Insan Pembuka Pintu Kebaikan & Penutup Pintu Keburukan

Ada manusia yang kehadirannya membuka jalan bagi cahaya, menenangkan dalam perkataan, menguatkan dalam tindakan, dan menuntun dalam diamnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Dan di antara manusia ada pula yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan…” (HR. Ibnu Majah). Pertanyaannya bagi kita bukan sekadar “siapa mereka?”, tapi lebih dalam: “apakah hari ini aku menjadi salah satunya?”

Kebaikan tidak selalu hadir dalam bentuk besar atau dramatis. Ia bisa tampak saat kita memberi peluang kerja kepada teman yang sedang kesulitan, membela seseorang yang diperlakukan tidak adil, atau sekadar memperkenalkan dua orang yang akhirnya saling menolong. Kadang kita lupa bahwa menjadi penghubung, penguat, atau penyambung informasi pun bisa membuka jalan-jalan baru yang berdampak nyata. Kebaikan tumbuh dari kepekaan, bukan dari sorotan.

Namun, yang sering luput dari kesadaran kita adalah bahwa membiarkan keburukan berjalan juga bagian dari peran. Ketika kita tahu ada yang salah, tapi memilih diam karena tak ingin repot. Ketika kita mampu mencegah, tapi enggan melangkah karena tidak nyaman. Sikap pasif itu bukan tanpa akibat, ia bisa menjadi pupuk bagi tumbuhnya kemungkaran. Diam yang membiarkan bisa jadi lebih tajam dari kata-kata yang menyesatkan.

Maka doa paling penting hari ini mungkin bukan lagi soal rezeki atau pencapaian. Tapi: “Ya Allah, jadikan aku kunci pembuka bagi kebaikan dan penutup bagi keburukan.” Sebab pada akhirnya, keberkahan hidup tak diukur dari seberapa besar panggung yang kita pijak, tapi dari seberapa banyak pintu kebaikan yang terbuka lewat keberadaan kita, meski dalam langkah-langkah yang sunyi.

Selamat menebar kebaikan!🚀

Niat Tulus Untuk Kembali Membangun Kampung Halaman

Pagi ini, di ruang sidang kami, hadir sebuah skripsi yang tak hanya memuat teori dan metodologi, tapi juga niat tulus untuk kembali membangun kampung halaman. Mahasiswa ini tumbuh di Binongjati, kawasan yang dulu dikenal sebagai sentra rajut rumahan yang hidup dan produktif. Ia menyaksikan langsung bagaimana perubahan zaman membuat geliat ekonomi di lingkungannya perlahan meredup. Namun alih-alih berpaling, ia memilih kembali, membawa ilmu dan semangat baru untuk menghidupkan kembali potensi yang sempat terlupakan.

Lewat Be-Fair-Trade-Knit, ia merancang model bisnis sosial berbasis keperantaraan, menghubungkan para perajut lokal dengan pasar yang lebih luas dan berkeadilan. Ia percaya bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang tumbuh bersama. Produk-produk rajutan yang sebelumnya bernilai rendah di pasar lokal kini bisa memiliki harga yang lebih layak, dengan pembagian keuntungan yang adil dan transparan. Inisiatif ini bukan semata bisnis, melainkan upaya membangun ekosistem baru yang memberi ruang bagi para pelaku lokal untuk kembali berdaya.

Warga Binongjati memiliki kekuatan yang luar biasa, dalam keterampilan, semangat, dan daya tahan. Yang mereka butuhkan adalah jembatan, ruang kolaborasi, dan sistem yang berpihak. Skripsi ini menjadi salah satu upaya ke arah itu. Ia tidak datang dengan janji-janji besar, tapi dengan langkah nyata: merajut kembali koneksi antara komunitas, pasar, dan nilai-nilai keberlanjutan. Ini adalah bentuk kontribusi yang lahir dari kedekatan, bukan dari jarak. Dan justru karena itu, punya peluang untuk tumbuh kuat dari dalam.

Apa yang kami saksikan pagi ini adalah awal dari perjalanan yang menjanjikan. Ketika ilmu yang dipelajari di bangku kuliah dipadukan dengan kepedulian terhadap lingkungan asal, maka lahirlah inisiatif-inisiatif yang berdampak. Bukan sekadar untuk menyelesaikan studi, tapi untuk membuka jalan baru bagi banyak orang. Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa kembali membangun kampung bukan langkah mundur, melainkan lompatan menuju masa depan yang lebih adil dan bermakna.

Dibimbing bersama @galihsedayu

Tiga Kunci Inovasi

Kreativitas bukan sekadar menciptakan hal baru, tetapi memastikan hal yang penting benar-benar sampai pada yang membutuhkan. Dalam inovasi sosial dan bisnis berdampak, kreativitas menjadi keharusan, namun belum tentu berpihak. Banyak solusi tampak menarik namun gagal menjawab kebutuhan riil. Karena itu, penting memahami tiga level kreativitas: dari menciptakan solusi, membangun model bisnis yang adil, hingga menciptakan kolaborasi ekosistem yang berkelanjutan.

Level pertama, kreativitas solusi, fokus pada pemecahan masalah nyata pengguna. Mengacu pada pendekatan Jobs to Be Done (Christensen et al., 2016), solusi harus menyentuh aspek fungsional, emosional, dan sosial. Alat seperti Value Proposition Canvas (Osterwalder et al., 2014) membantu memahami kebutuhan pengguna, sementara co-creation (Prahalad & Ramaswamy, 2004) menempatkan mereka sebagai mitra aktif. Di sini, kreativitas lahir dari empati, bukan dari teknologi semata.

Level kedua, kreativitas model bisnis, menekankan pentingnya sistem yang efisien dan berpihak. Dengan kerangka Business Model Canvas (Osterwalder & Pigneur, 2010), organisasi didorong merancang struktur biaya dan pendapatan yang membuka akses, bukan membebani pengguna. Melalui strategi seperti subsidi silang dan kolaborasi lintas sektor (Yunus et al., 2010), kreativitas diarahkan untuk menciptakan kebermanfaatan yang berkelanjutan.

Level ketiga, kreativitas ekosistem, mendorong kolaborasi lintas sektor untuk pertumbuhan bersama. Kemitraan tidak hanya soal efisiensi, tapi menciptakan shared value (Porter & Kramer, 2011) melalui radical collaboration (Austin & Seitanidi, 2012). Di level ini, organisasi tak sekadar membangun produk, tetapi memperkuat sistem yang memungkinkan dampak luas dan berjangka panjang. Kreativitas tertinggi adalah tentang menyambungkan kekuatan untuk kebaikan bersama.

Koperasi Merah Putih

Dalam sebuah perbincangan hangat bersama kawan-kawan di Kementerian Koperasi, muncul satu pertanyaan yang menggugah: Apa yang bisa kami bantu? Pertanyaan ini bukan basa-basi, melainkan pemantik untuk mengakselerasi 80.000 Koperasi Merah Putih yang hari ini sedang mencari arah, terutama dalam hal membangun dan mengembangkan model bisnis yang mandiri, kontekstual, dan berdampak.

Berangkat dari pengalaman mendampingi berbagai organisasi menuju kemandirian, kami percaya bahwa model bisnis bukan sekadar dokumen yang mengisi sembilan kotak. Ia adalah cermin dari cinta: cinta pada dampak sosial, cinta pada kemandirian, dan cinta pada masyarakat yang dilayani. Kami ingin membantu koperasi-koperasi ini menemukan bentuk model bisnis yang bukan hasil tiruan, bukan template, tapi tumbuh dari akar realitas dan potensi lokal mereka sendiri.

Kami ingin mengajak koperasi melihat model bisnis sebagai alat berpikir, bukan semata hasil cetak. Bukan output, tapi proses. Bukan hanya tujuan, tapi perjalanan. Dari situ akan lahir koperasi yang mampu menunjukkan outcomes yang nyata, dan dari outcomes itulah muncul impact yang sesungguhnya, yakni masyarakat yang terlayani, anggota yang berdaya, dan ekosistem yang tumbuh bersama.

Bayangkan jika koperasi tidak hanya bicara soal neraca dan laba, tapi juga tentang purpose. Koperasi yang bukan sekadar entitas ekonomi, tapi organisasi yang dipimpin oleh tujuan (purpose-led organizations). Maka model bisnis bukan alat cari untung, tapi cara untuk menghadirkan keberkahan dalam skala luas. Inilah kontribusi yang ingin kami tawarkan: mendampingi tumbuhnya koperasi yang tidak hanya bergerak, tapi juga bertumbuh, menuju cita-cita besar gerakan ekonomi rakyat.

More Vs Less

Tidak semua kerja keras menghasilkan dampak besar. Dalam banyak kasus, seseorang bisa sibuk sepanjang hari namun tidak benar-benar menciptakan perubahan yang signifikan. Prinsip Pareto mengajarkan bahwa 30% usaha yang tepat dapat menghasilkan 70% dampak. Ini bukan tentang bekerja lebih banyak, melainkan tentang bekerja pada hal yang paling strategis. Orang yang tidak belajar, tidak mengevaluasi, dan tidak memperluas perspektif cenderung terjebak dalam rutinitas yang produktif secara kuantitas, tapi minim makna. Maka, belajar, baik melalui interaksi, forum, atau eksplorasi di luar, bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi untuk menemukan titik ungkit.

Namun bahkan usaha yang tepat sekalipun punya batas jika hanya mengandalkan hitungan teknis. Di sinilah konsep koefisien beta menjadi relevan, sebagai metafora untuk keberkahan yang memperbesar hasil dari usaha yang kecil. Dalam konteks spiritual, beta adalah pengali yang datang dari niat yang lurus, kerja yang jujur, dan izin dari Allah. Sebuah langkah kecil bisa melahirkan lompatan besar jika dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan kecermatan. Maka, tak cukup hanya cerdas dan rajin, kita juga perlu menyadari bahwa dampak sejati seringkali lahir dari perpaduan antara strategi dan keberkahan.

Jangan lupa minta koefisien betanya, semoga kita semua bisa mengawali minggu ini dengan penuh manfaat! Selamat beraktivitas!✨

Fiqih Zakat Kontemporer

Ketika dunia baru mengenal sistem pajak untuk mengatur negara, Islam sejak awal telah mengenalkan zakat, sebuah instrumen keuangan sosial yang tidak sekadar memungut, tetapi memanusiakan. Zakat tak hanya soal angka, tapi soal kesadaran: siapa yang memberi, kepada siapa, dan dalam kondisi seperti apa. Ia bukan sekadar rukun Islam, melainkan sistem keadilan yang berpijak pada empati. Ia hanya dikenakan pada harta yang cukup (nisab), dimiliki penuh & tidak digunakan secara langsung untuk kebutuhan pokok atau produksi. Artinya, zakat menyasar harta yang mengendap, bukan yang bergerak. Di sini kita belajar bahwa Islam mendorong kekayaan untuk terus mengalir, bukan menumpuk.

Jika dibandingkan dengan pajak, terlihat pendekatan yang berbeda. Pajak bersifat menyeluruh, semua bentuk penghasilan, konsumsi, & aset bisa dikenai pungutan, tanpa melihat situasi ekonomi orang yang menanggungnya. Zakat, sebaliknya, mengajarkan bahwa pungutan yang adil bukan hanya soal jumlah, tapi juga tentang siapa yang dibebani dan dalam kondisi apa. Prinsip zakat menunjukkan pentingnya sensitivitas sosial dalam desain fiskal: jangan bebani yang sedang bangkit, dan jangan abaikan yang sudah mapan.

Tantangan Zakat bukan pada konsep, tapi pada kelembagaan, distribusi yang belum merata, pengelolaan yang belum terpercaya, dan belum terintegrasi dengan sistem fiskal negara. Tapi justru karena zakat berbasis kesadaran, bukan sanksi, ia punya potensi menghidupkan kembali rasa tanggung jawab yang lahir dari dalam, bukan dari tekanan luar. Di situlah keunggulannya: zakat menyentuh sisi terdalam dari kepemilikan, bahwa dalam setiap harta ada hak orang lain yang harus dikeluarkan dengan sadar, bukan sekadar karena wajib.

Kita bisa menjadikannya sebagai inspirasi memperkaya arah kebijakan fiskal agar lebih adil dan manusiawi. Bayangkan jika semangat zakat, yang meringankan yang lemah dan menyentil kesadaran yang kuat, diadopsi dalam sistem pajak. Kita tak hanya membangun kepatuhan, tapi juga budaya berbagi, jadi ekosistem yang saling menguatkan, jadi fondasi keadilan sosial yang hidup dalam tubuh masyarakat.

Jazakallah khairan katsiran Ust @amminurbaits

The Power of Habit

Semalam saya bersua dua orang mentee cerdas dan berani, membuka kembali pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya membuat sebuah bisnis bertahan? Di tengah semangat belajar dari mereka yang telah sukses, banyak orang terjebak pada meniru apa yang terlihat, produk yang dijual, strategi promosi atau bahkan menjiplak substansinya atau membajak jejaringnya. Padahal, seperti yang diungkapkan Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2001), organisasi hebat tidak dibangun dari taktik jangka pendek, melainkan dari karakter kuat pemimpinnya.

Bisnis yang kokoh berdiri bukan hanya soal model bisnis yang cemerlang, tapi juga soal siapa yang menjalankannya. Pola pikir, kebiasaan harian, kemampuan menghadapi tekanan, cara menjaga integritas, semua itu tidak bisa disalin begitu saja dari luar. Angela Duckworth dalam Grit (2016) menyebut daya tahan mental sebagai kunci utama keberhasilan jangka panjang. Sayangnya, grit dan karakter tak tampak dari hasil akhir. Yang terlihat hanyalah pencapaian, bukan perjuangan diam-diam yang mendasarinya.

Dalam percakapan itu, saya bertanya padanya; “Kamu biasa bangun jam berapa?”, “Jam 7 pak! jawabnya.” Saya menimpali; “Coba cari pebisnis sukses yang rutin bangun siang.” Bukan berarti bangun pagi adalah formula mutlak, tapi karena konsistensi dalam kebiasaan kecil sering kali menentukan ketahanan dalam hal-hal besar.

Charles Duhigg dalam The Power of Habit (2012) menekankan bahwa perubahan besar seringkali berakar dari kebiasaan kecil yang diulang secara sadar.

Sebelum tergesa meniru bisnis orang lain, mungkin yang perlu dilakukan adalah melihat ke dalam. Sudahkah pola hidup dan cara berpikir mencerminkan pribadi yang siap menanggung beban dan tanggung jawab bisnis yang ingin dibangun? Seperti dikatakan Simon Sinek dalam Start with Why (2009), kekuatan sebuah organisasi terletak pada kejelasan nilai dan keteguhan individu di dalamnya. Sebab pada akhirnya, yang membuat bisnis bertahan bukan hanya produknya, tapi pribadi yang tumbuh dan menghidupinya✨

Indikator Hanyalah Penanda Bukan Tujuan

Pertemuan semalam dengan salah satu lulusan, Ia ungkapkan keinginannya untuk jadi konglomerat. Tapi ketika ditanya lebih dalam, ia bingung harus mulai dari mana. Ini sering terjadi: kita fokus pada akibat; hasil besar yang diinginkan, tapi lupa pada sebab yang harus dibangun sejak awal. Dalam merumuskan visi, baik sebagai individu maupun organisasi, penting untuk menyadari bahwa mimpi tanpa pemahaman sebab-akibat yang logis hanya akan jadi ilusi. Sebab adalah nilai, kebiasaan, dan keputusan kecil yang konsisten; akibat adalah hasil jangka panjang yang muncul darinya.

Obrolan lain muncul di rumah: mengapa jumlah Guru Besar di kampus meningkat, tapi beban biaya juga makin tinggi? Ini menyentuh beda antara output dan outcomes. Jumlah guru besar itu output; tampak, terukur. Tapi apakah kehadirannya memperkuat kontribusi kampus ke masyarakat? Itu outcomes. Tanpa orientasi pada dampak, output bisa jadi beban, bukan nilai. Sebaliknya, ada kampus yang menjadikannya sebagai penggerak kolaborasi dan inovasi. Maka, visi yang baik tak hanya soal hasil yang bisa dihitung, tapi perubahan yang bisa dirasakan.

Begitu juga dengan perbedaan antara tujuan dan indikator. Tujuan adalah arah besar yang dituju, sementara indikator memberi sinyal apakah kita sedang mendekatinya. Banyak visi terdengar indah, tapi tanpa indikator yang jelas, kita tak tahu apakah sudah maju atau justru jalan di tempat. Indikator memberi realitas pada ambisi, menjembatani mimpi dan tindakan nyata.

Visi yang kuat bukan sekadar kata-kata motivasional. Ia lahir dari pemahaman yang jernih: mana sebab, mana akibat; mana output, mana outcomes; mana tujuan, mana indikator. Di tengah derasnya narasi inspiratif, kemampuan membedakan dan merumuskan ini adalah fondasi utama agar kita tidak hanya sibuk, tapi benar-benar bergerak ke arah yang bermakna✨

Trainer Design Thinking

Hari ini menjadi kesempatan penting untuk menegaskan bahwa hakikat Design Thinking bukan sekadar menciptakan solusi kreatif, melainkan membangun kebermanfaatan yang nyata dan berdampak. Kepada para trainer @bpvp.bandungbarat , penting ditekankan bahwa inovasi sejati bukan hanya tentang apa yang baru, tapi tentang apa yang benar-benar dibutuhkan dan memberi nilai bagi kehidupan manusia. Filosofi dasar Design Thinking adalah berpihak pada manusia, membaca kebutuhan terdalam, menyentuh harapan mereka, dan menjadikannya pusat dari setiap proses penciptaan.

Sebagai trainer, peran utama bukan hanya mengajarkan metode, tetapi menanamkan keberanian untuk bertanya: Apakah solusi ini membawa manfaat jangka panjang? Apakah ini akan membuat hidup orang lebih baik secara berkelanjutan? Design Thinking tidak berhenti pada ide yang menarik, tapi menuntut tanggung jawab etis untuk menghasilkan dampak. Inilah sebabnya empati menjadi fondasi, bukan sekadar tahap awal, karena hanya dengan empati yang tulus, kita dapat merancang perubahan yang benar-benar relevan dan bermakna.

Perlu diingat juga untuk para trainer Design Thinking bahwa kita perlu membimbing peserta untuk berpikir melampaui proyek. Bukan hanya menyelesaikan tugas, tapi mengubah cara pandang terhadap problem sosial dan ekonomi secara lebih utuh. Pelatihan Design Thinking yang kuat akan menanamkan kesadaran bahwa setiap intervensi harus berkelanjutan, tidak sekadar menyelesaikan gejala, tapi merawat akar persoalan dan memberdayakan pihak-pihak terkait untuk terus berkembang bersama.

Dengan cara itu, trainer menjadi bagian dari ekosistem perubahan yang bukan hanya mendesain solusi, tapi juga menumbuhkan mindset transformatif. Design Thinking bukan alat teknis belaka, melainkan filosofi kerja yang menuntun kita untuk mencipta dengan hati, merancang dengan nurani, dan menumbuhkan dampak yang bertahan jauh melampaui ruang pelatihan.

@thelocalenablers@tle_agilyst

Menggambar Teknik

Di awal semester, banyak mahasiswa menganggap mata kuliah Menggambar Teknik ini sekadar soal garis lurus, skala, dan simetri. Tapi perlahan mereka menyadari, ini bukan soal siapa yang paling rapi menggambar, melainkan bagaimana mereka bisa saling belajar, saling mengisi. Maka kelas ini pun kami bentuk seperti ekosistem, bukan ruang ujian individu, tapi ruang tumbuh bersama. Mereka belajar dalam kelompok, dibimbing oleh mentor-mentor yang tak cuma ahli, tapi juga peduli.

Ujian akhirnya pun tak biasa. Setiap kelompok harus menyelesaikan satu gambar alat teknik yang cukup rumit. Tapi tiap orang hanya punya waktu 5 menit untuk menggambar bagiannya, lalu dilanjutkan oleh temannya. Bagi yang melihat dari luar, mungkin ini seperti permainan. Tapi di balik lima menit itu ada latihan berjam-jam. Mereka berlatih, gagal, tertawa, mengulang. Berkali-kali. Dan justru dari situlah muncul kebersamaan, koordinasi, dan rasa saling percaya.

Yang mereka bawa dari kelas ini bukan cuma kemampuan menggambar. Tapi pemahaman bahwa setiap orang punya peran. Kalau satu bagian salah, semua ikut terdampak. Mereka belajar mengenal ritme timnya, menahan ego, dan percaya bahwa proses itu lebih penting daripada hasil instan. Bahwa tumbuh itu tidak sendiri-sendiri, tapi bersama.

Kelas ini akhirnya jadi ruang belajar yang terasa lebih manusiawi. Ada kakak tingkat yang jadi mentor, ada tawa dan frustrasi yang dibagi bareng-bareng, ada perasaan bangga waktu satu gambar selesai dengan utuh. Mungkin beginilah seharusnya pembelajaran berjalan: bukan hanya menguji kemampuan, tapi juga menumbuhkan karakter, nilai, dan rasa saling memiliki. Karena di dunia nyata, tak ada yang bisa membangun sesuatu sendirian.

Terimakasih kawan-kawan mahasiswa!
Selamat berlibur🎉