Catatan kaki dari Melolo

Catatan kaki dari Melolo

Dalam kerangka pembangunan modern, visual seperti ini kerap dibaca sebagai tanda “keterbatasan material.” Namun penilaian itu lebih mencerminkan bias perkotaan daripada realitas Sumba. Jika dilihat dengan lensa filosofis, angsa, ayam, bebek, babi, dan sapi yang berkeliaran adalah living capital—aset ekologis dan sosial yang menopang kemandirian. Kain tenun yang digantung adalah modal budaya, dan tanaman di pekarangan adalah bentuk ketahanan pangan. Kesejahteraan di sini bukan tentang akumulasi, tetapi tentang harmoni antara manusia, alam, dan tradisi.

Secara akademik, ini menantang apa yang disebut context-insensitive measurement: penggunaan indikator kesejahteraan yang tidak mempertimbangkan logika lokal. Kerangka capability approach Amartya Sen lebih tepat untuk membaca konteks ini; kesejahteraan ditentukan oleh kapasitas menjalani hidup yang bernilai, bukan oleh jumlah pendapatan. Ternak yang hidup berdampingan dengan manusia, pangan dari tanah sendiri, serta jaringan sosial yang kuat menunjukkan adanya functional capabilities yang tidak tercermin dalam statistik konvensional.

Karena itu, Sumba mengingatkan kita bahwa indikator ekonomi tidak selalu mampu menangkap makna kesejahteraan substantif. Bila pembangunan memaksakan standar homogen, risiko utamanya adalah hilangnya akar budaya dan ekologi yang justru menopang kehidupan. Dalam konteks seperti Sumba, di mana angsa, ayam, bebek, kuda, babi, dan sapi menjadi bagian integral dari ritme hidup, kita melihat model kesejahteraan yang lebih utuh, di mana nilai tidak hanya diukur, tetapi dijalani.

Terimakasih Sumba tempat kami belajar 💙
Dan teman-teman @transmigrasihub.melolo@pket.kementrans@kementrans.ri

Nasihat kang @kangmaman1965

Nasihat kang @kangmaman1965

Pengetahuan bukanlah puncak untuk ditaklukkan, melainkan jembatan yang membantu manusia menyeberang menuju makna yang lebih dalam. Gelar, prestasi, dan usia bukan indikator utama; semuanya hanyalah logistik dalam perjalanan panjang belajar. Generasi muda hari ini hidup di dunia tanpa guru tunggal, setiap percakapan bisa menjadi kelas, setiap halaman buku bisa menjadi dunia baru, dan setiap ruang kecil bisa melahirkan visi besar. Yang menentukan arah bukan asal tempat atau posisi, tetapi keberanian memilih kebenaran daripada kenyamanan, dan integritas ketika berdiri di persimpangan yang sulit.

Dalam kesadaran itulah pengetahuan menjadi bekal untuk hidup, bukan sekadar hiasan untuk dipamerkan. Bangsa ini merumuskan cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” karena mereka yang membangun Indonesia dulu memahami bahwa kehancuran tidak berakar dari kejahatan semata, melainkan dari kebodohan. Maka membaca bukan lagi aktivitas untuk tahu, tetapi untuk menjadi lebih manusiawi, lebih tegar, lebih berguna, dan lebih menyelamatkan. Optimisme pun tumbuh dari skeptisisme yang sehat, dari kesediaan mempertanyakan, sekaligus keyakinan bahwa perubahan adalah mungkin.

Negara tetap harus hadir sebagai penghasil ruang—memberikan insentif bagi inovasi, bukan sekadar mengatur dari jauh. Dan setiap anak muda, siapa pun mereka, bisa meninggalkan nama yang harum seperti Mohammad Hatta: menulis perjalanan hidupnya dengan tinta emas berupa kecerdasan yang bermakna, mastery yang rendah hati, dan integritas yang tak tergoyahkan. Jika seseorang benar, baik, dan bermanfaat, maka keberadaannya akan terus menginspirasi jauh melampaui usia atau gelarnya. Dengan cara itulah optimisme tentang Indonesia dapat terus menyala, pelan, pasti, dan penuh harapan.

Menyimak Prof @dwilarsodl direktur beasiswa @lpdp_ri di @bangkitfest

Menyimak Prof @dwilarsodl direktur beasiswa @lpdp_ri di @bangkitfest

Di dunia yang berubah secepat sekarang, banyak skill teknis punya “masa kedaluwarsa.” Yang bertahan justru meta-skill: cara berpikir, problem framing, empati, komunikasi, dan kemampuan belajar ulang. Karena itu, masa depan tidak cukup diisi spesialis tunggal. Kita butuh multi-talenta dengan dua kedalaman keahlian (Pi-shape), satu sebagai fondasi profesional, satu lagi sebagai mesin adaptasi ketika tuntutan berubah.

Banyak universitas top dunia sudah menangkap sinyal ini. Harvard menggabungkan teknik dengan human-centered design, Stanford d.school mencampur bisnis–desain–perilaku, MIT Media Lab melintasi seni–teknologi–sains, dan NUS hingga KAIST mulai mewajibkan lintas-disiplin sebagai standar. Artinya jelas: pendidikan global sedang bergeser dari “menguasai satu hal” menjadi menjembatani banyak hal.

Menjadi multi-talenta bukan soal tahu semuanya, tapi siap belajar ulang kapan pun. Mereka yang punya dua kedalaman, kolaboratif, dan mampu menghubungkan perspektif lintas-peran akan jadi pemain paling relevan. Di era ini, yang menang bukan yang paling ahli, tetapi yang paling adaptif, lintas-batas, dan mampu menciptakan diri versi baru—berulang kali.

@gnfi

Law of Triviality

Law of Triviality

Bayangkan rapat besar dengan tema serius: transformasi digital, kurikulum baru, atau kota cerdas. Tapi begitu dimulai, yang dibahas justru warna logo, bentuk spanduk, atau siapa yang duduk di depan saat acara. Ide besar lenyap, waktu habis untuk hal kecil. Inilah Law of Triviality, hukum yang bilang semakin remeh topiknya, semakin lama orang membicarakannya. Karena membahas hal mudah terasa lebih aman dan membuat semua orang merasa pintar, padahal tidak membawa perubahan apa pun.

Inilah sebab banyak organisasi terlihat sibuk tapi sebenarnya tidak bergerak. Semua sibuk rapat, tapi hasilnya tidak jelas. Yang sulit dan penting justru dihindari, karena tidak semua paham atau berani menyentuhnya. Diskusi jadi tempat untuk terlihat aktif, bukan untuk menyelesaikan masalah. Energi yang seharusnya dipakai untuk memecahkan isu besar malah habis untuk urusan kecil yang tidak berdampak.

Pemimpin yang baik tahu kapan pembahasan mulai melenceng. Ia bisa memotong diskusi yang tidak penting dan mengarahkan tim kembali ke hal yang benar-benar berpengaruh. Fokus bukan di berapa banyak yang dibahas, tapi apa yang berubah setelahnya. Karena masalah terbesar dalam organisasi bukan kurang ide atau dana, tapi terlalu banyak waktu dihabiskan untuk hal-hal kecil yang tidak mengubah apa-apa.

Law of Triviality, dikemukakan oleh C. Northcote Parkinson dalam bukunya Parkinson’s Law and Other Studies in Administration (1957), menyatakan bahwa semakin remeh suatu hal, semakin banyak waktu dan energi yang dihabiskan orang untuk membahasnya.

“If every meeting is spent on small things, don’t expect big results.”

Pengabdian

Kita sering menyebut Tridharma dengan bangga, tapi dalam praktiknya, pengabdian masih sering diperlakukan sebagai pelengkap. Banyak program berhenti di tataran kegiatan: pelatihan, laporan, dokumentasi, tanpa napas keberlanjutan. Padahal, di situlah seharusnya ilmu diuji, bukan di ruang seminar atau jurnal. Pengabdian adalah cara universitas membuktikan bahwa pengetahuan yang lahir di kampus bisa benar-benar mengubah hidup masyarakat, bukan hanya menambah sitasi.

Pengabdian masa kini perlu bergeser dari sekadar berbagi ilmu menjadi proses membangun nilai bersama. Ia harus menjadi living lab; ruang nyata di mana teori diuji oleh praktik, dan praktik memperkaya teori. Di sana mahasiswa belajar empati dan relevansi, dosen menemukan kembali makna keberilmuannya, dan masyarakat ikut menumbuhkan ekonomi serta martabatnya sendiri. Inilah bentuk nyata integrasi pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang hidup, saling menguatkan, dan berdampak.

Sudah saatnya pengabdian dilihat bukan sebagai kegiatan tambahan, tetapi sebagai poros dari seluruh Tridharma. Tanpa pengabdian yang bermakna, riset kehilangan valuenya dan pendidikan kehilangan jiwanya. Pengabdian sesungguhnya bukan tentang berapa banyak program dilakukan, tetapi seberapa dalam universitas menjejak di kehidupan masyarakat jadi sumber perubahan, pemberdayaan, dan pengetahuan yang benar-benar membawa masyarakat menjadi lebih baik.

Terimakasih @lppmunib Universitas Bengkulu @univterbuka

Pragmatisme

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, sikap pragmatis sering dianggap tanda kecerdasan adaptif, kemampuan menyesuaikan diri dan bertindak efisien. Namun dalam Islam, pragmatisme harus berakar pada nilai moral & spiritual.

Seorang tidak hanya bertanya “apa yang berhasil?”, tetapi juga “apa yang benar?”. Inilah yang disebut hikmah amaliyah; kebijaksanaan praktis yang berpijak pada wahyu.

Rasulullah ﷺ mencontohkannya dalam Perjanjian Hudaibiyah: keputusan yang tampak merugikan justru menjadi jalan bagi kemenangan dakwah.

Pragmatisme Barat, seperti yang dikemukakan William James dan John Dewey, menilai kebenaran dari sejauh mana sesuatu “berfungsi.” Prinsip truth is what works menempatkan manusia sebagai pusat nilai; menganggap benar apa pun yang berhasil.

Islam menolak pandangan ini karena kebenaran (al-haqq) bersifat tetap & bersumber dari Allah, sedangkan keberhasilan (al-falah) tidak hanya diukur dari capaian duniawi, tetapi juga dari kesesuaian dengan nilai Ilahi. Keberhasilan sejati, bukan sekadar hasil cepat, tetapi kemajuan yang berpijak pada keimanan, kesabaran & integritas.

Refleksi ini mengajak kita menata ulang makna “pragmatis.” Islam tidak menolak efisiensi atau strategi, tetapi menegaskan bahwa semua harus dijalankan dalam kerangka keadilan dan keberkahan. Tindakan benar adalah yang membawa manfaat tanpa melanggar prinsip moral.

Menjadi pragmatis yang beriman berarti membaca kenyataan dengan cerdas tanpa kehilangan arah. Sebab kecepatan tanpa nilai bukanlah kemajuan, dan efisiensi tanpa kebenaran bukanlah keberhasilan.

Dalam pandangan tauhid, keberhasilan sejati adalah ketika manfaat dunia berpadu dengan ridha Allah, hasil yang tidak hanya berguna, tetapi juga mendatangkan keberkahan.

Keberhasilan demikian bukan semata diukur oleh capaian materi, tapi oleh sejauh mana hasil itu menghadirkan kebaikan bagi sesama & menumbuhkan kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta. Dalam kerangka ini, setiap usaha manusia menjadi bentuk ibadah yang bukan sekadar produktif, tetapi juga menumbuhkan nilai, keadilan & rahmat. Puncak keberhasilan bukan pada apa yang dimiliki, tapi pada apa yang dibagikan & seberapa tulus ikhtiar itu mengundang ridha-Nya.

Subang Ngabret BP4D Naik Kelas

“Subang Ngabret BP4D Naik Kelas – Wujudkan Perencanaan Berkualitas” tertulis pada spanduk acara hari ini, setiap kata saya coba cermati, dan ternyata ini keren!

Di ketinggian Gunung Papandayan sore ini, kami berkumpul menguatkan tekad, menyatukan langkah para perencana pembangunan Subang. Di udara sejuk dan sunyi yang menenangkan, kami belajar kembali arti bergerak bersama: bahwa perencanaan bukan sekadar menyusun dokumen, tetapi menata masa depan. Bukan sekadar memenuhi target, tapi memastikan setiap rencana benar-benar membawa manfaat bagi banyak orang.

Ngabret berarti bergerak eksponensial, melipatgandakan dampak melalui semangat, arah, dan kolaborasi. Kecepatan sejati tidak lahir dari tekanan, tapi dari kesadaran bersama akan tujuan yang sama. Ketika setiap orang memahami perannya, energi itu menyatu, menjadi kekuatan kolektif yang mendorong perubahan.

Naik kelas adalah keberanian untuk berpindah kuadran dalam matrix inovasi, dari memperbaiki sistem lama menuju menciptakan nilai baru. Di titik ini, perencanaan bukan lagi sekadar pekerjaan, melainkan ruang tumbuh bersama. BP4D yang naik kelas bukan hanya lebih cepat, tapi juga lebih relevan, adaptif, dan berdampak.

Dan berkualitas bukan hanya tentang hasil yang rapi atau sesuai standar, tapi tentang manfaat yang nyata. Kualitas sesungguhnya terasa ketika rencana menjelma perubahan, data menjadi arah, dan keputusan membawa kebaikan. Itulah perjalanan dari output ke outcome, dan akhirnya menuju impact, dampak yang mengubah kehidupan masyarakat.

Semua itu berawal dari perubahan cara berpikir. Dari compliance menuju co-creation, dari bekerja sendiri menuju co-innovation. Ketika kolaborasi lahir dari empati dan dijalankan dengan integritas, maka network effect terbentuk; menguatkan sistem dari dalam. Sebab tujuan akhir dari setiap ikhtiar bukan hanya keberhasilan, tetapi kebermanfaatan. Dan bila semua dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan, maka hadir keberkahan; koefisien beta yang melipatgandakan setiap usaha menjadi kebaikan yang meluas dan bermakna.

Selamat meluaskan dampak @bp4dsubangofficial

PLN Nusantara Power Services

Coaching berbulan-bulan, berulang-ulang, akhirnya berbuah manis. Tujuh tim berhasil mendapatkan golden ticket dan tiga di antaranya keluar sebagai juara. Sebuah kebanggaan mendampingi para inovator luar biasa ini, bukan hanya karena hasilnya, tetapi karena prosesnya. Setiap sesi adalah perjalanan panjang membentuk cara berpikir, mengasah empati terhadap pengguna, dan memupuk keberanian untuk mencoba lagi setiap kali gagal.

Sejak awal, tujuan utamanya bukan hanya memenangkan kompetisi, tapi menanamkan mindset bahwa inovasi sejati selalu berangkat dari kebutuhan pengguna. Inovasi yang berorientasi pada pengguna akan terus hidup, beregenerasi, dan menciptakan dampak jangka panjang. Karena itu, proses coaching difokuskan pada penguasaan kerangka berpikir inovatif dan kemampuan replikasi, agar inovasi tidak berhenti di satu proyek, tapi terus menular dan berkembang.

Selamat kepada seluruh tim PLN Nusantara Power Services yang telah membuktikan bahwa keberhasilan bukanlah garis akhir, melainkan awal dari perjalanan inovasi yang lebih besar. Inovasi bukan hanya tentang produk, tapi juga model bisnis dan ekosistem yang membuatnya tumbuh eksponensial. Semoga kemenangan ini menjadi titik awal untuk menyalakan lebih banyak nyala inovasi di seluruh Indonesia.

Selamat melanjutkan karya nyatanya @pln_npservices

Kepemimpinan

Banyak orang memandang pemimpin sebagai sosok yang harus memberikan manfaat langsung kepada mereka, memberi posisi, fasilitas, dan perlindungan. Cara pandang seperti ini menjadikan anggota organisasi sebagai penerima pasif, bukan pelaku aktif.

Padahal, Al-Qur’an menggambarkan umat terbaik bukan sebagai mereka yang paling banyak menerima manfaat, tetapi sebagai mereka yang “dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” (QS. Ali ‘Imran: 110). Ini menunjukkan bahwa kemuliaan bukan berada pada posisi penerima, tetapi pada kesediaan menjadi sumber manfaat bagi banyak orang.

Kepemimpinan sejati bukan tentang memusatkan manfaat pada satu figur, melainkan menggerakkan seluruh anggota organisasi agar menjadi penghasil manfaat. Dalam QS. Al-Maidah ayat 2, Allah memerintahkan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” Ayat ini memberi penegasan bahwa fungsi utama kepemimpinan adalah membangun ekosistem kebaikan, tempat setiap individu terdorong untuk berkontribusi, bukan bergantung. Pemimpin bukan pusat pelayanan, tetapi katalis yang membangkitkan kesadaran kolektif untuk bersama-sama melahirkan kebermanfaatan yang lebih luas.

Organisasi yang produktif dan berpengaruh tidak bertumpu pada kehebatan satu pemimpin, melainkan pada kesadaran setiap anggotanya untuk menjadi bagian dari solusi. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Hadis ini bukan hanya perintah moral, tetapi fondasi peradaban: kebermanfaatan bukan status, melainkan fungsi, dan fungsi itu bersifat kolektif, bukan individual.

Karena itu, memilih pemimpin bukan soal siapa yang mampu memberi kita keuntungan pribadi, tetapi siapa yang mampu menggerakkan kita untuk menjadi sumber kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pemimpin transformatif mengajak kita keluar dari mentalitas sebagai objek yang menunggu pelayanan, menuju posisi subjek yang aktif melayani dan membangun. Inilah kepemimpinan yang sesuai dengan nilai Qur’ani, karena ia tidak hanya membawa manfaat untuk individu, tetapi menghidupkan kembali fungsi organisasi sebagai rahmat bagi sesama💙

Impact Innovation

Transformasi unit-unit bisnis universitas membutuhkan pergeseran paradigma dari orientasi transaksi menuju penciptaan nilai publik berbasis ilmu pengetahuan. Selama ini, banyak unit usaha universitas berjalan dengan logika korporasi murni, sehingga revenue dijadikan tujuan akhir.

Paradigma ini berbahaya karena berpotensi menjauhkan universitas dari mandat utama sebagai pencipta solusi dan penggerak kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, revenue harus ditempatkan sebagai indikator kesehatan dan keberlanjutan ekosistem inovasi, bukan sebagai tujuan inti. Tujuan sesungguhnya adalah menghadirkan kebermanfaatan nyata melalui riset yang terpakai, layanan pengetahuan yang dapat diakses publik, serta penguatan reputasi universitas sebagai institusi pencetak dampak.

Namun, transformasi ini tidak dapat terjadi hanya melalui penciptaan produk baru, melainkan melalui pembaruan model bisnis berbasis ekosistem. Monetisasi harus didesain secara strategis agar tidak membebani masyarakat sebagai pembeli utama, tetapi mengoptimalkan sumber pendapatan melalui kemitraan industri, lisensi teknologi, dana filantropi, impact investment, atau skema subsidi silang.

Dengan pendekatan ini, masyarakat tetap menikmati manfaat tanpa hambatan akses, sementara unit bisnis memperoleh sumber pendanaan berkelanjutan. Ini menuntut universitas membangun kapabilitas orkestrasi, bukan sekadar produksi, kapabilitas untuk menghubungkan riset, pasar, regulasi, dan jejaring pemangku kepentingan.

Workshop ini hadir sebagai titik awal untuk mengonsolidasikan perubahan tersebut. Bukan sekadar forum pelatihan, tetapi sebagai langkah awal membangun tata kelola inovasi berbasis dampak, membentuk mekanisme hilirisasi riset, dan menciptakan prototipe model bisnis yang siap diuji dalam ekosistem riil.

Keberhasilan workshop tidak diukur dari jumlah produk yang dihasilkan, melainkan dari sejauh mana unit-unit bisnis universitas mampu memasuki logika impact innovation, yaitu menghasilkan nilai sosial yang terukur, memperkuat reputasi akademik, dan secara kreatif membangun keberlanjutan finansial tanpa melepaskan jati diri universitas sebagai institusi ilmu pengetahuan.