
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tidak dipandang sebagai kumpulan informasi, melainkan sebagai fondasi moral yang menuntut transformasi diri. Ilmu hanya memperoleh legitimasi ketika melahirkan perubahan nyata dalam sikap, perilaku, dan cara seseorang mengambil keputusan. Karena itu, keikhlasan, kesungguhan belajar, dan pengamalan yang konsisten menjadi tiga pilar utama yang menentukan apakah sebuah ilmu benar-benar berfungsi sebagai hidayah atau berhenti sebagai pengetahuan yang kosong dari nilai.
Ali bin Abi Thalib r.a. memberikan kerangka evaluatif yang sangat kuat mengenai bagaimana manusia memposisikan ilmu. Ia mengkritik empat kecenderungan yang merusak integritas keilmuan:
– ketidakamanahan terhadap ilmu,
– mengikuti tanpa verifikasi (taklid),
– kemalasan yang menghindari proses, serta
– orientasi hidup yang menempatkan harta di atas ilmu.
Kecenderungan-kecenderungan ini membuat seseorang mampu mendengar kebenaran tanpa pernah hidup di dalam kebenaran tersebut. Dengan demikian, nasihat Ali bukan sekadar catatan historis, tetapi sebuah alat untuk menilai konsistensi diri dalam membangun karakter ilmiah yang jujur.
Pada akhirnya, ilmu tidak pernah tumbuh subur dalam kesantaian atau pola hidup yang serba mudah. Disiplin mujāhadah dan riyāḍah menegaskan bahwa kedalaman ilmu hanya dapat dicapai melalui kesediaan menghadapi ketidaknyamanan, mengendalikan hawa nafsu, dan melatih diri secara berkesinambungan. Ilmu menjadi cahaya ketika ia hadir dalam keputusan moral, ketahanan emosi, dan akhlak sehari-hari. Dari sini, jelas bahwa ilmu bukan penghias identitas, melainkan mekanisme pembentukan pribadi yang menuntun seseorang berjalan di atas jalan kebenaran.





No comment yet, add your voice below!