Pendekatan Experiential Learning

Di tengah derasnya arus teknologi dan kehadiran kecerdasan buatan (AI) di dunia pendidikan, peran guru justru semakin penting, bukan sebagai penyampai materi, tapi sebagai penjaga akal sehat dan rasa ingin tahu anak-anak. Kita sering bicara soal literasi digital, tapi lupa bahwa yang lebih mendasar adalah literasi berpikir kritis: keberanian bertanya, kemampuan memilah informasi, dan kesadaran untuk memahami sebelum menyimpulkan (Facione, 2011). Di sinilah guru mengambil peran sentral, membentuk bukan hanya “anak pintar,” tapi “anak berpikir”.

Design Thinking menjadi pendekatan yang sangat relevan untuk konteks ini. Ia mengajak guru untuk memulai dari empati, coba duduk di kursi siswa, rasakan bingungnya, kebosanan, atau rasa takut saat tidak paham tapi juga takut bertanya. Dari sini, guru bisa mulai merancang kelas sebagai ruang eksplorasi, bukan hanya tempat mengejar nilai (Brown, 2009; Razzouk & Shute, 2012). Ketika murid diberi ruang untuk mencoba dan bahkan gagal, justru di sanalah muncul pembelajaran yang paling melekat. Belajar jadi pengalaman, bukan sekadar hafalan.

Yang membuat pembelajaran berkesan seringkali bukan materinya, tapi suasananya, cara guru mendengar, cara mereka memotivasi, dan bagaimana anak merasa dihargai. Teori pembelajaran bermakna dari Ausubel (1968) dan pendekatan experiential learning dari Kolb (1984) menyebutkan bahwa pembelajaran akan jauh lebih kuat ketika siswa bisa mengaitkan materi dengan pengalaman hidupnya. Maka, aktivitas sederhana seperti menulis jurnal cuaca atau bermain peran bisa jauh lebih berdampak daripada sekadar lembar kerja.

Akhirnya, AI bisa memberikan banyak jawaban, tapi tidak bisa memberikan rasa. Guru tetap tak tergantikan karena bisa menyentuh sisi manusiawi dalam proses belajar, menemani anak saat bingung, menguatkan saat gagal, dan menyalakan semangat saat mereka kehilangan arah. Seperti kata Parker Palmer (1998), mengajar itu bukan hanya soal teknik, tapi soal keberanian membawa diri yang utuh ke dalam kelas. Maka di era AI ini, guru justru jadi lebih relevan dari sebelumnya, sebagai penjaga pikiran kritis & pelita bagi rasa ingin tahu anak-anak.

AI bukan pengganti berpikir. Ia hanya alat bantu.

Belakangan ini, AI menjadi semacam mantra sakti: seolah semua masalah bisa selesai asal pakai AI. Banyak wirausaha berlomba-lomba “meng-AI-kan” bisnisnya tanpa sempat bertanya,apa sebenarnya masalah yang sedang dihadapi? Ini bukan hanya soal teknologi yang makin canggih, tapi soal cara kita berpikir sebelum mengambil keputusan.

Faktanya, menurut riset MIT Sloan (Ransbotham et al., 2021), sebagian besar kegagalan dalam penerapan AI di organisasi bukan karena teknologi yang buruk, melainkan karena ketidakjelasan masalah yang hendak diselesaikan. Dalam banyak kasus, AI dipaksa menjawab pertanyaan yang bahkan belum pernah dirumuskan dengan benar.

Di sinilah pentingnya kerangka berpikir kritis dan Design Thinking. Sebelum bicara tentang model prediktif, chatbot, atau sistem rekomendasi, kita perlu kembali ke dasar: siapa yang kita bantu, masalah apa yang mereka alami, dan bagaimana kita bisa memahami konteksnya secara utuh. Seperti kata Tim Brown dari IDEO, “Design Thinking is less about the brilliance of a single idea and more about the process of getting to the right one.”

Tanpa proses pemahaman ini, AI justru bisa mempercepat kesalahan. Kita bisa dengan mudah mengotomatisasi proses yang salah arah, memperkuat bias yang tak terlihat, dan membuat keputusan yang tak berpijak pada realitas pengguna. AI memperbesar efek dari apa yang kita pikirkan. Kalau cara berpikirnya keliru, maka kesalahannya juga jadi lebih cepat dan lebih besar.

Maka jadi penting para wirausahawan bukan sekadar tentang akses ke teknologi, tapi soal membentuk mindset problem-solving. Wirausaha yang tangguh di era AI adalah mereka yang tidak hanya bisa menggunakan teknologi, tapi lebih dulu memahami masalah dengan jernih, merumuskan hipotesis, dan membangun solusi secara iteratif.

AI bukan pengganti berpikir. Ia hanya alat bantu. Tapi hanya akan membantu kalau kita tahu, apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan untuk dipecahkan✨✨

Dipakai Sekali, Disimpen Seumur Hidup

Dipakai Sekali,
Disimpen Seumur Hidup.

Di balik logika sederhana “lebih murah beli alat cuci mobil daripada bolak-balik ke carwash,” tersimpan ironi yang menggambarkan kegagalan memahami alasan sebenarnya mengapa orang memilih jasa cuci mobil. Pada permukaan, argumen ini masuk akal: sekali cuci di carwash seharga 50 ribu, maka tiga kali saja sudah menyamai harga satu set alat cuci mobil komplit seharga 150 ribu. Maka, beli alat cuci sendiri terlihat seperti keputusan finansial yang lebih bijak.

Namun, di sinilah kesalahan berpikirnya—dan sekaligus pelajaran penting dari Jobs to Be Done. Sebab, ketika seseorang pergi ke carwash, mereka sebenarnya tidak sedang “membeli kebersihan mobil” semata. Mereka sedang “menyelesaikan pekerjaan” yang lebih kompleks: menghemat waktu, menghindari kerepotan, menghindari basah dan kotor, bahkan kadang sambil menikmati waktu santai atau interaksi sosial saat menunggu. Itulah “job” yang sesungguhnya mereka sewa dari layanan carwash.

Alat cuci mobil mungkin bisa menggantikan fungsi teknis—yakni membuat mobil bersih. Tapi alat itu tidak menyelesaikan seluruh “pekerjaan” yang diharapkan oleh penggunanya. Karena itulah, meskipun sudah dibeli, alat itu hanya digunakan sekali. Hari berikutnya, si bapak kembali ke carwash, karena sebenarnya bukan alatnya yang mereka butuhkan, tapi penyelesaian menyeluruh dari “pekerjaan” yang tidak ingin mereka lakukan sendiri.

Contoh ini dengan sangat sederhana tetapi tajam menunjukkan bahwa inovasi atau solusi yang hanya fokus pada fitur dan harga bisa gagal digunakan bila tidak memahami konteks utuh kebutuhan manusia. Di situlah Jobs to Be Done dalam Value Proposition dengan pendekatan Design Thiniking memberi pelajaran penting: bukan produknya yang salah, tapi pekerjaannya yang tidak terselesaikan.

Inspired by curhatan Bapak-bapak @hendipratama ✨

Oleh-oleh Jumat dari Istiqomah

Oleh-oleh Jumat dari Istiqomah

Indonesia ini bukan negara miskin. Kita punya tanah yang subur, laut yang luas, tambang yang tak habis-habis. Tapi entah kenapa, rasa-rasanya kita tak pernah benar-benar merasa cukup. Yang kaya makin kuat, yang kecil makin terdesak. Aturan dibuat, tapi keadilan seperti barang langka. Masyarakat sering cuma jadi angka, dihitung, tapi tak dianggap.

Mungkin yang hilang dari kita bukan sekadar kebijakan yang salah, tapi cara pandang yang keliru. Kita terlalu sibuk membenahi negara dari atas, lupa membangun kepercayaan dari bawah. Terlalu banyak strategi, tapi terlalu sedikit empati. Di sinilah pentingnya kita menengok sejarah, bukan untuk romantisme, tapi untuk belajar ulang tentang arah.

Rasulullah SAW pernah memimpin kota yang retak: sukunya banyak, agamanya beda-beda, konflik tak pernah usai. Tapi beliau datang bukan membawa dominasi, melainkan perjanjian hidup bersama: Piagam Madinah. Isinya bukan soal kekuasaan, tapi soal martabat. Bahwa semua orang berhak merasa aman, dihormati, dan punya suara. Di situ, masyarakat bukan beban, tapi fondasi.

Apa kabar Indonesia hari ini? Apakah kita masih percaya masyarakat sebagai pusat kekuatan? Atau justru kita perlahan menggesernya jadi objek kebijakan, bukan subjek perubahan? Mungkin sudah saatnya kita berhenti sekadar mengejar pertumbuhan, dan mulai bertanya: siapa yang kita tumbuhkan? Karena negara yang besar tak berarti apa-apa kalau masyarakatnya merasa kecil.

Kita hidupkan lagi semangatnya, bahwa negara bukan sekadar soal kekuasaan, tapi tentang memuliakan masyarakat. Jika kita ingin benar-benar maju, maka keadilan harus dirasakan oleh yang kecil, suara rakyat harus dihormati, dan kekuasaan kembali menjadi amanah, bukan alat untuk kekuasaan.

Penting jadi bisa, tapi lebih penting jadi paham

Penting jadi bisa, tapi lebih penting jadi paham

Capek-capek belajar ini itu, bisa semua hal, kerja keras siang malam, tapi ujungnya mentok. Kenapa? Karena hidup hari ini bukan lagi soal siapa yang paling bisa. Dunia berubah terlalu cepat buat dikuasai sendirian. Kalau kita masih kejar-kejaran jadi serba bisa, kita bakal kalah dengan orang yang paham arah & tahu benar siapa yang harus diajak bareng.

Orang yang hanya sekedar “bisa” mikirnya soal tugas. Tapi orang yang “paham” mikirnya soal dampak. Dia tidak sibuk ngerjain semua sendiri, tapi sibuk mencari cara menyambung-nyambungkan orang-orang terbaik untuk hasil terbaik. Dia sadar jika kekuatan bukan di pundaknya sendiri, tapi di jejaring yang dia bangun. Bukan soal pamer skill, tapi bagaimana ngerancang strategi.

Jadi jangan bangga dulu cuma karena kita bisa kerja tim. Coba tanya ke diri sendiri: kita ini kerja bareng atau sekadar bareng kerja? Kalau belum bisa jawab “siapa yang harus aku ajak biar hasilnya lebih berdampak”, berarti kita belum benar-benar “paham” . Karena kolaborasi bukan hanya soal nyatuin orang, tapi nyatuin nilai dan tujuan.

Seandainya dalam dunia pendidikan masih sibuk ngejar nilai ujian dan hafalan, jangan heran kalau lulusannya jago sendiri tapi bingung mau ngapain di dunia nyata.

Kita perlu generasi yang paham peta, bukan hanya bisa baca petunjuk. Generasi yang sadar, “saya nggak harus hebat di semua hal, saya harus paham saya ada di titik mana, dan siapa yang harus dirangkul buat sampai ke tujuan bersama.

Effectuation

Saya ditelpon salah satu lulusan terbaik, Mario. Sekarang dia lagi serius ngerintis usaha pertanian. Tapi di tengah jalan, dia mulai goyah. “Teman-teman saya udah kerja di perusahaan gede, Pak. Gajinya jelas, hidupnya lebih rapi. Saya masih ngurus lahan, muter modal, belum kelihatan hasilnya.” Lalu dia nanya, “Saya salah jalan nggak, ya?” Saya dengar suara lelahnya, bukan karena gagal, tapi karena mulai mempertanyakan arah.

Saya nggak buru-buru jawab. Karena di posisi seperti Mario, yang dia butuhkan bukan solusi cepat, tapi afirmasi atas pilihan yang berbeda. Saya bilang, “Kamu nggak salah jalan, cuma kamu lagi jalan di rute yang nggak banyak orang pilih. Wajar banget kalau kadang merasa ragu.” Sekarang ini, kita hidup dalam budaya yang sangat visual & kompetitif. Gampang banget ngerasa ketinggalan, apalagi jika tolok ukurnya cuma soal gaji, jabatan, atau seberapa rapi feed IG kita.

Tapi hidup ga sesederhana itu. Seperti yang pernah dijelaskan Amartya Sen, tujuan dari kemajuan bukan cuma income, tapi kebebasan memilih & mengembangkan kapasitas kita sendiri. Dan itu yang Mario lakukan. Bukan sekadar nyari untung, dia lagi nyusun cara hidup. Saya bilang ke dia, “Teman-temanmu kerja di sistem yang udah mapan, bagus. Tapi kamu lagi bangun sistem dari nol, dan itu butuh daya tahan yang beda.”

Merujuk teori effectuation; entrepreneur sejati itu bukan mereka yang nunggu semuanya siap, tapi yang mulai dari apa yang mereka punya. Mario lagi hidupin itu: mulai dari tanah, pengalaman, jaringan lokal, dan niat baik. Kadang hasilnya belum kelihatan di awal, tapi prosesnya yang membentuk karakter, bukan hanya bisnisnya. Dan seperti kata Viktor Frankl, kalau kamu punya makna di balik perjuanganmu, kamu bisa bertahan bahkan di situasi paling sulit.

Jika kita yakin jalan ini benar, teruskan saja. Tak perlu cepat. Yang penting terus ningkatin kapasitas diri, belajar, nyoba hal baru, refleksi & berkembang. Karena yang paling penting dalam proses ini bukan sekadar bertahan, tapi tumbuh.”

QS Ali Imran: 200
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu, & kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan), & bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Dalam Ketidakpastian,Ada Allah yang Pasti

Dalam Ketidakpastian,
Ada Allah yang Pasti”

Kajian bersama
Ustadz Abdurrahman Zahier | Luarsekolah

Di tengah menurunnya angka pertumbuhan ekonomi, banyak dari kita mulai merasa gelisah: bagaimana jika rezeki tak sampai, bagaimana masa depan anak-anak, bagaimana nasib usaha atau pekerjaan? Dalam kondisi seperti ini, Rasulullah mengingatkan kita, “Bersabarlah, hingga kita bertemu di Telaga.”

Rezeki adalah urusan Allah. Ia tidak pernah tertukar, tidak akan terlambat, dan tidak akan salah alamat. Justru, orang yang beriman akan dilindungi dari rezeki yang membahayakan. Sebab yang memberi bukan atasan, bukan pasar, bukan koneksi, tapi Allah. Dan Allah tidak pernah memutus rezeki hamba-Nya.

Ujian pertama dalam hidup, kata Allah, adalah rasa takut. Maka jadilah orang yang sabar. Perbanyak syukur, kuatkan hati. Jangan bersangka buruk kepada Allah, karena prasangka buruk adalah awal dari kehancuran jiwa. Allah akan memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan sangkaan hamba itu kepada-Nya. Maka, optimislah. Bahwa di balik setiap kegundahan, ada jalan yang telah disiapkan oleh Allah.

Kita belajar dari Nabi Musa as yang bersabar meski dikejar Firaun, dari Nabi Ibrahim yang menggantungkan seluruh pertolongannya hanya pada Allah, dari Nabi Yusuf as yang tetap bertakwa dan bersabar dalam gelapnya penjara dan fitnah. Allah tolong mereka bukan dengan cara manusia, tapi dengan skenario-Nya yang Maha Sempurna.

Kecewa hanya datang saat kita berharap pada makhluk. Tapi orang yang menggantungkan harapannya pada Allah, tidak akan pernah kecewa. Dalam badai ketidakpastian, peganglah satu kepastian: bahwa Allah sangat dekat, sesuai dengan keyakinan kita.

Tunaikan kewajiban kita, terus berjalan dengan sabar. Sebab pada akhirnya, kita semua hanya ingin satu hal: “Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim, dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang yang berserah diri.”

Tak Sekadar Berangkat—Tapi Bersepakat

Tak Sekadar Berangkat—Tapi Bersepakat

Banyak kolaborasi gagal bukan karena niat buruk, tapi karena sejak awal tidak ada pijakan bersama. Orang-orang datang dengan semangat, tapi membawa tafsir, tujuan, dan ekspektasi yang berbeda. Kita bicara kerja bersama, tapi lupa menyamakan arah berpikir. Tanpa fondasi itu, setiap langkah menjadi ladang salah paham.

Inilah yang dalam kajian tim disebut lack of shared mental models (Cannon-Bowers & Salas, 1993), tidak adanya kesamaan cara memahami peran, tujuan, dan proses. Karl Weick (1995) menambahkan, dalam kondisi ambigu (equivocality), setiap orang akan mengisi kekosongan makna dengan logika pribadi. Maka ketika konflik muncul, seringkali bukan soal substansi, tapi asumsi yang tak pernah diklarifikasi.

Ironisnya, tahap penyamaan persepsi justru sering dilewati. Padahal, baik dalam Theory of Change, Design Thinking, maupun Collective Impact, proses menyepakati logika, nilai, dan arah bersama adalah fondasi. Tanpa kesepakatan awal, kolaborasi akan berubah menjadi koeksistensi rapuh: tampak rukun, tapi rawan pecah kapan saja.

Yang dibutuhkan bukan hanya semangat kolaborasi, tapi kesepakatan konseptual dan etis: untuk apa kita di sini, apa yang kita anggap berhasil, bagaimana kita berpikir dan bekerja. Ini bukan sekadar dokumen, tapi penyangga kepercayaan di tengah kompleksitas.

Karena itu, sebelum bicara rencana besar, pastikan dulu kita berangkat dari titik yang sama. Kolaborasi bukan tentang ramai-ramai membuat program, tapi tentang seberapa dalam kita menyepakati makna di baliknya.

“Collaboration begins with alignment. Without shared meaning, even the most passionate efforts will pull in opposite directions.” — Peter Senge

Pelindo Innovation Award

Saya masih mengingat awalnya, tujuh tim dari berbagai penjuru Tim Inovator Final Pelindo IDEA, INCUBE, Implemented & ALPI SPTP Group datang membawa ide-idenya. Mereka tidak membawa presentasi yang sempurna, tapi membawa sesuatu yang jauh lebih berharga: niat untuk memperbaiki.

Bukan hanya memperbaiki sistem, tapi memperbaiki cara mereka menjalani pekerjaan, memahami pengguna, dan menyumbangkan perubahan.

Kami memulai perjalanan itu bukan dengan jawaban, tapi dengan pertanyaan: apa yang sebenarnya jadi masalah? Bukan di level struktur, tapi di level pengalaman sehari-hari, yang sering tak terdengar, tak tercatat, dan tak dianggap penting.

Kami pelajari bahwa inovasi tidak selalu soal teknologi tinggi. Ia seringkali lahir dari empati, dari keberanian untuk mempertanyakan cara lama, dan dari upaya kecil yang dilakukan dengan kesungguhan.

Dari EASY yang mendefinisikan ulang proses belajar di pelabuhan, K3IVERSE yang mengubah pelatihan K3 dari teori menjadi pengalaman nyata, hingga PORTSYNC yang menyatukan data dan koordinasi terminal, setiap ide tidak hanya menawarkan solusi, tapi juga membongkar proses yang stagnan dan menghadirkan kemungkinan baru. MARCO, P-SAFE, BEST PICK, dan EBBI pun hadir bukan sekadar sebagai inovasi, tapi sebagai jawaban atas kebutuhan sehari-hari yang selama ini dianggap biasa, padahal menentukan.

Ketika mayoritas tim ini akhirnya menjuarai ajang Idea Pitching Innovation Pelindo 2025, yang terasa bukan hanya kebanggaan, tapi juga rasa syukur.

Kemenangan ini bukan hasil dari ide yang brilian semata, melainkan buah dari keberaniannya untuk mendengarkan, merefleksikan, dan membangun dengan rendah hati.

Sebagai pendamping, saya bukan penentu arah. Saya hanya menjadi cermin, teman berpikir, dan pengingat bahwa inovasi yang besar selalu dimulai dari keberanian yang sederhana: untuk berubah.

Dan dari mereka, saya kembali belajar bahwa inovasi terbaik bukan yang paling canggih, tetapi yang paling peduli, paling relevan, dan paling manusiawi.

Sisi Lain Hustler: Sebuah Retrospective

Sisi Lain Hustler: Sebuah Retrospective

Kondisi organisasi yang tidak punya sistem meritokrasi yang sehat, di mana peran, panggung, dan pengakuan tidak didasarkan pada kontribusi nyata, akan cenderung melahirkan figur-figur dominan yang sebenarnya miskin kedalaman. Dalam ruang seperti itu, yang fasih berbicara akan dianggap pemimpin, yang pandai membungkus kata akan disebut pakar, dan yang berani tampil akan dipersepsikan sebagai penggerak. Maka muncullah hustler, tokoh dengan kemampuan komunikasi luar biasa yang mengisi ruang kosong kepemimpinan, bukan karena substansi, tapi karena visibilitas.

Awalnya mungkin tidak tampak berbahaya. Justru banyak yang terinspirasi oleh energinya, tertarik oleh karismanya. Tapi seiring waktu, struktur organisasi mulai membengkok. Diskusi berubah jadi monolog. Proyek diklaim sepihak. Ruang kolaborasi berubah menjadi ruang dominasi. Dan yang paling fatal: suara-suara yang lebih jujur, lebih teknis, lebih berdampak, pelan-pelan hilang dari perbincangan. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena tidak diberi tempat.

Fenomena ini bukan kebetulan. Ia lahir dari kegagalan organisasi membangun keseimbangan antara narasi & kontribusi. Ketika performa komunikasi dihargai lebih tinggi daripada integritas kerja, maka yang berkembang bukanlah kepemimpinan kolektif, tapi teater personal. Komunitas menjadi panggung satu orang. & publik pun tertipu oleh ilusi keahlian. Dunning-Kruger Effect bekerja diam-diam: yang sedikit tahu merasa paling tahu & yang paling tahu memilih diam karena lelah berdebat tanpa struktur adil.

Solusinya bukan membungkam para hustler, tapi membangun sistem yang adil. Sistem yang memberi ruang untuk semua, tapi juga menuntut akuntabilitas. Panggung harus bisa dibagikan, kepakaran harus bisa diverifikasi & kolaborasi harus tumbuh dari kesalingan, bukan penguasaan. Karena organisasi yang sehat bukan yang penuh suara, tapi yang tahu bagaimana mendengarkan.

Karena sejatinya, perubahan tidak butuh aktor tunggal. Ia butuh ekosistem. Ekosistem tidak tumbuh di atas retorika, ia tumbuh di atas kepercayaan, bukti & kerendahan hati.

Saat kita diberi panggung, jangan lupa siapa yang membangun panggungnya – Anies Baswedan