Leader Ngga Punya Midsheet Design Thinking Nih

Dalam banyak sesi pelatihan Design Thinking, sering kali muncul pernyataan seperti, “Harusnya pimpinan saya yang ikut, karena beliau yang punya kewenangan!” Pernyataan ini mencerminkan anggapan bahwa kepemimpinan hanya terkait dengan jabatan tertentu. Padahal, kepemimpinan bukan sekadar soal hierarki, melainkan tentang bagaimana setiap individu mampu mengambil inisiatif, berempati, dan menggerakkan perubahan—itulah mengapa setiap orang adalah pemimpin.

Design Thinking bukan hanya alat inovasi, tetapi juga pendekatan kepemimpinan. Dengan prinsip dasarnya yang berfokus pada empati, kolaborasi, dan eksperimen, Design Thinking membentuk pemimpin yang lebih terbuka, adaptif, dan berorientasi pada solusi yang berdampak. Kepemimpinan dalam konteks ini tidak ditentukan oleh posisi, tetapi oleh cara seseorang berpikir, bertindak, dan mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.

Bagi mereka yang saat ini berada dalam tim, kepemimpinan berarti memiliki kemampuan menerjemahkan kebijakan pimpinan ke dalam implementasi yang lebih relevan dan efektif. Dengan memahami prinsip Design Thinking, anggota tim tidak hanya menunggu arahan dari atas, tetapi juga proaktif dalam menjembatani visi strategis dengan realitas di lapangan. Mereka memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya dieksekusi, tetapi juga diperkaya dengan pendekatan yang berpusat pada kebutuhan pengguna atau pelanggan.

Pendekatan ini membentuk budaya everyday leaders—orang-orang yang tidak menunggu gelar atau jabatan untuk memimpin, tetapi berani mengambil peran dalam menciptakan perubahan, sekecil apa pun kontribusinya. Ketika pola pikir ini berkembang di seluruh organisasi, inovasi tidak lagi bergantung pada individu di puncak hierarki, melainkan menjadi energi kolektif yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan.

Maka, pertanyaan yang lebih relevan bukanlah, “Siapa yang seharusnya mengikuti pelatihan ini?” melainkan, “Bagaimana setiap individu dapat menerapkan pendekatan ini untuk memimpin perubahan dari posisinya masing-masing?”

Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang jabatan, tetapi tentang keberanian bertindak dan menciptakan dampak.

Design Thinking Pintu Masuk Inovasi, Kenapa?

Design Thinking sering disalahpahami sebagai sekadar metode kreatif yang identik dengan penggunaan post-it atau hanya sebatas proses desain visual. Padahal, Design Thinking adalah pendekatan holistik yang melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan solusi yang tidak hanya berfungsi dengan baik, tetapi juga memberikan nilai bagi manusia dan menghasilkan keuntungan bagi bisnis🥳

Inti dari Design Thinking adalah menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap proses inovasi. Produk yang baik tidak cukup hanya berfungsi secara teknis; produk tersebut harus mampu menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi pengguna. Ketika sebuah produk memberikan nilai yang bermakna bagi manusia, hal ini akan mendorong keinginan untuk menggunakan atau memilikinya. Nilai inilah yang kemudian menjadi jembatan untuk menciptakan pendapatan bagi bisnis🤩

Namun, Design Thinking bukan berarti mengesampingkan aspek bisnis atau teknologi. Sebaliknya, pendekatan ini mengintegrasikan kebutuhan manusia dengan kelayakan teknis dan keberlanjutan bisnis. Produk yang hanya mengutamakan fungsi teknis tanpa mempertimbangkan pengalaman pengguna cenderung gagal di pasar. Di sisi lain, produk yang menarik secara estetika tetapi tidak fungsional juga tidak akan bertahan lama🧐

Design Thinking muncul sebagai respons terhadap dominasi pendekatan berbasis bisnis dan teknologi dalam pengembangan produk. Pendekatan ini tidak berusaha menggantikan logika bisnis atau teknologi, melainkan memperkaya proses inovasi dengan pemahaman mendalam tentang manusia sebagai pengguna. Dengan memahami konteks dan kebutuhan manusia secara menyeluruh, Design Thinking membantu menentukan masalah yang tepat untuk dipecahkan, metrik keberhasilan yang relevan, dan peluang bisnis yang muncul dari solusi tersebut😎

Dengan pemahaman yang benar, Design Thinking bukan hanya alat kreatif, tetapi juga strategi penting untuk menciptakan inovasi yang berdampak, relevan, dan berkelanjutan dalam jangka panjang🎉🎉

Design Thingking Untuk Apa?

Design Thinking bukan sekadar metode dengan tahapan sistematis—Empathize, Define, Ideate, Prototype, dan Test. Lebih dari itu, ia adalah cara berpikir yang menekankan eksplorasi dan empati. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya mencari solusi teknis, tetapi juga memahami tantangan dengan lebih kreatif dan manusiawi.

Mindset ini mengajarkan bahwa inovasi bukan cuma tentang menciptakan produk baru, tetapi juga bagaimana kita melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas. Empati menjadi landasan utama, memungkinkan kita memahami kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar. Ketidakpastian bukan hambatan, melainkan bagian dari proses menuju inovasi yang lebih baik. Berpikir non-linear juga penting, karena solusi terbaik sering kali muncul dari pendekatan yang tidak terduga.

🎯 Inovasi yang Berakar pada Purpose
Banyak inovasi gagal karena terlalu fokus pada teknologi atau keuntungan tanpa memahami esensi masalah. Design Thinking menekankan pentingnya memahami “mengapa” sebelum mencari solusi, sehingga inovasi memiliki dampak nyata dan relevan. Dalam pendidikan, misalnya, inovasi bukan sekadar menciptakan aplikasi canggih, tetapi juga memastikan metode yang lebih inklusif dan efektif.

⭐️ Visi sebagai Bahan Bakar Inovasi
Perubahan besar selalu dimulai dari mimpi dan imajinasi. Design Thinking mengajarkan bahwa mimpi adalah energi yang mendorong eksplorasi solusi baru. Para inovator seperti Elon Musk dan Steve Jobs tidak hanya mengandalkan keahlian teknis, tetapi juga keberanian untuk bermimpi besar dan menantang batasan.

⏰ Fleksibilitas dalam Menghadapi Perubahan
Banyak orang takut akan perubahan, tetapi dalam Design Thinking, perubahan adalah peluang. Eksperimen dan kegagalan adalah bagian dari inovasi. Dengan terus beradaptasi dan beriterasi berdasarkan umpan balik, solusi yang lebih baik dapat tercipta. Kolaborasi juga penting, karena perspektif yang beragam menghasilkan inovasi yang lebih kaya dan efektif.

Innovation is not just about creating something new, but about understanding, adapting, and daring to dream for meaningful change.🎉

Era AI; Apa Yang Perlu Dilatih Untuk Bergeser Mindsetnya?

Menghindari ketergantungan pada AI dalam Design Thinking sebagai mindset dapat dimengerti karena esensinya yang sangat manusia-sentris. Design Thinking punya fokus pada empati, kreativitas, dan kolaborasi untuk menciptakan solusi inovatif yang relevan dan bermakna. Kenapa pada tahap tertentu lebih baik tidak terlalu bergantung pada AI? ✨

1. Empati Sebagai Fondasi✨
Design Thinking dimulai dengan empati, yaitu memahami emosi, kebutuhan, dan masalah nyata pengguna melalui interaksi langsung, observasi, dan percakapan mendalam. AI mungkin dapat menganalisis data, tetapi tidak dapat menggantikan koneksi emosional atau intuisi yang diperoleh dari interaksi manusia langsung.

2. Kreativitas dan Ideasi Tanpa Batas✨
AI bekerja berdasarkan data historis, sedangkan Design Thinking mendorong solusi inovatif yang sering kali tidak terduga. Ketergantungan pada AI berisiko membatasi kreativitas dengan berfokus pada pola yang sudah ada.

3. Iterasi dan Pembelajaran Reflektif✨
Iterasi melalui prototipe adalah bagian penting dari Design Thinking. Proses ini melibatkan keberanian untuk gagal dan belajar dari kesalahan. AI mungkin memberikan jawaban cepat, tetapi tidak menyediakan ruang untuk eksplorasi dan refleksi yang memperkaya wawasan.

4. Kolaborasi dan Pemahaman Kolektif✨
Proses kolaboratif dalam Design Thinking melibatkan diskusi dan pemikiran bersama yang dinamis.. AI tidak dapat menggantikan dinamika manusia yang berbasis empati dan perspektif beragam.

5. Menghindari Bias Kognitif dalam AI✨
AI sering kali membawa bias tersembunyi yang berasal dari data atau algoritma. Manusia memiliki kemampuan unik untuk menilai konteks dan memastikan solusi yang inklusif.

6. Mindset Lebih Penting daripada Alat✨
Design Thinking adalah pola pikir kreatif dan inklusif yang menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Terlalu bergantung pada AI dapat mengaburkan nilai inti ini.✨

Jadi, AI bisa banget jadi alat pendukung untuk analisis data dan efisiensi, tetapi inovasi sejati tetap berakar pada empati, kreativitas, dan kolaborasi manusia. Pada akhirnya, inovasi terbaik adalah yang berdampak besar bagi kemanusiaan.✨

Empathy

Inovasi terbaik engga lahir dari sekadar ide brilian, tetapi dari hati yang memahami. Empathy adalah kunci yang membuka pintu ke solusi yang benar-benar relevan dan bermakna.

Bayangkan jika kita bisa melihat dunia dari sudut pandang orang lain—merasakan perjuangan mereka, memahami harapan mereka, dan menyelami tantangan yang mereka hadapi setiap hari. Dari sinilah perjalanan inovasi dimulai. Empathy memberi kita purpose—tujuan yang lebih besar dari sekadar menciptakan sesuatu. Tujuan untuk membantu, untuk membawa perubahan, dan untuk membuat kehidupan seseorang lebih baik.

Dengan empathy, kita engga cuma menawarkan solusi, tetapi jawaban atas kebutuhan yang sering tak terucap. Kita menciptakan inovasi yang tidak cuma canggih, tetapi juga membumi—sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka yang kita layani.

Inilah kekuatan empathy: menghubungkan hati dan pikiran, membawa kita ke arah yang lebih manusiawi, dan memastikan setiap langkah inovasi punya makna.

Jadi, jika ingin menciptakan dampak, mulailah dengan bertanya: “Apa yang bisa saya lakukan untuk benar-benar membantu?”🔆

Empathy menginspirasi. Inovasi memberdayakan, keduanya menciptakan kondisi yang lebih baik. Karena inovasi tanpa empathy yang ada cuma teknologi, tapi inovasi dengan empathy adalah solusi untuk lebih jauh berbicara lebih jauh tentang kemanusiaan.

Customers Jobs

Setiap orang memiliki tugas penting yang ingin diselesaikan dalam hidupnya—itulah inti dari Customers Jobs. Sama seperti Monkey D. Luffy, yang memiliki misi besar untuk menjadi Raja Bajak Laut, sambil melindungi krunya dan melawan ketidakadilan di sepanjang perjalanan. Dalam konteks persona, Luffy menggambarkan kebutuhan manusia yang beragam: tugas fungsional seperti memimpin kru dan melawan musuh, tugas sosial untuk menjadi simbol kebebasan dan inspirasi, hingga tugas emosional menjaga kru sebagai keluarganya✨

Sebagai penyedia solusi, memahami Customers Jobs berarti menggali lebih dalam tentang apa yang pelanggan ingin capai, bagaimana mereka ingin dilihat, dan apa yang mereka rasakan. Contohnya, jika Luffy adalah pelanggan Anda, apa yang bisa Anda tawarkan untuk membantunya memimpin kru, melawan musuh, dan tetap memenuhi kebutuhan emosionalnya?✨

Dalam bisnis, memahami Customers Jobs adalah kunci untuk menciptakan solusi yang relevan dan bernilai. Ketika Anda tahu apa yang pelanggan butuhkan, Anda dapat merancang value proposition yang tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga memberikan nilai tambah secara sosial dan emosional. Ini membantu bisnis membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, memperkuat loyalitas, dan menciptakan diferensiasi di pasar.

Lebih dari itu, memahami Customers Jobs memungkinkan Anda memprioritaskan inovasi yang benar-benar menjawab kebutuhan pelanggan. Pelanggan yang merasa kebutuhan mereka dipahami akan lebih cenderung memilih bisnis Anda dibandingkan kompetitor. Jadi, tanyakan pada diri Anda: apa tugas utama pelanggan saya? Bagaimana saya dapat membantu mereka mencapai impian mereka, seperti Luffy yang mengarungi Grand Line menuju One Piece?🎉

Slow Thinking

Jangan lupa untuk visualisasikan mimpi usaha kita dengan jelas.

Imajinasi ini menjadi penting karena akan menuntun kita untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan. Kita sering mengenalnya dengan nama Visi. Visi tak perlu ditempelkan di dinding besar-besar, atau di laman website usaha kita, yang lebih penting justru pada bagaimana visi ini jadi imajinasi yang mendorong energi kita melangkah dengan kebahagiaan dan antusiasme yang menggebu-gebu.

Tapi kemudian dalam perjalanannya, kita perlu hati-hati jika mimpi ini kemudian menjadi beban dikemudian hari, bagi pendiri dan timnya. Idealnya, mimpi yang tervisualisasikan itu tetap menjadi energi pendorong perubahan, bukan kemudian tak terasa berubah sedikit demi sedikit menjadi beban.

Jika mimpi dan imajinasi masa depan kita dalam perjalanannya kemudian jadi beban, membuat kita lelah dan menguras energi, artinya ada yang kurang tepat dalam proses memelihara mimpinya, ada yang keliru juga dalam menurunkannya menjadi strategi-strategi kecilnya. Menjadi penting memahami bahwa imajinasi ini, pada saat ini bersifat imajiner, sesuai dengan namanya “imajinasi” Ia akan terwujud secara bertahap, jangan lupakan bahwa Ia akan dicapai dalam jangka waktu tertentu di depan.

Kelelahan akan sangat mungkin terjadi jika ternyata dalam perjalannnya kita tak sadar menyeret mimpi kita jadi lebih cepat & memaksanya hadir segera. Konsistensi sebenarnya adalah kunci utama, lebih lanjut kita bisa mengurai konsistensi dalam 6 spektrum, kira-kira seperti ini;

1. Urai mimpi dalam horison waktu
2. Tinggikan perspektifnya, hingga tau cara memandangnya dari atas
3. Luaskan pengetahuannya, baca referensinya cari tau ilmu, pengetahuan dan keterampilannya
4. Mantapkan kekuatan jejaringnya, resourcefulness-nya, intensifkan obrolan-obrolannya dengan banyak pihak
5. Dalamkan wisdomya, banyak filosofi dasar dan hikmah dari setiap langkah yang perlu ditempuh.
6. Belajar sejarahnya, hingga kita bisa belajar big why-nya

Jangan sampai mimpi berubah menjadi beban, tapi sebenarnya yang lebih ditakutkan adalah ketika usaha, bahkan hidup tak punya mimpi.

Super Mario Bukan Super Jamur

Merumuskan kebutuhan pengguna dengan orientasi pada outcomes berarti fokus pada hasil akhir yang diinginkan pengguna setelah menggunakan produk, bukan hanya pada produk itu sendiri. Ini berarti memahami apa yang sebenarnya mereka harapkan—perubahan atau kemajuan yang ingin mereka capai dalam hidup. Jadi, daripada hanya memikirkan fitur atau fungsi, kita harus berfokus pada outcomes yang benar-benar penting bagi mereka🙌

Contohnya, dalam permainan Super Mario, ketika Mario memakan Bunga Jamur, ia berubah menjadi Super Mario yang lebih kuat. Di sini, Bunga Jamur hanyalah alat atau output untuk mencapai kondisi yang ia inginkan—menjadi Super Mario. Yang sebenarnya dibutuhkan Mario bukanlah Bunga Jamur itu sendiri, tetapi kondisi yang diinginkannya: menjadi lebih kuat dan siap menghadapi tantangan🤯

Rumus The Jobs To Be Done membantu kita memahami cara memenuhi kebutuhan pengguna dengan lebih tepat. Rumus ini adalah:

Jobs To Be Done = Fungsi + Emosi + Kemajuan Konteksual

Artinya, pengguna “memilih” produk untuk memenuhi tiga hal: fungsi dari produk, emosi yang dihasilkan, dan kemajuan yang diinginkan dalam hidup mereka. Dalam kasus Mario, fungsi dari Bunga Jamur adalah memberi kekuatan, emosi yang dirasakan adalah rasa percaya diri, dan kemajuan yang ia capai adalah kesiapan menghadapi tantangan permainan.
Dengan berfokus pada outcomes, kita melihat bahwa pengguna tidak hanya mencari produk, tetapi solusi untuk mencapai kondisi yang diinginkan🤩

Solusi yang ditawarkan bisa beragam, asalkan outcome-nya tercapai. Misalnya, untuk menjadi “Super Mario,” tidak harus menggunakan Bunga Jamur saja. Memberikan lebih banyak pilihan bisa justru meningkatkan kepuasan pengguna🥳

Pendekatan ini memperluas peluang inovasi dan memungkinkan kita merancang produk yang lebih relevan. Fokus pada outcomes yang benar-benar diinginkan pengguna berarti kita dapat menciptakan produk yang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga menciptakan pengalaman yang lebih bermakna dan berkesan. Output hanyalah alat bantu, sedangkan outcomes adalah tujuan utama yang membawa dampak nyata bagi hidup pelanggan🎉

Backward Design Thinking VS Theory of Change (ToC)

Jaman berubah cepet banget! Jadi penting buat kita untuk menggeser cara berpikir dari sekadar memecahkan masalah jangka pendek menuju impact dan keberlanjutan jangka panjang. Inilah mengapa pendekatan seperti Backward Design Thinking dan Theory of Change (ToC) sangat relevan untuk menciptakan inovasi yang berdampak nyata🎉

Sudah pernah dengar tentang Backward Design Thinking? Pendekatan ini dimulai dengan menetapkan tujuan akhir secara jelas, lalu bekerja mundur untuk mengidentifikasi langkah-langkah kunci yang diperlukan. Dengan cara ini, setiap keputusan terfokus pada dampak yang diinginkan, bukan hanya solusi sementara.

Theory of Change (ToC), di sisi lain, menawarkan pendekatan sistematis untuk menciptakan perubahan sosial yang signifikan. Dengan memetakan tindakan dan dampak yang diharapkan, ToC membantu kita melihat bagaimana setiap langkah berkontribusi pada hasil akhir yang lebih besar. Solusi yang dirancang dengan ToC mampu menyelesaikan masalah mendasar dan menghasilkan dampak berkelanjutan.

Pendekatan ini memastikan kita tidak hanya memecahkan masalah jangka pendek, tetapi juga merancang solusi dengan nilai jangka panjang. Backward Design Thinking dan ToC memungkinkan kita menciptakan inovasi yang tidak hanya menyelesaikan masalah hari ini, tetapi juga membentuk masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Dengan kedua pendekatan ini, kita beralih dari sekadar problem-solving menjadi impact-driven innovation yang berorientasi pada keberlanjutan. Ini adalah langkah penting untuk masa depan yang lebih cerah bagi semua.

Di postingan selanjutnya, kita akan mempelajari keterampilan Problem Reframing dengan dua kerangka ini. Keterampilan ini membantu kita melihat masalah dari sudut pandang berbeda, menemukan solusi lebih inovatif, dan mengidentifikasi peluang tersembunyi. Stay tuned untuk tips dan langkah-langkah praktis dalam mengembangkan keterampilan penting ini!🙌

Effectual VS Casual

Kamu termasuk yang mana, yang gemar membangun momentum atau menunggu hingga momentum datang? Banyak orang sering menunggu waktu yang tepat atau menunggu semua sumber daya terkumpul sebelum bergerak. Namun, ada juga yang memilih untuk menciptakan momentum, memulai dari apa yang ada, dan terus maju.

Pola pikir ini disebut Entrepreneurial Thinking, yang tidak hanya tentang berbisnis, tapi juga cara kita berinovasi dan beradaptasi dalam setiap aspek kehidupan.

Entrepreneurial Thinking dimulai dengan mengenali peluang, mengambil risiko yang terukur, dan mencari solusi kreatif untuk tantangan. Di tengah ketidakpastian, pola pikir ini memungkinkan kita untuk lebih fleksibel dan siap beradaptasi. Ada dua pendekatan dalam Entrepreneurial Thinking: causal thinking & effectual thinking.

Causal thinking berfokus pada tujuan yang jelas dan langkah-langkah terstruktur untuk mencapainya, tetapi bisa menjadi terlalu kaku dalam situasi yang berubah cepat.

Sebaliknya, effectual thinking lebih fleksibel—memanfaatkan apa yang kita miliki sekarang untuk menciptakan peluang, tanpa menunggu semua hal sempurna.

Effectual thinking penting karena dalam dunia yang dinamis, kita sering tidak memiliki semua jawaban di awal. Dengan memanfaatkan apa yang ada, kita bisa bergerak maju dan beradaptasi seiring waktu.

Entrepreneurial Thinking mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar, dan inovasi terjadi saat kita berani melangkah meski belum ada kepastian. Pola pikir ini membantu kita melihat ketidakpastian sebagai peluang dan terus berkembang.

Entrepreneurial Thinking bukan cuma soal menunggu peluang, tapi tentang menciptakannya dari apa yang sudah ada—sebuah pola pikir untuk terus tumbuh dan berinovasi di tengah ketidakpastian.

Jadi, apakah kamu akan menunggu momentum itu datang, atau mulai membangunnya sekarang? Entrepreneurial Thinking memberi kita kekuatan untuk menciptakan peluang dan tumbuh di tengah ketidakpastian🎉