Tidak sekedar menghentikan tunjangan yang besar

Tidak sekedar menghentikan tunjangan yang besar;

Sesungguhnya, yang paling berbahaya bukanlah besaran gaji atau fasilitas yang melekat pada jabatan, melainkan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan adalah ruang yang rawan karena di sana ada peluang untuk mengatur, menentukan, dan bahkan memonopoli hidup banyak orang. Bila tidak dikendalikan oleh moralitas, integritas, dan empati, maka kekuasaan bisa berubah menjadi alat penindasan.

Lord Acton pernah mengingatkan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kutipan ini menunjukkan bahwa tanpa mekanisme kontrol; baik dari hati nurani, hukum, maupun masyarakat, kekuasaan mudah berubah menjadi bencana bagi rakyat.

Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an memberikan peringatan keras bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan titipan yang harus dipertanggungjawabkan dengan adil. Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda:

“Kepemimpinan itu amanah. Dan pada hari kiamat nanti, ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang menunaikan amanahnya dengan benar dan menunaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.”
(HR. Muslim)

Hannah Arendt mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa legitimasi rakyat akan runtuh karena hanya bertumpu pada paksaan. Pemimpin bijak mestinya sederhana dan menggunakan kekuasaan untuk kebermanfaatan, sebab tanpa empati ia menjadi penindasan, namun dengan moral dan kasih sayang ia menjadi rahmat bagi rakyat.

Culture of Silence

Bersua mahasiswa yang kesulitan menentukan judul penelitian bukan karena kehabisan masalah, tapi karena kehilangan kepekaan. Hidup mereka cukup, aman, dan terlepas dari realitas yang getir. Kemiskinan, ketimpangan, atau ketidakadilan tak terasa sebagai luka, karena tidak pernah benar-benar disentuh. Seperti kata Martha Nussbaum (2010), pendidikan tanpa empati hanya akan mencetak teknokrat tanpa nurani. Ketika mahasiswa tidak merasa terganggu oleh ketimpangan di sekitarnya, berpikir kritis pun kehilangan arah: ia jadi rutinitas akademik, bukan alat perubahan.

Yang lebih menyedihkan, kampus justru sering ikut melumpuhkan kepekaan itu. Mahasiswa diajak menghafal teori sosial, tapi tidak pernah diajak menyapa dunia nyata. Paulo Freire (1970) menyebut ini sebagai culture of silence, ketika sistem pendidikan meninabobokan nalar & menghapus kegelisahan. Mahasiswa sibuk menyusun proposal, tapi jarang bertemu warga yang menjadi subjek penderitaan. Mereka bicara soal ketimpangan dari balik layar laptop, tanpa pernah berjalan di gang sempit, pasar becek, atau desa yang terpinggirkan. Kampus jadi ruang simulasi berpikir, tapi kehilangan keberanian untuk merasa.

Padahal, judul yang bermakna lahir dari kegelisahan, bukan sekadar literature gap. Seperti diingatkan Judith Butler (2009), empati adalah fondasi dari dorongan moral untuk bertindak. Jika mahasiswa tak pernah terusik oleh anak putus sekolah, oleh petani yang kalah di pasar, atau oleh warga yang kehilangan akses layanan dasar, maka riset yang mereka buat akan kosong dari keberpihakan. Mereka menulis karena disuruh, bukan karena tergugah. Skripsi pun menjadi laporan, bukan langkah awal untuk memperbaiki keadaan.

Indonesia tak butuh lebih banyak lulusan yang sekadar cerdas. Kita butuh lebih banyak mahasiswa yang gelisah, yang pikirannya tajam & hatinya terhubung. Yang tak bisa tidur saat melihat ketidakadilan. Bell hooks (1994) menulis; pendidikan yang membebaskan adalah yang mampu mengguncang kenyamanan. Jika kampus hanya mencetak mahasiswa yang mengejar nilai, tapi tak tahu harus peduli pada siapa, maka kita sedang gagal. Gagal mencetak manusia yang utuh. Dan itu bukan sekadar kegagalan akademik, tapi moral💔

Kalau Program Itu untuk Warga, Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Kalau Program Itu untuk Warga,
Kenapa Kita Tak Pernah Bertanya pada Warga?

Coba kita jujur sebentar: berapa banyak program yang kita jalankan, tapi tak pernah benar-benar hidup di masyarakat? Poster kegiatan ditempel. Undangan rapat dibagikan. Tapi warga datang hanya karena diminta RT, bukan karena merasa butuh. Bahkan tak sedikit program selesai sesuai jadwal, laporan rapi, dana terserap, tapi setelah itu? Sepi. Tak ada yang berubah. Seolah-olah semuanya hanya rutinitas administratif, bukan upaya membangun kehidupan yang lebih baik.

Masalahnya sederhana tapi sering diabaikan: kita terlalu sering merancang program tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Kita menebak-nebak. Kita kira mereka butuh pelatihan, padahal mereka sedang sibuk bertahan hidup. Kita kira mereka kurang pengetahuan, padahal mereka sedang kehilangan rasa percaya. Kita membuat program atas nama mereka, tapi jarang bersama mereka. Inilah mengapa banyak program jadi “asing” di tengah rumah sendiri.

Program yang berpihak pada pengguna, user-centric, berarti kita memulai bukan dari asumsi, tapi dari mendengar. Dari duduk bersama warga, bertanya apa yang sebenarnya menyulitkan, dan apa yang membuat mereka tetap bertahan. Baru setelah itu kita bicara solusi. Mungkin solusinya bukan pelatihan, tapi ruang aman. Bukan sosialisasi, tapi teman bicara. Bukan bantuan, tapi akses dan kepercayaan. Saat kita mau mendengarkan, kita akan menyadari bahwa warga bukan “sasaran program,” tapi justru pemilik persoalan dan potensi.

Karena pada akhirnya, program bukan soal berapa banyak kegiatan yang kita laksanakan. Tapi apakah hidup seseorang menjadi sedikit lebih tenang, sedikit lebih kuat, sedikit lebih punya harapan. Kalau kita tak merancang dari situ, untuk siapa sebenarnya program ini dibuat?

Liberating Structures

Apakah Liberating Structures (LS), yang biasa dipakai para Agilist untuk memfasilitasi kolaborasi, bisa juga diterapkan di ruang kelas? Untuk apa LS hadir di pendidikan tinggi? Pertanyaan ini penting, karena mahasiswa sering tampak hadir dan mencatat, tetapi tidak sungguh belajar. Jika proses belajar tidak mengubah cara berpikir dan bertindak mahasiswa, maka Outcome-Based Education (OBE) kehilangan maknanya sebagai kerangka capaian kompetensi.

Hari ini kami memandu dosen-dosen Teknik Industri dalam sesi terkait OBE dan delivery method. Pertanyaan dasarnya: apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi, atau hanya sekadar lulus ujian? Banyak CPL tertulis rapi di RPS, tetapi di kelas mahasiswa tetap pasif. Kelas terlihat tertib, namun apakah ketertiban itu berarti belajar? Jika demikian, OBE hanya berhenti di dokumen.

Untuk menjembatani kesenjangan itu, kami memperkenalkan LS sebagai teknik fasilitasi dalam delivery method. Ada 33 cara yang kaya dan mudah untuk menghidupkan kelas. Nine Whys membantu menajamkan masalah produksi, 1-2-4-All memastikan semua mahasiswa menyumbang ide, dan What, So What, Now What menuntun refleksi setelah simulasi. LS sederhana, tidak membutuhkan sumber daya besar, tetapi mampu mengubah dinamika: mahasiswa yang biasanya diam ikut terlibat, dan CPL tidak hanya tertulis, tetapi dialami.

LS juga menuntut transformasi dosen. Kita terbiasa menjadi pusat jawaban, padahal mahasiswa belajar lebih dalam ketika diberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan menemukan solusi. Seperti fasilitator Agile yang memandu tim, dosen perlu bergeser dari instruktur tunggal menjadi fasilitator proses belajar. Integrasi OBE dan LS menegaskan: hasil belajar tidak cukup berupa nilai, tetapi harus nyata dalam kompetensi dan perubahan pola pikir. Pertanyaannya: apakah kita puas dengan kelas yang tenang tapi kosong, atau berani membangun kelas yang riuh, penuh ide, dan transformatif?

Berapa Harga Jaket Almamatermu?

Pernah lihat konten “Berapa Harga Jaket Almamatermu?

Fenomena ini hanyalah permukaan dari masalah yang lebih serius. Sebagian kampus memilih jalan pintas: menjual kursi kuliah dengan harga selangit. Seleksi akademik yang mestinya jadi pintu utama, tergeser oleh daya beli orang tua. Akibatnya, masuk universitas tidak lagi ditentukan oleh kecerdasan & kerja keras, melainkan oleh kemampuan finansial.

Dampaknya tidak berhenti pada level individu. Motivasi belajar mahasiswa baru bisa luntur karena merasa akses mereka sudah “dibeli.” Prinsip meritokrasi tergerus, reputasi akademik melemah & dalam jangka panjang kualitas SDM bangsa ikut terancam. Pendidikan tinggi yang semestinya jadi jalan mobilitas sosial justru berisiko memperlebar jurang ketidakadilan & menurunkan kepercayaan publik. Solusi tidak bisa berhenti pada diversifikasi pemasukan. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: universitas harus bertransformasi dari lembaga yang menjual kursi menjadi ekosistem pencipta nilai.

Pendapatan universitas tidak pantas lagi diperlakukan sebagai “pos pemasukan,” melainkan sebagai efek samping dari mesin pencipta nilai. Kampus yang sibuk menghitung uang pangkal. Universitas sejati justru bekerja dengan mencetak valuta pengetahuan: teknologi yang dipakai industri, solusi yang memperbaiki kota, gagasan yang menyehatkan demokrasi, hingga gerakan sosial yang mengubah wajah masyarakat. Dukungan finansial akan datang dengan sendirinya ketika ia konsisten menumbuhkan solusi, gagasan & manusia pembawa perubahan.Uang menjadi konsekuensi logis dari relevansi & kebermanfaatan, bukan tujuan utama yang dipaksa lewat harga kursi kuliah.

MIT atau NUS misalnya, memperlihatkan bahwa kekuatan mereka bukan dari uang pangkal, tapi dari inovasi & relevansi. Indonesia pun punya potensi serupa, jika berani menggeser mindset. Universitas yang visioner tidak menjadikan kursi kuliah sbg komoditas. Mereka bersaing dalam menghasilkan inovasi, pengetahuan & dampak sosial. Jaket almamater mestinya melambangkan perjuangan intelektual, bukan harga. Karena itu, komitmen baru perlu ditagih bukan hanya dari kampus, tapi juga dari pemerintah, mahasiswa, alumni & masyarakat luas.

Tag Univ kamu!

Model Bisnis Bukan Soal Menang Sendiri, Tapi Menang Bersama Pelanggan

Dalam dunia bisnis yang kian kompetitif & terhubung, kita tak bisa lagi berpikir linier bahwa kualitas tinggi harus dibayar dengan harga tinggi, atau bahwa satu-satunya sumber keuntungan adalah dari transaksi langsung pelanggan. Justru tantangan zaman ini adalah: bagaimana menciptakan produk sebaik mungkin, dengan harga semurah mungkin, & tetap menghasilkan keuntungan setinggi mungkin. Inilah esensi dari non-linear business model thinking. Pendekatan ini menantang logika lama dan mendorong kita berpikir ulang: bagaimana value diciptakan, dibagikan, dan ditangkap secara cerdas? (Osterwalder & Pigneur, 2010)

Berpikir non-linear berarti tidak terpaku pada satu jalur nilai antara produk dan pelanggan. Kita bisa merancang model bisnis yang memungkinkan harga tetap terjangkau tanpa memiskinkan organisasi. Contohnya, banyak model freemium memungkinkan pengguna mendapatkan layanan gratis, sementara fitur lanjutan dijual ke segmen premium. Model cross-subsidy memungkinkan pelanggan membayar murah karena sebagian biaya ditanggung sponsor, mitra, atau segmen lain. Platform seperti Gojek atau Tokopedia juga tidak hanya mengandalkan margin transaksi, tapi memonetisasi lewat data, iklan, hingga layanan keuangan (Zengler & Bogers, 2021). Jadi bukan sekadar menjual produk, tapi merancang ekosistem nilai yang berlapis.

Di sinilah pentingnya evaluasi menyeluruh atas proses dan model bisnis. Jangan cuma fokus “jualan-jualan-jualan”, tapi refleksikan: apakah sistem kita masih relevan dan revenue-nya optimal? Seperti disoroti Johnson dkk. (2008), inovasi model bisnis sering lebih berdampak daripada sekadar inovasi produk. Tanpa riset pasar, umpan balik pelanggan, & simulasi model pendapatan, organisasi bisa stagnan, bukan karena produknya buruk, tapi karena modelnya tak lagi cocok dengan zamannya.

Ekosistem bukan sekadar jaringan, tapi mekanisme keberlanjutan bersama. Kolaborasi lintas aktor—mitra, komunitas, pemerintah, hingga sponsor, harus jadi bagian dari desain nilai. Sejalan dengan purpose-driven business (Mackey & Sisodia, 2013), organisasi bisa tetap bermisi sosial tanpa mengorbankan finansial. Prinsipnya: untung karena berpikir cerdas, bukan karena membebani pelanggan.

Presentasi Inovasi Yang Efektif

Kalau kita bicara tentang presentasi inovasi, banyak orang langsung membayangkan slide yang penuh angka, grafik, dan kata-kata keren. Padahal, inti dari sebuah presentasi bukanlah seberapa canggih desainnya, melainkan seberapa dalam ia bisa menyentuh pikiran dan hati audiens. Di banyak kompetisi atau forum strategis, saya melihat satu hal yang membedakan pemenang dan yang biasa-biasa saja: kemampuannya menceritakan perjalanan ide menjadi solusi, dan membuat pendengar merasa ikut “memiliki” masalah yang sedang dipecahkan.

Di banyak organisasi, inovasi bukanlah sekadar mencari solusi teknis. Kita bicara tentang bagaimana ide itu lahir dari kenyataan di lapangan, bertemu dengan kebutuhan pelanggan, lalu diolah bersama tim hingga menjadi terobosan yang nyata. Presentasi menjadi panggung untuk membuktikan bahwa ide kita tidak hanya “pantas didengar”, tapi juga “pantas didukung” dan “pantas dijalankan”. Ini adalah momen untuk menunjukkan bahwa inovasi kita punya napas, punya nyawa, dan punya arah yang jelas.

Sayangnya, sering kali presentasi berhenti di level “menjelaskan” tanpa benar-benar “mengajak”. Padahal audiens, baik itu juri, manajemen, atau mitra, tidak hanya ingin tahu apa inovasinya, tapi juga kenapa mereka harus percaya dan bagaimana mereka bisa ikut mendorongnya maju. Di titik ini, presentasi bukan lagi sekadar alat komunikasi, tapi alat untuk membangun aliansi, dukungan, dan bahkan komitmen jangka panjang terhadap inovasi yang kita usung.

Itulah kenapa kita perlu menguasainya bukan sekadar untuk mengasah kemampuan teknis membuat slide, tetapi juga untuk melatih keterampilan bercerita yang relevan, mengalir, dan berdampak. Belajar membedah presentasi inovasi sebagai perpaduan antara data, narasi, dan emosi, tiga unsur yang jika berpadu dengan tepat, akan membuat audiens tidak hanya mengerti, tapi juga percaya dan tergerak. Sebab pada akhirnya, inovasi yang hebat butuh cerita yang hebat untuk menggerakkannya.

Siapa nih yang mau belajar bikin presentasi inovasi yang efektif? belajar bareng yuk!

Dari Donor ke Kemandirian: Merayakan Lompatan Peran NGO

Dari Donor ke Kemandirian:
Merayakan Lompatan Peran NGO

Banyak NGO telah membuktikan diri sebagai penggerak perubahan sosial yang nyata, dengan dukungan para donor yang penuh kepercayaan. Hibah telah menjadi energi yang menghidupkan program, menginspirasi masyarakat, dan membawa dampak positif yang tak terhitung. Kini, kita berada di titik baru: kesempatan untuk melangkah lebih jauh, membangun kemandirian agar kiprah kita semakin kokoh dan berjangka panjang.

Kita memiliki aset yang luar biasa: jaringan yang luas, reputasi yang kuat, dan kepercayaan stakeholder yang telah dipupuk bertahun-tahun. Semua modal ini adalah landasan yang sempurna untuk menciptakan sumber pendanaan beragam, memperluas inovasi, dan memperkuat posisi kita sebagai pemimpin agenda perubahan. Kemandirian membuka ruang untuk kita mengarahkan visi tanpa batas, sambil tetap menjalin hubungan harmonis dengan para mitra donor.

Transformasi menuju kemandirian adalah perjalanan pertumbuhan. Ini bukan sekadar mengganti sumber dana, melainkan memperkaya kapasitas organisasi, membangun tim yang adaptif, menguatkan struktur, dan menumbuhkan budaya kolaborasi yang terus berkembang. Dengan langkah ini, kita tidak lagi hanya menunggu peluang, tetapi aktif menciptakannya.

Hibah akan tetap menjadi sahabat yang berharga, tetapi perannya bergeser menjadi pemicu lompatan, bukan satu-satunya penopang. Dengan model keberlanjutan yang seimbang antara misi sosial dan kekuatan finansial, kita memastikan organisasi mampu melangkah jauh ke depan. Saatnya kita merayakan peran baru: bukan hanya pelaksana, tetapi penggagas dan pengarah perubahan. Masa depan NGO yang tangguh ada di sini, dimulai dari kita, hari ini🎉

Diversity tanpa strategi = drama tanpa akhir.

Diversity tanpa strategi = drama tanpa akhir.

Kita sering mengagungkan keberagaman tim seolah itu tiket pasti menuju kinerja tinggi. Padahal, faktanya tidak sesederhana itu. Riset meta-analisis oleh Stahl, Maznevski, Jonsen, & Voigt (2009) membuktikan: keberagaman hanyalah bahan mentah, bukan jaminan hasil. Tim beragam bisa jadi sumber inovasi luar biasa, tapi bisa juga menjadi ladang drama, konflik, dan kegagalan. Ibarat dapur dengan banyak koki, kalau resepnya tidak disepakati, yang keluar bukan masakan istimewa, tapi kekacauan.

Masalahnya, banyak pemimpin terjebak euforia “punya tim beragam” tanpa sadar bahwa perbedaan yang tak dikelola akan meledak di wajah mereka. Perbedaan cara kerja, nilai, dan prioritas (deep-level diversity) bisa memicu task conflict yang sehat, tapi lebih sering berubah jadi relationship conflict yang menghancurkan kohesi (Jehn, 1995). Horwitz & Horwitz (2007) menambahkan, tanpa mekanisme kolaborasi yang jelas, keberagaman justru memperlambat kerja. Apalagi jika faktor-faktor seperti jumlah anggota yang terlalu besar, tugas yang rumit, dan durasi kebersamaan yang singkat tidak diantisipasi (Stahl et al., 2009).

Kekuatan keberagaman baru terasa ketika diarahkan untuk memecahkan masalah kompleks yang menuntut perspektif multi-disiplin (van Knippenberg, De Dreu, & Homan, 2004). Di sini, perbedaan bukan sekadar identitas di permukaan (surface-level diversity), tetapi juga cara berpikir, nilai, dan pengalaman yang saling melengkapi. Namun, semua itu sia-sia tanpa kepemimpinan inklusif (Nishii, 2013), struktur yang jelas, dan psychological safety yang membuat semua orang berani bicara, bahkan jika pendapatnya bertentangan dengan mayoritas.

Jadi, mari berhenti membanggakan “tim beragam” hanya karena foto tim terlihat penuh warna. Keberagaman yang tidak dikelola adalah liabilitas, bukan aset. Pemimpin sejati bukan hanya mengumpulkan perbedaan, tapi mengorkestrasinya menjadi kekuatan yang terukur. Pertanyaannya: apakah tim kamu benar-benar memanfaatkan keberagaman untuk menang, atau sekadar memamerkannya demi citra?

Pitching with purpose

Banyak orang mengira pitching itu soal jualan ide secepat dan sejelas mungkin. Padahal, riset menunjukkan audiens jarang mengingat detail teknis, tapi selalu ingat alasan kenapa sesuatu penting buat mereka (Heath & Heath, Made to Stick, 2007). Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana perhatian jadi komoditas langka (Davenport & Beck, 2001), pitch kita harus punya satu misi: bikin kita peduli dulu, baru paham. Kalau kita belum merasa ini urusan kita, sebaik apapun idenya, kemungkinan besar akan lewat begitu saja.

Kesalahan paling sering adalah terjebak di fitur. Produk kami punya ini, sistem kami bisa itu. Sayangnya, kita tidak membeli fitur; kita membeli solusi untuk rasa sakit kita. Eric Ries dalam The Lean Startup (2011) menekankan bahwa solusi harus divalidasi oleh masalah nyata, bukan asumsi. Pitch yang berorientasi tujuan mengubah narasi dari “Kami punya teknologi hebat” menjadi “Inilah cara kita menghapus masalah yang bikin pusing selama ini, dengan cara yang belum pernah ada.” Begitu kita merasa masalahnya disentuh, koneksi emosional mulai terbentuk, dan itu yang bikin pitch hidup.

Masalahnya, koneksi emosional saja belum cukup. Di tahap berikutnya, kita harus bicara dengan bahasa dampak. Cialdini (2016) di Pre-Suasion bilang, otak manusia lebih cepat percaya kalau ada bukti nyata dan proyeksi hasil yang bisa diukur. Artinya, jangan berhenti di klaim. Tunjukkan data: berapa jam yang dihemat, berapa biaya yang dipotong, berapa kecelakaan yang bisa dihindari, atau berapa peluang baru yang tercipta. Tanpa angka, klaim kita hanya terdengar seperti harapan; dengan angka, ia berubah jadi janji yang punya bobot.

Terakhir, jangan lupa bikin kita merasa jadi bagian dari cerita. Seth Godin (2018) dalam This Is Marketing menyebutnya people like us do things like this, membuat kita merasa terlibat, bukan cuma nonton. Penutup pitch harus jadi undangan yang spesifik, bukan sekadar “kami butuh dukungan”, tapi “dengan ikut di sini, kita akan mengubah cara kita mengelola X untuk jutaan orang”. Kalau pitch punya tujuan yang jelas dan mengajak kita untuk bergerak, bukan cuma menang di kompetisi, tapi juga menciptakan gerakan.

Pitching with purpose @plnip.ubppriok ✨