Nya. ❤️

Meminta Dimampukan (Outcomes) Meminta Dicukupkan (Output)

Meminta Dimampukan (Outcomes)
Meminta Dicukupkan (Output)

Dalam teori Jobs To Be Done (Christensen, 2016), kebutuhan manusia bukan sekadar permintaan atas produk, tapi usaha menyelesaikan “pekerjaan” hidup tertentu. Ketika seseorang menginginkan kendaraan, yang ia cari sebenarnya adalah kemampuan bergerak & memperluas ruang hidupnya. Paradigma ini menegaskan bahwa inti permintaan bukan pada “apa” yang diminta, melainkan “mengapa” & “untuk apa” itu diperlukan. Tanpa kesadaran ini, keinginan mudah terperangkap pada kebutuhan sesaat.

Prinsip “menjadi mampu” ini beresonansi dalam human-centered design, yang menempatkan kebutuhan sebagai dasar pembangunan kapasitas. Fokusnya bukan memenuhi keinginan instan, melainkan menumbuhkan daya tahan & keberlanjutan.

Dalam keseharian, dalam doa misalnya. Permintaan paling berharga tidak berhenti pada “minta dicukupkan”, melainkan “dimampukan” diberi keluasan ilmu, keteguhan hati, rezeki yang berkah, serta daya tahan dalam menghadapi ujian, memperbesar kapasitas untuk membawa manfaat.

Nilai ini tercermin dalam doa para nabi. Nabi Ibrahim a.s., saat meninggalkan keluarganya di tanah tandus, berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, agar mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Yang beliau mohon bukan tanah subur, melainkan keberkahan untuk menumbuhkan peradaban dari keterbatasan. Keyakinan bahwa yang sedikit, bila diberkahi, akan menjadi besar.

Inilah hakikat doa dalam Islam. Rasulullah ﷺ lebih sering memohon keluasan hati, kecukupan yang berkah, dan kekuatan iman, daripada limpahan dunia. Karena ukuran keberhasilan bukanlah banyaknya yang digenggam, melainkan seberapa luas manfaat yang ditebarkan. Mereka yang meminta untuk dimampukan, sejatinya sedang membentuk dirinya menjadi sungai kebaikan yang mengalir, bahkan setelah dunia ini ditinggalkan.

Semoga kita senantiasa dimampukan dimudahkan dan dikuatkan Allah SWT.

Jalan Pintas Revenue, Jalan Panjang Kehancuran

Jalan Pintas Revenue, Jalan Panjang Kehancuran

Banyak organisasi, terjebak dalam ilusi bahwa revenue adalah tujuan, bukan akibat. Kasus PTPN yang disorot Dedi Mulyadi memperlihatkan betapa fatalnya kekeliruan ini. Alih-alih memperbaiki kinerja perkebunan, usaha memilih jalan pintas, mengubah lahan menjadi kawasan wisata demi pendapatan sesaat. Padahal, seperti diingatkan Teece dan Osterwalder, revenue hanyalah cermin dari proses yang benar, bukan tujuan itu sendiri.

Revenue memang penting, tapi ia lahir dari proses organisasi yang sehat. Memaksakan pendapatan tanpa membangun kekuatan internal ibarat mengejar bayangan. Usaha perkebunan yang gagal mengelola perkebunan justru menjual lahan secara instan, menghidupkan peringatan Drucker bahwa profit hanyalah ujian, bukan tujuan. Bisnis yang sehat menciptakan nilai, bukan sekadar mengejar angka.

Ketamakan jangka pendek selalu berbuntut bencana jangka panjang. Ini adalah contoh agar sebuah usaha tak hanya kehilangan ruh, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan sosial. Meadows telah memperingatkan, sistem yang salah arah akan menghancurkan dirinya sendiri, bukan dengan ledakan besar, tetapi lewat kehancuran yang pelan dan tak terasa.

Pelajarannya sederhana tapi mendalam, revenue seharusnya menjadi indikator kesehatan organisasi, bukan kiblat utama. Seperti ditegaskan Johnson, Christensen, dan Kagermann, keberhasilan lahir dari membangun nilai baru, bukan dari obsesif mengejar angka. Fokus seharusnya pada kekuatan proses, bukan pendapatan sesaat.

Setiap pemimpin harus bertanya ulang, apa yang sedang dibangun, organisasi yang sehat atau ilusi pendapatan? Sebab tubuh yang sehat menghasilkan energi tanpa dipaksa, sebagaimana organisasi yang kokoh akan menghasilkan pendapatan alami. Kalau salah dari awal, maka hari ini mungkin tampak gemerlap, tapi esok hanya menyisakan puing-puing yang tak bisa ditebus lagi.

“Organisasi besar bukan dihancurkan dari luar, tetapi dari obsesi buta mengejar revenue tanpa membangun kekuatan dalam.”

Foto candid oleh @dudisugandi ✨

Ramai Tapi Sepi: Ketika Bali Tak Lagi Bisa Dibaca dengan Kacamata Lama

Ramai Tapi Sepi:
Ketika Bali Tak Lagi Bisa Dibaca
dengan Kacamata Lama

Bali tetap ramai. Turis memadati pura, menonton tari kecak, dan selfie di spot-spot ikonik. Tapi di balik keramaian itu, banyak pengusaha hotel mengeluh: kamar kosong, okupansi turun. Lalu muncul pertanyaan yang membingungkan, “Kalau begitu, mereka menginap di mana?” Ini bukan soal tempat tidur, tapi soal cara baru orang bepergian dan menghidupi perjalanannya. Sayangnya, banyak yang belum siap melihat perubahan itu.

Hari ini, orang berwisata sambil bekerja. Mereka tinggal lebih lama, mencari tempat yang nyaman, otentik, dan fleksibel. Bukan hotel bintang lima, tapi homestay yang ramah, vila tersembunyi, atau co-living space yang mendukung gaya hidup digital nomad. Mereka butuh ruang yang terasa seperti rumah, bukan sekadar tempat tidur. Tapi banyak pelaku pariwisata masih berpikir: “Kalau fasilitas lengkap, tamu pasti datang.” Padahal, yang dicari sudah bergeser jauh.

Di sinilah logika lama mulai gagal. Kita terbiasa pada ekosistem yang terpusat; hotel, agen wisata, restoran besar. Tapi sekarang, uang wisatawan mengalir ke tempat yang tidak tercatat: warung lokal, vila independen, kelas meditasi, atau studio yoga yang viral. Sementara pusat-pusat lama mulai kehilangan daya tarik. Dunia berubah cepat. Yang bertahan bukan yang besar, tapi yang mampu membaca ulang peta dan ikut bergerak.

Masalahnya, perubahan ini tidak selalu terlihat. Karena dulu, rumusnya sederhana: makin banyak turis, makin penuh hotel. Sekarang tidak sesederhana itu. Kita hidup di era VUCA dan BANI serba cepat, tak pasti, rumit, dan membingungkan. Jika tetap bertahan pada pola lama, kita akan terus merasa tertinggal. Padahal bukan ditinggalkan, tapi belum beradaptasi.

Mungkin pertanyaan yang lebih tepat hari ini bukan “di mana mereka menginap?”, tapi “apa peran kita di ekosistem baru ini?” Dunia pariwisata kini menuntut kita hadir dengan cara yang lebih manusiawi, lentur, dan bermakna. Bukan tentang membangun gedung tinggi, tapi membangun koneksi. Bukan soal jualan kamar, tapi tentang memahami perjalanan hidup orang lain. Dan kadang, yang perlu dibenahi bukan strategi pemasaran, tapi cara pandang kita sendiri.

Beneran Work-life Balance?

Beneran Work-life Balance?

Jadi juga ngopi sore bareng @canunkamil , ngga sabar nulis oleh-olehnya;)

Hidup di zaman yang memuja kesibukan. Kalender padat, waktu nyaris habis, hari-hari rasanya penuh, tapi tetap hampa. Lalu muncul solusi modern: work-life balance. Terdengar ideal, kerja cukup, istirahat cukup, waktu keluarga aman. Hidup terlihat rapi dan teratur. Terus kenapa makin banyak yang merasa lelah, meski semua sudah dibagi? Kenapa hati tetap kosong, padahal jadwal tak lagi berantakan?

Work-life balance memisahkan hidup jadi dua sisi: kerja dan “hidup yang sebenarnya.” Seolah kerja adalah beban, dan hidup baru dimulai setelah jam kantor usai. Tapi hidup bukan grafik. Ia tak bisa dibagi rata tanpa tahu ke mana arahnya. Di sinilah kita sering lupa bertanya: untuk siapa semua ini dijalani? Karena tanpa arah yang jelas, bahkan waktu yang teratur pun terasa berat.

Sebuah konsep menarik, Prophetic Life Balance, konsep yang diangkat Muhammad Faris dalam The Barakah Effect, menawarkan kita pendekatan yang lebih mudah dipahami: Memahamkan hidup yang menyatu. Bukan soal membagi kerja dan ibadah, dunia dan akhirat, tapi menyadari bahwa semua bisa menjadi jalan yang sama, kalau pusatnya benar. Ini bukan soal ritme harian, tapi soal arah hidup. Bukan tentang banyaknya rehat, tapi tentang kedamaian saat menjalaninya.

Keseimbangan sejati tak lahir dari bagan, tapi dari kesadaran. Saat hidup terpusat pada yang Maha Benar, semua peran menyatu dalam misi yang sama. Tak ada waktu yang sia-sia, karena setiap detik bermakna. Tak ada peran yang saling tarik-menarik, karena semuanya mengalir dalam satu poros. Bekerja pun bukan lagi soal produktivitas, tapi soal keberkahan. Bukan soal hasil, tapi dapat ga pemaknaanya?

Prophetic Life Balance ngga sekadar mengatur waktu, tapi menyusun ulang cara kita memaknai hidup. Ia mengajak kita berhenti jadi manusia yang hanya sibuk, dan mulai jadi manusia yang sadar.

Hidup bukan sekadar berjalan, tapi punya arah. Bukan sekadar rapi, tapi punya makna. Bukan sekadar cepat, tapi penuh keberkahan. Karena yang kita cari sebenarnya bukan keseimbangan… tapi ketenangan. Dan ketenangan itu cuma hadir saat hidup kembali berpusat pada-Nya✨

Tugas Kampus; Memutus Kemiskinan

Tugas Kampus;
Memutus Kemiskinan

Di banyak keluarga, kuliah masih diyakini sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Seolah cukup jadi sarjana, hidup akan langsung membaik. Tapi realitas hari ini berkata lain. Banyak lulusan pulang dengan gelar, tapi tanpa pekerjaan, tanpa akses, tanpa arah. Kampus yang dulu dipercaya sebagai eskalator sosial, kini terasa seperti ruang tunggu panjang—tempat menunda kenyataan.

Masalahnya bukan semata soal belum bekerja. Yang lebih mendasar adalah hilangnya kesadaran akan fungsi kampus sebagai ruang pembebasan. Stephanie Moser dalam The Dark Side of Academia menyebut bagaimana institusi akademik sibuk mempercantik etalase—prestasi administratif meningkat, logo kampus hadir di forum internasional—namun jarang bertanya: siapa yang benar-benar terbantu? Mahasiswa dicetak agar terlihat “berprestasi”, tanpa dibekali keberpihakan sosial yang mendalam.

Sering kali, satu-dua kisah sukses dari latar belakang miskin dijadikan legitimasi. Padahal itu pengecualian. Yang lebih banyak terjadi justru sebaliknya: akses ke kampus sulit dijangkau, & bila berhasil masuk, perjuangan dijalani tanpa sistem pendukung yang memadai. Program sosial mahasiswa pun tak jarang hanya jadi ajang lomba proposal, bukan sarana perubahan nyata.

Kampus pun kian menyerupai korporasi. Mahasiswa diposisikan sebagai konsumen, dosen sebagai penyedia konten, & masyarakat sekadar objek proyek. Ukuran keberhasilan bergeser—dihitung dari banyaknya Publikasi, atau MoU yang diteken hingga berapa kali tampil di forum global. Sementara itu, kampung-kampung miskin di balik pagar kampus tetap luput dari perhatian. Lalu, untuk siapa semua seremoni & spanduk kolaborasi itu?

Mungkin ini saatnya berhenti bicara soal “revolusi pendidikan” hanya dari podium seminar. Saatnya kampus bertanya dengan jujur: apakah benar sudah menjadi bagian dari solusi, atau hanya sedang memperhalus ilusi? Sebab jika gagal memutus rantai ketimpangan, bisa jadi yang dilanggengkan bukan perubahan—melainkan kemiskinan dalam bentuk yang lebih terdidik✨

Inframe;
@sabilgn dengan tulisannya yang sangat menarik terkait ekositem kampus✨

Yang Relatif Tak Bisa Jadi Kompas

Yang Relatif Tak Bisa Jadi Kompas

Sebuah kasus dari dunia startup teknologi baru-baru ini menggugah banyak pihak—bukan karena skalanya, tapi karena ia menyentuh batas rapuh antara ambisi dan integritas. Saat keberhasilan diukur dari seberapa cepat angka tumbuh, bukan dari kejujuran proses, penyimpangan perlahan menjadi wajar. Yang awalnya keliru bisa tampak sah—asal hasilnya mengesankan. Dalam ekosistem yang lebih memuja narasi daripada realitas, kesan sering kali lebih diutamakan daripada kebenaran.

Albert Bandura menyebut ini moral disengagement—proses ketika seseorang memutus hubungan antara tindakan dan rasa tanggung jawab moral. Pelanggaran dibungkus dengan justifikasi: “demi target”, “demi tim.” Ethical fading (Tenbrunsel & Messick, 2004) memperkuatnya—etika memudar, diganti logika performa. Yang tersisa hanyalah angka, bukan nurani.

Dalam lingkungan startup yang serba cepat, penyimpangan kecil sering dianggap sebagai bagian dari strategi bertahan. Diane Vaughan (1996) menyebut ini normalization of deviance—penyimpangan yang diulang tanpa konsekuensi akan terasa normal. Maka saat semua mulai terbiasa melenceng, yang tetap lurus justru terlihat aneh. Ini bukan lagi soal keputusan pribadi, tapi soal budaya yang tanpa sadar ikut membentuknya.

Pertanyaannya: siapa yang akan menjaga batas antara benar dan salah, saat kebenaran terus dinegosiasikan oleh logika pasar? Ketika nilai bisa disesuaikan dengan target, maka arah pun ikut kabur. Kita butuh keberanian—bukan hanya untuk membetulkan yang salah, tapi juga untuk tetap sadar saat yang salah mulai dianggap biasa. Sebab ketika semua menjadi relatif, kerusakan pun bisa tampak seperti strategi.

Untuk itu, kita butuh pijakan yang tak tergoyahkan. Di tengah dunia yang terus berubah & narasi yang makin relatif, arah mudah kabur, batas makin samar. Seberapa sering pun kita dihadapkan pada kebenaran yang tampak logis namun menyesatkan, kita perlu terus menyandingkannya dengan yang absolut—agar langkah tetap jujur dan nurani tetap hidup. Dan semua itu hanya mungkin jika kita kembali menempatkan kompas utama kita: Qur’an & Sunnah✨