Nasihat kang @kangmaman1965
Pengetahuan bukanlah puncak untuk ditaklukkan, melainkan jembatan yang membantu manusia menyeberang menuju makna yang lebih dalam. Gelar, prestasi, dan usia bukan indikator utama; semuanya hanyalah logistik dalam perjalanan panjang belajar. Generasi muda hari ini hidup di dunia tanpa guru tunggal, setiap percakapan bisa menjadi kelas, setiap halaman buku bisa menjadi dunia baru, dan setiap ruang kecil bisa melahirkan visi besar. Yang menentukan arah bukan asal tempat atau posisi, tetapi keberanian memilih kebenaran daripada kenyamanan, dan integritas ketika berdiri di persimpangan yang sulit.
Dalam kesadaran itulah pengetahuan menjadi bekal untuk hidup, bukan sekadar hiasan untuk dipamerkan. Bangsa ini merumuskan cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” karena mereka yang membangun Indonesia dulu memahami bahwa kehancuran tidak berakar dari kejahatan semata, melainkan dari kebodohan. Maka membaca bukan lagi aktivitas untuk tahu, tetapi untuk menjadi lebih manusiawi, lebih tegar, lebih berguna, dan lebih menyelamatkan. Optimisme pun tumbuh dari skeptisisme yang sehat, dari kesediaan mempertanyakan, sekaligus keyakinan bahwa perubahan adalah mungkin.
Negara tetap harus hadir sebagai penghasil ruang—memberikan insentif bagi inovasi, bukan sekadar mengatur dari jauh. Dan setiap anak muda, siapa pun mereka, bisa meninggalkan nama yang harum seperti Mohammad Hatta: menulis perjalanan hidupnya dengan tinta emas berupa kecerdasan yang bermakna, mastery yang rendah hati, dan integritas yang tak tergoyahkan. Jika seseorang benar, baik, dan bermanfaat, maka keberadaannya akan terus menginspirasi jauh melampaui usia atau gelarnya. Dengan cara itulah optimisme tentang Indonesia dapat terus menyala, pelan, pasti, dan penuh harapan.










