Saat Kapal Harus Belajar Berlayar dengan Mesin, Bukan Lagi dengan Angin Kasih Sayang

“Saat Kapal Harus Belajar Berlayar dengan Mesin, Bukan Lagi dengan Angin Kasih Sayang”

“Kenapa sekarang semua harus serba terukur dan tertata? Dulu kita jalan aja—asal niatnya baik, semua lancar.” -Justru karena kita tumbuh, kita gak bisa lagi cuma andalkan niat-

Ada organisasi yang lahir dari niat baik. Ia tumbuh sebagai gerakan—organik, hangat, dan penuh kasih. Orang-orang bergabung bukan karena gaji, tapi karena kepedulian. Pemimpinnya dikenal lembut, mengayomi, dan memberi ruang. Tapi di situlah masalah bermula. Saat organisasi membesar, pola lama tetap dipertahankan: rekrutmen karena kasihan, loyalitas karena kedekatan, tanggung jawab yang tak pernah benar-benar ditanamkan.

Ketika kapal mulai oleng—karena dana makin sulit dan beban makin berat—baru disadari perlunya sistem dan profesionalisme. Orang-orang berpengalaman pun didatangkan, membawa standar dan arah kerja yang jelas. Namun, justru mereka yang ditolak. Dianggap dingin, kaku, tak punya “jiwa gerakan.” Padahal mereka bukan ancaman, melainkan penyeimbang.

Ini bukan sekadar perbedaan cara kerja, tapi benturan nilai. Organisasi yang terbiasa hidup dari rasa belum siap beralih ke cara. Ingin tetap jadi keluarga, tapi enggan diatur. Menginginkan hasil baru, tapi menolak proses baru. Ingin tumbuh, tapi alergi pada disiplin. Kenyamanan dijaga lebih ketat daripada keberlanjutan.

Literatur perubahan organisasi mencatat pola ini. Schein menyebut budaya sebagai lapisan terdalam yang paling sulit diubah. Kotter menekankan perlunya sense of urgency, tapi urgensi sering dikalahkan oleh rasa sungkan. Banyak organisasi gerakan gagal karena terlalu takut menyakiti, hingga akhirnya menyakiti dirinya sendiri. Terlalu sibuk menjaga perasaan, sampai lupa menjaga arah.

Perubahan sejati bukan soal mengganti manusia dengan mesin, tapi membangun sistem agar manusia bisa bekerja lebih bermakna. Dan itu butuh keberanian—untuk berkata bahwa cinta kerja tetap butuh batas. Peduli bukan berarti membiarkan. Profesionalisme bukan lawan dari nilai, tapi cara nilai bisa bertahan. Tanpa itu, organisasi ini mungkin terus tumbuh… sampai akhirnya tumbang💔

Pilih mana; Yang penting jalannya benar, atau Yang penting tujuannya sampai?

Pilih mana;
Yang penting jalannya benar, atau
Yang penting tujuannya sampai?

Kita hidup dalam lanskap dunia yang didesain untuk mengukur, menilai & membandingkan hasil. Dalam sistem pendidikan, pekerjaan, bahkan relasi sosial, kita dituntut menunjukkan output. Maka tak heran, banyak orang berlari, terburu-buru ingin sampai. Tapi jarang yang bertanya: apakah cara kita melangkah benar? Apakah dalam proses menuju hasil itu kita tetap utuh sebagai manusia?

Refleksi ini mengajak kita menelusuri ulang narasi modernitas yang terlalu fokus pada tujuan. Dalam studi manajemen, Chris Argyris dan Donald Schön (1974) memperkenalkan teori Theory of Action, yang membedakan antara espoused theory (nilai yang diucapkan) & theory-in-use (nilai yang nyata digunakan saat bertindak). Artinya, keberhasilan sejati bukan sekadar mencapai tujuan, tapi bagaimana nilai-nilai internal diterjemahkan dalam perilaku sepanjang proses. Jika integritas tak terjaga selama proses, hasil itu kehilangan maknanya.

Dalam ruang organisasi & kepemimpinan, pendekatan Outcome-Oriented Ethical Decision Making menegaskan bahwa keputusan yang baik bukan hanya diukur dari dampak luarnya, tapi juga dari jalan dan niat di baliknya. Dalam jangka panjang, proses yang mengorbankan etika demi hasil cenderung menghasilkan degradasi budaya, kepercayaan, dan keberlanjutan sistem. Maka pertanyaan kritisnya bukan hanya “apa yang dicapai?”, tetapi “apa yang dikorbankan dalam mencapainya?”

Islam, sebagai sistem nilai yang integral, memberikan panduan yang relevan. Proses dalam Islam bukan hanya instrumen menuju hasil, tapi justru bagian dari ibadah itu sendiri. Dalam QS. An-Najm:39 ditegaskan, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Ayat ini tidak menjanjikan hasil, tetapi mengafirmasi nilai usaha. Bahkan dalam QS. Hud:88, Nabi Syuaib menegaskan, “Wa maa tawfiqii illa billaah”—bahwa keberhasilan sejati hanyalah milik Allah. Manusia tidak diminta untuk menjamin hasil, tetapi menjaga cara.

Di sinilah titik temunya: antara teori perubahan, etika organisasi, dan spiritualitas Islam. Bahwa proses yang benar, dengan integritas dan niat yang lurus, adalah bagian dari keberhasilan itu sendiri. ✨

Kamu Sibuk Tumbuh, Tapi Siapa yang Kamu Bantu Tumbuh?

Kamu Sibuk Tumbuh, Tapi Siapa yang Kamu Bantu Tumbuh?

Kita sering terlalu sibuk membuktikan siapa diri kita, sampai lupa bertanya: siapa yang kita bantu? “Saya punya ini buat kamu” terdengar baik, tapi tetap saja tentang saya. Tentang apa yang saya miliki. Coba balik kalimatnya : “Apa yang bisa saya bantu untuk kamu?” Seketika pusatnya bergeser.

Dari ego ke empati. Dari klaim ke kontribusi. Mezirow menyebut ini transformative learning—momen saat perspektif pecah dan lahir cara pandang baru yang lebih manusiawi.

Saat bicara usaha, kita sering tanya: “Gimana cara ngembangin usaha kita?” Tapi siapa peduli kalau usahamu besar, tapi tak ada yang terbantu? Ubah pertanyaannya: “Bagaimana usaha ini bisa membantu orang yang benar-benar membutuhkan?” Inilah inti human-centered innovation—inovasi yang lahir dari empati, bukan ambisi. Usaha bukan soal jualan lebih banyak, tapi menyelesaikan masalah lebih dalam. Bukan soal jadi hebat, tapi jadi berarti.

Niat membantu pun bisa keliru arah. Contoh “Kami ingin bantu Warung Tegal”, tapi siapa sebenarnya yang dibantu? Warungnya? Atau orang di baliknya? Saat kita bilang “Kami ingin bantu pemilik Warung Tegal,” fokusnya bergeser. Bukan lagi tentang tempat, tapi tentang orang. Tentang wajah, nama, & cerita. Di situlah servant leadership bekerja: memimpin bukan untuk terlihat, tapi untuk menguatkan.

Mindset ini bukan sekadar idealisme. Ini fondasi strategi yang kuat. Di dunia yang riuh, yang paling didengar justru yang paling tulus. Kalau usaha dibangun dari ego, orang mungkin datang sekali lalu pergi. Tapi jika dibangun dari peduli, mereka tinggal dan tumbuh bersama. Value proposition design mengingatkan: orang tak beli produk, mereka beli solusi untuk luka mereka. Dan hanya yang benar-benar mau mendengar yang bisa memberi itu.

Kalau ingin berubah, jangan buru-buru ubah rencana. Ubah dulu pertanyaannya. Dari “Apa yang dunia harus tahu tentang saya?” jadi “Apa yang saya perlu tahu tentang dunia?” Dari “Kenapa belum ada yang bantu saya?” jadi “Siapa yang belum saya bantu?” Mungkin bukan alatmu yang kurang. Tapi caramu melihat yang masih sempit. Dan kadang, perubahan besar dimulai dari membalik satu kalimat, membuka mata hati✨

Beneran udah kerja bener?

Beneran udah kerja bener?

Jika dosen masuk kelas, tapi mahasiswa tak kunjung pintar—mana output, mana outcomes?” Pertanyaan yang kerap saya lontarkan pada setiap sesi kelas.

Lalu saya tanya lagi pertanyaan lainnya: Kalau mahasiswa tak kunjung pintar, apakah dosen tetap dibayar? Hampir semua menjawab: “Ya, karena dosennya sudah mengajar.”✨

Dan di situlah masalahnya. Kita terbiasa mengukur kerja dari apa yang dilakukan—bukan dari apa yang ditumbuhkan.

Seolah selama tangan bergerak, kepala tak perlu berpikir. Seolah kewajiban berhenti saat tugas dicentang, bukan saat manfaatnya terasa nyata.

Kita sering mengira kewajiban adalah hadir, mengerjakan, menyetor hasil. Padahal, itu baru permukaan. Kewajiban sejati adalah mengusahakan dampak. Bukan wajib mengajar, tapi wajib membuat orang paham. Bukan wajib memimpin, tapi wajib memastikan ada yang lebih berdaya karena dipimpin. Kalau hasil kerjamu tak membuat siapa pun jadi lebih kuat, lebih paham, atau lebih siap—apa gunanya kamu dibayar?✨

“Yang penting aku sudah kerja.”
Kalimat itu terdengar profesional, tapi kosong makna. Apalah arti kerja jika tidak ada yang berubah, tidak ada yang bertumbuh, tidak ada yang terbantu. Dunia ini tak kekurangan orang sibuk. Tapi terlalu sedikit yang benar-benar sadar: bekerja itu bukan soal menyelesaikan tugas, tapi menumbuhkan manfaat.❤️

Dan ya—tidak semua peran bersinar di garis depan. Tapi setiap peran bisa berdampak, kalau diarahkan dengan sadar. Staf admin, petugas keamanan, supir operasional—semua bisa jadi bagian dari kerja yang membuat hidup orang lain jadi lebih utuh. Yang penting bukan di mana kamu berdiri. Tapi apa yang kamu tegakkan lewat pekerjaan kamu.

Jadi, lain kali kamu merasa sudah bekerja keras, tanya ini:
“Apa yang lebih baik karena aku hadir?”

Kalau jawabannya hanya, “pekerjaan selesai”, mungkin kita belum sungguh bekerja. Karena kerja yang hanya menyelesaikan, tapi tak meninggalkan manfaat, hanyalah kesibukan tanpa arah. Dan dunia tak butuh lebih banyak kesibukan. Dunia butuh lebih banyak manfaat.✨

Mendengar itu mudah!

“Mendengar itu mudah!”
Ah, yang bener!

Semakin sering hadir di ruang rapat, kelas, atau diskusi, makin jelas bahwa mendengar bukan soal telinga—tapi soal kehadiran. Carl Rogers menyebut active listening sebagai hadir sepenuhnya, tanpa menghakimi, tanpa buru-buru membalas. Mendengar sejati bukan tentang diam saat orang bicara, tapi memberi ruang bagi mereka merasa benar-benar dilihat dan dihargai.

Martin Buber menyebut relasi semacam ini sebagai “Aku–Engkau”—relasi yang melihat orang lain sebagai subjek, bukan objek. Di tengah dunia yang penuh opini dan interupsi, mendengar dengan tulus jadi kemampuan langka! Kita lebih sibuk merespons daripada memahami. Padahal sering kali, yang dibutuhkan bukan solusi atau saran, melainkan seseorang yang benar-benar mau mendengarkan tanpa syarat.

Tapi jujur deh: mendengar seperti ini tak datang begitu saja. Ada levelnya. Otto Scharmer dalam Theory U menyebutkan bahwa mendengar bisa dangkal, bisa juga transformatif. Di tingkat paling rendah—downloading—kita hanya menangkap apa yang ingin kita dengar. Tapi di tingkat tertinggi, generative listening, kita hadir dengan keterbukaan penuh, bahkan terhadap hal yang belum pernah terbayangkan. Di titik ini, mendengar bukan lagi soal memahami masa lalu, tapi merasakan potensi masa depan. Namun… mendengar di level ini butuh sesuatu yang sering luput kita bangun: rasa aman.

Di sinilah peran psychological safety, seperti dijelaskan Amy Edmondson. Mendengar mendalam hanya mungkin jika ada ruang yang membuat orang merasa diterima, tidak dihakimi & bebas mengungkapkan diri. Ini bukan soal keras atau lembut, tapi kepercayaan. Dalam ruang yang aman secara psikologis, orang berani bicara, bereksperimen, dan berbagi ide tanpa takut salah. Dan itulah titik di mana mendengar bukan cuma aktivitas personal—tapi fondasi dari budaya kolaboratif.

Itulah kenapa Design Thinking selalu dimulai dari empati. Tanpa mendengar, tak ada empati, tanpa empati, inovasi kehilangan arah. Mendengar membantu kita menangkap kebutuhan tersembunyi, melampaui asumsi & mencipta solusi yang bermakna. Di sini, mendengar bukan keterampilan tambahan—yapi kunci utama dalam menciptakan perubahan yang relevan & memanusiakan✨

Memilah Teman, Menyaring Arah

Memilah Teman, Menyaring Arah

Di era yang penuh koneksi, kita sering salah kaprah membangun relasi. Kita kira sering berinteraksi berarti dekat, padahal tidak semua orang yang sering berbincang layak disebut teman—apalagi teman kolaborasi. Baik dalam konteks pribadi maupun profesional, pertemanan yang sehat butuh satu hal mendasar: tujuan bersama. Tanpa arah yang jelas, obrolan yang terasa hangat bisa jadi jebakan emosional, membelokkan perhatian dari hal-hal substansial ke ranah personal.

Dalam relasi kolaboratif, kedekatan emosional saja tidak cukup. Radical Collaboration – Tamm & Luyet—menekankan pentingnya visi bersama, saling menghargai, dan komunikasi yang jujur. Tanpa fondasi ini, relasi mudah terjebak dalam percakapan yang dangkal & rentan konflik, karena tidak ada kesepakatan arah. Kita bisa terlalu cepat terbuka, tanpa menyadari bahwa lawan bicara belum siap menjadi bagian dari ruang yang sama.

Konsep ini sejalan dengan Circle of Trust – Parker J. Palmer, yang menyarankan agar kita hanya berbagi hal mendalam kepada mereka yang benar-benar bisa menjaga arah dan kepercayaan. Prinsip ini bukan soal menutup diri, tapi menjaga agar relasi tetap sehat. Dalam kolaborasi, ini berarti menjaga diskusi tetap fokus, jujur & aman. Tidak semua orang yang terlihat dekat, benar-benar memahami kemana kita sedang melangkah.

Jika arah sudah tak lagi sama, tidak apa-apa menurunkan status relasi: dari teman jadi kenalan, dari kolaborator jadi rekan biasa. Ini bukan sikap eksklusif, tapi cara mengelola energi dan arah. Kita tak bisa melangkah jauh dengan orang yang bergerak ke arah berlawanan. Karena itu, perlu keberanian untuk mengevaluasi ulang: siapa yang menumbuhkan, siapa yang sekadar mengisi ruang.

Akhirnya, memilih teman kolaboratif bukan soal membatasi, tapi soal mengarahkan. Di dunia kerja, komunitas, bahkan kehidupan spiritual, relasi terbaik adalah yang menjaga kita tetap pada tujuan—bukan yang menguras perhatian pada hal personal yang tak perlu. Semakin jelas arah kita, semakin mudah membangun kolaborasi yang jujur, bermakna & berdampak. Karena di dunia yang bising ini, kita tak butuh banyak suara—kita butuh gema dari arah yang sejalan✨