Catatan kaki dari Melolo

Dalam kerangka pembangunan modern, visual seperti ini kerap dibaca sebagai tanda “keterbatasan material.” Namun penilaian itu lebih mencerminkan bias perkotaan daripada realitas Sumba. Jika dilihat dengan lensa filosofis, angsa, ayam, bebek, babi, dan sapi yang berkeliaran adalah living capital—aset ekologis dan sosial yang menopang kemandirian. Kain tenun yang digantung adalah modal budaya, dan tanaman di pekarangan adalah bentuk ketahanan pangan. Kesejahteraan di sini bukan tentang akumulasi, tetapi tentang harmoni antara manusia, alam, dan tradisi.

Secara akademik, ini menantang apa yang disebut context-insensitive measurement: penggunaan indikator kesejahteraan yang tidak mempertimbangkan logika lokal. Kerangka capability approach Amartya Sen lebih tepat untuk membaca konteks ini; kesejahteraan ditentukan oleh kapasitas menjalani hidup yang bernilai, bukan oleh jumlah pendapatan. Ternak yang hidup berdampingan dengan manusia, pangan dari tanah sendiri, serta jaringan sosial yang kuat menunjukkan adanya functional capabilities yang tidak tercermin dalam statistik konvensional.

Karena itu, Sumba mengingatkan kita bahwa indikator ekonomi tidak selalu mampu menangkap makna kesejahteraan substantif. Bila pembangunan memaksakan standar homogen, risiko utamanya adalah hilangnya akar budaya dan ekologi yang justru menopang kehidupan. Dalam konteks seperti Sumba, di mana angsa, ayam, bebek, kuda, babi, dan sapi menjadi bagian integral dari ritme hidup, kita melihat model kesejahteraan yang lebih utuh, di mana nilai tidak hanya diukur, tetapi dijalani.

Terimakasih Sumba tempat kami belajar 💙
Dan teman-teman @transmigrasihub.melolo@pket.kementrans@kementrans.ri

Recommended Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *