Penting jadi bisa, tapi lebih penting jadi paham

Penting jadi bisa, tapi lebih penting jadi paham

Capek-capek belajar ini itu, bisa semua hal, kerja keras siang malam, tapi ujungnya mentok. Kenapa? Karena hidup hari ini bukan lagi soal siapa yang paling bisa. Dunia berubah terlalu cepat buat dikuasai sendirian. Kalau kita masih kejar-kejaran jadi serba bisa, kita bakal kalah dengan orang yang paham arah & tahu benar siapa yang harus diajak bareng.

Orang yang hanya sekedar “bisa” mikirnya soal tugas. Tapi orang yang “paham” mikirnya soal dampak. Dia tidak sibuk ngerjain semua sendiri, tapi sibuk mencari cara menyambung-nyambungkan orang-orang terbaik untuk hasil terbaik. Dia sadar jika kekuatan bukan di pundaknya sendiri, tapi di jejaring yang dia bangun. Bukan soal pamer skill, tapi bagaimana ngerancang strategi.

Jadi jangan bangga dulu cuma karena kita bisa kerja tim. Coba tanya ke diri sendiri: kita ini kerja bareng atau sekadar bareng kerja? Kalau belum bisa jawab “siapa yang harus aku ajak biar hasilnya lebih berdampak”, berarti kita belum benar-benar “paham” . Karena kolaborasi bukan hanya soal nyatuin orang, tapi nyatuin nilai dan tujuan.

Seandainya dalam dunia pendidikan masih sibuk ngejar nilai ujian dan hafalan, jangan heran kalau lulusannya jago sendiri tapi bingung mau ngapain di dunia nyata.

Kita perlu generasi yang paham peta, bukan hanya bisa baca petunjuk. Generasi yang sadar, “saya nggak harus hebat di semua hal, saya harus paham saya ada di titik mana, dan siapa yang harus dirangkul buat sampai ke tujuan bersama.

Effectuation

Saya ditelpon salah satu lulusan terbaik, Mario. Sekarang dia lagi serius ngerintis usaha pertanian. Tapi di tengah jalan, dia mulai goyah. “Teman-teman saya udah kerja di perusahaan gede, Pak. Gajinya jelas, hidupnya lebih rapi. Saya masih ngurus lahan, muter modal, belum kelihatan hasilnya.” Lalu dia nanya, “Saya salah jalan nggak, ya?” Saya dengar suara lelahnya, bukan karena gagal, tapi karena mulai mempertanyakan arah.

Saya nggak buru-buru jawab. Karena di posisi seperti Mario, yang dia butuhkan bukan solusi cepat, tapi afirmasi atas pilihan yang berbeda. Saya bilang, “Kamu nggak salah jalan, cuma kamu lagi jalan di rute yang nggak banyak orang pilih. Wajar banget kalau kadang merasa ragu.” Sekarang ini, kita hidup dalam budaya yang sangat visual & kompetitif. Gampang banget ngerasa ketinggalan, apalagi jika tolok ukurnya cuma soal gaji, jabatan, atau seberapa rapi feed IG kita.

Tapi hidup ga sesederhana itu. Seperti yang pernah dijelaskan Amartya Sen, tujuan dari kemajuan bukan cuma income, tapi kebebasan memilih & mengembangkan kapasitas kita sendiri. Dan itu yang Mario lakukan. Bukan sekadar nyari untung, dia lagi nyusun cara hidup. Saya bilang ke dia, “Teman-temanmu kerja di sistem yang udah mapan, bagus. Tapi kamu lagi bangun sistem dari nol, dan itu butuh daya tahan yang beda.”

Merujuk teori effectuation; entrepreneur sejati itu bukan mereka yang nunggu semuanya siap, tapi yang mulai dari apa yang mereka punya. Mario lagi hidupin itu: mulai dari tanah, pengalaman, jaringan lokal, dan niat baik. Kadang hasilnya belum kelihatan di awal, tapi prosesnya yang membentuk karakter, bukan hanya bisnisnya. Dan seperti kata Viktor Frankl, kalau kamu punya makna di balik perjuanganmu, kamu bisa bertahan bahkan di situasi paling sulit.

Jika kita yakin jalan ini benar, teruskan saja. Tak perlu cepat. Yang penting terus ningkatin kapasitas diri, belajar, nyoba hal baru, refleksi & berkembang. Karena yang paling penting dalam proses ini bukan sekadar bertahan, tapi tumbuh.”

QS Ali Imran: 200
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu, & kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan), & bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Dalam Ketidakpastian,Ada Allah yang Pasti

Dalam Ketidakpastian,
Ada Allah yang Pasti”

Kajian bersama
Ustadz Abdurrahman Zahier | Luarsekolah

Di tengah menurunnya angka pertumbuhan ekonomi, banyak dari kita mulai merasa gelisah: bagaimana jika rezeki tak sampai, bagaimana masa depan anak-anak, bagaimana nasib usaha atau pekerjaan? Dalam kondisi seperti ini, Rasulullah mengingatkan kita, “Bersabarlah, hingga kita bertemu di Telaga.”

Rezeki adalah urusan Allah. Ia tidak pernah tertukar, tidak akan terlambat, dan tidak akan salah alamat. Justru, orang yang beriman akan dilindungi dari rezeki yang membahayakan. Sebab yang memberi bukan atasan, bukan pasar, bukan koneksi, tapi Allah. Dan Allah tidak pernah memutus rezeki hamba-Nya.

Ujian pertama dalam hidup, kata Allah, adalah rasa takut. Maka jadilah orang yang sabar. Perbanyak syukur, kuatkan hati. Jangan bersangka buruk kepada Allah, karena prasangka buruk adalah awal dari kehancuran jiwa. Allah akan memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan sangkaan hamba itu kepada-Nya. Maka, optimislah. Bahwa di balik setiap kegundahan, ada jalan yang telah disiapkan oleh Allah.

Kita belajar dari Nabi Musa as yang bersabar meski dikejar Firaun, dari Nabi Ibrahim yang menggantungkan seluruh pertolongannya hanya pada Allah, dari Nabi Yusuf as yang tetap bertakwa dan bersabar dalam gelapnya penjara dan fitnah. Allah tolong mereka bukan dengan cara manusia, tapi dengan skenario-Nya yang Maha Sempurna.

Kecewa hanya datang saat kita berharap pada makhluk. Tapi orang yang menggantungkan harapannya pada Allah, tidak akan pernah kecewa. Dalam badai ketidakpastian, peganglah satu kepastian: bahwa Allah sangat dekat, sesuai dengan keyakinan kita.

Tunaikan kewajiban kita, terus berjalan dengan sabar. Sebab pada akhirnya, kita semua hanya ingin satu hal: “Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim, dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang yang berserah diri.”

Tak Sekadar Berangkat—Tapi Bersepakat

Tak Sekadar Berangkat—Tapi Bersepakat

Banyak kolaborasi gagal bukan karena niat buruk, tapi karena sejak awal tidak ada pijakan bersama. Orang-orang datang dengan semangat, tapi membawa tafsir, tujuan, dan ekspektasi yang berbeda. Kita bicara kerja bersama, tapi lupa menyamakan arah berpikir. Tanpa fondasi itu, setiap langkah menjadi ladang salah paham.

Inilah yang dalam kajian tim disebut lack of shared mental models (Cannon-Bowers & Salas, 1993), tidak adanya kesamaan cara memahami peran, tujuan, dan proses. Karl Weick (1995) menambahkan, dalam kondisi ambigu (equivocality), setiap orang akan mengisi kekosongan makna dengan logika pribadi. Maka ketika konflik muncul, seringkali bukan soal substansi, tapi asumsi yang tak pernah diklarifikasi.

Ironisnya, tahap penyamaan persepsi justru sering dilewati. Padahal, baik dalam Theory of Change, Design Thinking, maupun Collective Impact, proses menyepakati logika, nilai, dan arah bersama adalah fondasi. Tanpa kesepakatan awal, kolaborasi akan berubah menjadi koeksistensi rapuh: tampak rukun, tapi rawan pecah kapan saja.

Yang dibutuhkan bukan hanya semangat kolaborasi, tapi kesepakatan konseptual dan etis: untuk apa kita di sini, apa yang kita anggap berhasil, bagaimana kita berpikir dan bekerja. Ini bukan sekadar dokumen, tapi penyangga kepercayaan di tengah kompleksitas.

Karena itu, sebelum bicara rencana besar, pastikan dulu kita berangkat dari titik yang sama. Kolaborasi bukan tentang ramai-ramai membuat program, tapi tentang seberapa dalam kita menyepakati makna di baliknya.

“Collaboration begins with alignment. Without shared meaning, even the most passionate efforts will pull in opposite directions.” — Peter Senge

Pelindo Innovation Award

Saya masih mengingat awalnya, tujuh tim dari berbagai penjuru Tim Inovator Final Pelindo IDEA, INCUBE, Implemented & ALPI SPTP Group datang membawa ide-idenya. Mereka tidak membawa presentasi yang sempurna, tapi membawa sesuatu yang jauh lebih berharga: niat untuk memperbaiki.

Bukan hanya memperbaiki sistem, tapi memperbaiki cara mereka menjalani pekerjaan, memahami pengguna, dan menyumbangkan perubahan.

Kami memulai perjalanan itu bukan dengan jawaban, tapi dengan pertanyaan: apa yang sebenarnya jadi masalah? Bukan di level struktur, tapi di level pengalaman sehari-hari, yang sering tak terdengar, tak tercatat, dan tak dianggap penting.

Kami pelajari bahwa inovasi tidak selalu soal teknologi tinggi. Ia seringkali lahir dari empati, dari keberanian untuk mempertanyakan cara lama, dan dari upaya kecil yang dilakukan dengan kesungguhan.

Dari EASY yang mendefinisikan ulang proses belajar di pelabuhan, K3IVERSE yang mengubah pelatihan K3 dari teori menjadi pengalaman nyata, hingga PORTSYNC yang menyatukan data dan koordinasi terminal, setiap ide tidak hanya menawarkan solusi, tapi juga membongkar proses yang stagnan dan menghadirkan kemungkinan baru. MARCO, P-SAFE, BEST PICK, dan EBBI pun hadir bukan sekadar sebagai inovasi, tapi sebagai jawaban atas kebutuhan sehari-hari yang selama ini dianggap biasa, padahal menentukan.

Ketika mayoritas tim ini akhirnya menjuarai ajang Idea Pitching Innovation Pelindo 2025, yang terasa bukan hanya kebanggaan, tapi juga rasa syukur.

Kemenangan ini bukan hasil dari ide yang brilian semata, melainkan buah dari keberaniannya untuk mendengarkan, merefleksikan, dan membangun dengan rendah hati.

Sebagai pendamping, saya bukan penentu arah. Saya hanya menjadi cermin, teman berpikir, dan pengingat bahwa inovasi yang besar selalu dimulai dari keberanian yang sederhana: untuk berubah.

Dan dari mereka, saya kembali belajar bahwa inovasi terbaik bukan yang paling canggih, tetapi yang paling peduli, paling relevan, dan paling manusiawi.

Sisi Lain Hustler: Sebuah Retrospective

Sisi Lain Hustler: Sebuah Retrospective

Kondisi organisasi yang tidak punya sistem meritokrasi yang sehat, di mana peran, panggung, dan pengakuan tidak didasarkan pada kontribusi nyata, akan cenderung melahirkan figur-figur dominan yang sebenarnya miskin kedalaman. Dalam ruang seperti itu, yang fasih berbicara akan dianggap pemimpin, yang pandai membungkus kata akan disebut pakar, dan yang berani tampil akan dipersepsikan sebagai penggerak. Maka muncullah hustler, tokoh dengan kemampuan komunikasi luar biasa yang mengisi ruang kosong kepemimpinan, bukan karena substansi, tapi karena visibilitas.

Awalnya mungkin tidak tampak berbahaya. Justru banyak yang terinspirasi oleh energinya, tertarik oleh karismanya. Tapi seiring waktu, struktur organisasi mulai membengkok. Diskusi berubah jadi monolog. Proyek diklaim sepihak. Ruang kolaborasi berubah menjadi ruang dominasi. Dan yang paling fatal: suara-suara yang lebih jujur, lebih teknis, lebih berdampak, pelan-pelan hilang dari perbincangan. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena tidak diberi tempat.

Fenomena ini bukan kebetulan. Ia lahir dari kegagalan organisasi membangun keseimbangan antara narasi & kontribusi. Ketika performa komunikasi dihargai lebih tinggi daripada integritas kerja, maka yang berkembang bukanlah kepemimpinan kolektif, tapi teater personal. Komunitas menjadi panggung satu orang. & publik pun tertipu oleh ilusi keahlian. Dunning-Kruger Effect bekerja diam-diam: yang sedikit tahu merasa paling tahu & yang paling tahu memilih diam karena lelah berdebat tanpa struktur adil.

Solusinya bukan membungkam para hustler, tapi membangun sistem yang adil. Sistem yang memberi ruang untuk semua, tapi juga menuntut akuntabilitas. Panggung harus bisa dibagikan, kepakaran harus bisa diverifikasi & kolaborasi harus tumbuh dari kesalingan, bukan penguasaan. Karena organisasi yang sehat bukan yang penuh suara, tapi yang tahu bagaimana mendengarkan.

Karena sejatinya, perubahan tidak butuh aktor tunggal. Ia butuh ekosistem. Ekosistem tidak tumbuh di atas retorika, ia tumbuh di atas kepercayaan, bukti & kerendahan hati.

Saat kita diberi panggung, jangan lupa siapa yang membangun panggungnya – Anies Baswedan

Design Thinking For Social Change

Setiap tahun, organisasi mahasiswa sibuk menyusun program. Proposal dirancang, kalender dipenuhi, kegiatan dilaksanakan. Tapi satu pertanyaan jarang diajukan: siapa yang benar-benar terbantu? Jika semua hanya berputar di antara mahasiswa sendiri, menghibur yang sudah nyaman, meriah di dalam tapi kosong ke luar, organisasi hanya jadi ruang aman, bukan ruang tumbuh. Kampus bukan tempat istirahat, melainkan titik awal untuk memberi dampak.

Hari ini di Sekolah Vokasi Unpad, saya sampaikan ke BEM dan HIMA: hentikan menjadikan mahasiswa sebagai objek program. Lihat keluar. Banyak masyarakat yang butuh disentuh, didengar, dan dibantu. Rancang program yang user-centric—berangkat dari kebutuhan mereka, bukan asumsi kita. Mahasiswa bukan sekadar pelaksana acara, tapi calon pemimpin yang harus belajar dari realitas, bukan dari kenyamanan.

Pendekatan ini selaras dengan experiential learning (Kolb, 1984); belajar lewat pengalaman langsung. Dan design thinking (Brown, 2009), mulai dari empati, bukan asumsi. Ketika mahasiswa memetakan masalah nyata, merancang solusi berbasis konteks, dan mengeksekusi dengan hormat dan relevan, saat itulah mereka bertumbuh—sebagai pembelajar, pemimpin, dan manusia.

Sebuah tim mahasiswa akuntansi misalnya, membantu UMKM membuat pencatatan keuangan sederhana. Bagi mereka, itu tugas kecil. Tapi bagi si pemilik warung, itu pertama kalinya bisnisnya terasa nyata. Dari situ mahasiswa belajar tentang kesederhanaan, komunikasi, dan makna kontribusi. Kegiatan seperti ini membentuk kapasitas jauh lebih komprehensif dan kontekstual .

Maka sebelum menyusun program, ajukan satu pertanyaan jujur: siapa yang akan benar-benar terbantu? Jika jawabannya hanya “kita sendiri”, mungkin kita sedang bermain aman di kolam kecil. Padahal dunia menanti kita menyelam ke samudra. Di sanalah dampak sesungguhnya dilahirkan, bukan dari sibuknya kegiatan, tapi dari beraninya memberi makna.

Shift!

Shift!

Banyak gerakan tumbuh dari keresahan, idealisme, & energi kolaboratif. Berkembang organik, cepat, & penuh semangat, mengandalkan nilai-nilai sebagai kompas tanpa bergantung pada struktur & prosedur. Banyak yang bergabung bukan karena posisi / sistem, tapi karena merasa terhubung dengan semangat perubahan. Namun seiring waktu, kami sadar bahwa keberlanjutan tak cukup hanya dengan semangat. Gerakan perlu fondasi kokoh, & di titik itulah profesionalisme hadir bukan untuk menggantikan nilai, tapi memperkuatnya.

Transisi dari gerakan ke entitas yang profesional bukan sekadar soal legalitas atau menarik investasi. Ini perubahan mendasar: dari pola pikir “saya bantu karena peduli” menjadi “saya hadir karena bertanggung jawab.” Ini pergeseran budaya, dari spontanitas ke konsistensi, dari relasi personal ke sistem, dari semangat ke indikator. Tantangannya nyata. Perlu belajar ulang cara mengelola & menumbuhkan organisasi, bukan sebagai komunitas sementara, tapi sebagai ekosistem berkelanjutan yang akuntabel.

Dalam teori Organizational Life Cycle (Adizes, 1979), transisi ini digambarkan sebagai pergeseran dari fase Go-Go yang penuh energi tapi ngga stabil menuju fase Adolescence penuh drama mempertentangkan antara idealisme awal & kebutuhan akan sistem. Masa ini penuh gesekan: sebagian merasa kehilangan semangat awal, sementara yang lain kewalahan menghadapi tuntutan administratif. Di sinilah pentingnya cultural transformation roadmap, bukan cuma menyusun SOP, tapi menanamkan kebiasaan baru sebagai identitas kolektif.

Studi institutionalization of innovation (Scott, 2001) menyebutkan pentingnya keseimbangan 3 pilar kelembagaan: struktur regulatif, norma budaya, & mindset kognitif. Profesionalisme sejati tak lahir dari kontrol, tapi dari kesadaran bahwa keberlanjutan butuh akuntabilitas. Kami belajar, sering kali dengan rasa berat bahwa tak semua yang memulai akan terus bertumbuh bersama. Itu wajar.

Perubahan organisasi adalah bagian dari seleksi sosial yang alamiah. Untuk melangkah dengan pemahaman baru: sadar bahwa profesionalisme bukan lawan dari semangat gerakan. Ia adalah kelanjutan yang perlu dibangun dengan kesadaran penuh✨

Waktunya berlomba perangi kemiskinan

Waktunya berlomba perangi kemiskinan

Wacana inovasi sudah menjadi mantra yang diulang-ulang di berbagai forum, ruang kelas, & dokumen strategi. Tapi, di balik keramaian retorika ini, ada satu kenyataan yang sulit disangkal: sebagian besar rakyat Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia, 172 juta jiwa hidup dengan pengeluaran di bawah Rp977.393/ bulan. Meski angka kemiskinan resmi versi BPS hanya 8,6%, angka tersebut seringkali tidak menggambarkan kondisi nyata di lapangan. Ada jurang yang lebar antara apa yang terdata & fakta.

Di perguruan tinggi yang justru sibuk menampilkan diri sebagai pusat inovasi, mengejar beragam pengakuan global & panggung kompetisi. Tapi sayangnya, banyak dari inovasi ini berhenti di ranah wacana atau presentasi.

Ketika daya beli masyarakat menurun, investasi asing mulai mengalir ke negara lain & daya saing menurun, kita perlu bertanya: inovasi seperti apa yang sebenarnya sedang dibangun? Jika inovasi bukan untuk mengangkat derajat hidup warganya, maka ia telah kehilangan fundamentalnya.

Siapa yang sesungguhnya menjadi pusat perhatian dari inovasi kita? Jika hasil riset hanya berputar di kalangan premium, maka kita tidak sedang membangun solusi, melainkan melanggengkan kesenjangan. Inovasi sejati tidak diukur dari kecanggihannya, tetapi dari seberapa mampu ia menjawab kebutuhan paling mendasar & menyentuh mereka yang paling rentan. Sudah waktunya kita jujur, bahwa sebagian besar inovasi hari ini lebih banyak memoles citra daripada membongkar akar masalah.

Inovasi harus kembali menjadi alat untuk memutus rantai kemiskinan. Inovasi perlu menjemput realitas, hadir di pasar-pasar kecil, sekolah-sekolah desa, dan puskesmas pinggiran. Lembaga pendidikan, pusat riset, dan pembuat kebijakan harus menjadikan keberpihakan sosial sebagai tolok ukur utama. Bukan hanya mengejar pengakuan, tetapi memastikan ada akses terhadap pangan sehat, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan terjangkau, dan penghidupan yang layak bagi semua. Inovasi tidak lahir melulu untuk mengejar tren pasar, tapi untuk menjawab masyarakat yang semakin sulit.

Pendekatan asset-based thinking

Dalam sebuah sesi di kampus, muncul pertanyaan reflektif: mengapa kita sering memulai sesuatu dengan fokus pada kekurangan? Kalimat seperti “kami belum punya pengalaman” atau “kami belum siap” terdengar biasa, tapi justru melemahkan langkah awal. Pendekatan asset-based thinking (Kretzmann & McKnight, 1993) mengajak kita mengubah sudut pandang, mulai dari kekuatan, bukan kelemahan. Bukan menghitung keterbatasan, tapi mengenali potensi yang sudah ada & bisa langsung digerakkan.

Di banyak organisasi, deficit-based thinking masih mendominasi. Fokus utamanya pada kurangnya dana, struktur yang rumit, atau sistem yang belum berjalan optimal. Padahal Appreciative Inquiry (Cooperrider & Srivastva, 1987) menunjukkan bahwa perubahan lebih kuat jika dimulai dari yang sudah berhasil. Mengganti kata “anggaran” dengan “resources” bukan soal gaya bahasa, tapi perubahan cara pandang. Kita mulai melihat waktu, jaringan, pengetahuan, & ruang sosial sebagai modal nyata yang bisa digerakkan.

Kebiasaan menunggu, entah itu momen tepat, persetujuan atasan, atau kondisi ideal, sering membuat kita pasif. Asset-based thinking mengajak kita membangun, meski dari hal kecil & sumber daya terbatas. Konsep self-efficacy (Bandura, 1986) menunjukkan keyakinan diri tumbuh saat kita fokus pada kekuatan yang ada. Membangun dari yang tersedia menumbuhkan kepercayaan diri & mendorong aksi nyata.

Ukuran keberhasilan juga bergeser. Bukan lagi tentang seberapa viral sesuatu, tapi seberapa berdampak. Prinsip evidence-based practice menekankan bahwa keberhasilan diukur dari perubahan yang nyata. Data jadi alat ukur, refleksi, & arah perbaikan. Ia bukan sekadar bukti program berjalan, tapi penanda bahwa ada perubahan yang terjadi.

Akhirnya, ini bukan cuma pendekatan, tapi cara pandang. Ia menggeser kita dari keluhan ke potensi, dari pasif ke aktif, dari menunggu ke membangun. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, pendekatan ini memberi arah: mulai dari yang ada, gerakkan yang mungkin, & percayalah, kekuatan sering tersembunyi dalam hal-hal yang sudah kita miliki. Peter Block (2008) bilang; komunitas tangguh dibentuk oleh mereka yang memilih bertindak, bukan yang terus menunggu arahan✨