Banjir bandang & longsor yang menelan ratusan korban jiwa dan menghancurkan ribuan rumah, kembali menunjukkan bahwa yang kita hadapi bukan semata “bencana alam”. Ini adalah bencana ekologis sekaligus institusional. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan bukan muncul dalam semalam; semuanya adalah hasil dari rangkaian keputusan yang diambil tanpa empati terhadap manusia & lingkungan. Ketika empati hilang dari meja kebijakan, negara tidak lagi membaca risiko, tidak mendengar peringatan alam, dan tidak menangkap kegelisahan warga di hulu sungai.

Masalahnya lebih dalam dari sekadar cuaca ekstrem. Banyak lembaga publik terjebak pada budaya mengejar output: program yang selesai, laporan yang rapi, anggaran terserap. Namun semua itu sering tidak berkorelasi dengan keselamatan warga. Tanpa empati, orientasi output berubah menjadi ketidakpekaan sistematis. Prosedur mengalahkan akal sehat, proyek mengalahkan kehati-hatian, dan angka mengalahkan manusia. Bencana ini memperlihatkan dengan jelas akibat dari institusi yang bekerja secara mekanistik tetapi lupa mendengarkan realitas ekologis & sosial yang melingkupinya.

Tragedi ini juga membuka fakta pahit: kegagalan negara sering tidak lahir dari satu keputusan besar, tetapi dari ratusan kelalaian kecil yang dianggap “wajar”. Izin yang dikeluarkan tanpa kajian ekologis, pengawasan yang longgar, kebijakan yang tone-deaf terhadap situasi masyarakat. Semua keputusan kecil itu mengendap menjadi bom waktu, dan di Sumatra, bom itu meledak. Saat desa-desa terisolasi, bantuan tersendat, habitat satwa liar terfragmentasi, dan keluarga kehilangan tempat tinggal, kita melihat jelas akibat dari institusi yang kehilangan kepekaan.

Empati tidak lagi dapat diperlakukan sebagai nilai moral personal; ia harus menjadi kompetensi struktural. Empati adalah kemampuan institusi untuk membaca risiko, memahami keterhubungan ekologi, & menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan. Tanpanya, kita akan terus mengulangi tragedi di mana pun ekosistem ditekan melampaui batas. Pertanyaannya: apakah kita siap membangun institusi yang kembali mampu merasakan, atau terus menunggu bencana berikutnya untuk menyadarkan kita?

Recommended Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *